PROBLEMA
BELAJAR (PEMBELAJARAN)
DALAM
PERSPEKTIF PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Berbicara
tentang belajar, alangkah lebih baiknya terlebih daulu kita kaitkan dengan
konsep dasar kebijaksanaan, yang mana setiap generasi ingin mewariskan sesuatu
kepada generasi penerusnya (kebijaksanaan pendidikan adalah salah satu
kebijaksaan negara secara keseluruhan dari sub sistemnya).[1]
Yang diwariskan dapat berupa produk budaya pada generasi sebelumnya atau
mungkin produk budaya pada zamannya. Sesuatu itu bisa berupa pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai. Sementara proses pewarisan tersebut acapkali menggunakan
pendidikan sebagai alat atau sarananya.
Keterangan
diatas tadi, pada dasarnya setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti
mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi
seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisme tersebut, baik yang
bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa
perkembangan itu khusunya perkembangan manusia tidak terwujud pada aspek psikologis
saja, tetapi juga aspek biologis.
Pembahasan
mengenai perkembangan ranah-ranah psiko-fisik, tidak lepas kaitannya dengan
pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran dan belajarnya siswa. Secara
istilah belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat
fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan.[2]
Ini berarti berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat
bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di
sekolah maupun lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Oleh karenanya,
pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan
manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru.
Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan
hal-hal yang berkaitan dengan mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya
hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.
Berhubungan
dengan kendala-kendala dalam kegiatan belajar anak didik, seorang guru dapat
mengukur dari tiga aspek, yaitu:
1. Perkembangan
motor (motor divelopment), yakni
proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam
keterampilan fisik anak (motor skills).
2. Perkembangan
kognitif (cognitive divelopment),
yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan
kemampuan/kecerdasan otak.
3. Perkembangan
sosial dan moral (social and moral
development), yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan
perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok.
Ketiga
aspek ditas tadi, harus dipegang teguh oleh seorang pendidik. Karena guru-guru
pada zaman sekarang sudah terfasilitasi lembaga pendidikan untuk menekuni
berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berbeda dimasa penjajahan Indonesia, karena
dengan sistem Tanam Paksa, suatu metode ekploitasi besar-besaran, akhirnya
mendorong penjajah untuk memberikan pendidikan pada anak-anak Indonesia,
terutama bagi golongan atas, untuk mendidik pegawai untuk mengawasi perkebunan
pemerintah saat itu.[3]
B. Pengertian
Problem Belajar
Dalam
kurikulum pendidikan dijelaskan bahwa kesulitan belajar merupakan terjemahan
dari bahasa Inggris “Learning Disability”
yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan “kesulitan” untuk memberikan kesan optimis
bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain learning disability adalah learning difficulities dan learning differences. Ketiga istilah
tersebut memiliki nuasnsa pengertian yang berbeda. Disatu pihak, penggunaan
istilah learning differences lebih
bernada positif, namun dipihak lain istilah learning
disabelities lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk memnghindari
bias dan perbedaan rujukan maka yang digunakan istilah kesulitan belajar.[4]
Sebenarnya
kesulitan belajar tidak lepas dengan
kaitannya juga dengan Diagnosis. Kata “Diagnosis”
berasal dari bahasa Yunani, berarti: Penentuan jenis penyakit dengan meneliti
(memeriksa) gejala-gejala atau proses pemeriksaan terhadap hal yang dipandang
tidak beres. Dengan demikian secara terminalogis, maka diagnosis kesulitan
belajar adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh guru atau penyuluh terhadap
murid yang diduga mengalami kesulitan belajar untuk memnentukan jenis dan
kekhususan kesulitan belajar.[5]
Dari
hasil diagnosis ini, guru merancang pertolongan terhadap murid berupa perbaikan
belajar-mengajar. Optimalisasi perbaikan belajar-mengajar itu berlangsung
dengan baik, apabila usaha guru untuk memperbaiki cara belajar murid adalah
seimbang dengan usaha guru untuk memperbaiki acara pengajarannya sendiri. Dan
hendaknya juga diingat, agar guru tidak hanya berfikir supaya anak itu mengerti
tapi harus harus mengerti cara anak berfikir.
Beberapa
peranan penting dari diagnosis dan perbaikan belajar dapat dikemukakan anatar
lain sebagai berikut:
1. Diagnosis
dan perbaikan belajar dapat membantu murid untuk berkembang sesuai dengan
kemampuannya. Keberadaan diagnosis dan perbaikan belajar sangat besar artinya
bagi siswa yang mempunyai kemampuan untuk teman-temannya sekelas. Tanpa adanay
program tersebut, anak yang kurang mampu akan selamanya tertinggal dari
teman-temannya. Dan anak yang pintar mungkin akan menyalurkan kemampuannya yang
berlebihan ke hal-hal yang negatif.
2. Diagnosis
dan perbaikan belajar membuat guru lebih mengnal murid-muridnya. Program ini
akan menyadarkan guru akan “keaneka-ragaman”
muridnya. Kesadaran ini akan menolong guru untuk lebih memvariasikan kegiatan
belajar-mengajar yang dikelolanya sehingga setiap murid dalam kelas dapat
memetik manfaatnya.
3. Akibat
dari kedua hal diatas, program diagnosis dan perbaikan belajar akan sangat berperan
dalam meningkatkan kepuasan guru mengajar dan kepuasan murid belajar. Murid
yang belajar dengan kondisi yang memungkinkan dia maju sesuai dengan
kecepatannya, akan merasa memilki suatu kemampuan karena dia dapat menguasai
apa yang dipelajarinya.
C. Jenis-jenis Problema
Belajar
Kesulitan
belajar sering disebut dengan “Disfasia”. Kata disfasia adalah adanya kelainan
pada fase perkembangan bahasa dan bicara, dimana kemampuan produksi bicara
seseorang mengalami kelambatan dibandingkan dengan kemampuan pemahamannya.[6]
Disfasia terjadi karena adanya gangguan pada proses transisi dari observasu
objek, perasaan, pikiran, pengalaman atau ide terhadap kata yang diucapkan.
Selain itu, disfasia dapat terjadi sejak dalam kandungan. Gangguan bicara dapat
sekunder karena gangguan pendengaran, retardasi mental, gangguan psikiatri dan
lingkungan yang tidak menunjang. Gangguan disfasia inilah yang akhirnya
meunjang seseorang mengalami beragam kesulitan belajar.
Secara
umum kesulitan belajar dibagi dalam tiga kelompok: kesulitan belajar dalam
membaca (dysleksia learning), dalam
menulis (dysgraphia learning) dan
kesulitan dalam menghitung (diyscalculia
learning).
1. Kesulitan
Membaca (Dysleksia Learning)
Sebenarnya
gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan secara fisik, seperti karena ada
masalah dengan penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses
informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Disleksia merupakan salah satu
gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup, dan
dianggap suatu efek yang disebabkan karena gangguan dalam asosiasi daya ingat
(memori) dan pemprosesan sentral yang disebut membaca primer. Untuk dapat
membaca secara otomatis anak harus melalui pendidikan dan intelegensi yang
normal tanpa adanya gangguan sensoris.
Oleh
karena itu, kesulitan belajar jenis ini tidak tergantung pada tingkat
intelegensinya. Banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga memiliki gangguan
seperti ini. Adapun faktor penyebabnya adalah: 1) Keturunan atau faktor genetik
yang didahului disfasianya. 2) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron.
3) Gangguan migrasi meuron. 4) kerusakan akibat hipoksi-iskemik perinatal di
daerah parieto-temporo-oskipital.[7] Disleksia
dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
a) Disleksia
Diseideti atau Visual. Jenis ini, disebabkan adanya gangguan fungsi otak
dibagian belakang yang dapat menimbulkan gangguan persepsi visual dan memori
visual. Sebagai contohnya anak kesulitan membaca atau menulis huruf yang
bentuknya mirip sehingga anak sering terbalik. Huruf ‘m’ dan ‘w’, ‘u’ dan ‘n’
dan sebagainya.
b) Disleksia
verbal atau Linguistik. Jenis ini dilatarbelakangi disfasia pada masa sekolah,
ini disebut disleksia verbal atau linguistik yang ditandai dengan kesukaran
dalam diskriminasi atau persepsi auditoris sehingga anak sulit membaca dalam
mengeja dan menemukan kata atau kalimat.
c) Disleksia
Auditories. Jenis ini terjadi akibat gangguan dalam koneksi visual-auditif,
sehingga membaca terganggu atau lambat. Misalnya menambah huruf dalam suku kata
(addition), contohnya: tulis - menulis,
buku – bukuku.[8]
2. Kesulitan
Menulis (Dysgraphia Learning)
Pada
umumnya, anak yang berusia 2 atau 3 tahun belum belajar menulis, namun telah
menukai menulis walaupun hanya sekedar coretan yang belum bermakna. Ketika
memasuki usia sekolah, kegiatan menulis merupakan hal yang menyenangkan karena
mereka menyadari bahwa anak yang bisa menulis akan mendapatkan nilaibaik dari
gurunya. Dan menulis membutuhkan perkembangan kemampuan lebih lanjut dari
membaca.
Adapun
dalam kurikulum anak berkesulitan belajar, dysgrphia
learning terjadi pada beberapa tahap, yaitu:
a) Mengeja.
mengeja adalah aktivitas memproduksi huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan
dari kata atau suku kata.
b) Menulis
pemulaan. Menulis permulaan sama dengan melakukan aktivitas membuat gambar
simbol tertulis. Yang termasuk menulis permulaan adalah menulis cetak dan
sambung.
c) Menulis
lanjutan (ekspresi/komposisi). Menulis lanjutan merupakan aktivitas menulis
yang bertujuan untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan yang diwujudkan dalam
bentuk tulisan. Kegiatan ini sangat membutuhkan kemampuan dalam hal seperti:
berbahasa ujaran, mengeja, membaca serta menulis permulaan.[9]
3. Kesulitan
menghitung (Diyscalculia Learning)
Kesulitan
menghitung merupakan suatu gangguan perkembangan kemampuan aritmetika atau
keterampilan matematika yang jelas mempengaruhi pencapaian prestasi
akademikanya atau mempengaruhi kehidupan sehari-hari anak. Oleh karena itu
kesulitan berhitung dibagi sesuai dengan tingkatan kelompoknya, antara lain:
a) Kemampuan
dasar berhitung. Kemampuan ini dibagi menjadi 5 bagian:
1) Mengelompokkan
(classification). Hal ini merupakan
kemampuan anak dalam mengelompokkan suatu benda berdasarkan sesuatu, misalnya
ukran, jenisnya, warnanya, bentuknya dan sebagainya.
2) Membandingkan
(comparation). Membandingkan adalah
kemampuan untuk membandingkan dua buah benda (objek) berdasarkan ukuran atau
pun jumlahnya (kualitas).
3) Mengurutkan
(seriation). Mengurutkan adalah
kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua buah benda. Cara
mengurutkannya pun bisa dari yang paling pendek (minimal) ke yang paling
panjang (maksimal).
4) Menyimbolkan
(symbolization). Menyimbolkan adalah
kemampuan membuat simbol atas kuantitas berupa angka dan simbol.
5) Konservasi.
Konservasi merupakan kemampuan memahami, menghitung dan menggunakan suatu
kaidah yang sama dalam proses (operasi) hitung yang memiliki kemampuan. Bentuk
nyata dari konservasi adalah pada penggunaan rumus dalam operasi hitung.[10]
b) Kemampuan
dalam menentukan nilai tempat. Dalam matematis pemahaman akan nilai tempat
sangat penting. Hal itu disebabkan nilai bilangan ditentukan oleh tempat atau
posisi suatu angka di antara angka yang lain. Bilangan yang terletak di seblah
kiri mempunyai nilai besar daripada bilangan sebelumnya.
c) Kemampuan
dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan.
d) Kemampuan
memahami konsep perkalian dan pembagian
Ketiga
kesulitan tersebut sering kita jumpai dilapangan. Namun disisi lain, ada sebuah
permaslahan dimana posisi guru jarang mengetahui permasalahan ini pada muridnya,
contonya masalah yang sering terjadi pada siswa, yaitu lupa, ingat, dan
kejenuhan dalam belajar. Peristiwa lainnya yang sering kita alami juga, ialah
seakan-akan kita merasakan bahwa hasil belajar itu tidak ada kemajuan (mapan)
untuk beberapa waktu tertentu. Kalau digambarkan dalam sebuah kurva kemajuan belajar, akan tampak
sebagai garis mendatar, yang disebut dengan learning
plateu. Kejenuhan dalam belajar ini terjadi biasanya pada faktor keletihan,
physiological limits (batas-batas
kemampuan fisik kita), kejenuhan atau kebosanan (boring).[11]
D. Faktor-faktor
Penyebab Problema Belajar
Secara
global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat kita bedakan menjadi tiga
macam: 1) Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi
jasmani dan rohani siswa. 2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni
kondisi lingkungan disekitar siswa. 3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis
upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa
untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.[12]
Faktor-faktor
diatas sering dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu
sama lain. seorang siswa yang bersifat conserving
terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstriksik (faktor internal)
umpamanya biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar sederhana dan tidak
mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor
internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal)
mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil
pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut diataslah muncul
siswa-siswa yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers
(berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, guru yang kompeten
dan profesional diharapkan mampu memngatasi faktor yang menghambat proses
belajar mereka.
1)
Faktor
Internal Siswa
a) Aspek
Fisiologis
Kondisi
umum jasmani dan tonus (tegangan
otot) yang menandai tinggi kebugaran organ-organ tubh dan sendi-sendinya, dapat
mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.[13]
Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing kepala
misalnya, dapat menurunkan kualitas rranah cipta (kognitif) sehingga materi
yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
Untuk
mempertahankan tonus jasmani agar
tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang
bergizi. Selain itu, siswa dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga
ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Untuk
mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga atas, guru yang
profesional seyogiannya berkejasama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan
pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan.
b) Aspek
Psikologis
Banyak
faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan
kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah
siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut:
1. Tingkat
kecerdasan/Intelegensi siswa.
Intelegensi
pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi
rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat.
Jadi, intelegensi bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas
organ-organ tubuh lainnya.[14]
Tingkat
kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tidak dapat diragukan lagi, sangat
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi
kemampuan intelegenai seorang siswa maka semakin besar peluang-peluang untuk
meraih sukses.
Setiap
calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan
intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang
bersangkutan. Di satu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak
mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan
terlampa mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena
tuntutan keingintahuannya merasa dibendung secara tidak adil.
2. Sikap
siswa
Sikap
adalah gejalan internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk
mereaksi atau merespons dengan cara relatif terhadap objek orang, barang, dan
sebagainya, baik secara positif maupun negatif.[15]
Sikap (attitude) siswa yang positif,
terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan merupakan petanda awal
yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Karena setiap siswa yang diajar
merupakan individu yang menarik dan kompleks. Akan tetapi, hingga titik
tertentu, sehingga guru dapat mengendalikan prilaku siswa dan menfokuskan pada
perkembangannya.[16]
Untuk
mangantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa, guru dituntut untuk
terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap
mata pelajaran yang menjadi haknya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata
pelajaran, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan
mencintai profesinya.
3. Bakat
siswa
Secara
umum, bakat (aptitude) adalah
kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada
masa yang akan datang.[17]
Jadi, secara umum bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah sebabnya seorang
anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior)
atau cerdas luar biasa (very
superior) disebut juga sebagai talented
child, yakni anak berbakat.
Sehubungan
dengan dal diatas, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi
belajar bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak
bijaksana apabila orang tua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya
pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang
dimiliki anaknya itu.
4. Minat
siswa
Secara
sederhana, minat (interest) berarti
kecenderungan dan kegariahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.[18]
Menurut Reber (1988), minat tidak akan termasuk istilah populer dalam psikologi
karena kebergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya
seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Seumpamanyam
seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak
daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif
terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tersebut untuk belajar lebih
giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. Bagi guru yang
profesional, setidaknya membangun sikap positif pada anak tersebut.
5. Motivasi
siswa
Motivasi
adalah keadaan internal organisme-baik manusia ataupun hewan-yang mendorongnya
untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara
terarah. Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu: 1) motivasi instrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari
dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. 2)
Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa
yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.[19]
Dalam
perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi
intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan
atau pengaruh orang lain.
2)
Faktor
Eksternal Siswa
a) Lingkungan
Sosial
Lingkungan
sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan (kepala sekolah dan
wakil-wakilnya) dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar
seorang siswa. Yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan
tetangga juga teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswa tersebut.
Kondisi masyarakat lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak
pengangguran, misalnya, akan mempengaruhi aktivitas siswa. Dan lingkungan
sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar belajar ialah orang tua
dan keluarga siswa itu sendiri.
b) Lingkungan
Nasional
Faktor-faktor
yang termasuk lingkungan nasional ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah
tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca
dan waktu belajar yang digunakan oleh siswa. Faktor-fakor ini dipandang turut
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
3)
Faktor
Pendekatan Belajar
Pendekatan
belajar dapat dipahami sebagai keefektifan segala cara dan strategi yang
digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efesiensi proses belajar materi
tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat operasional yang
direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan
belajar tertentu.
E. Cara Mengatasi
Problem Belajar
Sejak
manusia dilahirkan, hingga menjelang akhir hidupnya, ia selalu menghadapi
permasalahan belajar. Untuk itu, ia harus mempelajari berbagai hal. Satu di
antaranya ialah belajar mengenai cara-cara belajar yang baik atau dikenal
dengan metode. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia menyebut metode sebaga “cara yang teratur dan terpikir baik-baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan), atau “cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan”.[20]
Berdasarkan
pengertian diatas tadi, yang dimaksud metode belajar adalah cara teratur untuk
mencapai maksud belajar. Dari beberapa metode belajar yang dikemukakan para
psikolog dan ahli pendidikan, kita perlu mengetahui beberapa metode penting
berikut.
a) Metode
SQ3R
Sebenarnya
Metode SQ3R dirancang oleh pakar psikologi, Francis P. Robinson. Nama tersebut
merupakan pendekatan dari lima tugas yang harus dihadapi atau kita lakukan: 1) Survey (menyelidiki), 2) Question (bertanya), 3) Read (membaca), 4) Recite (menceritakan kembali), 5) Review (mengulangi).
b) Metode
PQRST
Metode ini pokok
isinya hampir mirip dengan SQ3R. Metode PQRST merupakan singkatan dari 1) (P) review (menyelidiki) adalah satu
langkah atau tahapan sebelum seseorang membaca sebuah buku. Penyelidikan ini
bisa dilakukan dengan kalimat-kalimat awal atau kalimat-kalimat pokok pada
permulaan atau akhir suatu paragraf, ataupun ringkasan pada akhir suatu bab. 2)
(Q) uestion (ertanya). 3) (R)
ead (membaca). 4) (S) tate (menyatakan). 5)
(T) est (menguji). Metode ini
dibuat oleh Thomas F. Staton dam bukunya How
to Study (1952).
c) Metode
Quantum Learning
Metode ini memberikan
kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses yang bisa menghemat waktu,
mempertajam pemahaman dan daya ingat, dan menjadikan belajar sebagai proses
yang menyenangkan dan bermanfaat. Quantum
Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik kebangsaan
Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutkan sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Prinsipnya adalah sugesti dapat dan pasti
mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti
positif ataupun negatif.
Teknik-teknik
yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid
secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi
individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan sambil menonjolkan
informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran
sugesti.[21]
Sesuai
dari ketiga metode tersebut tak lepas dari permasalahan belajar di sekolah yang
terkait dengan beberapa hal. Karena siswa berhubungan langsung dengan guru,
bahan belajar, pemerolehan pengetahuan dan pengalaman, dan tata kerja evaluasi
belajar. Di sampung itu, siswa secara intern menghadapi disiplin, kebiasaan,
dan semangat belajarnya sendiri. Faktor intern dan ekstern siswa merupakan hal
yang cukup kompleks. Karena siswa yang belajar di sekolah merupakan akibat dari
program pembelajaran guru. Guru berkepentingan akibat dari program pembelajaran.
Demikian sebagai pendidik generasi muda bangsa, guru berkewajiban mencari dan
menemukan masalah-masalah belajar yang dihadapi siswa. Problem ini dapat
dipecahkan oleh seorang guru dengan cara tertentu, yaitu:
1. Pengamatan
Perilaku Belajar
Dalam menangani
masalah ini, Guru selaku pengamat, melakukan pengamatan terhadap perilaku
siswa. Dalam pengamatan tersebut guru juga mewawancarai siswa atau teman
belajarnya. Jadi ada perbedaan peran guru, yaitu peran membelajarkan dan peran
pengamat untuk menemukan masalah-masalah belajar. Bila masalah siswa ditemukan,
maka sebagai pendidik, guru berusaha membantu memecahkan masalah belajar. Peran
pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut:
a) Menyusun
rencana pengamatan, seperti tindak belajar kelompok atau belajar sendiri, atau
yang lain.
b) Memilih
siapa yang akan diamati, meliputi beberapa orang siswa.
c) Menentukan
beberapa lama berlangsungnya pengamatan, seperti dua, tiga atau empat bulan.
d) Menentukan
hal-hal apa yang diamati, seperti cara siswa membaca, cara menggunakan media
belajar, prosedur, dan cara proses belajar sesuatu.
e) Mencatat
hal-hal yang diamati.
f) Menafsirkan
hasil pengamatan.
2. Analisis
Hasil Belajar
Setiap kegiatan
belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar tiap siswa di kelas
terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar
terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian, dan yang berwujud
karya atau benda. Dalam melakukan analisis hasil belajar pada tempatnya guru
melakukan langkah-langkah berikut:
a) Merencanakan
analisis sejak awal semester, sejalan dengan desain intruksional.
b) Merencanakn
jenis-jenis pekerjaan siswa yang dipandang sebagai hasil belajar.
c) Merencakan
jenis-jenis ujian dan alat evaluasi.
d) Mengumpulkan
hasil belajar siswa, baik yang berupa jawaban ujian tulis, ujian lisan, dan
karya tulis maupun benda.
e) Melakukan
analisis secara statistik tentang angka-angka perolehan ujian dan mengategori
karya-karya yang tidak bisa diangkakan.
f) Mempertimbangkan
hasil hasil pengamatan pada kegiatan siswa.
g) Mempertimbangkan
tingkat kesukaran bahan ajar bagi kelas, yang dibandingkan dengan program
kurikulum yang berlaku.
h) Memperhatikan
kondisi ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya dalam belajar.
i)
Guru juga
melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada siswa menjelang akhir
semester.
3. Tes
Hasil Belajar
Pada penggal
proses belajar dilancarkan tes hasil belajar. Adapun jenis tes yang digunakan
umumnya digolongkan sebagai tes lisan dan tes tulis. Tes tertulis terdiri dari
tes esai dan tes objektif. Karena tes hasil belajar adalah alat ntuk
membelajarkan siswa. Meskipun demikian keseringan penggunaan tes tertentu akan
menimbulkan kebiasaan tertentu. Artinya, jenis tes tertentu akan membentuk
jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik tertentu. Sebagai
ilustirasi, uji kemampuan afektif seperti penilaian sikap pada PMP tidak dapat
diuji dengan menggunakan tes objektif atau dengan memilih isian benar dan
salah.[22]
Paparan
yang diatas tadi, merupakan solusi bagaimana problema kesulitan belajar yang
terjadi pada anak didik mudah teratasi secara baik, dan ini adalah tanggung
jawab seorang guru, terutama peran orang tua dirumah. Tapi pada dasarnya, alat
ukur tersebut dapat kita hubungkan dengan “Tripusat pendidikan”. Istilah tripusat
pendidikan berasal dari istilah yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantoro,[23]
dalam memberdayakan semua unsur masyarakat untuk membangun pendidikan. Yang
dimaksud dengan tripusat pendidikan adalah setiap pribadi manusia akan selalu
berada dan mengalami perkembangan dalm tiga lembaga pendidikan, yaitu:
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang berperan tinggi
terhadap pendidikan, khususnya problem yang dimilki oleh siswa, sehingga
seorang guru dapat mengetahuinya atas yang ia alami, yaitu:
1. Perlu
menyadari bahwa proses pendidikan itu memerlukan tenggang waktu yang cukup
lama.
2. Dalam
proses pendidikan itu berlaku prinsip irrevisibilitas, dimana terhadap setiap
kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan yang guru lakukan tidak dapat
diulangi kembali.
3. Tantangan
yang guru hadapi di masa depan cenderung berkembang semakin kompleks dengan
ditandai semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin terbuka.
4. Guru
dituntut untuk pandai menyusun perencanaan pembangunan pendidikan secara akurat,
sehingga mengantisipasi tantangan dan permasalahan yang akan menjadi di masa
depan.[24]
F.
Kesimpulan
Sebenarnya
kesulitan belajar tidak lepas dengan kaitannya juga dengan Diagnosis. Dengan demikian, maka diagnosis kesulitan belajar adalah
pemeriksaan yang dilakukan oleh guru atau penyuluh terhadap murid yang diduga
mengalami kesulitan belajar untuk memnentukan jenis dan kekhususan kesulitan
belajar.
Jadi
proses belajar merupakan hal yang kompleks. Siswalah yang menentukan terjadi
atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa menghadapi
masalah-masalah secara intern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya,
maka ia tidak belajar dengan baik. Faktor intern, ekstern dan pendekatan
belajarlah yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses
belajarnya.
Kesulitan
belajar dapat dilakukan jika guru mampu menandai atau mengidentifikasi adanya
kesulitan belajar pada muridnya. Oleh karena itu, agar kesulitan belajar dapat
dipecahkan secara sistematis dan terarah, maka hendaknya guru memahami
langkah-langkahnya, yaitu: mengidentifikasi adanya kesulitan belajar, menelaah
dan menetapkan status siswa, dan memperkirakan sebab kesulitan belajarnya.
G. Saran
Adapun
saran yang penulis berikan pada pembaca adalah: Perlu
dilakukan perubahan yang lebih mengarah pada kurikulum berbasis kompetensi,
serta lebih adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
kebutuhan masyarakat pada saat ini.
Perlunya ditingkatkan kualitas
pendidik dalam usaha Peningkatan mutu pendidikan. Hal ini dapat dilakukan
dengan meggunakan metode baru dalam pelaksanaan pembelajaran.
H. Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995).
Cowley, Sue. Panduan Manajemen Perilaku Siswa, (Erlangga
Group, 2001).
Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta,
Bumi Aksara, 1996).
Makmun,
Syamsuddi, Abin. Psikologi Kependidikan,
Perangkat Sistem Pengajaran Modul, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1997)
Mudjiono, Dimyati. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 2009).
Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta,
Bumi Aksara, 2001).
Said, Bustami. Buku Ajar Prinsip-prinsip Pengelolaan
Pembelajaran, (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006).
Sobur, Alex. Psikologi Umum, (Bandung, CV. Pustaka
Setia, 2003).
Subini, Nini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012).
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002).
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010).
Triyo Suprayitno, Moh.
Padil. Sosiologi Pendidikan, (Malang,
UIN Maliki Press, Anggota IKAPI, 2010).
Tim Dosesn IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, (Surabaya, Usaha Nasional, 2003)
[1]
Ali Imron. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta,
Bumi Aksara, 1996), hlm. 18-19
[2] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
(Bandung, PT Rosdakarya, 2010), hlm. 87
[3] S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta,
Bumi Aksara, 2001), hlm. 34-35
[4] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012), hlm. 56
[5] Bustami Said. Buku Ajar Prinsip-prinsip Pengelolaan
Pembelajaran, (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006), hlm. 55
[6] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012), hlm. 64
[7] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012), hlm. 67
[8] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012), hlm. 68-70
[9] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta,
Mentari Pustaka, 2012), hlm. 73-75
[10] Ibid., hlm. 78-80
[11] Abin Syamsuddi Makmun. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem
Pengajaran Modul, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 117
[12] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 132
[13] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 132
[14] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 131
[15] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 135
[16] Sue Cowley. Panduan Manajemen Perilaku Siswa, (Erlangga Group, 2001), hlm. 149
[17] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 133
[18] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 135
[19] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru,
((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 134
[20] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta, Balai Pustaka, 1995), hlm. 652
[21] Alex Sobur. Psikologi Umum, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 252-257
[22] Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 2009), hlm. 245-259
[23] Tim Dosesn IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, (Surabaya,
Usaha Nasional, 2003), hlm. 13
[24] Moh. Padil dan Triyo Suprayitno.
Sosiologi Pendidikan, (Malang, UIN
Maliki Press, Anggota IKAPI, 2010), hlm. 147-148