Senin, 12 Januari 2015

PENDIDIKAN KARAKTER (Model Pendidikan Karakter)



MODEL PENDIDIKAN KARAKTER

A.    Model Pendidikan Karakter yang Dilaksanakan di Barat
Praktik persekolahan di AS pendidikan karakter dilaksanakan dengan pendekatan holistik, artinya seluruh warga sekolah mulai guru, karyawan, dan para murid harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Pendekatan seperti ini disebut juga reformasi sekolah menyeluruh. Berikut ini beberapa gambaran penerapan model holistik dalam pendidikan karakter:
1.      Segala sesuatu yang ada di sekolah terorganisasikan di seputar hubungan antar siswa dan antara siswa dan guru beserta staf dan komunitas sekitarnya.
2.      Sekolah merupakan komunitas yang peduli dimana terdapat ikatan yang kuat dan menghubungkan siswa dengan guru, staf, dan sekolah.
3.      Pembelajaran sosial dan pembelajaran emosional juga dikembangkan sebagaimana pembelajaran ekademik.
4.      Kooperasi dan kolaborasi antar-siswa lebih ditekankan pengembangannya daripada kompetisi.
5.      Nilai-nilai seperti saling menghormati dan kejujuran adalah bagian dari pembelajaran setiap hari, baik di dalam maupun di luar kelas.
6.      Para siswa diberi keleluasaan untuk mempraktikkan perilaku moral melalui kegiatan pembelajaran untuk melayani (service learning).
7.      Disiplin kelas dan pengelolaan kelas dipusatkan pada pemecahan masalah daripada dipusatkan pada penghargaan dan hukuman.
8.      Model lama berupa pendekatan berbasis guru yang otoriter tidak pernah lagi diterapkan di ruang kelas, tetapi lebih dikembangkan suasana kelas yang demokratis di mana para guru dan siswa melaksanakan semacam pertemuan kelas untuk membangun kebersamaan, menegakkan norma-norma yang disepakati bersama, serta memecahkan persoalan bersama-sama.

Sementara di Inggris pelaksanaan pendidikan karakter dititikberatkan pada:
1.      Pembelajaran mental (berbasis otak) yang terdiri dari pengingatan fakta, secara konsisten menyimpan data terpilih tertentu dalam otak, seperti halnya cara kita menyimpan data di komputer.
2.      Pembelajaran jasmani melalui pengalaman langsung, melibatkan seluruh pancaindra, melibatkan hampir seluruh sistem saraf.
3.      Pembelajaran emosi dan sublimal (di bawah ambang persepsi sadar), melibatkan siswa untuk berpraktik langsung tentang bagaimana jika merasa gembira, takut, sedih, sayang/cinta, peduli, euforia,d an merasa gembira yang meluap-luap.

Pada pelaksanaan pendidikan karakter, sekolah-sekolah dapat berkomitmen untuk mengembangkan pendidikan karakter dengan cara:
1.      Menekankan pentingnya nilai-nilai adab yang dikembangkan oleh orang dewasa sebagai model dalam kelas, yang akan dicontoh oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Di sini guru sebagai model teladan, uswatun hasanah.
2.      Membentu siswa dalam memperjelas nilai-nilai yang seharusnya mereka miliki, membangung ikatan personal serta tanggung jawab di antara mereka.
3.      Menggunakan kurikulum tradisional sebagai wahana untuk mengajarkan nilai-nilai dan menguji pertanyaan terkait konteks moral.
4.      Meningkatkan dan mempertajam refleksi moral peserta didik melalui diskusi, debat, curah pendapat, dan jurnal-jurnal.
5.      Meningkatkan penerapan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari melalui pelayanan komponen sekolah (guru, siswa, guru BK, karyawan sekolah) terhadap masyarakat serta berbagai bentuk strategi pelibatan dalam masyarakat lainnya.
6.      Mendukung pembangunan guru dalam dimensi pengembangan moral dan pelaksanaan dialog antar-guru dalam konteks moral selama pelaksanaan tugasnya.

Menururt Schulman dan Melker bahwa ada tiga fondasi pengembangan moral, yaitu: (i) penghayatan atau internalisasi terhadap standar dari orangtua tentang yang benar dan salah, (ii) pengembangan sikap dan reaksi empati, dan (iii) pengembangan dan pemerolehan standar moral sendiri.
Terkait dengan fondasi pertama, apakah internalisasi standar dari orangtua tentang yang benar dan yang salah dapat dihayati oleh anak, sepenuhnya bergantung pada sikap dan perilaku orangtua sebagai teladan, sebagai uswatun hasanah. Orangtua, termsauk guru, harus benar-benar dapat menajdi contoh bagi anak, karena ia konsisten, istiqamah, dalam menjalankan apa-apa yang baik dan tidak menjalani apa-apa yang buruk.
Fondasi kedua adalah pengembangan rasa empati terhadap anak. Anak pada fitrahnya sudah memiliki rasa empati sejak dia lahir. Pembiasaan dan penciptaan ligkungan oleh orangtua-lah yang kemudian akan meningkatkan rasa empati itu.
Fondasi ketiga adalah pengembangan dan pemerolehan standar moral bagi anak itu sendiri. Paling akhir selayaknya kepekaan seseorang tentang apa-apa yang baik dan apa-apa yang salah harus bersemayam dalam diri anak dan menjadi milik anak itu sendiri. Dalam kaitan ini maka orangtua termasuk guru adalah memupuk rasa percaya diri anak agar selalu memegang teguh serta mengembangkan standar tentang yang baik dan yang buruk tersebut, sehingga dihayatinya sebagai perilakunya sehari-hari.

B.     Strategi dan Metodologi Pendidikan Karakter
a)      Strategi
1.      Strategi panduan (cheerleading)
Setiap bulan ditempel poster-poster, dipasang spanduk-spanduk, serta ditempel di papan khusus buletin, papan pengumuman tentang berbagai nilai kebajikan yang selalu berganti-ganti. Misalnya pemasangan spanduk/baliho dalam bentuk sajian malam kesenian, tontonan panggung, yang dipenuhi dengan slogan-slogan atau moto tentang karakter atau nilai.
2.      Strategi pujian dan hadiah (praise and reward)
Srategi ini berlandaskan pada pemikiran yang positif dan menerapkan penguatan positif. Strategi ini justru ingin menunjukkan anak yang sedang berbuat baik. Sayangnya strategi ni tidak berlangsung lama, karena jika semula yang terpilih adalah benar-benar anak yang tulus ingin berbuat baik, kemudian mendapatkan pujian dan hadiah.
3.      Strategi definisakan dan latihan (define and drill)
Strategi ini meminta pada siswa untuk mengingat-ingat sederet nilai kebaikan dan mendefnisaknnya.
4.      Strategi penegakan disiplin (forced formality)
Pada prinsipnya ingin menegakkan disiplin dan melakukan pembiasaan kepada siswa untuk secara rutin melakukan sesuatu yang bernilai moral. Misalnya mengucapkan salam kepada guru, bahkan di Indonesia ada sekolah yang memiliki slogan yang merupakan kewajiban bila bertemu guru yang disebut 4-S, yakni senyum, sapa, salam, salim.
5.      Strategi perangai bulain ini (traits of the month)
Pada hakikatnya menyerupai strategi cheerleading tetapi tidak hanya mengandalkan poster-poster, spanduk, juga menggunakan segala terkait dengan pendidikan karakter, misalnya pelatihan, introduksi oleh guru dalam kelas, sambutan kepala sekolah pada upacara, dan sebagainnya, yang difokuskan pada penguatan peragai tunggal yang telah disepakati.

Dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti kegiatan tim olah raga maka nilai sportivitas, mengikuti aturan main, kerjasama, keriangan, keberanianm dan kekompakan selalu muncul. Sedangkan klub kelompok ilmiah remaja dipupuk jiwa kuriositas (kepenasaran intelektual), kreatif, inovatif. Dalam klub palang merah remaja, dipupuk nilai kepedulian sosial, empati dan keberanian dsb. Dalam kegiatan pramuka, nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan anara lain:
1.      Melalui kegiatan luar ruang: akan membentuk karakter keberanian, kerja sama, patriotisme, memahami dan menghargai alam, saling menolong, melatih pertolongan menghadapi bencana, dan memupuk sikap peduli dan empati. Untuk kegiatan perkemahan di alam bebas, berdasarkan pengetahuan tentang angin, cuaca, flora dan fauna, memupuk kuriositas dan sikap perjuangan untuk bertahan hidup. Untuk kegiatan api unggun dalam perkemahan memupuk kebersamaan dalam menghargai seni dan budaya.
2.      Kegiatan dalam ruang: difokuskan pada pembentukan jiwa kepemipinan, manajemen dan memupuk jiwa kewirausahaan.
3.      Bernyanyi dan bertepuk tangan baik di dalam maupun di luar ruang meningkatkan keriangan dan semangat kehidupan yang dinamis.

b)     Metode
1.      Metode bercerita, mendongeng (telling story)
Metode ini pada hakikatnya sama dengan metode ceramah, tetapi guru lebih leluasa berimprovisasi. Misalnya melalui perubahan mimik, gerak tubuh, mengubah intonasi suara dsb. Jika perlu menggunakan alat bantu seperti bel kelinting, beberapa macam boneka (baik boneka manusia maupun boneka binatang), perangkat simulasi tempat duduk kecil-kecil dsb. Di tengah-tengah mendongeng para siswa boleh saja berkomentar/bertanya, tempat duduk pun dapat di atur bebas, bahkan duduk di lantai, karena suasananya memang dibuat santai. Hal yang penting guru harus membuat kesimpulan bersama siswa, karakter apa saja yang diperankan para tokoh protagonis yang dapatg ditiru oleh siswa, dan karakter para tokoh antagonis yang harus dihindari dan tidak di tiru para siswa.
Secara bervariasi para siswa bercerita, secara bergantian. Misalnya mereka bercerita tentang keindahan alam yang mereka jumpai pada saat bertamsya  ke luar kota di haru libur sekolah. Bisa juga anak-anak bercerita tentang cita-citanya serta alasan mengapa memilih cita-cita itu, berbagai nilai karakter akan muncul dalam kesempatan seperti itu.
2.      Metode diskusi dan berbagai variannya
Dalam pembelajaran umumnya diskusi terdiri dari 2 macam, diskusi kelas dan diskusi kelompok. Diskusi kelas umumnya dipimpin oleh guru, bentuk ini tepat bagi siswa SD keals IV-VI, dalam diskusi kelas karena guru dianggap punya kompetensi dan pengetahuan yang luas serta punya otoritas, maka arah diskusi tetap dapat dikendalikan. Sedangkan diskusi kelompok dapat berupa kelompok kecil yang anggoatanya 2-6 orang atau kelompok lebih besar, anggotanya mencapai 20 orang. Biasanya dilakukan bagi anak SMP dan SMA/SMK.
a.       Sebelum diskusi dimulai guru mengemukakan masalah terkait pendidikan karakter yang akan didiskusikan dan meberikan pengarahan seperlunya tentang cara-cara memecahkannya. Sesuai dengan jmlah siswa yang ada serta jumlah jam yang tersedia guru membentuk kelompok-kelompok diskusi.
b.      Bagi siswa SMP dan SMA/SMK ketua diskusi sudah dapat diserahkan kepada siswa. Pilihlah siswa yang cukup disegani oleh kawan-kawan sekelasnya dalam kelompok masing-masing. Siswa tersebut tidak hanya dianggap pandai dan cerdas, tetapi pilih juga yang lancar berbicara, dan dapat membuat keputusan.
c.       Siswa yang dipilih sebagai ketua diskusi bertugas: membuka dan menutup diskusi, mengatur dan mengendalikan arah hasil diskusi, mengatur lalu-lintas pembicaraan, penengah dan penyimpul hasil diskusi, memberi kesempatan kepada semua anggota diskusi untuk bertanya/mengajukan gagasannya, serta memotivasi anggota kelompoknya untuk tidak segan-segan berbicara.
d.      Selam diskusi berlangsung guru berkeliling dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain, mengamati jalannya diskusi keaktifan siswa, arah diskusi dan sebagainya, menjaga ketertiban agar tidak terlalu gaduh karena akan mengganggu kelas yang lain.

Berikut ini sejumlah varian dari metode diskusi/diskusi kelompok yang dapat diterapkan dalam pendidikan karakter, antara lain adalah:
a.       Buzz group
Suatu kelompok besar (dapat berupa kelas) dibagi lagi menjadi kelompok kecil-kecil, masing-masing terdiri dari 3-6 orang dalm waktu yang singkat untuk mendiskusikan suatu topik dari suatu permasalahan.
Pada pelaksanaannya tempat duduk diatur sedemikian rupa agar siswa dapat saling bertatap muka dan berbagi pendapat dengan mudah. Biasanya dilaksanakan di tengah-tengah pembelajaran/di akhir pembelajaran dengan maksud menajamkan dan mendalami kerangka bahan ajar/memperjeals bahan pelajaran/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guru.
Misalnya pelajaran biologi terkait terjadi akibat pemanasan global, yang pada hakikatnya terjadi akibat karakter negatif manusia yang tidak menghargai lingkungan dengan menebang hutan semena-mena.

b.      Panel dan diskusi panel
Suatu kelompok kecil biasanya 3-6 orang, mendiskusikan suatu subjek tertentu, duduk dalam suatu susunan semi melingkar, dipimpin oleh seorang moderator. pada panel murni audience tidak ikut terlibat, pada diskusi panel atau penel forum, audience dapat terlibat dalam diskusi, setelah dipersilahkan oleh moderator.

c.       Kelompok sindikat
Suatu kelompok besar (keals) dibagi lagi menjadi beberapa kelompok kecil seperti pada buzz group. Bedanya, masing-masing kelompok kecil mendiskusikan suatu tugas tertentu yang berbeda-beda antar kelompok kecil.
Guru menjelaskan tema umum tentang masalah, menggambarkan aspek-aspek maslah tersebut, setiap kelompok membahas hanya satu aspke, guru menyediakan referensi/sumber informasi.
Setiap kelompok sindikat berdiskusi sendiri-sendiri, pada akhir diskusi disampaikan laporan setiap sindikat dan selanjutnya di bawa ke pleno (sidang umum) untuk dibahas lebih lanjut sehingga seluruh aspek dari tema masalah terselesaikan.
Contohnya, bagaimana memberikan bantuan kepada korban bencana alam. Kelompok kecil dibagi dengan tugas masing-masing, misalnya berdiskusi tentang bagaimana mengumpulkan bantuan, yang lainnya macam-macam bantuan yang dapat diebrikan, kelompok lainnya tentang bagaimana cara memberikan bantuannya, bagaimana persiapan logistik dll.

d.      Curah pendapat
Kelompok menyumbang ide baru, tanpa harus dievaluasi layak tidaknya, benar atau tidaknya,relevan atau tidaknya ide tersebut. Setiap kelompok wajib menyuarakan gagasannya yang dicatat oleh seorang notulis. Setiap kelompok dipimpin seorang moderator.
Panitia perumus/panitia pengarah yang akan memilih dan melihat ide mana yag baik, yang relevan dan terkait dengan masalah yang akan diselesaikan bersama. Contohnya di tv one.

e.       Model mangkuk ikan, model akuarium
Sejumlah peserta dipimpin seorang moderator/ketua mengadakan diskusi untuk mengambil suatu keputusan. Tempat duduk diatur merupakan bentuk setengah lingkaran dengan 2 atau 3 kursi kosong menghadap peserta diskusi. Ini adalah tempat duduk para pembicara para fish.
Model fishbowl hanya cocok bagi siswa SMA/SMK atau mahasiswa perguruan tinggi. Misalnya, permasalahan bagaimana menanggulangi korupsi yang telah meladna bangsa Indonesia.

3.      Metode simulasi (bermain peran/role playing dan sosiodrama)
Tujuannya agar peserta didik memeproleh keterampilan tetentu, baik yang bersifat profesional maupun yang berguna bagi kehidupan sehari-hari. Dapat pula ditujukan utnuk memperoleh pemahaman untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan pendidikan karakter. Langkah-langkah permainan simulasi umumnya terdiri dari:
a.       Penentuan tema dan tujuan permainan simulasi.
b.      Menentukan bentuk simulasi berupa bermain peran, psikodrma/sosiodrama.
c.       Guru sebagai sutradara, memberi gambaran secara garis besar kepada siswa situasi yang akan disimulasikan.
d.      Guru menunjuk siapa berperan menjadi apa/sebagai siapa.
e.       Guru memberi waktu kepada para pemeran untuk mempersiapkan diri, untuk meminta keterangan kepada guru jika kurang jelas tentang perannya.
f.       Melaksanakan simulasi pada waktu dan tempat yang telah ditentukan.
g.      Karena ini permaina, guru boleh nimbrung memberi saran perbaikan dan nasihat yang berharga bagi siswa selama permainan berlangsung.
h.      Penilaian baik dari guru/kawan sekelas serta pemberian umpan balik.
i.        Latihan ulang demi kesempurnaan simulasi.

Beberapa tema yang dapat dijadikan permainan simulasi dalam pendidikan karakter, antara lain:
-          Melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K)
-          Bagaimana bergotongroyong untuk membangun tempat peribadatan di kampung.
-          Melakukan pertolongan bagi korban gimpa bumi/koban bencana banjir
-          Pada anak SD kelas I pada saat pembelajaran tematik dengan tema keluargaku dapat dilakuakn simulasi siapa berperan sebagai kakek, nenek, ibu, ayah, kakak, dan adik. Esensi temanya adalah seorang kakek sedang berupaya menasehati cucunya agar berperilaku baik dan jujur.

C.    Pendidikan Karakter yang Efektif
Agar pelaksanaan pendidikan kaakter berjalan efektif Lickona, Schaps dan Lewis telah mengembangkan 11 prinsip untuk pendidikan karakater yang efektif
1.      Pendidikan karakter harus mempromosikan nilai-niulai etik inti sebagai landasan bagi pembentukan karakter yang baik.
Pendidikan karakter berpegang pada nilai-nilai yang disebarkan secara meluas, yang amat penting, dan berlandaskan karakter mulia, yang disebut “nilai inti”, misalnya kepedulian, kejujuran, pertanggungjawaban pada diri sendiri dll. Seluruh warga sekolah bertanggung jawab dalam mewujudkan nilai-nilai tersebut sebagai standar perilakunya.

2.      Karakter harus dipahami secara komperhensif termasuk dalam pemikiran, perasaan dan perilaku.
Impelementasi karakter yang baik meliputi pemahaman, kepedulian, dan tindakan yang dilandasi nilai-nilai etik inti. Pendekatan holistik dalam pembangunan karakter dilandasi dengan pengembangan aspek-aspek kognitif, emosional,d an perilaku dari kehidupan moral.
Para siswa tumbuh dan memahami nilai-nilai inti tersebut dengan cara mempelajarinya dan mendiskusikannya, mengamati model perilaku, dan memecahkan masalah yang bekaitan dengan nilai-nilai. Yang terpenting, siswa belajar untuk peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkannya (empati, saling peduli, mendengarkan kisah-kisah yang mnenarik dll).

3.      Pendidikan karakter yang efektif memerlukan pendekatan yang sungguh-sungguh dan proaktif serta mempromosikan nilai-nilai inti pada semua fase kehidupn sekolah.
Sekolah berkomitmen untuk mengembangkan karakter wajib melihat dirinya sendiri dengan kacamata moral untuk menilai bagaimana segala sesuatu yang ada di sekolah dapat memberikan dampak pada karakter siswa. Dalam kaitan ini termasuk apa yang sering disebut “kurikulum tersembunyi” misalnya upacara bendera sebagai model, hubungan siswa dengan guru.

4.      Sekolah harus menjadi komunitas yang peduli.
Sekolah berkomitmen pada pengembangan karakter harus berupaya menjadi suatu masyarakat mikrokosmos yang peduli dan adil. Hubungan kepedulian ini dapat membangkitkan baik niat untuk belajar, maupun niat menjadi orang yang berperilaku baik.

5.      Menyediakan bagi para siswa untuk melakukan tindakan bermoral.
Dalam ranah etik maupun ranah intelektual, para siswa adalah pembelajar yang konstruktif, mereka belajar baik dengan melakukan sesuatu. Menerapakan berbagai nilai seperti rasa iba, bertanggung jawab, dan kejujuran serta keadilan dalam interaksi dan diskusi setiap hari.

6.      Pendidikan karakter yang efektif harus dilengkapi dengan kurikulum ekedemis yang bermakna dan menantang, yang menghargai semua pembelajar dan membantu mereka untuk mencapai sukses.
Setiap siswa datang ke sekolah dengan keterampilan, minat, dan kebutuhan yang berbeda-beda, maka program akademik yang dirancang untuk membantu siswa agar berhasil hedaknya harus menjadi suatu program yang membangun keterikatan seluruh siswa.


7.      Pendidikan karakter harus secara nyata berupaya mengembangkan motivasi pribadi siswa.
Misalnya menghormati hak-hak dan kebutuhan orang lain bukan karena takut terhadap hukuman dan keinginan menerima penghargaan. Hal semcam ini dapat terjadi karena keyakinan terdalam yang hadir dalam diri siswa adalah bahwa berbuat baik itu bagus, sehingga ada keinginan yang timbul dari dalam hatinya untuk menjadi orang yang baik.

8.      Seluruh staf sekola harus menjadi komunitas belajar dan komunitas moral yang semuanya salingberbagi tanggung jawab bagi berlangsungnya pendidikan karakter, dan berupaya untuk mengembangkan nilai-nilai yang sama yang menjadi panduan pendidikan karakter bagi para siswa.
Seluruh warga sekolah terlibat dalam pembelajaran, ikut berdiskusi, dan mengambil perannya masing-masing dalam upaya pendidikan karakter, Pertama kali harus menunjukkan tanggung jawabnya dalam perilakunya dan memberikan pengaruh terhadap siswa.

9.      Implementasi pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan moral yang diperlukan bagi staf sekolah maupun para siswa.
Mengembangkan pendidikan karakter yang efektif seharusnya memiliki orang-orang yang berperan sebagai pemimpin (misalnya; Kepsek, guru senior, wali kelas, konselor dll) yang memiliki kemapuan mumpuni dalam kempemimpinan.

10.  Sekolah harus merekrut orangtua dan anggota masyarakat sebagai patner penuh dalam upaya membangun karakter.
Sekolah mampu menjalin hubungan dengan orangtua/masyarakat untuk mau terlibat dalam pendidikan karakter terbukti memiliki kesanggupan yang besar dalam meningkatkan peluangnya untuk berhasil bersama siswanya.

11.  Evaluasi pendidikan karakter harus juga menilai karakter sekolah, menilai fungsi sekolah sebagai pendidik karakter, sampai pada penilaian terhadap bagaimana cara para siswa memanifestasikan karakter yang baik.
a.       Karakter sekolah, harus dinilai tentang sejauh mana sekolah telah menjadi komunitas yang peduli?. Hal ini dapat dinilai melalui suvei bertanya apakah semua siswa di sekolah menghargai satu sama lain.
b.      Peranan staf sekolah sebagai pendidik karakter dinilai dengan pertanyaan misalnya: Apakah mereka memiliki kebiasaan yang konsisten dalam mengembangkan kapasitasnta sebagai pendidik karakter?
c.       Karakter para siswa; Apakah kehadiran siswa di sekolah meningkat?