Selasa, 14 Oktober 2014

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN (Perkembangan Manusia)

PERKEMBANGAN MANUSIA

A.      Prinsip-prinsip Perkembangan
1.       Batasan Perkembangan
Menurut Baltes (1988), psikologi perkembangan berkaitan dengan perubahan-perubahan perilaku dalam diri seseorang sepanjang  rentang kehidupannya, serta kebaikan dengan perbedaan dan kemiripan di antara orang-orang dalam sifat perubahan tersebut. Kita ambil saja contohnya perkembangan bicara pada anak. Kemampuan bicara bukanlah sesuatu yang mucul secara tiba-tiba. Kemampuan ini diperoleh melalui perkembangan yang bertahap, mulai dari membuat bunyi-bunyi suara, misalnya “ooo….uuu”; berceloteh, misalnya “cacaca….tatata”; berbicara dengan satu kata, misalnya “mama….papa” hingga berbicara dengan dua sampai banyak kata.
Psikologi perkembangan tidak hanya bertujuan untuk menggambarkan perubahan-perubahan yang terjadi di dakam diri individu dan perbedaan-perbedaan antarindividu, tetapi juga bertujuan untuk menjelaskan bagaimana hal itu dapat terjadi menemukan cara untuk memodifikasi perilaku dengan cara yang optimal. Kembali pada contoh berbicara, kita tidak hanya menggambarkan bagaimana perkembangan bicara anak dapat berbeda dengan yang lain, tetapi juga menjelaskan mengapa anak yang satu lebih cepat kemampuan bicaranya daripada anak yang lain. Kemudian mencari cara untuk mengatasi keterlambatannya dengan segera, misalnya mengikuti terapi bicara.
2.       Prinsip-prinsip Perkembangan
a)      Development is Lifelong: proses perubahan sepanjang hidup dalam kemampuan seseorang untuk beradaptasi terhadap situasi-situasi yang dihadapinya. Contohnya, pada waktu bayi, seseorang akan mengkomunikasikan kebutuhannya akan makan dengan cara menangis. Ketika anak suda bisa berbicara, ia akan mengkomunikasikan melalui kata-kata.
b)      Development Involves Both Gain and Loss: Perkembangan berlangsung dalam banyak dimensi. Maksudnya, perkembangan terjadi pada dimensi biologis, psikologis, dan sosial, bahkan beberapa dimensi dapat saling berinteraksi dan mungkin berkembang dalam derajat yang bervariasi, misalnya anak yang bertubuh atletis mungkin akan meras bangga, percaya diri, dan populer di antara teman-temannya.
c)       Relative Influences of Biology and Culture Shift Over the Life Span: Proses perkembangan dipengaruhi oleh faktor biologis dan budaya. Keseimbangan di antara tersebut berubah sepanjang waktu. Pengaruh biologis, seperti otot dan tulang yang belum matang, mungkin menghambat seorang bayi untuk bisa mandiri. Namun budaya yang ada, seperti tuntutan pengasuhan dari orangtua untuk anak yang masih kecil, membuat bayi tersebut tetap dapat melangsungkan kehidupannya.
d)      Development Involes a Changing Allocation of Resources: Tidak ada seorang pun manusia super dapat melakukan semua hal. Individu masih memilih untuk mengalokasikan sumber-sumber yang ada, seperti waktu, energi, uang, dan dukungan sosial dalam cara yang beragam.
·         Sumber-sumber tersebut mungkin digunakan untuk pertumbuhan. Contohnya, seseorang mungkin menggunakan waktu dan uang yang dimilikinya untuk belajar komputer.
·         Sumber tersebut digunakan untuk memelihara/memperbaiki diri. Contohnya, seseorang yang belajar bermain piano supaya bakat musiknya tidak hilang/seseorang menggunakan waktunya untuk mengikuti kursus bahasa Prancis.
·         Sumber-sumber tersebut dipakai untuk menghadapi penurunan/kehilangan dari sumber-sumber yang lain apabila pemeliharaan dan perbaikan tidak lagi dimungkinkan. Contohnya, ketika seseorang merasa tidak lagi semampu masa-masa sebelumnya, baik secara fisik maupun finansial, dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya mungkin menjadi sesuatu yang diperlukan.
e)      Development is Modifiable: Sepanjang hidup, perkemabangan menunjukkan fleksibelitas. Anak-anak yang sebelumnya mengalami kesulitan untuk membaca dan menulis, dapat dilatih dengan mengikuti program remidial. Kemampuan daya ingat, kekuatan, dan daya tahan, secara signifikan dapat ditingkatkan melalui latihan dan praktik.
f)       Development is Influenced by the Historical and Cultural Context: Setiap orang berkembang dalam banyak konteks, seperti konteks keluarga, sekolah, dan budaya. Konteks tersebut akan berpengaruh pada kehidupan seorang anak. Contohnya, anak yang diasuh dalam keluarga yang demokratis mungkin akan berkembang menajadi anak yang penuh inisiatif di lingkungan teman-temannya. Sejarah masa lalu juga akan mempengaruhi perkembangan seorang anak. Anak yang punya pengalaman dianiaya pada masa kecilnya mungkin akan berkembang menjadi pribadi yang tidak mudah percaya kepada orang lain setelah ia tumbuh dewasa.



3.       Periode Rentang Kehidupan
Konsep pembagian rentang kehidupan ke dalam sejumlah periode merupakan sebuah konstruksi sosial, artinya pembagian tersebut merupakan sebuah konstruksi sosial, artinya pembagian tersebut merupakan sebuah gagasan yang secara luas diterima oleh anggota masyarakat bahwa terdapat sejumlah karakteristik yang khas pada waktu tertentu dilihat dari oerseosi dan asumsi subjektif. Dalam kenyataannya, sehari-hari mengalir terus dari tahun ke tahun tanpa ada perbedaan, kecuali kesan perbedaan yang dibuat oleh seseorang. Jika ditelaah lebih lanjut, tidak akan ada waktu yang dapat didefinisikan secara objektif tentang kapan seorang anak menjadi orang dewasa/orang dewasa menjadi tua.
Pasa masa lalu, anak sering dipandang dan diperlakukan seperti orang dewasa mini. Sekarang pun dalam banyak negara berkembang, anak-anak sering bekerja berdampingan dengan orang yang lebih tua. Mereka bahkan melakukan jenis pekerjaan yang sama untuk lama jam kerja yang sama pula.

B.      Isu dan Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
1.       Herediter, lingkungan, dan Kematangan
Pertama-tama yang mempengaruhi perkembangan seorang anak adalah faktor herediter/keturunan. Selanjutnya, pengaruh yang lain datang secara luas dari lingkungan dalam (inner) dan lingkungan luar (outer), yaitu dunia di luar diri seseorang mulai dalam rahim hingga pembelajaran yang berasal dari pengalaman.
Perbedaan individual meningkat sejalan dengan pertambahan usia. Banyak perubahan yang khas pada bayi dan anak-anak awal yang tampak terikat pada kematangan tubuh dan otak, seperti urutan moraldari perubahan fisik dan pola-pola perilaku, termasuk di dalamnya kesiapan untuk menguasai kemampuan baru seperti berjalan dan berbicara. Sejalan anak tumbuh menjadi remaja dan dewasa, perbedaan dalam karakteristik bawaan dan pengalaman hidup memainkan peran yang lebih besar.
2.       Pengaruh Kontekstual Umum
·         Kekuarga
Ada 2 bentuk keluarga yang umum ditentukan. Keluarga inti: dapat diartikan sebagai unit rumah tangga, ekonomi, dan hubungan dua generasi yang terdiri dari satu atau dua orang dengan anak biologis, anak adopsi, atau anak tiri (dominan dalam masyarakat). Keluarga besar: merupakan jaringan hubungan multigenerasi yang terdiri dari kakek-nenek, paman-bibi, sepupu, dan saudara-saudara yang lebih jauh hubungannya (pola tradisonal dari organisasi masyarakat).
·         Status sosial-ekonomi dan lingkungan tempat tinggal
Status sosial-ekonomi berkaitan dengan beberapa faktor yang berhubungan, seperti faktor penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan. Berbagai proses perkembanga, misalnya perbedaan dalam interaksi antara ibu dan anak – hasil perkembangan – misalnya, kesehatan dan kemampuan berpikir seorang anak – sering pula dihubungkan dengan status tersebut.
Secara umum, status sosial-ekonomi tidaklah mempengaruhi hasil perkembangan. Hasil perkembangan lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan status sosial-ekonomi, seperti jenis rumah dan lingkungan tempat orang tinggal, kualitas nutrisi dan kesehatam, pengawasan, sekolah, dan kesempatan-kesempatan lain yang tersedia untuk anak. Anak yang miskin contohnya, lebih mungkin daripada anak yang kaya untuk mempunyai masalah emosional dan tingkah laku serta memiliki kognitif performa sekolah yang lebih buruk.
Dampak yang dihasilkan oleh kemiskinan mungkin tidak bersifat langsung, tetapi diperoleh melalui pengaruhnya pada keadaan emosional orangtua, praktik pengasuhan, dan pada suasana rumah yang mereka ciptakan.
·         Budaya dan kelompok etnis
Budaya mengacu pada keseluruhan cara hidup dari masyarakat/kelompok meliputi adat, tradisi,. keyakinan, nilai, bahasa, dan produk-produk fisik dari alat hingga karya seni. Semua tingkah laku yang dipelajari diwariskan dari orangtua kepada anak. Bduaya secara konstan berubah. Perubahan ini sering terjadi karena adanya kontak dengan budaya lain. Contohnya budaya Eropa sampai ke tanah Asia.
Beberapa budaya memiliki subbudaya yang beragam, yang dihubungkan dengan kompok tertentu, biasanya kelompok etnik. Kelompok etnik terdiri dari orang-orang yang dipersatukan oleh keturunan/nenek moyang, agama, bahasa, dan oleh asal kebangsaan, yang memberi sumbangan pada perasaan berbagai identitas serta sebagai sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai di antara mereka. Kebayakan kelompok etnik memiliki budaya universal yang berlanjut mempengaruhi cara hidup mereka.
Masyarakat di kota-kota besar umumnya terdiri dari berbagai kelompok etnik. Dalam masyarakat yang luas dan multietnik, kelompok pendatang akan beradaptasi dengan budaya yang dominan dalam masyarakat tersebut dengan cara belajar bahasa dan adat yang dibutuhkan dalam pergaulan. Di lain sisi, kelompom terpandang tetap berusaha untuk mempertahankan beberapa praktik dan nilai budaya memiliknya sendiri. Pola-pola budaya ini mungkin akan mempengaruhi komposisi dalam rumah tangga, sumber ekonomi dan sosial, cara anggota keluarga bertindak satu sama lain, makanan yang mereka makan, permainan yang anak mainkan, cara mereka belajar, dan sebarapa baik prestasi anak di sekolah.
·         Konteks historis
Konteks historis merupakan waktu ketika seseorang tumbuh meliputi bagaimana pengalaman tertentu mempengaruhi jalan hidup seseorang.
3.       Pengaruh Normatif dan Nonnormatif
Kejadian/pengaruh yang dialami dalam cara serupaoleh kebanyakan orang dalam kelompok disebut pengaruh normatif. Pengaruh normatif dibagi menjadi normatif berdasarkan usia dan normatif berdasarkan sejarah. Pengaruh normatif berdasarkan usia: penagruh yang umumnya dirasakan oleh orang-orang dalam kelompok umur tertentu. Pengaruh ini meliputi kejadian-kejadian biologis, seperti pubertas dan menopause, dan kejadian-kejadian sosial, seperti usia ketika pertama kali masuk sekolah formal, menikah, menjadi orangtua, dan pensiun.
Pengaruh normatif berdasarkan sejarah: pengaruh yang dipandang normal untuk kohort. Kohort merupakan kelompok orang-orang yang lahir di sekitar waktu yang sama. Kohort tergantung kapan dan di mana mereka tinggal. Seluruh generasi merasakan adanya pengaruh dari kemakmuran ekonomi, resesi, perang, kritis makanan, bencana alam, ledakan nuklir,  dan pengaruh perkembangan budaya dan teknologi, seperti perubahan peran wanita dan pengaruh televisi dan komputer.
Pengaruh nonformatif: kejadian-kejadian yang luar biasa yang mempunyai pengaruh besar pada kehidupan individu. Pengaruh ini meliputi kejadian umum yang terjadi pada waktu yang tidak umum, seperti menikah di usia belasan atau kematian orangtua ketika anak masih kecil, dan kejadian-kejadian yang tidak umum, seperti memiliki cacat lahir atau mengalami serangan terorisyang bertubi-tubi.
4.       Pengaruh Waktu: Periode Sensitif atau Kritis

Periode kritis: waktu tertentu ketika kejadian mencul/ketidakhadiran suatu kejadian mempunyai pengaruh khusus pada perkembangan seseorang. Contohnya, jika ibu hamil memakan obat-obatan/mengalami penyakit pada waktu kehamilan, bayinya mungkin akan menunjukkan dampak penyakit tertentu, tergantung pada sifat penyakit dan waktu terjadi. Contoh lain, seorang anak kurang mendapatkan pengalaman tertentu selama periode kritis dapat menunjukkan hambatan dalam perkembangannya.

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN (Sejarah dan Proses Perkembangan)

SEJARAH, PENGERTIAN, DAN PROSES PERKEMBANGAN

A.      Sejarah
Pengetahuan tentang anak sudah lama dikenal. Pada zaman Romawi dan Yunani sudah ada para ahli memperhatikan pendidikan anak, walaupun pada zaman itu anak belum dipandang sebagai bentuk manusia yang tersendiri. Pada masa itu sejak kecil anak-anak sudah ikutsertakan bekerja bersama-sama orang dewasa lainnya.
Psikologi merupakkan hasil intropekksi dan bagian dari filsafat. Pada abad ke-4 SM, ± tahun 387 SM, Plato (427-347)/murid Socrates mendirikan sekolah filsafat yang bernama Akademi. Ia berpendapat “Jiwa manusia terbagi atas jiwa badaniah dan rohaniah. Jika badaniah akan gugur bersama-sama dengan raga manusianya, jiwa rohaniah tidak pernah berakhir atau dengan kata lain bersifat abadi. Jiwa rohaniah bertumpu pada rasio dan logika, dan merupakan bagian jiwa yang tertinggi”.
Aristoteles (384-322) berpendapat bahwa “Semua makhluk hidup mempunyai jiwa termasuk manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Setiap benda jasmani mempunyai bantuk dan materi seperti halnya realita yang kita lihat. Bentuk ialah prinsip yang menentukan, sedang materi mempunyai kemungkinan untuk menerima bentuk”.
J.A. Comenius (1592-1671), para pendidik sudah mulai memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki setiap anak. Ia mengatakan bahwa “Anak tidak boleh dianggap sebagai orang dewasa yang bertunuh kecil. Dalam bukunya, ia menganjurkan agar pengajaran dapat menarik perhatian anak dan harus diragakan supaya anak-anak dapat mengamati, menyelidiki, dan mengalaminya sendiri”.
Pada abad ke-18, Jean Jacque Rousseau (1712-1778), pendidik dan filsuf kenamaan pada zamannya. Ia menguraikan pikiran-pikirannya tentang pendidikan anak yang mengatakan “Segala-galanya adalah baik sebagaimana keluar dari tangan tangan Sang Pencipta, segala-galanya memburuk dalam tangan manusia”. Maksudnya, apa-apa yang diperoleh anak menurut alamnya selalu dipandang yang terbaik baginya, tetapi keasliannya akan menjadi rusak bila ditangani manusia. Campur tangan manusia dapat merusak perkembangan anak itu sendiri. Oleh karenanya pendidik perlu membekali dirinya dengan pengetahuan tentang kejiwaan anak didiknya. Pendidik harus memahami jiwa anak didiknya, dapat menunjang upaya pendidikan dalam usaha mencapai tujuan yang lebih baik.
J.P. Pestalozzi (1746-1827)/sebagai pendidik yang sangat memperhatikan pendidikan anak dan pendidik sosial. Ia ingin meningkatkan pendidikan di masyarakat dengan cara mengutamakan pendidikan bagi anak-anak. Ia menganjurkan agar pendidikan yang diberikan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Pelajaran didasari pada pengalaman, dimulai dari tingkat yang mudah mengarah kepada tingkat yang lebih sulit.
F. Frobel (1782-1852)/pendidik yang memperhatikan pada kehidupan anak-anak. Ia mendirikan taman kanak-kanak di Blankenburg. TK adalah tempat bagi anak-anak bermain, bernyanyi, dan mengerjakan pekerjaan tangan bersama-sama. TK juga dipandang sebagai tempat anak melatih daya cipta dengan menggunakan alat-alat permainan.
Dietrich Tiedeman (1787)/seorang tabib bangsa Jerman yang memperkenalkan hasil penelitiannya terhadap perkembangan anaknya sendiri. Ia merupakan perintis yang memperjuangkan agar kelak psikologi anak dapat diakui berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya yang telah diakui terlebih dahulu.
Dasar-dasar pemikiran psikologi anak dikokohkan lagi oleh Prayer setelah menulis bukunya “Die Seele des Kindes”. Buku tersebut menjadi bahan untuk perkembangan psikologi anak, sehingga pada akhir abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 psikologi mengalami kemajuan yang pesat. Ia menekankan pada perkembangan motorik, bahasa, ingatan, dan perkembangan kemauannya. Semua aspek tersebut dipelajarinya secara saksama dengan menggunakan metode observasi dan eksperimen. Berkat jasanya, ia dianugerahi sebagai bapak psikologi anak.
Pada tahun 1880 dikenal pedologi. Ia berasal dari kata “paedos dan logos” yang mempunyai arti “anak dan ilmu pengetahuan”. Paedologi adalah ilmu tentang anak. Dalam bidang pendidikan, paedologi terdapat di bidang kedokteran. Psikologi anak bagian dari paedologi karena mempelajari perkemabangan jasmani dan rohani, pengaruh lingkungan, serta pengaruh keturunan.

B.      Pengertian dan Kedudukan Psikologi
Psikologi berasal dari kata psyche dan logos yang artinya “jiwa dan ilmu”. Psikologi adalah ilmu yang menyelidiki dan membahas tentang perbuatan dan tingkah laku manusia. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku sebenarnya terdiri dari sejumlah ilmu pengetahuan yang tergabung dalam psychological sciences. Sebagai kelompok scinces termuda, dan psikologi berada dibawah pengaruh filsafat. Pada akhir abad ke-19, dengan perjuangan Wilhelm Wundt (1875), psikologi berdiri sejajar dengan ilmu-ilmu yang lainnya.
Kelompok pengetahuan psikologi terdiri atas psikologi umum, psikologi pendidikan, psikologi belajar, psikologi dalam, psikologi perkembangan, psikologi kesehatan mental. Psikologi perkembangan dapat dibag-bagi, misalnya psikologi anak, psikologi remaja, dan psikologi orang dewasa.
Kata perkembangan berasal dari biologi, kemudian pada abad ke-20 kata perkembangan dipergunakan oleh psikologi. Psikologi perkembangan membahas perkembangan rohani sejak manusia lahir sampai ia menjadi dewasa. Dalam perjalanan hidupnya menjadi dewasa, perkembangan rohani tidak lepas dari pengaruh keturunan dan pengaruh dunia lingkungan tempat seseorang hidup dan dibesarkan.
Lester D. Crow dan Arthur T.Jerslid mengemukakan tentang perkembangan rohani yang lebih dini yaitu perkembangan sebelum lahir. Mereka menyebut masa itu dengan prenatal/masa konsepsi; membahas masa-masa perkembangan satu-persatu dari masa bayi sampai dengan masa remaja.




C.      Proses Perkembangan
Dalam proses perkembangan rohani, terjadi perubahan secara terus-menerus, tetapi perkembangan meruapakan satu-kesatuan. Di antara masa-masa perkembangan itu adalah masa bayi, masa anak-anak, dan masa dewasa. Sudah ada ahli mengemukakan tentang masa sebelum bayi. Prof. Arthut T. Jersild mengemukakan tentang masa mengandung dan masa kelahiran:
1.       Masa Mengandung
Sel-sel sperma dibuat dalam testis pria. Pembuatannya ketika anak laki-laki memasuki masa pubertas. Ketika bersenggama, sperma dilepas dari pri ke wanita. Ketika sperma berhasil masuk, kemudian berenang ke pusat telur yang dimasukinya, dan bercampur membentuk sel yang disebut zigot. Kira-kira 30 jam sesudah pembuahan, zigot membelah diri menjadi 2 dan 20 jam kemudian membelah diri menjadi 4. Kelompok-kelompok sel-sel kecil ini bergerak di sepanjang saluran telur ke rahim dan melekat pada dinding rahim. Sel-sel meneruskan pembelahan dirinya; sebagian sel-sel berkembang menjadi tali pusat. Tali pusat dihubungkan dengan placenta, organ khusus yang memberi janin zat-zat makanan dan oksigen dari aliran darah ibu. Pada minggu ke-12 setelah kehamilan, janin terus berkembang menjadi bayi yang panjangnya lebih kurang 7 cm dan sudah memiliki semua bagian utama seorang bayi. Sekitar bulan ke-6 biasanya bayi membalikkan kepalanya ke bawah dan akhir bulan ke-9 bayi itu siap lahir.
Masa mengandung menghadapi berbagai masalah yang bersifat khusus yang erat kaitannya dengan keseluruhan cara hidup wanita. Bahkan masa hamil dapat merupakan suatu pengalaman yang menegangkan dan mendebarkan hati. Dalam berbagai lingkungan kebudayaan terdapat kepercayaan terhadap tahayul yang suka dihubung-hubungkan dengan masa mengandung. Tahayul merupakan kepercayaan yang tidak ada dasarnya, tetapi tidak dapat kita sangsikan kebenarannya, seperti memperlihatkan keinginan yang aneh-aneh dan meminta hal-hal yang kurang masuk akal. Untuk mengatasinya orangtua menasehatinya agar calon ibu dan ayah lebih waspada akan tindak-tanduknya, misalnya jangan vervuat jahat walaupun terhadap makhluk lain karena kegemaran menyiksa binatang selalu dihubung-hubungkan dengan kelahiran bayi yang cacat.

2.       Masa Kelahiran
Ada persiapan yang perlu dilakukan untuk menyambut masa kelahiran; menyediakan alat bantu yang mungkin diperlukan jika terjadi gangguan pernapasan, karena paru-paru harus mulai bekerja untuk memberi oksigen kepada darahnya, mengatur temperatur tubuh setelah lahir agar tidak jauh berbeda dengan keadaannya dalam kandungan. Perlu dicatat ciri-ciri bayi; berat, panjang, dan bentuk rambutnya.
Bayi makhluk kecil yang tidak berdaya kelangsungan hidupnya bergantung pada belas kasihan dan pertolongan orang lain. Untuk kelangsungan hidup, alam membekali 2 kepandaian yang disebut insting; insting menghisap dan insting menangis. Selam 24 jam setelah dilahirkan, ia belum membutuhkan makanan. Tubuh memperoleh tenaga dari makanan, tetapi harus dibakar dahulu agar menghasilkan tenaga. Apabila bayi itu cukup sehat, beberapa jam setelah dilahirkan seolah-olah siap untuk menerima makanan yang akan diberikan kepadanya. Bibirnya tampak bergerak-gerak untuk menghisap. Kepandaian itu diperoleh dari alam. Isnting adalah kemampuan bertindak tepat, tanpa dipelajari, dibekali oleh alam.
Maturuty adalah suatu proses perkembangan ketika seseorang mengalami kematangan sebelum ia memasuki masa kedewasaannya. Kematangan fungsu jasmaniah akan mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi kejiwaan. Dalam ajaran Islam kita mengenal akil-balig: batas usia dari masa anak ke masa dewasa. Manusia sudah berada dalam masa akil-balig; sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang halal dan yang haram, dan mereka dibebani tanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Status keyatiman seorang anak akan berakhir apabila ia telah memasuki usia balig. Untuk mengetahui saat anak sudah balig dapat diamati tanda-tanda berikut:
v  Anak laki-laki mengeluarkan sperma, terutama dalam keadaan ia sedang bermimpi. Anak perempuan mengalami menstruasi.
v  Sebagian ulama berpendapat, anak dianggap dewasa apabila ia memasuki umur 15 tahun.

Adulthood adalah masa memasuki kedewasaan. Karena mencakup waktu yang lama sekali dan dibagi menjadi 2 yaitu:
v  Masa awal kedewasaan: masa pertengahan kedewasaan dan masa akhir kedewasaan/usia lanjut. Ketika memasuki usia 20an, kondisi tubuh mencapai pertumbuhan yang sempurna di mana otot-otot berada pada puncak kekuatannya, demikian pula kemampuan otak melibihi kepandaian dari orang yang lebih tua.

v  Lewat masa muda tubuh perlahan-lahan menua (Masa Tua): suatu proses menjadi tidak berguna; lapisan tulang rawan menjadi keras dan rusak, otot-otot mulai mengendur, tubuh menjadi kurang bisa menyesuaikan diri, lebih cepat merasa letih, reaksinya lebih lamban, dan daya tahan terhadap penyakit semakin merosot.

Sabtu, 04 Oktober 2014

PENDIDIKAN KARAKTER (Makna dan Nilai-nilai)

MAKNA KARAKTER, DAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER

Secara sederhana pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha untuk membantu peserta didik mengmbangkan seluruh potensinya (hati, pikir, rasa, karsa, dan serta raga). Menurut Trilling dan Fadel ada 3 macam kategori keterampilan yang diperlukan pada abad 21 ini, yakni:
Ø  Kecakapan belajar dan inovasi yang meliputi: berpikir kritis dan pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi, serta kreativitas dan dan inovasi.
Ø  Kecakapan melek digital yang meliputi: melek informasi, melek media, dan melek teknologi informasi dan komunikasi.
Ø  Kecakapan hidup dan kecakapan karier yang meliputi: keluwesan dan penyesuaian diri, inisiatif dan arahan diri, interaksi sosial dan interaksi lintas budaya, produkitivitas dan akuntabilitas, kepemimpinan dan tanggung jawab.

2 jenis kategori kecakapan menurut Trilling dan Fadel di atas, yakni kategori yang pertama dan ketiga amat berhubungan dengan implementasi pendidikan karakter. Dengan demikian, di masa depan pendidikan karakter akan tetap memiliki peranan penting. Trilling dan Fadel menyatakan bahwa ada 4 kurikulum wajib abad ke-21 yang tidak pernah disampaikan di depan kelas, tetapi amat diperlukan oleh semua siswa untuk menghadapi kehidupan yang meliputi:
Ø  Kesadaran global.
Ø  Melek finansia, ekonomi, bisnis, dan kewirausahaan.
Ø  Kesadaran sebagai warga bangsa.
Ø  Kesadaran terhadap kesehatan dan kesejahteraan.

Dalam kaitannya dengan kecakapan yang diperlukan dalam pembelajaran dan pengembangan pemikiran Trilling dan Fadel mengidentifikasikan antara lain perlunya penguasaan:
Ø  Kecakapan berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Ø  Kecakapan berkomunikasi.
Ø  Kecakapan kreatif dan inovatif.
Ø  Kecakapan berkolaborasi, bekerjasama.
Ø  Kecakapan belajar konsektual.
Ø  Kecakapan melek informasi dan media.

Sementara itu kecakapan hidup yang amat diperlukan pada abad ke-21 ini menurut kedua pakar tersebut adalah:
·         Kepemimpinan.
Ø  Etika.
Ø  Akuntabilitas.
Ø  Adaptabilitas (kemampuan menyesuaikan diri).
Ø  Produktivitas pribadi.
Ø  Pertanggungjawaban pribadi.
Ø  Kecakapan sebagai manusia.
Ø  Pengarahan diri.
Ø  Pertanggungjawaban sosial.

Para guru yang baik dan komponen diharapkan selalu mengaitkan berbagai kecakapan hidup tersebut dalam berbagai aspek paedagoginya. Tantangan pendidikan saat ini terutama memang bagaimana mengaitkan kecakapan-kecapakan hidup tersebut dengan seluruh kegiatan sekolah, secara sungguh-sungguh, secara strategis, dan meluas penerapannya, tidak hanya pada satu daerah, atau satu wilayah, atau satu negara, tetapi di sekolah-sekolah di seluruh dunia.

A.      Pengertian Karakter
Akar dari semua tindakan jahat dan buruk, tindakan kejahatan, terletak pada hilangnya karakter. Karakter yang kuat adalah sandangan fundamental yang memberikan kemampuan kepada populasi manusia untuk hidup bersama dalam kedamaian serta membentuk dunia yang dipenuhi dengan kebaikan dan kebijakan, yang bebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan tidak bermoral.
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap. Menurut kamus besar Indonesia, karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Dengan demikian karakter adalah nilai yang unik-baik yang terpatri dalam diri dan terejawatkan dalam perilaku.
Karakter dapat dipengaruhi oleh hereditas. Perilaku seorang anak sering kali tidak jauh dari perilaku ayah dan ibunya. Kecuali itu lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam ikut membentuk karakter. Di sekitar lingkungan sosial yang keras para remaja cenderung berperilaku antisosial, keras, tega, suka bermusuhan, dan sebagainya. Sementara itu di lingkungan yang gersang, panas, dan tandus, penduduknya cenderung bersifat keras dan berani mati.
Mengacu pada berbagai pengeritian dan definisi karakater tersebut, serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karakter, maka karakter dapat dimaknai sebagai nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.

B.      Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarkan. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya. Upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keuletan, dan ketabahan. Jadi pendidikan karakter (Burke) semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian fundamental dari pendidikan yang baik.
Pendidikan karakter juga dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia dari peserta didik dengan memperhatikan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungannya dengan Tuhannya. Pihak lain (Lickona) mendifinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan landasan inti nilai-nilai etis.
Jadi pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

C.      Nilai-nilai Karakter
Pada masa Orde Baru, saat kebudayaan masih dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di bawah otoritas Direktoran Jenderal Kebudayaan, telah diterbitkan buku saku Pedoman Penamaan Budi Pekerti Luhur (1997). Dimana buku itu menegaskan bahwa budi pekerti dapat dikatakan identik dengan morality/moralitas. Ditegaskan bahwa pengertian budi pekerti yang paling hakiki adalah perilaku. Sebagai perilaku, budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku. Dalam kaitan ini sikap dan perilaku budi pekerti mengandung 5 jangkauan sebagai berikut:
Ø  Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan Tuhan.
Ø  Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan diri sendiri.
Ø  Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan keluarga.
Ø  Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan masyarakat dan bangsa.
Ø  Sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam sekitar.

Pengertian dan makna karakter memiliki cakupan yang lebih dalam. Karakter tidak sekedar sikap yang dicerminkan oleh perilaku, tetapi juga terkait dengan motif yang melandasi sesuatu sikap. Dalam hal ini ada pengaruh lingkungan. Lingkungan sekeliling, baik lingkungan sosial budaya maupun lingkungan fisik memengaruhi karakter sehingga memunculkan suatu sikap yang kemudian diejawantahkan dalam perilaku. Kita dapat memaklumi bahwa masyarakat yang hidup di sekitar lingkungan yang tandus, kering, cenderung untuk berkarakter keras dan berani mati.
Dalam desain induk pendidikan karakter antara kain diutarakan secara substantif karakter terdiri dari 3 nilai operatif, nilai-nilai dalam tindakan atau 3 unjuk perilaku yang satu sama lain saling berkaitan dan terdiri atas pengetahuan tentang moral (aspek kognitif), perasaan berlandaskan moral (aspek afektif), dan perilaku berlandaskan moral (aspke psikomotor).
Karakter yang baik (good character) terdiri atas proses-proses yang meliputi, tahu mana yang baik (knowing the good), keinginan melakukan yang baik (desiring the good), dan melakukan yang baik (doing the good). Kecuali itu, karakter yang baik juga harus ditunjang oleh kebiasaan, kebiasaan kalbu, dan kebiasaan tindakan. Selanjutkan juga dinyatakan bahwa konfigurasi karakter dalam konteks realitas psikologis dan juga sosial-kultural tersebut dikategorikan menjadi: olah hati, olah pikir, olah raga, dan kinestik, dan olah rasa dan karsa.
Dalam kaitan ini pada draf Grand Design Pendidikan Karakter diungkapkan nilai-nilai yang terutama akan dikembangkan dalam budaya suatu pendidikan formal dan nonformal, dengan penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.       Jujur, menyatakan apa adanya, terbuka, konsisten antara apa yang dikatakan dan dilakukan, berani karena benar, dapat dipercaya, dan tidak curang.
2.       Tanggung jawab, melakukan tugas sepenuh hati, bekerja dengan etos kerja yang tinggi, berusaha keras untuk mencapai prestasi terbaik, mampu mengontrol diri dan mengatasi stres, berdisiplin diri, akuntabel terhadap pilihan dan keputusan yang diambil.
3.       Cerdas, berpikir secara cermat dan tepat, bertindak dengan penuh perhitungan, rasa ingin tahu yang tinggi, berkomunikasi efektif dan empatik, bergaul secara santun, menunjunjung kebenaran dan kebijakan, mencintai Tuhan dan lingkungan.
4.       Sehat dan bersih, menghargai ketertiban, keteraturan, kedisiplinan, terampil, menjaga diri dan lingkungan, menerapkan pola hidup seimbang.
5.       Peduli, memperlakukan orang lain dengan sopan, bertindak santun, toleran terhadap perbedaan, tidak suka menyakiti orang lain, mau mendengar orang lain, mau berbagi, tidak merendahkan orang lain, tidak mengambil keuntungan dari orang lain, mampu bekerja sama, mau terlibat dalam kegiatan masyarakat, menyayangi manusia dan makhluk lain, setia, cinta damai dalam menghadapi persoalan.
6.       Kreatif, mampu menyelesaikan masalah secara inovatif, luwes, kritis, berani mengambil sesuatu secara luar biasa/unik, memiliki ide baru, ingin terus berubah, dapat membaca situasi dan memanfaatkan peluang baru.
7.       Gotong royong, mau bekerja sama dengan baik, berprinsip bahwa tujuan akan lebih mudah dan cepat tercapai jika dikerjakan bersama-sama, mau mengembangkan potensi diri untuk dipakai saling berbagi agar mendapatkan hasil yang terbaik, tidak egoistik.

Berkaitan dengan dirasakan semakin mendesaknya implementasi pendidikan karakter di Indonesia, pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional dalam publikasinya berjudul “Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter 2011” menyatakan bahwa pendidikan karakter pada intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriot, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Dalam publikasi Pusat Kurikulum tersebut dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi 1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik; 2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; 3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

D.      Nilai-nilai Karakter Universal yang dapat diacu dalam Implementasi Pendidikan karakter

Berbagai nilai tersebut sengaja dikelompokkan dengan dua cara. 1) melihat hubungan nilai-nilai tersebut dengan prinsip olah (olah hati, pikir, raga, rasa, dan karsa). 2) melihat hubungan nilai-nilai tersebut dengan kewajiban terhadap Tuhan Sang Maha Pencipta, dengan kewajiban terhadap diri sendiri, dengan kewajiban terhadap keluarga, dengan kewajiban masyarakat dan bangsa, dan juga dengan kewajiban terhadap alam lingkungan.

Jumat, 03 Oktober 2014

PENDIDIKAN KARAKTER (Dasar Filosofi & Posisi)

DASAR FILOSOFI DAN POSISI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN NASIONAL

A.      Dasar Filsofi Implementasi Pendidikan Karakter
Dasar filosofi bagi implementasi pendidikan karakter di Indonesia mengakar pada kesepakatan para founding father kita saat mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lalu, maka dasar filosofinya tentu saja Pancasila. Karena menurut Soedarsono Pancasila harus disepakati menjadi: a) dasar negara, b) pandangan hidup, c) kepribadian bangsa, d) jiwa bangsa, e) tujuan yang akan dicapai, f) perjanjian luhur bangsa, g) asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, h) pengalaman pembangunan bangsa, i) jati diri bangsa. Jadi jelas bahwa ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Pancasila itu sendiri telah terpatri dalam kalbu dan mengalir dalam darah setiap anak bangsa.
Karakter adalah sesuatu yang sangat penting dan vital bagi tercapainya tujuan hidup. Karakter merupakan dorongan pilihan untuk menentukan yang terbaik dalam hidup dan setiap dorongan pilihan itu harus dilandasi oleh Pancasila untuk menjadi bangsa yang multi suku, multi ras, multi bahasa, mukti adat, dan tradisi. Karakter yang berlandasan falsafah Pancasila maknanya adalah setiap aspek karakter harus dijiwai oleh kelima sila Pancasila secara utuh dan komprehensif sebagai berikut:
1.       Bangsa yang Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa
Merupakan bentuk kesadaran dan perilaku iman dan takwa serta akhlak mulia sebagai karakteristik pribadi bangsa Indonesia. Dalam hubungan manusia Indonesia adalah manusia yang taat menjalankan kewajiban agamanya masing-masing, berlaku sabar atas segala ketentuan-Nya, ikhlas dalam beramal, tawakal, dan senantiasa bersyukur atas apa pun yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.
Dalam hubungan antar-manusia, karakter ini dicerminkan dengan saling hormat-mengormati, berkerjasama, dan berkebebasan menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya, tidak memaksakan agama dan kepercayaannya kepada orang lain, juga tidak melecehkan kepercayaan agama seseorang.
2.       Bangsa yang Menjunjung Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Diwujudkan dalam perilaku hormat menghormati antar warga dalam masyarakat sehingga timbul suasana kewargaan yang saling bertanggung jawab, adanya saling hormat menghormati antar warga bangsa sehingga timbul keyakinan dan perilaku sebagai warga megara yang baik, adil dan beradab, sehingga memunculkan perasaan hormat dari bangsa lain.
Karakter kemanusiaan tercermin dalam pengakuan atas kesamaan derajat, hak dan kewajiban, saling mengasihi, tenggang rasa, peduli, tidak semena-mena terhadap orang lain, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, merasakan dirinya sebagai bagian dari seluruh warga bangsa dan umat manusia.
3.       Bangsa yang Mengedepankan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Memiliki komitmen dan perilaku yang selalu mengutamakan persatuan dan kesatuan Indonesia di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan. Karakter tercermin dalam menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi atau golongan, suka bergotong royong dengan siapa saja saudara sebangsa, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, bangga sebagai bangsa Indonesia yang bertanah air Indonesia serta menjunjung tinggi bahasa Indonesia, memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa, cinta tanah air dan negara Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
4.       Bangsa yang Demokratis dan Menjunjung Tinggi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Bangsa ini merupakan bangsa yang demokratis yang tercermin dari sikap dan perilakunya yang senantian dilandasi nilai dan semangat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, menghargai pendapat orang lain.
Hikmat kebijaksanaan: tidak adanya tirani mayoritas atau sebaliknya juga tidak ada tirani minoritas. Tidak ada yang memaksakan kehendak atas nama maoritas, atau selalu berharap adanya toleransi (salah dan merugikan sebagai warga) atas nama minoritas.
Karakter kerakyatan tercermin dari sikap ugahari dan bersahaja, karena sikap tenggang rasanya terhadap rakyat kecil yang menderita, selalu mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara, mengutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, beritikad baik dan bertanggung jawab dalam melaksanakan keputusan bersama, menggunakan akal sehat dan nurani luhur dalam melakukan musyawarah, berani mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Esa serta selalu dilandasi nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5.       Bangsa yang Mengedepankan Keadilan dan Kesejahteraan
Memiliki komitmen dan sikap untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat dan seluruh bangsa Indonesia. Karakter berkeadilan sosial tercermin dalam perbuatan yang menjaga adanya kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan, menjaga harmonisasi antara hak dan kewajiban, hormat terhadap hak-hak orang lain, suka menolong orang lain, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak boros, tidak bergaya hidup, suka bekerja keras, menghargai karya orang lain.
B.      Posisi Pendidikan Karakter Dalam Pendidikan Nasional
Dalam kebijakan nasional, ditegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara. Sejak awal kemerdekaan sudah bertekad untuk menjadikan pembangunan karakter bangsa sebagai paham penting dan tidak dipisahkan dari pembangunan nasional. Secara eksplisit pendidikan karakter/watak adalah amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada Pasal 3 menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak berfungsi serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkahlak mulia, sehat, berilmu, cakap. kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Dalam arah dan kebijaksanaan dan perioritas pendidikan karakter ditegaskan bahwa pendidikan karakter bahwa pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Bahwa pendidikan karakter sejalan dengan prioritas pendidikan nasional, dapat dicermati dari Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan telah diterbitkan Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang SKL.
Ajaran atau fatwa Ki Hajar Dewantara yang menjadi pegangan perguruan Taman Siswa sarat akan pendidikan karakater. Di antara fatwa beliau yang terlihat sekali menonjolkan positioning karakter dalam pendidikan nasional antara lain adalah:
1.       Lawan Sastra Negeri Mulya: dengan ilmu kita mencapai keberhasilan hidup. Cita-cita KHD adalah dengan memupuk jiwa kuriositas yang tinggi dalam mencari ilmu, dan rakyat dapat mencapai kemuliaan, disegani dan dihargai dalam percaturan dunia.
2.       Suci Tata Ngesti Tunggal: memerlukan kesucian batin, kejernihan pikiran, cita-cita yang luhur, dan ketertiban lahir, atau kedisiplinan nasional, untuk mencapai cita-cita mulia yang berupa kemajuan dan kesuksesan seluruh nusa, bangsa, dan rakyat Indonesia.
3.       Tetep-Mantep-Antep: dalam melaksanakan tugas kependidikan dan pembangunan bangsa harus berketetapan hati (tetep). Tekun bekerja tanpa menoleh kanan-kiri yang berarti melenakan perjuangan. Tekun tata tertib berjalan maju. Harus selalu mantep, setia dan taat atas asas, teguh iman sehingga tidak ada ketakutan yang dapat menahan gerak dan langkah kita dan membelokkan jalan perjuangan kita. Jika tetep dan mantep maka niscaya segala perbuatan dan tindak tindak laku kita akan antep, berat berisi, dan berharga.
4.       Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel: kita harus percayai dan yakin sepenuhnya, ngandel, pada kekuasaan dan takdir Tuhan dan pada kekuatan serta kemampuan diri sendiri. Sedangkan kandel, berani menghadapi segala sesuatu yang merintangi. Sedangkan bandel, kokoh, teguh hati, tahan banting disertai sikap tawakal akan segala kehendak Tuhan. Dengan demikian jadilah diri kita kandel, tebal, kuat alhir batin, sebagai azimat dalam berjuang menuju cita-cita kebangsaan.

5.       Neng-Ning-Nung-Nong: kita harus tenteram lahir batin, Neng, meneng, tidak berarti ragu-ragu dan malu-mau. Ning dari kata wening, bening, jernih pikiran kita, tidak mengedepankan emosi, mampu dan mudah membedakan antara yang hak dan batil. Sehingga kita menjadi Nung, hanung, kokoh kuat sentausa, teguh, kukuh lahir batin untuk mencapai cita-cita. Jika ketiga sudah dicapai maka kita mencapai Nong, menang, wenang, memperoleh kemenangan dan memiliki kewenangan berhak dan kemulian lahir dan batin.

PENDIDIKAN KARAKTER

PERANAN PENTING PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PEMBANGUNAN BANGSA

Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa menyadari bahwa paling tidak ada 3 tantangan besar yang harus dihadapi.
1.       Mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat
2.       Membangun bangsa
3.       Membangun karakter
Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa dan pembangunan karakter. Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya membangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan terus-menerus, tidak boleh putus di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia.
Bung Karno menegaskan: “Bangsa ini harus di bangun dengan mendahulukan pembangunan karakter karena inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau pembangunan karakter tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menajdi bangsa kuli”.
Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang mendesak. Karena dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja, terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena suporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui “kantin kejujuran” di sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha kantin kejujuran bangkrut karena belum belum bangkitnya sifat jujur pada anak-anak.
Disiplin lalu lintas, budaya antre, budaya baca sampai budaya hidup bersih dan sehat, keinginan menghagai lingkungan masih jauh dibawah satndar. Sebagai bangsa, agaknya kita masih saja mengidap inferiority complex nasional, terbukti masih suka dan melahap tanpa seleksi segala produk dan budaya asing. Parahnya, media massa juga lupa akan kewajibannya untuk mencerdaskan bangsa dan memotivasi cinta kepada budaya bangsa. Amat langka koran nasional yang mau mempublikasikan event budaya. Satu-satunya TV swasta nasional (TVRI) dulu setia menggelar tontonan wayang kulit pada akhir pekan, sekarang pun sedah tidak lagi.
Harian Kompas terbitan hari Senin 20 Juni 2011 menulis Kerusakan Moral. Dalam berita tersebut dosampaikan ikhtisar hal-hal yang terkait penyelenggaraan negara berupa fakta:
Ø  Sepanjang 2004-2011, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati dan wali kota tersangkut korupsi.
Ø  Sedikitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011.
Ø  30 anggota DPR periode 1999-2004 dari 4 parpol terlibat kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Ø  Kasus korupsi terjadi di sejumlah institusi seperti KPU, Komisi Yudisial, KPPU, Ditjen Pajak, Bank Indonesia dan BKPM.

Terkait penegak hukum terungkap fakta:
v  Sepanjang 2010 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada 107 hakim, baik berupa pemberhentian maupun teguran (jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya/78 hakim).
v  Pegawai kejaksaan yang dijatuhi sanksi sepanjang 2010 mencapai 288 orang, meningkat 60% dibandingkan tahun 2009 sebanyak 181.
v  Selama tahun 2010 sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas Polri yang terdiri dari 18 orang perwira, 272 orang bintara, dan 4 orang tamtama.

Dalam dunia pendidikan kasus bertindak curang baik berupa tindakan mencontek, mencontoh pekerjaan teman/mencontoh dari buku pelajaran seolah-olah merupakan kejadian sehari-hari. Bahkan dalam pelaksanaan UAS dan UAN ditengarahi ada guru memberikan kunci jawaban kepada siswa. Di perguruan tinggi hal yang sama juga terjadi. Fenomena mencontek di kalangan mahasiswa adalah hilangnya rasa malu dan berkembangnya plagiarisme pada sejumlah mahasiswa tingkat akhir.
Mengapa pendidikan belum mampu mengubah perilaku warga bangsa menjadi baik? Mengapa kejujuran, komitmen, keuletan, kerja keras, hingga kesalehan seolah lepas dari persoalan pendidikan? Kini kita semua bertanya ulang: bagaimana karakter bangsa ini? Bagaimana masa depan Indonesia jika penerusnya tidak memiliki karakter yang kuat dan jati diri?
Keprihatinan itu telah menjadi keprihatinan nasional. Pada Hari Raya Nyepi di Jakarta 2010 yang lalu, presiden Ri menyampaikan pesannya: “Pembangunan watak amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat dicapai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).”
Sebagai tindak lanjut dari pidato tersebut, maka salah satu program 100 hari Kementerian Pendidikan Nasional adalah pendidikan karakter. Berkaitan dengan itu, maka dibentuklah Tim Pendidikan Karakter di bawah naungan tanggung jawab Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional. Pada tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Hotel Bidakara Jakarta telah diselenggarakan Serasehan Nasional Pendidikan Karakter yang melibatkan para pakar, praktisi dan pemerhati pendidikan. Acara tersebut ditindak lanjuti oleh tim khusus dengan melakukan pertemuan-pertemuan intensif untuk menggodok rancangan desain induk yang rencananya dilengkapi dengan panduan pada setiap satuan pendidikan beserta merancang pelaksanaannya sebagai sebuah gerakan nasional.
Istilah yang digunakan lagi pendidikan karakter tetapi menajdi permbangunan karakter bangsa, sebab gerakan ini didukung oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan dan Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, serta Kementerian Peranan Wanita.
Salah satu dampak dari kegiatan tersebut, sejak tahun 2010 yang lalu pendidikan karakter digalakan kembali dalam pembelajaran di Indonesia. Sebenarnya sejak masa Orde Lama pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum di Indonesia, dengan nama “Pendidikan Budi Pekerti” yang terintegrasi dalam berbagai bidang studi. Hanya penekanannya berbeda dengan pendidikan karakter yang dikembangkan saat ini. Dahulu dengan landasan pengembangan kebudayaan lebih banyak ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa-guru, antara siswa dan orangtuam dan antar-siswa. Saat ini di samping mengembagkan hubungan yang beradab antar-sesama manusia, pendidikan karakter juga mengembangkan bagaimana hubungan yang pantas dan layak antara manusia kepada Sang Pencipta, al-Khalik, serta dengan alam lingkungannya.
Sementara itu, dalam arah dan kebijaksanaan serta prioritas pendidikan karakter ditegaskan bahwa pendidikan karakter sudah menajdi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Hampir setiap rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit, baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat substansi nilai/karakter. Dalam publikasi Pusat Kurikulum tersebut dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi:
1.       Membangun potensi dasar agar berhati baik, berpikrian baik, dan berperilaku baik.
2.       Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur.
3.       Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Sedangkan nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah (hasil kajian empirik dari pusat kurikulum): Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab. Selanjutnya dalam implementasinya di satuan pendidikan Pusat Kurikulum menyarankan agar dimulai dari nilai esensial, sederhana dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah, misalnya bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan, dan santun.
Dalam konteks universal pendidikan karakter muncul dan berkembang awalnya dilandasi oleh pemikiran bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab agar peserta didik menjadi sekadar cerdas, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberdayakan dirinya agar memiliki nilai-nilai moral yang memandunya dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan karakter dewasa ini semakin penting dan mendesak karena berbagai situasi yang dihadapi bangsa dan negara. Pengaruh globalisasi yang menawarkan sesuatu yang baik seperti keunggulan dan kemandirian juga memberikan banyak dampak negatif. Kemudian muncul pertanyaan, lalu bagaimana implementasi pendidikan karakter di Indonesia? Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus meliputi  dan berlangsung pada:
1.       Pendidikan Formal; berlangsung pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan perguruan tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
2.       Pendidikan Nonformal: berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lemabag nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya lembaga dan pembiasaan.
3.       Pendidikan Informal: berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa di dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.