MODEL
PENDIDIKAN KARAKTER
A.
Model
Pendidikan Karakter yang Dilaksanakan di Barat
Praktik
persekolahan di AS pendidikan karakter dilaksanakan dengan pendekatan holistik,
artinya seluruh warga sekolah mulai guru, karyawan, dan para murid harus terlibat
dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Pendekatan
seperti ini disebut juga reformasi sekolah menyeluruh. Berikut ini beberapa
gambaran penerapan model holistik dalam pendidikan karakter:
1.
Segala sesuatu
yang ada di sekolah terorganisasikan di seputar hubungan antar siswa dan antara
siswa dan guru beserta staf dan komunitas sekitarnya.
2.
Sekolah
merupakan komunitas yang peduli dimana terdapat ikatan yang kuat dan
menghubungkan siswa dengan guru, staf, dan sekolah.
3.
Pembelajaran
sosial dan pembelajaran emosional juga dikembangkan sebagaimana pembelajaran
ekademik.
4.
Kooperasi dan
kolaborasi antar-siswa lebih ditekankan pengembangannya daripada kompetisi.
5.
Nilai-nilai
seperti saling menghormati dan kejujuran adalah bagian dari pembelajaran setiap
hari, baik di dalam maupun di luar kelas.
6.
Para siswa
diberi keleluasaan untuk mempraktikkan perilaku moral melalui kegiatan
pembelajaran untuk melayani (service learning).
7.
Disiplin kelas
dan pengelolaan kelas dipusatkan pada pemecahan masalah daripada dipusatkan
pada penghargaan dan hukuman.
8.
Model lama
berupa pendekatan berbasis guru yang otoriter tidak pernah lagi diterapkan di
ruang kelas, tetapi lebih dikembangkan suasana kelas yang demokratis di mana
para guru dan siswa melaksanakan semacam pertemuan kelas untuk membangun
kebersamaan, menegakkan norma-norma yang disepakati bersama, serta memecahkan
persoalan bersama-sama.
Sementara
di Inggris pelaksanaan pendidikan karakter dititikberatkan pada:
1.
Pembelajaran mental
(berbasis otak) yang terdiri dari pengingatan fakta, secara konsisten menyimpan
data terpilih tertentu dalam otak, seperti halnya cara kita menyimpan data di
komputer.
2.
Pembelajaran jasmani
melalui pengalaman langsung, melibatkan seluruh pancaindra, melibatkan hampir
seluruh sistem saraf.
3.
Pembelajaran emosi
dan sublimal (di bawah ambang persepsi sadar), melibatkan siswa untuk
berpraktik langsung tentang bagaimana jika merasa gembira, takut, sedih,
sayang/cinta, peduli, euforia,d an merasa gembira yang meluap-luap.
Pada
pelaksanaan pendidikan karakter, sekolah-sekolah dapat berkomitmen untuk
mengembangkan pendidikan karakter dengan cara:
1.
Menekankan
pentingnya nilai-nilai adab yang dikembangkan oleh orang dewasa sebagai model
dalam kelas, yang akan dicontoh oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Di sini guru sebagai model teladan, uswatun hasanah.
2.
Membentu siswa
dalam memperjelas nilai-nilai yang seharusnya mereka miliki, membangung ikatan
personal serta tanggung jawab di antara mereka.
3.
Menggunakan
kurikulum tradisional sebagai wahana untuk mengajarkan nilai-nilai dan menguji
pertanyaan terkait konteks moral.
4.
Meningkatkan
dan mempertajam refleksi moral peserta didik melalui diskusi, debat, curah
pendapat, dan jurnal-jurnal.
5.
Meningkatkan
penerapan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari melalui pelayanan komponen
sekolah (guru, siswa, guru BK, karyawan sekolah) terhadap masyarakat serta
berbagai bentuk strategi pelibatan dalam masyarakat lainnya.
6.
Mendukung
pembangunan guru dalam dimensi pengembangan moral dan pelaksanaan dialog
antar-guru dalam konteks moral selama pelaksanaan tugasnya.
Menururt
Schulman dan Melker bahwa ada tiga fondasi pengembangan moral, yaitu: (i)
penghayatan atau internalisasi terhadap standar dari orangtua tentang yang
benar dan salah, (ii) pengembangan sikap dan reaksi empati, dan (iii) pengembangan
dan pemerolehan standar moral sendiri.
Terkait
dengan fondasi pertama, apakah internalisasi standar dari orangtua
tentang yang benar dan yang salah dapat dihayati oleh anak, sepenuhnya bergantung
pada sikap dan perilaku orangtua sebagai teladan, sebagai uswatun hasanah.
Orangtua, termsauk guru, harus benar-benar dapat menajdi contoh bagi anak,
karena ia konsisten, istiqamah, dalam menjalankan apa-apa yang baik dan tidak
menjalani apa-apa yang buruk.
Fondasi
kedua adalah pengembangan rasa empati terhadap anak. Anak pada fitrahnya
sudah memiliki rasa empati sejak dia lahir. Pembiasaan dan penciptaan ligkungan
oleh orangtua-lah yang kemudian akan meningkatkan rasa empati itu.
Fondasi
ketiga adalah pengembangan dan pemerolehan standar moral bagi anak itu
sendiri. Paling akhir selayaknya kepekaan seseorang tentang apa-apa yang baik
dan apa-apa yang salah harus bersemayam dalam diri anak dan menjadi milik anak
itu sendiri. Dalam kaitan ini maka orangtua termasuk guru adalah memupuk rasa
percaya diri anak agar selalu memegang teguh serta mengembangkan standar
tentang yang baik dan yang buruk tersebut, sehingga dihayatinya sebagai
perilakunya sehari-hari.
B.
Strategi
dan Metodologi Pendidikan Karakter
a)
Strategi
1.
Strategi
panduan (cheerleading)
Setiap
bulan ditempel poster-poster, dipasang spanduk-spanduk, serta ditempel di papan
khusus buletin, papan pengumuman tentang berbagai nilai kebajikan yang selalu
berganti-ganti. Misalnya pemasangan spanduk/baliho dalam bentuk sajian malam
kesenian, tontonan panggung, yang dipenuhi dengan slogan-slogan atau moto
tentang karakter atau nilai.
2.
Strategi pujian
dan hadiah (praise and reward)
Srategi
ini berlandaskan pada pemikiran yang positif dan menerapkan penguatan positif.
Strategi ini justru ingin menunjukkan anak yang sedang berbuat baik. Sayangnya
strategi ni tidak berlangsung lama, karena jika semula yang terpilih adalah
benar-benar anak yang tulus ingin berbuat baik, kemudian mendapatkan pujian dan
hadiah.
3.
Strategi
definisakan dan latihan (define and drill)
Strategi
ini meminta pada siswa untuk mengingat-ingat sederet nilai kebaikan dan
mendefnisaknnya.
4.
Strategi penegakan
disiplin (forced formality)
Pada
prinsipnya ingin menegakkan disiplin dan melakukan pembiasaan kepada siswa
untuk secara rutin melakukan sesuatu yang bernilai moral. Misalnya mengucapkan
salam kepada guru, bahkan di Indonesia ada sekolah yang memiliki slogan yang
merupakan kewajiban bila bertemu guru yang disebut 4-S, yakni senyum, sapa,
salam, salim.
5.
Strategi
perangai bulain ini (traits of the month)
Pada
hakikatnya menyerupai strategi cheerleading tetapi tidak hanya mengandalkan
poster-poster, spanduk, juga menggunakan segala terkait dengan pendidikan
karakter, misalnya pelatihan, introduksi oleh guru dalam kelas, sambutan kepala
sekolah pada upacara, dan sebagainnya, yang difokuskan pada penguatan peragai
tunggal yang telah disepakati.
Dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan tim olah raga maka
nilai sportivitas, mengikuti aturan main, kerjasama, keriangan, keberanianm dan
kekompakan selalu muncul. Sedangkan klub kelompok ilmiah remaja dipupuk jiwa
kuriositas (kepenasaran intelektual), kreatif, inovatif. Dalam klub palang
merah remaja, dipupuk nilai kepedulian sosial, empati dan keberanian dsb. Dalam
kegiatan pramuka, nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan anara lain:
1.
Melalui
kegiatan luar ruang: akan membentuk karakter keberanian, kerja sama,
patriotisme, memahami dan menghargai alam, saling menolong, melatih pertolongan
menghadapi bencana, dan memupuk sikap peduli dan empati. Untuk kegiatan
perkemahan di alam bebas, berdasarkan pengetahuan tentang angin, cuaca, flora
dan fauna, memupuk kuriositas dan sikap perjuangan untuk bertahan hidup. Untuk kegiatan
api unggun dalam perkemahan memupuk kebersamaan dalam menghargai seni dan
budaya.
2.
Kegiatan dalam
ruang: difokuskan pada pembentukan jiwa kepemipinan, manajemen dan memupuk jiwa
kewirausahaan.
3.
Bernyanyi dan bertepuk
tangan baik di dalam maupun di luar ruang meningkatkan keriangan dan semangat
kehidupan yang dinamis.
b)
Metode
1.
Metode
bercerita, mendongeng (telling story)
Metode
ini pada hakikatnya sama dengan metode ceramah, tetapi guru lebih leluasa
berimprovisasi. Misalnya melalui perubahan mimik, gerak tubuh, mengubah
intonasi suara dsb. Jika perlu menggunakan alat bantu seperti bel kelinting,
beberapa macam boneka (baik boneka manusia maupun boneka binatang), perangkat
simulasi tempat duduk kecil-kecil dsb. Di tengah-tengah mendongeng para siswa
boleh saja berkomentar/bertanya, tempat duduk pun dapat di atur bebas, bahkan
duduk di lantai, karena suasananya memang dibuat santai. Hal yang penting guru
harus membuat kesimpulan bersama siswa, karakter apa saja yang diperankan para tokoh
protagonis yang dapatg ditiru oleh siswa, dan karakter para tokoh antagonis
yang harus dihindari dan tidak di tiru para siswa.
Secara
bervariasi para siswa bercerita, secara bergantian. Misalnya mereka bercerita
tentang keindahan alam yang mereka jumpai pada saat bertamsya ke luar kota di haru libur sekolah. Bisa juga
anak-anak bercerita tentang cita-citanya serta alasan mengapa memilih cita-cita
itu, berbagai nilai karakter akan muncul dalam kesempatan seperti itu.
2.
Metode diskusi
dan berbagai variannya
Dalam
pembelajaran umumnya diskusi terdiri dari 2 macam, diskusi kelas dan diskusi
kelompok. Diskusi kelas umumnya dipimpin oleh guru, bentuk ini tepat bagi siswa
SD keals IV-VI, dalam diskusi kelas karena guru dianggap punya kompetensi dan
pengetahuan yang luas serta punya otoritas, maka arah diskusi tetap dapat
dikendalikan. Sedangkan diskusi kelompok dapat berupa kelompok kecil yang
anggoatanya 2-6 orang atau kelompok lebih besar, anggotanya mencapai 20 orang.
Biasanya dilakukan bagi anak SMP dan SMA/SMK.
a.
Sebelum diskusi
dimulai guru mengemukakan masalah terkait pendidikan karakter yang akan
didiskusikan dan meberikan pengarahan seperlunya tentang cara-cara
memecahkannya. Sesuai dengan jmlah siswa yang ada serta jumlah jam yang
tersedia guru membentuk kelompok-kelompok diskusi.
b.
Bagi siswa SMP
dan SMA/SMK ketua diskusi sudah dapat diserahkan kepada siswa. Pilihlah siswa
yang cukup disegani oleh kawan-kawan sekelasnya dalam kelompok masing-masing.
Siswa tersebut tidak hanya dianggap pandai dan cerdas, tetapi pilih juga yang
lancar berbicara, dan dapat membuat keputusan.
c.
Siswa yang
dipilih sebagai ketua diskusi bertugas: membuka dan menutup diskusi, mengatur
dan mengendalikan arah hasil diskusi, mengatur lalu-lintas pembicaraan,
penengah dan penyimpul hasil diskusi, memberi kesempatan kepada semua anggota
diskusi untuk bertanya/mengajukan gagasannya, serta memotivasi anggota
kelompoknya untuk tidak segan-segan berbicara.
d.
Selam diskusi
berlangsung guru berkeliling dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain,
mengamati jalannya diskusi keaktifan siswa, arah diskusi dan sebagainya,
menjaga ketertiban agar tidak terlalu gaduh karena akan mengganggu kelas yang
lain.
Berikut
ini sejumlah varian dari metode diskusi/diskusi kelompok yang dapat diterapkan
dalam pendidikan karakter, antara lain adalah:
a.
Buzz group
Suatu
kelompok besar (dapat berupa kelas) dibagi lagi menjadi kelompok kecil-kecil,
masing-masing terdiri dari 3-6 orang dalm waktu yang singkat untuk
mendiskusikan suatu topik dari suatu permasalahan.
Pada
pelaksanaannya tempat duduk diatur sedemikian rupa agar siswa dapat saling
bertatap muka dan berbagi pendapat dengan mudah. Biasanya dilaksanakan di
tengah-tengah pembelajaran/di akhir pembelajaran dengan maksud menajamkan dan
mendalami kerangka bahan ajar/memperjeals bahan pelajaran/menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru.
Misalnya
pelajaran biologi terkait terjadi akibat pemanasan global, yang pada hakikatnya
terjadi akibat karakter negatif manusia yang tidak menghargai lingkungan dengan
menebang hutan semena-mena.
b.
Panel dan
diskusi panel
Suatu
kelompok kecil biasanya 3-6 orang, mendiskusikan suatu subjek tertentu, duduk
dalam suatu susunan semi melingkar, dipimpin oleh seorang moderator. pada panel
murni audience tidak ikut terlibat, pada diskusi panel atau penel forum,
audience dapat terlibat dalam diskusi, setelah dipersilahkan oleh
moderator.
c.
Kelompok
sindikat
Suatu
kelompok besar (keals) dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil seperti pada
buzz group. Bedanya, masing-masing kelompok kecil mendiskusikan suatu tugas
tertentu yang berbeda-beda antar kelompok kecil.
Guru
menjelaskan tema umum tentang masalah, menggambarkan aspek-aspek maslah
tersebut, setiap kelompok membahas hanya satu aspke, guru menyediakan
referensi/sumber informasi.
Setiap
kelompok sindikat berdiskusi sendiri-sendiri, pada akhir diskusi disampaikan
laporan setiap sindikat dan selanjutnya di bawa ke pleno (sidang umum) untuk
dibahas lebih lanjut sehingga seluruh aspek dari tema masalah terselesaikan.
Contohnya,
bagaimana memberikan bantuan kepada korban bencana alam. Kelompok kecil dibagi
dengan tugas masing-masing, misalnya berdiskusi tentang bagaimana mengumpulkan
bantuan, yang lainnya macam-macam bantuan yang dapat diebrikan, kelompok
lainnya tentang bagaimana cara memberikan bantuannya, bagaimana persiapan
logistik dll.
d.
Curah pendapat
Kelompok
menyumbang ide baru, tanpa harus dievaluasi layak tidaknya, benar atau
tidaknya,relevan atau tidaknya ide tersebut. Setiap kelompok wajib menyuarakan
gagasannya yang dicatat oleh seorang notulis. Setiap kelompok dipimpin seorang
moderator.
Panitia
perumus/panitia pengarah yang akan memilih dan melihat ide mana yag baik, yang
relevan dan terkait dengan masalah yang akan diselesaikan bersama. Contohnya di
tv one.
e.
Model mangkuk
ikan, model akuarium
Sejumlah
peserta dipimpin seorang moderator/ketua mengadakan diskusi untuk mengambil
suatu keputusan. Tempat duduk diatur merupakan bentuk setengah lingkaran dengan
2 atau 3 kursi kosong menghadap peserta diskusi. Ini adalah tempat duduk para
pembicara para fish.
Model
fishbowl hanya cocok bagi siswa SMA/SMK atau mahasiswa perguruan tinggi.
Misalnya, permasalahan bagaimana menanggulangi korupsi yang telah meladna
bangsa Indonesia.
3.
Metode simulasi
(bermain peran/role playing dan sosiodrama)
Tujuannya
agar peserta didik memeproleh keterampilan tetentu, baik yang bersifat
profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dapat pula
ditujukan utnuk memperoleh pemahaman untuk memecahkan suatu masalah yang
relevan dengan pendidikan karakter. Langkah-langkah permainan simulasi umumnya
terdiri dari:
a.
Penentuan tema
dan tujuan permainan simulasi.
b.
Menentukan
bentuk simulasi berupa bermain peran, psikodrma/sosiodrama.
c.
Guru sebagai
sutradara, memberi gambaran secara garis besar kepada siswa situasi yang akan
disimulasikan.
d.
Guru menunjuk
siapa berperan menjadi apa/sebagai siapa.
e.
Guru memberi
waktu kepada para pemeran untuk mempersiapkan diri, untuk meminta keterangan
kepada guru jika kurang jelas tentang perannya.
f.
Melaksanakan
simulasi pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
g.
Karena ini
permaina, guru boleh nimbrung memberi saran perbaikan dan nasihat yang berharga
bagi siswa selama permainan berlangsung.
h.
Penilaian baik
dari guru/kawan sekelas serta pemberian umpan balik.
i.
Latihan ulang
demi kesempurnaan simulasi.
Beberapa
tema yang dapat dijadikan permainan simulasi dalam pendidikan karakter, antara
lain:
-
Melakukan
pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K)
-
Bagaimana
bergotongroyong untuk membangun tempat peribadatan di kampung.
-
Melakukan
pertolongan bagi korban gimpa bumi/koban bencana banjir
-
Pada anak SD
kelas I pada saat pembelajaran tematik dengan tema keluargaku dapat dilakuakn
simulasi siapa berperan sebagai kakek, nenek, ibu, ayah, kakak, dan adik.
Esensi temanya adalah seorang kakek sedang berupaya menasehati cucunya agar
berperilaku baik dan jujur.
C.
Pendidikan
Karakter yang Efektif
Agar
pelaksanaan pendidikan kaakter berjalan efektif Lickona, Schaps dan Lewis telah
mengembangkan 11 prinsip untuk pendidikan karakater yang efektif
1.
Pendidikan
karakter harus mempromosikan nilai-niulai etik inti sebagai landasan bagi
pembentukan karakter yang baik.
Pendidikan
karakter berpegang pada nilai-nilai yang disebarkan secara meluas, yang amat
penting, dan berlandaskan karakter mulia, yang disebut “nilai inti”, misalnya
kepedulian, kejujuran, pertanggungjawaban pada diri sendiri dll. Seluruh warga
sekolah bertanggung jawab dalam mewujudkan nilai-nilai tersebut sebagai standar
perilakunya.
2.
Karakter harus
dipahami secara komperhensif termasuk dalam pemikiran, perasaan dan perilaku.
Impelementasi
karakter yang baik meliputi pemahaman, kepedulian, dan tindakan yang dilandasi
nilai-nilai etik inti. Pendekatan holistik dalam pembangunan karakter dilandasi
dengan pengembangan aspek-aspek kognitif, emosional,d an perilaku dari
kehidupan moral.
Para
siswa tumbuh dan memahami nilai-nilai inti tersebut dengan cara mempelajarinya
dan mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan memecahkan masalah yang
bekaitan dengan nilai-nilai. Yang terpenting, siswa belajar untuk peduli
terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkannya (empati, saling peduli,
mendengarkan kisah-kisah yang mnenarik dll).
3.
Pendidikan
karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang sungguh-sungguh dan proaktif
serta mempromosikan nilai-nilai inti pada semua fase kehidupn sekolah.
Sekolah
berkomitmen untuk mengembangkan karakter wajib melihat dirinya sendiri dengan
kacamata moral untuk menilai bagaimana segala sesuatu yang ada di sekolah dapat
memberikan dampak pada karakter siswa. Dalam kaitan ini termasuk apa yang
sering disebut “kurikulum tersembunyi” misalnya upacara bendera sebagai model,
hubungan siswa dengan guru.
4.
Sekolah harus
menjadi komunitas yang peduli.
Sekolah
berkomitmen pada pengembangan karakter harus berupaya menjadi suatu masyarakat
mikrokosmos yang peduli dan adil. Hubungan kepedulian ini dapat membangkitkan
baik niat untuk belajar, maupun niat menjadi orang yang berperilaku baik.
5.
Menyediakan bagi
para siswa untuk melakukan tindakan bermoral.
Dalam
ranah etik maupun ranah intelektual, para siswa adalah pembelajar yang
konstruktif, mereka belajar baik dengan melakukan sesuatu. Menerapakan berbagai
nilai seperti rasa iba, bertanggung jawab, dan kejujuran serta keadilan dalam
interaksi dan diskusi setiap hari.
6.
Pendidikan
karakter yang efektif harus dilengkapi dengan kurikulum ekedemis yang bermakna
dan menantang, yang menghargai semua pembelajar dan membantu mereka untuk
mencapai sukses.
Setiap
siswa datang ke sekolah dengan keterampilan, minat, dan kebutuhan yang
berbeda-beda, maka program akademik yang dirancang untuk membantu siswa agar
berhasil hedaknya harus menjadi suatu program yang membangun keterikatan
seluruh siswa.
7.
Pendidikan
karakter harus secara nyata berupaya mengembangkan motivasi pribadi siswa.
Misalnya
menghormati hak-hak dan kebutuhan orang lain bukan karena takut terhadap
hukuman dan keinginan menerima penghargaan. Hal semcam ini dapat terjadi karena
keyakinan terdalam yang hadir dalam diri siswa adalah bahwa berbuat baik itu
bagus, sehingga ada keinginan yang timbul dari dalam hatinya untuk menjadi
orang yang baik.
8.
Seluruh staf
sekola harus menjadi komunitas belajar dan komunitas moral yang semuanya
salingberbagi tanggung jawab bagi berlangsungnya pendidikan karakter, dan
berupaya untuk mengembangkan nilai-nilai yang sama yang menjadi panduan
pendidikan karakter bagi para siswa.
Seluruh
warga sekolah terlibat dalam pembelajaran, ikut berdiskusi, dan mengambil
perannya masing-masing dalam upaya pendidikan karakter, Pertama kali harus
menunjukkan tanggung jawabnya dalam perilakunya dan memberikan pengaruh
terhadap siswa.
9.
Implementasi
pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan moral yang diperlukan bagi staf
sekolah maupun para siswa.
Mengembangkan
pendidikan karakter yang efektif seharusnya memiliki orang-orang yang berperan
sebagai pemimpin (misalnya; Kepsek, guru senior, wali kelas, konselor dll) yang
memiliki kemapuan mumpuni dalam kempemimpinan.
10. Sekolah harus merekrut orangtua dan anggota masyarakat sebagai
patner penuh dalam upaya membangun karakter.
Sekolah
mampu menjalin hubungan dengan orangtua/masyarakat untuk mau terlibat dalam
pendidikan karakter terbukti memiliki kesanggupan yang besar dalam meningkatkan
peluangnya untuk berhasil bersama siswanya.
11. Evaluasi pendidikan karakter harus juga menilai karakter sekolah,
menilai fungsi sekolah sebagai pendidik karakter, sampai pada penilaian
terhadap bagaimana cara para siswa memanifestasikan karakter yang baik.
a.
Karakter
sekolah, harus dinilai tentang sejauh mana sekolah telah menjadi komunitas yang
peduli?. Hal ini dapat dinilai melalui suvei bertanya apakah semua siswa di
sekolah menghargai satu sama lain.
b.
Peranan staf
sekolah sebagai pendidik karakter dinilai dengan pertanyaan misalnya: Apakah
mereka memiliki kebiasaan yang konsisten dalam mengembangkan kapasitasnta
sebagai pendidik karakter?
c.
Karakter para
siswa; Apakah kehadiran siswa di sekolah meningkat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar