Senin, 10 Juli 2017

ULAMA JAWI TERHADAP ISLAMISASI DAN PERKEMBANGAN INTELEKTUAL ISLAM DI INDONESIA


Ulama jawi adalah ulama dari nusnatara yang berada pada lingkungan nusantara meliputi Indonesia, Malaysia, Thailnad, Bhrunai Darussalam. Istilah penyebutan ini merupakan istilah orang arab kepada para ulama yang ada di negara indonesia, Malaysia, Thailand dan Bhrunai Darussalam. Dalam perkembangan keilmuannya ulama jawa banyak menggunakan bahasa Melayu yang ditulis dalam bahasa Arab sehingga ada istilah bahasa pegon. Penyebutan ini merupakan sebuah istilah yang disebutkan oleh orang arab kepada ulama-ulama nusantara dan sekitarnya.
Banyak ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Khatib (Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’i (Jawa Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh ulama tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama berpengaruh abad XIX tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat tipikal pada saat itu, meski kemudian ada yang buah fikirannya diakui secara nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil kriteria-kriteria tertentu, seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan keperduliannya terhadap problema umat Islam.
Sebagaimana jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran Timur Tengah seperti Mekah di Jazirah Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari Nusantara yang belajar di wilayah tersebut. Ulama-ulama pada abad ke-19 mengutip pernyataan HAMKA dalam buku jaringan ulama Azyumardi Azra, adalah sebagai tonggak pembaharuan Islam di Indonesia. Bersamaan dengan kemunculan gerakan Paderi di Sumatera barat.
Memasuki abad ke-19 dunia Islam dihadapkan pada tantangan imperialis barat yang semakin keras. Dengan keadaan seperti itu, para ulama beserta jaringan-jaringannya merespon selain menyiapkan perlawanan bersenjata, sekaligus menguatkan solidaritas muslim atau kesetiaan jama’ah Islam yang diikat dengan kesadaran hukum Islam. Sampai dengan abad ke-19, para ulama di seluruh Nusantara tercatat dalam sejarah yang sebenarnya, sebagai pelopor terdepan dalam gerakan nasionalisme. Arti nasionalisme sebagai pelopor perjuangan dalam membebaskan bangsa dan negara serta agama dari penjajahan imperialisme barat.
Ulama-ulama pada abad ke 19 adalah para pelopor kebangkitan kesadaran Islam. Gerakan kebangkitan Islam ini bertujuan diantaranya selain mengembalikan fitrah ke Islamannya, juga sebagai upaya perlawanan terhadap pemerintahan kolonial belanda. Maka jelaslah peran ulama di abad ke-19 memengang peranan ganda, satu sisi sebagai penerus jaringan ulama pada abad sebelumnya dalam bidang pendidikan, sosial budaya, di sisi lain sebagai pemimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial. Sehingga tidaklah aneh bila dalam pembahasan ulama pada abad-19, menurut Ahmad Mansyur Suryanegara adalah periode pembaruan Islam seperti pendidikan dan sosio kultural sekaligus perlawanan tehadap penjajahan kolonial.
Pembaharuan yang terjadi di dunia Islam, khususnya di wilayah Nusantara (Asia Tenggara), tak lepas dari jaringan ulama nusantara dengan dunia luar terutama dari dunia Arab. Hal ini bisa terjadi karena keeratan jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama di Nusantara telah terjalin sejak beraba-abad sebelumnya. Hal ini bisa dibuktikan oleh para pelopor dalam pembaharuan Islam di Nusantara dipelopori oleh ulama modernis dari berbagai Negara, yaitu Muhammad Ibn Abd Al Wahab di Jazirah arab, Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha di Mesir yang berdampak ke Indonesia bersamaan dengan kembalinya Haji Miskin (1802) setelah melakukan ibadah Haji di Mekkah. Pembaharuan pemahaman agama islam ditunjukkan untuk: a) menyucikan agama Islam dari pengaruh bid’ah; b) pendidikan yang lebih tinggi bagi umat Islam; c) pembaharuan rumusan ajaran Islam menurut alam pikiran modern; dan d) pembelaan Islam terhadap pengaruh Barat dan Kristen.
Dari berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya konstribusi ulama Jawa dalam proses Islamisasi sangat besar peranya dalam menyebarkan Islam di Nusantara. Ulama jawa dalam menyebarkan Islam ini meneruskan perjuangan para wali yang sebelumnya. Dan penyebaranya di tiap daerah berbeda-beda dalam bentuk penyebaranya.
Islamisasi Nusantara sebelum ulama Jawa diperankan oleh para wali songo atau para saudagar dari Timur Tengah yang ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Proses Islamisasi banyak berbagai macam dalam bentuk penyebarannya dari berdakwah dengan menyebarkan agama Islam dan ada dengan bentuk pengajian, bentuk budaya yang ditampilkan oleh Sunan Kali Jaga. 
Peran ulama Jawa setelah wali songo dalam penyebaran agama Islam dilakukan dengan bentuk berdakwah dan melalui pendidikan dalam proses intelektualisasi ilmu pengetahuan para ulama jawa banyak yang menuntut ilmu ke timur tengah. Setelah mereka kembali ke Indonesia memperaktikkan ilmu yang telah didapat di timur tengah. Sehingga pendidikan di Timur Tengah banyak yang mengadopsi dari Timur Tengah. Seperti pendidikan di Aceh dengan istilah Meunasah dan di Jawa dengan istilah madrasah.
Perkembangan intelektual Islam di nusantara dalam dunia pendidikan mengalami banyak kemajuan dari hubungan ulama Indonesia dengan ulama yang ada di Timur Tengah. Dengan banyaknya ulama Indonesia yang menuntut ilmu di timur tengah membuka kran ilmu pengetahuan bagi ulama-ulama Indonesia. Perkembagan pendidikan dapat dilihat dari bentuk pendidikan Islam di Indonesia sebelum lembaga pendidikan Islam mengadopsi dari barat. Dengan banyaknya ulama-ulama yang ada di Indonesia perkembangan pendidikan dan lembaga pendidikan di Indoensia mengalami perkembangan yang pesat. Karena dari banyak ulama yang ada memberikan warna yang berbeda bagi daerah yang di tempati para ulama ini.