PERANAN
PENTING PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PEMBANGUNAN BANGSA
Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17
Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa menyadari bahwa paling tidak ada 3
tantangan besar yang harus dihadapi.
1.
Mendirikan negara yang
bersatu dan berdaulat
2.
Membangun bangsa
3.
Membangun karakter
Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa dan
pembangunan karakter. Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara
relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya membangun bangsa dan
membangun karakter. Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan
terus-menerus, tidak boleh putus di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan
Indonesia.
Bung Karno menegaskan: “Bangsa ini harus di bangun dengan mendahulukan
pembangunan karakter karena inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa
yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau pembangunan karakter tidak
dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menajdi bangsa kuli”.
Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang mendesak.
Karena dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya
tawuran pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja, terutama di kota-kota
besar, pemerasan/kekerasan, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior,
fenomena suporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Bahkan yang paling
memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui
“kantin kejujuran” di sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha kantin kejujuran
bangkrut karena belum belum bangkitnya sifat jujur pada anak-anak.
Disiplin lalu lintas, budaya antre, budaya baca sampai budaya hidup
bersih dan sehat, keinginan menghagai lingkungan masih jauh dibawah satndar.
Sebagai bangsa, agaknya kita masih saja mengidap inferiority complex nasional,
terbukti masih suka dan melahap tanpa seleksi segala produk dan budaya asing.
Parahnya, media massa juga lupa akan kewajibannya untuk mencerdaskan bangsa dan
memotivasi cinta kepada budaya bangsa. Amat langka koran nasional yang mau
mempublikasikan event budaya. Satu-satunya TV swasta nasional (TVRI) dulu setia
menggelar tontonan wayang kulit pada akhir pekan, sekarang pun sedah tidak
lagi.
Harian Kompas terbitan hari Senin 20 Juni 2011 menulis Kerusakan Moral.
Dalam berita tersebut dosampaikan ikhtisar hal-hal yang terkait penyelenggaraan
negara berupa fakta:
Ø
Sepanjang 2004-2011,
Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas
gubernur, bupati dan wali kota tersangkut korupsi.
Ø
Sedikitnya 42 anggota DPR
terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011.
Ø
30 anggota DPR periode
1999-2004 dari 4 parpol terlibat kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur
Bank Indonesia.
Ø
Kasus korupsi terjadi di
sejumlah institusi seperti KPU, Komisi Yudisial, KPPU, Ditjen Pajak, Bank
Indonesia dan BKPM.
Terkait penegak hukum terungkap fakta:
v
Sepanjang 2010 Mahkamah
Agung menjatuhkan sanksi kepada 107 hakim, baik berupa pemberhentian maupun
teguran (jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya/78 hakim).
v
Pegawai kejaksaan yang
dijatuhi sanksi sepanjang 2010 mencapai 288 orang, meningkat 60% dibandingkan
tahun 2009 sebanyak 181.
v
Selama tahun 2010 sebanyak
294 polisi dipecat dari dinas Polri yang terdiri dari 18 orang perwira, 272
orang bintara, dan 4 orang tamtama.
Dalam dunia pendidikan kasus bertindak curang baik berupa tindakan
mencontek, mencontoh pekerjaan teman/mencontoh dari buku pelajaran seolah-olah
merupakan kejadian sehari-hari. Bahkan dalam pelaksanaan UAS dan UAN ditengarahi
ada guru memberikan kunci jawaban kepada siswa. Di perguruan tinggi hal yang
sama juga terjadi. Fenomena mencontek di kalangan mahasiswa adalah hilangnya
rasa malu dan berkembangnya plagiarisme pada sejumlah mahasiswa tingkat akhir.
Mengapa pendidikan belum mampu mengubah perilaku warga bangsa menjadi
baik? Mengapa kejujuran, komitmen, keuletan, kerja keras, hingga kesalehan
seolah lepas dari persoalan pendidikan? Kini kita semua bertanya ulang:
bagaimana karakter bangsa ini? Bagaimana masa depan Indonesia jika penerusnya
tidak memiliki karakter yang kuat dan jati diri?
Keprihatinan itu telah menjadi keprihatinan nasional. Pada Hari Raya
Nyepi di Jakarta 2010 yang lalu, presiden Ri menyampaikan pesannya:
“Pembangunan watak amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang
berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin memiliki
peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat dicapai apabila
masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).”
Sebagai tindak lanjut dari pidato tersebut, maka salah satu program 100
hari Kementerian Pendidikan Nasional adalah pendidikan karakter. Berkaitan
dengan itu, maka dibentuklah Tim Pendidikan Karakter di bawah naungan tanggung
jawab Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan
Nasional. Pada tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Hotel Bidakara Jakarta
telah diselenggarakan Serasehan Nasional Pendidikan Karakter yang melibatkan
para pakar, praktisi dan pemerhati pendidikan. Acara tersebut ditindak lanjuti
oleh tim khusus dengan melakukan pertemuan-pertemuan intensif untuk menggodok
rancangan desain induk yang rencananya dilengkapi dengan panduan pada setiap
satuan pendidikan beserta merancang pelaksanaannya sebagai sebuah gerakan
nasional.
Istilah yang digunakan lagi pendidikan karakter tetapi menajdi
permbangunan karakter bangsa, sebab gerakan ini didukung oleh Kementerian
Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan,
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian
Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan dan Pariwisata, Kementerian
Pemuda dan Olah Raga, serta Kementerian Peranan Wanita.
Salah satu dampak dari kegiatan tersebut, sejak tahun 2010 yang lalu
pendidikan karakter digalakan kembali dalam pembelajaran di Indonesia.
Sebenarnya sejak masa Orde Lama pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum
di Indonesia, dengan nama “Pendidikan Budi Pekerti” yang terintegrasi dalam
berbagai bidang studi. Hanya penekanannya berbeda dengan pendidikan karakter
yang dikembangkan saat ini. Dahulu dengan landasan pengembangan kebudayaan
lebih banyak ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa-guru, antara
siswa dan orangtuam dan antar-siswa. Saat ini di samping mengembagkan hubungan yang
beradab antar-sesama manusia, pendidikan karakter juga mengembangkan bagaimana
hubungan yang pantas dan layak antara manusia kepada Sang Pencipta, al-Khalik,
serta dengan alam lingkungannya.
Sementara itu, dalam arah dan kebijaksanaan serta prioritas pendidikan
karakter ditegaskan bahwa pendidikan karakter sudah menajdi bagian yang tidak
terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Hampir setiap rumusan SKL
tersebut secara implisit maupun eksplisit, baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA
dan SMK, memuat substansi nilai/karakter. Dalam publikasi Pusat Kurikulum
tersebut dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi:
1.
Membangun potensi dasar
agar berhati baik, berpikrian baik, dan berperilaku baik.
2.
Memperkuat dan membangun
perilaku bangsa yang multikultur.
3.
Meningkatkan peradaban
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Sedangkan nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan
tujuan pendidikan nasional tersebut adalah (hasil kajian empirik dari pusat
kurikulum): Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif,
Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta Tanah Air,
Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli
lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab. Selanjutnya dalam
implementasinya di satuan pendidikan Pusat Kurikulum menyarankan agar dimulai
dari nilai esensial, sederhana dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi
masing-masing sekolah, misalnya bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan, dan
santun.
Dalam konteks universal pendidikan karakter muncul dan berkembang
awalnya dilandasi oleh pemikiran bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab
agar peserta didik menjadi sekadar cerdas, tetapi juga bertanggung jawab untuk
memberdayakan dirinya agar memiliki nilai-nilai moral yang memandunya dalam
kehidupan sehari-hari.
Demikianlah, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan karakter dewasa
ini semakin penting dan mendesak karena berbagai situasi yang dihadapi bangsa
dan negara. Pengaruh globalisasi yang menawarkan sesuatu yang baik seperti
keunggulan dan kemandirian juga memberikan banyak dampak negatif. Kemudian
muncul pertanyaan, lalu bagaimana implementasi pendidikan karakter di
Indonesia? Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus
meliputi dan berlangsung pada:
1.
Pendidikan Formal;
berlangsung pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan
perguruan tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan
ekstrakurikuler. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik,
dan tenaga kependidikan.
2.
Pendidikan Nonformal: berlangsung
pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lemabag
nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler,
penciptaan budaya lembaga dan pembiasaan.
3.
Pendidikan Informal:
berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa di
dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar