Jumat, 03 Oktober 2014

PENDIDIKAN KARAKTER

PERANAN PENTING PENDIDIKAN KARAKTER BAGI PEMBANGUNAN BANGSA

Ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para bapak pendiri bangsa menyadari bahwa paling tidak ada 3 tantangan besar yang harus dihadapi.
1.       Mendirikan negara yang bersatu dan berdaulat
2.       Membangun bangsa
3.       Membangun karakter
Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep negara bangsa dan pembangunan karakter. Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya membangun bangsa dan membangun karakter. Kedua hal terakhir itu terbukti harus diupayakan terus-menerus, tidak boleh putus di sepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia.
Bung Karno menegaskan: “Bangsa ini harus di bangun dengan mendahulukan pembangunan karakter karena inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau pembangunan karakter tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menajdi bangsa kuli”.
Di Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter saat ini memang mendesak. Karena dirasakan amat perlu pengembangannya bila mengingat makin meningkatnya tawuran pelajar, serta bentuk-bentuk kenakalan remaja, terutama di kota-kota besar, pemerasan/kekerasan, kecenderungan dominasi senior terhadap yunior, fenomena suporter bonek, penggunaan narkoba, dan lain-lain. Bahkan yang paling memprihatinkan, keinginan untuk membangun sifat jujur pada anak-anak melalui “kantin kejujuran” di sekolah, banyak yang gagal, banyak usaha kantin kejujuran bangkrut karena belum belum bangkitnya sifat jujur pada anak-anak.
Disiplin lalu lintas, budaya antre, budaya baca sampai budaya hidup bersih dan sehat, keinginan menghagai lingkungan masih jauh dibawah satndar. Sebagai bangsa, agaknya kita masih saja mengidap inferiority complex nasional, terbukti masih suka dan melahap tanpa seleksi segala produk dan budaya asing. Parahnya, media massa juga lupa akan kewajibannya untuk mencerdaskan bangsa dan memotivasi cinta kepada budaya bangsa. Amat langka koran nasional yang mau mempublikasikan event budaya. Satu-satunya TV swasta nasional (TVRI) dulu setia menggelar tontonan wayang kulit pada akhir pekan, sekarang pun sedah tidak lagi.
Harian Kompas terbitan hari Senin 20 Juni 2011 menulis Kerusakan Moral. Dalam berita tersebut dosampaikan ikhtisar hal-hal yang terkait penyelenggaraan negara berupa fakta:
Ø  Sepanjang 2004-2011, Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati dan wali kota tersangkut korupsi.
Ø  Sedikitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011.
Ø  30 anggota DPR periode 1999-2004 dari 4 parpol terlibat kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia.
Ø  Kasus korupsi terjadi di sejumlah institusi seperti KPU, Komisi Yudisial, KPPU, Ditjen Pajak, Bank Indonesia dan BKPM.

Terkait penegak hukum terungkap fakta:
v  Sepanjang 2010 Mahkamah Agung menjatuhkan sanksi kepada 107 hakim, baik berupa pemberhentian maupun teguran (jumlah tersebut meningkat dibandingkan tahun sebelumnya/78 hakim).
v  Pegawai kejaksaan yang dijatuhi sanksi sepanjang 2010 mencapai 288 orang, meningkat 60% dibandingkan tahun 2009 sebanyak 181.
v  Selama tahun 2010 sebanyak 294 polisi dipecat dari dinas Polri yang terdiri dari 18 orang perwira, 272 orang bintara, dan 4 orang tamtama.

Dalam dunia pendidikan kasus bertindak curang baik berupa tindakan mencontek, mencontoh pekerjaan teman/mencontoh dari buku pelajaran seolah-olah merupakan kejadian sehari-hari. Bahkan dalam pelaksanaan UAS dan UAN ditengarahi ada guru memberikan kunci jawaban kepada siswa. Di perguruan tinggi hal yang sama juga terjadi. Fenomena mencontek di kalangan mahasiswa adalah hilangnya rasa malu dan berkembangnya plagiarisme pada sejumlah mahasiswa tingkat akhir.
Mengapa pendidikan belum mampu mengubah perilaku warga bangsa menjadi baik? Mengapa kejujuran, komitmen, keuletan, kerja keras, hingga kesalehan seolah lepas dari persoalan pendidikan? Kini kita semua bertanya ulang: bagaimana karakter bangsa ini? Bagaimana masa depan Indonesia jika penerusnya tidak memiliki karakter yang kuat dan jati diri?
Keprihatinan itu telah menjadi keprihatinan nasional. Pada Hari Raya Nyepi di Jakarta 2010 yang lalu, presiden Ri menyampaikan pesannya: “Pembangunan watak amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berperilaku baik. Bangsa kita ingin memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Peradaban demikian dapat dicapai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society).”
Sebagai tindak lanjut dari pidato tersebut, maka salah satu program 100 hari Kementerian Pendidikan Nasional adalah pendidikan karakter. Berkaitan dengan itu, maka dibentuklah Tim Pendidikan Karakter di bawah naungan tanggung jawab Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan Nasional. Pada tanggal 14 Januari 2010 yang lalu di Hotel Bidakara Jakarta telah diselenggarakan Serasehan Nasional Pendidikan Karakter yang melibatkan para pakar, praktisi dan pemerhati pendidikan. Acara tersebut ditindak lanjuti oleh tim khusus dengan melakukan pertemuan-pertemuan intensif untuk menggodok rancangan desain induk yang rencananya dilengkapi dengan panduan pada setiap satuan pendidikan beserta merancang pelaksanaannya sebagai sebuah gerakan nasional.
Istilah yang digunakan lagi pendidikan karakter tetapi menajdi permbangunan karakter bangsa, sebab gerakan ini didukung oleh Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perhubungan dan Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olah Raga, serta Kementerian Peranan Wanita.
Salah satu dampak dari kegiatan tersebut, sejak tahun 2010 yang lalu pendidikan karakter digalakan kembali dalam pembelajaran di Indonesia. Sebenarnya sejak masa Orde Lama pendidikan karakter sempat mewarnai kurikulum di Indonesia, dengan nama “Pendidikan Budi Pekerti” yang terintegrasi dalam berbagai bidang studi. Hanya penekanannya berbeda dengan pendidikan karakter yang dikembangkan saat ini. Dahulu dengan landasan pengembangan kebudayaan lebih banyak ditekankan pada hubungan antar-manusia, antara siswa-guru, antara siswa dan orangtuam dan antar-siswa. Saat ini di samping mengembagkan hubungan yang beradab antar-sesama manusia, pendidikan karakter juga mengembangkan bagaimana hubungan yang pantas dan layak antara manusia kepada Sang Pencipta, al-Khalik, serta dengan alam lingkungannya.
Sementara itu, dalam arah dan kebijaksanaan serta prioritas pendidikan karakter ditegaskan bahwa pendidikan karakter sudah menajdi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Hampir setiap rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit, baik pada SKL SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat substansi nilai/karakter. Dalam publikasi Pusat Kurikulum tersebut dinyatakan bahwa pendidikan karakter berfungsi:
1.       Membangun potensi dasar agar berhati baik, berpikrian baik, dan berperilaku baik.
2.       Memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur.
3.       Meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.

Sedangkan nilai-nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah (hasil kajian empirik dari pusat kurikulum): Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli sosial, dan Tanggung jawab. Selanjutnya dalam implementasinya di satuan pendidikan Pusat Kurikulum menyarankan agar dimulai dari nilai esensial, sederhana dan mudah dilaksanakan sesuai dengan kondisi masing-masing sekolah, misalnya bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan, dan santun.
Dalam konteks universal pendidikan karakter muncul dan berkembang awalnya dilandasi oleh pemikiran bahwa sekolah tidak hanya bertanggung jawab agar peserta didik menjadi sekadar cerdas, tetapi juga bertanggung jawab untuk memberdayakan dirinya agar memiliki nilai-nilai moral yang memandunya dalam kehidupan sehari-hari.
Demikianlah, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan karakter dewasa ini semakin penting dan mendesak karena berbagai situasi yang dihadapi bangsa dan negara. Pengaruh globalisasi yang menawarkan sesuatu yang baik seperti keunggulan dan kemandirian juga memberikan banyak dampak negatif. Kemudian muncul pertanyaan, lalu bagaimana implementasi pendidikan karakter di Indonesia? Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, pendidikan karakter harus meliputi  dan berlangsung pada:
1.       Pendidikan Formal; berlangsung pada lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, dan perguruan tinggi melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
2.       Pendidikan Nonformal: berlangsung pada lembaga kursus, pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan, dan lemabag nonformal lain melalui pembelajaran, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya lembaga dan pembiasaan.
3.       Pendidikan Informal: berlangsung dalam keluarga yang dilakukan oleh orangtua dan orang dewasa di dalam keluarga terhadap anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar