Sabtu, 17 Juni 2017

HUBUNGAN ULAMA DENGAN INSTITUSI PENDIDIKAN



Melekatnya term keulamaan pada diri seseorang bukan melalui suatu proses formal, tetapi melalui pengakuan setelah melalui proses panjang dalam masyarakat itu sendiri dimana unsur-unsur keulamaan pada seseorang berupa integritas, kualitas keilmuan dan kredibilitas kesalehan moral dan tanggung jawab sosialnya dibuktikan. Keulamaan seseorang tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki.
Secara historis sulit untuk melacak kapan term ulama menjadi bagian dalam tradisi umat Islam. Paling tidak informasi yang paling awal adalah ketika Nabi berada di Madinah, ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di Madinah tercatat sekelompok orang yang tinggal di emperan masjid Madinah untuk memperdalam masalah agama. Kemudian kelompok ini dikenal dengan nama Abl al-Suffah. Disamping kelompok ini ada pula perseorangan yang perdalam spesialisasi tertentu dalam bidang keagamaan, seperti Ibn Abbas, yang dikenal sebagai ahli tafsir. Kelompok dan perseorangan ini tampaknya yang kemudian berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya kelompok ulama dalam masyarakat muslim.
Munculnya lembaga keulamaan sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka yang dipanggil sebagai ulama adalah ilmuan ahli tafsir, ahli hadis dan ahli fiqh, baik yang menulis buku ataupun yang mengajar. Terlebih lagi bagi mereka yang melakukan penelitian dan pengembangan ilmunya. Dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam, sering dengan semakin banyaknya pemeluk agama Islam, semakin membutuhkan orang yang memahami dengan benar ajaran yang dibawa oleh Muhammad SAW. Disinilah kemudian Persebaran para pengajar yang secara resmi diangkat oleh khalifah untuk mengajar masjid-masjid.
Ulama merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi” (al-’Ulama ’Waratsah al-Anbiya’). Wajar jika dalam Islam, posisi mereka dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari. Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran Islam, yakni al-Qur’an dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan ketinggian akhlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.
Dari penjelasana di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sebagai tokoh terpelajar Muslim, hingga saat ini telah mempertahankan status mereka sebagai pewaris simbol-simbol Islam. Orang tidak akan dapat menyebut suatu lembaga dengan mengabaikan bentuk lembaga ulama, dalam arti kepentingan ulama pasti terkait dengan masa depan Islam. Karena itu jelas pula bahwa tidak ada satupun kelompok yang dapat disamakan dengan tradisi Islam seperti yang telah diperankan oleh ulama.
Institusi sosial yang paling dekat hubungannya dengan ulama adalah institusi pendidikan yang berhubungan dengan statusnya sebagai elite intelektual. Hubungan ulama dan institusi pendidikan hadir dalam bentuk suatu hubungan yang mutual saling terkait dan saling membutuhkan. Ada dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan Islam. Di satu sisi lembaga pendidikan Islam adalah merupakan sarana transmisi keilmuan bagi ilmu yang dimiliki oleh ulama, sementara di sisi lain, institusi-institusi formal atau tidak formal dari pendidikan, adalah sarana pembentukan dan pengkaderan ulama.
Dalam hubungannya dengan institusi pendidikan, ulama terlibat sebagai fungsionaris yang mempunyai peran sentral. Peranan tersebut terlihat dalam setiap tahap perkembangan institusi pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya seperti  majlis, halaqah, maktab, kuttab, jami', madrasah, zatuiyyah dan ribat. lstilah umum bagi ulama yang ditemukan  dalam berbagai institusi ini adalah mudarris atau mu'allim. Ketika lembaga pendidikan Islam semakin berkembang yaitu pada abad ke-10 dan ke-11, maka hirarkinya pun semakin kompleks. Herarki itu, selain didasarkan pada ikatan historis  dengan lembaga yang ada, juga tentu pada keahlian masing-masing yaitu disebut dengan syeikh. Di bawahnya adalah Naif, Muid dan Mufid, yang tidak pula harus merupakan ulama dalam pengertian yang sesungguhnya.
Dari uraian di atas kita dapatkan ada dua pola hubungan antara ulama dan institusi pendidikan. Pada masjid dan lembaga lainnya sebelum madrasah, hubungan antara ulama dengan  isntitusi pendidikan berada dalam satu hubungan yang berbeda dengan pola hubungan yang terjadi, setelah adanya madrasah.  Pada madrasah hubungan antara ulama dan murid lebih terkendali dalam pengertian sudah ada pemilahan-pemilahan pengajaran ataupun tingkatan pengajaran, ataupun keterlibatan penguasa dan pemberi waqaf. Hubungan yang sangat erat ini memberikan gambaran bahwa ulama dalam menigkatkan pendidikan khususnya dalam pendidikan Islam mempunyai peran yang penting dalam mengawal kemajuan pendidikan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar