Melekatnya
term keulamaan pada diri seseorang bukan melalui suatu proses formal, tetapi
melalui pengakuan setelah melalui proses panjang dalam masyarakat itu sendiri
dimana unsur-unsur keulamaan pada seseorang berupa integritas, kualitas
keilmuan dan kredibilitas kesalehan moral dan tanggung jawab sosialnya dibuktikan.
Keulamaan seseorang tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi
dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki.
Secara
historis sulit untuk melacak kapan term ulama menjadi bagian dalam tradisi umat
Islam. Paling tidak informasi yang paling awal adalah ketika Nabi berada di
Madinah, ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk
memperdalam ilmu-ilmu agama. Di Madinah tercatat sekelompok orang yang tinggal
di emperan masjid Madinah untuk memperdalam masalah agama. Kemudian kelompok
ini dikenal dengan nama Abl al-Suffah. Disamping kelompok ini ada pula
perseorangan yang perdalam spesialisasi tertentu dalam bidang keagamaan,
seperti Ibn Abbas, yang dikenal sebagai ahli tafsir. Kelompok dan perseorangan
ini tampaknya yang kemudian berkembang dan menjadi cikal bakal lahirnya
kelompok ulama dalam masyarakat muslim.

Ulama
merupakan sosok yang sangat strategis dalam Islam. Dalam banyak hal, mereka
dipandang menempati kedudukan dan otoritas keagamaan setelah Nabi Muhammad
sendiri. Salah satu hadis bahkan menyatakan “ulama merupakan pewaris para Nabi”
(al-’Ulama ’Waratsah al-Anbiya’). Wajar jika dalam Islam, posisi mereka
dihormati. Pendapat mereka juga dianggap mengikat dalam berbagai masalah, bukan
hanya menyangkut masalah ibadah semata tapi juga aspek kehidupan sehari-hari.
Signifikansi peran ulama dalam Islam terletak pada kenyataan bahwa mereka
dipandang sebagai penafsir-penafsir yang sah dari sumber-sumber asli ajaran
Islam, yakni al-Qur’an dan hadis. Selain memiliki pengetahuan agama yang mendalam
dan ketinggian akhlak, para ulama bergerak pada berbagai kegiatan sosial.
Dari
penjelasana di atas, dapat disimpulkan bahwa ulama sebagai tokoh terpelajar
Muslim, hingga saat ini telah mempertahankan status mereka sebagai pewaris
simbol-simbol Islam. Orang tidak akan dapat menyebut suatu lembaga dengan
mengabaikan bentuk lembaga ulama, dalam arti kepentingan ulama pasti terkait
dengan masa depan Islam. Karena itu jelas pula bahwa tidak ada satupun kelompok
yang dapat disamakan dengan tradisi Islam seperti yang telah diperankan oleh
ulama.
Institusi
sosial yang paling dekat hubungannya dengan ulama adalah institusi pendidikan
yang berhubungan dengan statusnya sebagai elite intelektual. Hubungan ulama dan
institusi pendidikan hadir dalam bentuk suatu hubungan yang mutual saling terkait
dan saling membutuhkan. Ada dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan
Islam. Di satu sisi lembaga pendidikan Islam adalah merupakan sarana transmisi
keilmuan bagi ilmu yang dimiliki oleh ulama, sementara di sisi lain,
institusi-institusi formal atau tidak formal dari pendidikan, adalah sarana
pembentukan dan pengkaderan ulama.
Dalam
hubungannya dengan institusi pendidikan, ulama terlibat sebagai fungsionaris
yang mempunyai peran sentral. Peranan tersebut terlihat dalam setiap tahap
perkembangan institusi pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya seperti majlis, halaqah, maktab, kuttab, jami',
madrasah, zatuiyyah dan ribat. lstilah umum bagi ulama yang ditemukan dalam berbagai institusi ini adalah mudarris atau mu'allim. Ketika lembaga pendidikan Islam semakin berkembang yaitu
pada abad ke-10 dan ke-11, maka hirarkinya pun semakin kompleks. Herarki itu,
selain didasarkan pada ikatan historis
dengan lembaga yang ada, juga tentu pada keahlian masing-masing yaitu
disebut dengan syeikh. Di bawahnya adalah Naif, Muid dan Mufid, yang tidak pula
harus merupakan ulama dalam pengertian yang sesungguhnya.
Dari
uraian di atas kita dapatkan ada dua pola hubungan antara ulama dan institusi
pendidikan. Pada masjid dan lembaga lainnya sebelum madrasah, hubungan antara
ulama dengan isntitusi pendidikan berada
dalam satu hubungan yang berbeda dengan pola hubungan yang terjadi, setelah
adanya madrasah. Pada madrasah hubungan
antara ulama dan murid lebih terkendali dalam pengertian sudah ada
pemilahan-pemilahan pengajaran ataupun tingkatan pengajaran, ataupun
keterlibatan penguasa dan pemberi waqaf. Hubungan yang sangat erat ini
memberikan gambaran bahwa ulama dalam menigkatkan pendidikan khususnya dalam
pendidikan Islam mempunyai peran yang penting dalam mengawal kemajuan
pendidikan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar