Senin, 26 November 2012

PSIKOLOGI PENDIDIKAN


PROBLEMA BELAJAR (PEMBELAJARAN)
DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A.  Pendahuluan
Berbicara tentang belajar, alangkah lebih baiknya terlebih daulu kita kaitkan dengan konsep dasar kebijaksanaan, yang mana setiap generasi ingin mewariskan sesuatu kepada generasi penerusnya (kebijaksanaan pendidikan adalah salah satu kebijaksaan negara secara keseluruhan dari sub sistemnya).[1] Yang diwariskan dapat berupa produk budaya pada generasi sebelumnya atau mungkin produk budaya pada zamannya. Sesuatu itu bisa berupa pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. Sementara proses pewarisan tersebut acapkali menggunakan pendidikan sebagai alat atau sarananya.
Keterangan diatas tadi, pada dasarnya setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisme tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khusunya perkembangan manusia tidak terwujud pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis.
Pembahasan mengenai perkembangan ranah-ranah psiko-fisik, tidak lepas kaitannya dengan pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran dan belajarnya siswa. Secara istilah belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan.[2] Ini berarti berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun lingkungan rumah atau keluarganya sendiri. Oleh karenanya, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.
Berhubungan dengan kendala-kendala dalam kegiatan belajar anak didik, seorang guru dapat mengukur dari tiga aspek, yaitu:
1.      Perkembangan motor (motor divelopment), yakni proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan fisik anak (motor skills).
2.      Perkembangan kognitif (cognitive divelopment), yakni perkembangan fungsi intelektual atau proses perkembangan kemampuan/kecerdasan otak.
3.      Perkembangan sosial dan moral (social and moral development), yakni proses perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak berkomunikasi dengan orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.

Ketiga aspek ditas tadi, harus dipegang teguh oleh seorang pendidik. Karena guru-guru pada zaman sekarang sudah terfasilitasi lembaga pendidikan untuk menekuni berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berbeda dimasa penjajahan Indonesia, karena dengan sistem Tanam Paksa, suatu metode ekploitasi besar-besaran, akhirnya mendorong penjajah untuk memberikan pendidikan pada anak-anak Indonesia, terutama bagi golongan atas, untuk mendidik pegawai untuk mengawasi perkebunan pemerintah saat itu.[3]

B.  Pengertian Problem Belajar
Dalam kurikulum pendidikan dijelaskan bahwa kesulitan belajar merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “Learning Disability” yang berarti ketidakmampuan belajar. Kata disability diterjemahkan “kesulitan” untuk memberikan kesan optimis bahwa anak sebenarnya masih mampu untuk belajar. Istilah lain learning disability adalah learning difficulities dan learning differences. Ketiga istilah tersebut memiliki nuasnsa pengertian yang berbeda. Disatu pihak, penggunaan istilah learning differences lebih bernada positif, namun dipihak lain istilah learning disabelities lebih menggambarkan kondisi faktualnya. Untuk memnghindari bias dan perbedaan rujukan maka yang digunakan istilah kesulitan belajar.[4]
Sebenarnya kesulitan belajar tidak lepas dengan kaitannya juga dengan Diagnosis. Kata  “Diagnosis” berasal dari bahasa Yunani, berarti: Penentuan jenis penyakit dengan meneliti (memeriksa) gejala-gejala atau proses pemeriksaan terhadap hal yang dipandang tidak beres. Dengan demikian secara terminalogis, maka diagnosis kesulitan belajar adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh guru atau penyuluh terhadap murid yang diduga mengalami kesulitan belajar untuk memnentukan jenis dan kekhususan kesulitan belajar.[5]
Dari hasil diagnosis ini, guru merancang pertolongan terhadap murid berupa perbaikan belajar-mengajar. Optimalisasi perbaikan belajar-mengajar itu berlangsung dengan baik, apabila usaha guru untuk memperbaiki cara belajar murid adalah seimbang dengan usaha guru untuk memperbaiki acara pengajarannya sendiri. Dan hendaknya juga diingat, agar guru tidak hanya berfikir supaya anak itu mengerti tapi harus harus mengerti cara anak berfikir.
Beberapa peranan penting dari diagnosis dan perbaikan belajar dapat dikemukakan anatar lain sebagai berikut:
1.      Diagnosis dan perbaikan belajar dapat membantu murid untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya. Keberadaan diagnosis dan perbaikan belajar sangat besar artinya bagi siswa yang mempunyai kemampuan untuk teman-temannya sekelas. Tanpa adanay program tersebut, anak yang kurang mampu akan selamanya tertinggal dari teman-temannya. Dan anak yang pintar mungkin akan menyalurkan kemampuannya yang berlebihan ke hal-hal yang negatif.
2.      Diagnosis dan perbaikan belajar membuat guru lebih mengnal murid-muridnya. Program ini akan menyadarkan guru akan “keaneka-ragaman” muridnya. Kesadaran ini akan menolong guru untuk lebih memvariasikan kegiatan belajar-mengajar yang dikelolanya sehingga setiap murid dalam kelas dapat memetik manfaatnya.
3.      Akibat dari kedua hal diatas, program diagnosis dan perbaikan belajar akan sangat berperan dalam meningkatkan kepuasan guru mengajar dan kepuasan murid belajar. Murid yang belajar dengan kondisi yang memungkinkan dia maju sesuai dengan kecepatannya, akan merasa memilki suatu kemampuan karena dia dapat menguasai apa yang dipelajarinya.

C.  Jenis-jenis Problema Belajar
Kesulitan belajar sering disebut dengan “Disfasia”. Kata disfasia adalah adanya kelainan pada fase perkembangan bahasa dan bicara, dimana kemampuan produksi bicara seseorang mengalami kelambatan dibandingkan dengan kemampuan pemahamannya.[6] Disfasia terjadi karena adanya gangguan pada proses transisi dari observasu objek, perasaan, pikiran, pengalaman atau ide terhadap kata yang diucapkan. Selain itu, disfasia dapat terjadi sejak dalam kandungan. Gangguan bicara dapat sekunder karena gangguan pendengaran, retardasi mental, gangguan psikiatri dan lingkungan yang tidak menunjang. Gangguan disfasia inilah yang akhirnya meunjang seseorang mengalami beragam kesulitan belajar.
Secara umum kesulitan belajar dibagi dalam tiga kelompok: kesulitan belajar dalam membaca (dysleksia learning), dalam menulis (dysgraphia learning) dan kesulitan dalam menghitung (diyscalculia learning).
1.      Kesulitan Membaca (Dysleksia Learning)
Sebenarnya gangguan ini bukan bentuk dari ketidakmampuan secara fisik, seperti karena ada masalah dengan penglihatan, tetapi mengarah pada bagaimana otak mengolah dan memproses informasi yang sedang dibaca anak tersebut. Disleksia merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang terjadi sepanjang rentang hidup, dan dianggap suatu efek yang disebabkan karena gangguan dalam asosiasi daya ingat (memori) dan pemprosesan sentral yang disebut membaca primer. Untuk dapat membaca secara otomatis anak harus melalui pendidikan dan intelegensi yang normal tanpa adanya gangguan sensoris.
Oleh karena itu, kesulitan belajar jenis ini tidak tergantung pada tingkat intelegensinya. Banyak faktor yang menyebabkannya, sehingga memiliki gangguan seperti ini. Adapun faktor penyebabnya adalah: 1) Keturunan atau faktor genetik yang didahului disfasianya. 2) Pengaruh hormonal prenatal seperti testosteron. 3) Gangguan migrasi meuron. 4) kerusakan akibat hipoksi-iskemik perinatal di daerah parieto-temporo-oskipital.[7] Disleksia dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu:
a)      Disleksia Diseideti atau Visual. Jenis ini, disebabkan adanya gangguan fungsi otak dibagian belakang yang dapat menimbulkan gangguan persepsi visual dan memori visual. Sebagai contohnya anak kesulitan membaca atau menulis huruf yang bentuknya mirip sehingga anak sering terbalik. Huruf ‘m’ dan ‘w’, ‘u’ dan ‘n’ dan sebagainya.
b)      Disleksia verbal atau Linguistik. Jenis ini dilatarbelakangi disfasia pada masa sekolah, ini disebut disleksia verbal atau linguistik yang ditandai dengan kesukaran dalam diskriminasi atau persepsi auditoris sehingga anak sulit membaca dalam mengeja dan menemukan kata atau kalimat.
c)      Disleksia Auditories. Jenis ini terjadi akibat gangguan dalam koneksi visual-auditif, sehingga membaca terganggu atau lambat. Misalnya menambah huruf dalam suku kata (addition), contohnya: tulis - menulis, buku – bukuku.[8]

2.      Kesulitan Menulis (Dysgraphia Learning)
Pada umumnya, anak yang berusia 2 atau 3 tahun belum belajar menulis, namun telah menukai menulis walaupun hanya sekedar coretan yang belum bermakna. Ketika memasuki usia sekolah, kegiatan menulis merupakan hal yang menyenangkan karena mereka menyadari bahwa anak yang bisa menulis akan mendapatkan nilaibaik dari gurunya. Dan menulis membutuhkan perkembangan kemampuan lebih lanjut dari membaca.
Adapun dalam kurikulum anak berkesulitan belajar, dysgrphia learning terjadi pada beberapa tahap, yaitu:
a)      Mengeja. mengeja adalah aktivitas memproduksi huruf yang tepat dalam ucapan atau tulisan dari kata atau suku kata.
b)      Menulis pemulaan. Menulis permulaan sama dengan melakukan aktivitas membuat gambar simbol tertulis. Yang termasuk menulis permulaan adalah menulis cetak dan sambung.
c)      Menulis lanjutan (ekspresi/komposisi). Menulis lanjutan merupakan aktivitas menulis yang bertujuan untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Kegiatan ini sangat membutuhkan kemampuan dalam hal seperti: berbahasa ujaran, mengeja, membaca serta menulis permulaan.[9]

3.      Kesulitan menghitung (Diyscalculia Learning)
Kesulitan menghitung merupakan suatu gangguan perkembangan kemampuan aritmetika atau keterampilan matematika yang jelas mempengaruhi pencapaian prestasi akademikanya atau mempengaruhi kehidupan sehari-hari anak. Oleh karena itu kesulitan berhitung dibagi sesuai dengan tingkatan kelompoknya, antara lain:
a)      Kemampuan dasar berhitung. Kemampuan ini dibagi menjadi 5 bagian:
1)      Mengelompokkan (classification). Hal ini merupakan kemampuan anak dalam mengelompokkan suatu benda berdasarkan sesuatu, misalnya ukran, jenisnya, warnanya, bentuknya dan sebagainya.
2)      Membandingkan (comparation). Membandingkan adalah kemampuan untuk membandingkan dua buah benda (objek) berdasarkan ukuran atau pun jumlahnya (kualitas).
3)      Mengurutkan (seriation). Mengurutkan adalah kemampuan membandingkan ukuran atau kuantitas lebih dari dua buah benda. Cara mengurutkannya pun bisa dari yang paling pendek (minimal) ke yang paling panjang (maksimal).
4)      Menyimbolkan (symbolization). Menyimbolkan adalah kemampuan membuat simbol atas kuantitas berupa angka dan simbol.
5)      Konservasi. Konservasi merupakan kemampuan memahami, menghitung dan menggunakan suatu kaidah yang sama dalam proses (operasi) hitung yang memiliki kemampuan. Bentuk nyata dari konservasi adalah pada penggunaan rumus dalam operasi hitung.[10]
b)      Kemampuan dalam menentukan nilai tempat. Dalam matematis pemahaman akan nilai tempat sangat penting. Hal itu disebabkan nilai bilangan ditentukan oleh tempat atau posisi suatu angka di antara angka yang lain. Bilangan yang terletak di seblah kiri mempunyai nilai besar daripada bilangan sebelumnya.
c)      Kemampuan dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan.
d)     Kemampuan memahami konsep perkalian dan pembagian

Ketiga kesulitan tersebut sering kita jumpai dilapangan. Namun disisi lain, ada sebuah permaslahan dimana posisi guru jarang mengetahui permasalahan ini pada muridnya, contonya masalah yang sering terjadi pada siswa, yaitu lupa, ingat, dan kejenuhan dalam belajar. Peristiwa lainnya yang sering kita alami juga, ialah seakan-akan kita merasakan bahwa hasil belajar itu tidak ada kemajuan (mapan) untuk beberapa waktu tertentu. Kalau digambarkan dalam sebuah kurva kemajuan belajar, akan tampak sebagai garis mendatar, yang disebut dengan learning plateu. Kejenuhan dalam belajar ini terjadi biasanya pada faktor keletihan, physiological limits (batas-batas kemampuan fisik kita), kejenuhan atau kebosanan (boring).[11]

D.  Faktor-faktor Penyebab Problema Belajar
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat kita bedakan menjadi tiga macam: 1) Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan/kondisi jasmani dan rohani siswa. 2) Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan disekitar siswa. 3) Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.[12]
Faktor-faktor diatas sering dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. seorang siswa yang bersifat conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstriksik (faktor internal) umpamanya biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal) mungkin akan memilih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut diataslah muncul siswa-siswa yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu memngatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.
1)      Faktor Internal Siswa
a)      Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tinggi kebugaran organ-organ tubh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran.[13] Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas rranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga atas, guru yang profesional seyogiannya berkejasama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan.

b)      Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut:
1.      Tingkat kecerdasan/Intelegensi siswa.
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Jadi, intelegensi bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya.[14]
Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tidak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegenai seorang siswa maka semakin besar peluang-peluang untuk meraih sukses.
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan intelegensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampa mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan keingintahuannya merasa dibendung secara tidak adil.

2.      Sikap siswa
Sikap adalah gejalan internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons dengan cara relatif terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.[15] Sikap (attitude) siswa yang positif, terutama kepada guru dan mata pelajaran yang disajikan merupakan petanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Karena setiap siswa yang diajar merupakan individu yang menarik dan kompleks. Akan tetapi, hingga titik tertentu, sehingga guru dapat mengendalikan prilaku siswa dan menfokuskan pada perkembangannya.[16]
Untuk mangantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajaran, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya.

3.      Bakat siswa
Secara umum, bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.[17] Jadi, secara umum bakat itu mirip dengan intelegensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berintelegensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.
Sehubungan dengan dal diatas, bakat akan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila orang tua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya itu.

4.      Minat siswa
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegariahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.[18] Menurut Reber (1988), minat tidak akan termasuk istilah populer dalam psikologi karena kebergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Seumpamanyam seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap matematika  akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tersebut untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. Bagi guru yang profesional, setidaknya membangun sikap positif pada anak tersebut.

5.      Motivasi siswa
Motivasi adalah keadaan internal organisme-baik manusia ataupun hewan-yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah. Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi instrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. 2) Motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.[19]
Dalam perspektif kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.

2)      Faktor Eksternal Siswa
a)      Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para tenaga kependidikan (kepala sekolah dan wakil-wakilnya) dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Yang termasuk lingkungan sosial siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan disekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat lingkungan kumuh yang serba kekurangan dan anak pengangguran, misalnya, akan mempengaruhi aktivitas siswa. Dan lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri.
b)      Lingkungan Nasional
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nasional ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan oleh siswa. Faktor-fakor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

3)      Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar dapat dipahami sebagai keefektifan segala cara dan strategi yang digunakan siswa dalam menunjang efektivitas dan efesiensi proses belajar materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu.

E.  Cara Mengatasi Problem Belajar
Sejak manusia dilahirkan, hingga menjelang akhir hidupnya, ia selalu menghadapi permasalahan belajar. Untuk itu, ia harus mempelajari berbagai hal. Satu di antaranya ialah belajar mengenai cara-cara belajar yang baik atau dikenal dengan metode. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut metode sebaga “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan), atau “cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan”.[20]
Berdasarkan pengertian diatas tadi, yang dimaksud metode belajar adalah cara teratur untuk mencapai maksud belajar. Dari beberapa metode belajar yang dikemukakan para psikolog dan ahli pendidikan, kita perlu mengetahui beberapa metode penting berikut.
a)      Metode SQ3R
Sebenarnya Metode SQ3R dirancang oleh pakar psikologi, Francis P. Robinson. Nama tersebut merupakan pendekatan dari lima tugas yang harus dihadapi atau kita lakukan: 1) Survey (menyelidiki), 2) Question (bertanya), 3) Read (membaca), 4) Recite (menceritakan kembali), 5) Review (mengulangi).

b)      Metode PQRST
Metode ini pokok isinya hampir mirip dengan SQ3R. Metode PQRST merupakan singkatan dari 1) (P) review (menyelidiki) adalah satu langkah atau tahapan sebelum seseorang membaca sebuah buku. Penyelidikan ini bisa dilakukan dengan kalimat-kalimat awal atau kalimat-kalimat pokok pada permulaan atau akhir suatu paragraf, ataupun ringkasan pada akhir suatu bab. 2) (Q) uestion (ertanya). 3) (R) ead (membaca). 4) (S) tate (menyatakan). 5) (T) est (menguji). Metode ini dibuat oleh Thomas F. Staton dam bukunya How to Study (1952).

c)      Metode Quantum Learning
Metode ini memberikan kiat-kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses yang bisa menghemat waktu, mempertajam pemahaman dan daya ingat, dan menjadikan belajar sebagai proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik kebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutkan sebagai “suggestology” atau “suggestopedia”. Prinsipnya adalah sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberikan sugesti positif ataupun negatif.
Teknik-teknik yang digunakannya untuk memberikan sugesti positif adalah mendudukkan murid secara nyaman, memasang musik latar di dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster-poster untuk memberi kesan sambil menonjolkan informasi, dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugesti.[21]

Sesuai dari ketiga metode tersebut tak lepas dari permasalahan belajar di sekolah yang terkait dengan beberapa hal. Karena siswa berhubungan langsung dengan guru, bahan belajar, pemerolehan pengetahuan dan pengalaman, dan tata kerja evaluasi belajar. Di sampung itu, siswa secara intern menghadapi disiplin, kebiasaan, dan semangat belajarnya sendiri. Faktor intern dan ekstern siswa merupakan hal yang cukup kompleks. Karena siswa yang belajar di sekolah merupakan akibat dari program pembelajaran guru. Guru berkepentingan akibat dari program pembelajaran. Demikian sebagai pendidik generasi muda bangsa, guru berkewajiban mencari dan menemukan masalah-masalah belajar yang dihadapi siswa. Problem ini dapat dipecahkan oleh seorang guru dengan cara tertentu, yaitu:
1.      Pengamatan Perilaku Belajar
Dalam menangani masalah ini, Guru selaku pengamat, melakukan pengamatan terhadap perilaku siswa. Dalam pengamatan tersebut guru juga mewawancarai siswa atau teman belajarnya. Jadi ada perbedaan peran guru, yaitu peran membelajarkan dan peran pengamat untuk menemukan masalah-masalah belajar. Bila masalah siswa ditemukan, maka sebagai pendidik, guru berusaha membantu memecahkan masalah belajar. Peran pengamatan perilaku belajar dilakukan sebagai berikut:
a)      Menyusun rencana pengamatan, seperti tindak belajar kelompok atau belajar sendiri, atau yang lain.
b)      Memilih siapa yang akan diamati, meliputi beberapa orang siswa.
c)      Menentukan beberapa lama berlangsungnya pengamatan, seperti dua, tiga atau empat bulan.
d)     Menentukan hal-hal apa yang diamati, seperti cara siswa membaca, cara menggunakan media belajar, prosedur, dan cara proses belajar sesuatu.
e)      Mencatat hal-hal yang diamati.
f)       Menafsirkan hasil pengamatan.

2.      Analisis Hasil Belajar
Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar tiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian, dan yang berwujud karya atau benda. Dalam melakukan analisis hasil belajar pada tempatnya guru melakukan langkah-langkah berikut:
a)      Merencanakan analisis sejak awal semester, sejalan dengan desain intruksional.
b)      Merencanakn jenis-jenis pekerjaan siswa yang dipandang sebagai hasil belajar.
c)      Merencakan jenis-jenis ujian dan alat evaluasi.
d)     Mengumpulkan hasil belajar siswa, baik yang berupa jawaban ujian tulis, ujian lisan, dan karya tulis maupun benda.
e)      Melakukan analisis secara statistik tentang angka-angka perolehan ujian dan mengategori karya-karya yang tidak bisa diangkakan.
f)       Mempertimbangkan hasil hasil pengamatan pada kegiatan siswa.
g)      Mempertimbangkan tingkat kesukaran bahan ajar bagi kelas, yang dibandingkan dengan program kurikulum yang berlaku.
h)      Memperhatikan kondisi ekstern yang berpengaruh atau diduga ada pengaruhnya dalam belajar.
i)        Guru juga melancarkan suatu angket evaluasi pembelajaran pada siswa menjelang akhir semester.

3.      Tes Hasil Belajar
Pada penggal proses belajar dilancarkan tes hasil belajar. Adapun jenis tes yang digunakan umumnya digolongkan sebagai tes lisan dan tes tulis. Tes tertulis terdiri dari tes esai dan tes objektif. Karena tes hasil belajar adalah alat ntuk membelajarkan siswa. Meskipun demikian keseringan penggunaan tes tertentu akan menimbulkan kebiasaan tertentu. Artinya, jenis tes tertentu akan membentuk jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik tertentu. Sebagai ilustirasi, uji kemampuan afektif seperti penilaian sikap pada PMP tidak dapat diuji dengan menggunakan tes objektif atau dengan memilih isian benar dan salah.[22]

Paparan yang diatas tadi, merupakan solusi bagaimana problema kesulitan belajar yang terjadi pada anak didik mudah teratasi secara baik, dan ini adalah tanggung jawab seorang guru, terutama peran orang tua dirumah. Tapi pada dasarnya, alat ukur tersebut dapat kita hubungkan dengan “Tripusat pendidikan”. Istilah tripusat pendidikan berasal dari istilah yang dipakai oleh Ki Hajar Dewantoro,[23] dalam memberdayakan semua unsur masyarakat untuk membangun pendidikan. Yang dimaksud dengan tripusat pendidikan adalah setiap pribadi manusia akan selalu berada dan mengalami perkembangan dalm tiga lembaga pendidikan, yaitu: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lembaga inilah yang berperan tinggi terhadap pendidikan, khususnya problem yang dimilki oleh siswa, sehingga seorang guru dapat mengetahuinya atas yang ia alami, yaitu:
1.      Perlu menyadari bahwa proses pendidikan itu memerlukan tenggang waktu yang cukup lama.
2.      Dalam proses pendidikan itu berlaku prinsip irrevisibilitas, dimana terhadap setiap kesalahan dalam perencanaan dan pelaksanaan yang guru lakukan tidak dapat diulangi kembali.
3.      Tantangan yang guru hadapi di masa depan cenderung berkembang semakin kompleks dengan ditandai semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin terbuka.
4.      Guru dituntut untuk pandai menyusun perencanaan pembangunan pendidikan secara akurat, sehingga mengantisipasi tantangan dan permasalahan yang akan menjadi di masa depan.[24]

F.   Kesimpulan
Sebenarnya kesulitan belajar tidak lepas dengan kaitannya juga dengan Diagnosis. Dengan demikian, maka diagnosis kesulitan belajar adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh guru atau penyuluh terhadap murid yang diduga mengalami kesulitan belajar untuk memnentukan jenis dan kekhususan kesulitan belajar.
Jadi proses belajar merupakan hal yang kompleks. Siswalah yang menentukan terjadi atau tidak terjadi belajar. Untuk bertindak belajar siswa menghadapi masalah-masalah secara intern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka ia tidak belajar dengan baik. Faktor intern, ekstern dan pendekatan belajarlah yang dialami dan dihayati oleh siswa yang berpengaruh pada proses belajarnya.
Kesulitan belajar dapat dilakukan jika guru mampu menandai atau mengidentifikasi adanya kesulitan belajar pada muridnya. Oleh karena itu, agar kesulitan belajar dapat dipecahkan secara sistematis dan terarah, maka hendaknya guru memahami langkah-langkahnya, yaitu: mengidentifikasi adanya kesulitan belajar, menelaah dan menetapkan status siswa, dan memperkirakan sebab kesulitan belajarnya.

G.  Saran
Adapun saran yang penulis berikan pada pembaca adalah: Perlu dilakukan perubahan yang lebih mengarah pada kurikulum berbasis kompetensi, serta lebih adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat pada saat ini. Perlunya ditingkatkan kualitas pendidik dalam usaha Peningkatan mutu pendidikan. Hal ini dapat dilakukan dengan meggunakan metode baru dalam pelaksanaan pembelajaran.

H.  Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995).
Cowley, Sue. Panduan Manajemen Perilaku Siswa, (Erlangga Group, 2001).
Imron, Ali. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996).
Makmun, Syamsuddi, Abin. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1997)
Mudjiono, Dimyati. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2009).
Nasution, S. Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 2001).
Said, Bustami. Buku Ajar Prinsip-prinsip Pengelolaan Pembelajaran, (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006).
Sobur, Alex. Psikologi Umum, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003).
Subini, Nini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012).
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002).
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010).
Triyo Suprayitno, Moh. Padil. Sosiologi Pendidikan, (Malang, UIN Maliki Press, Anggota IKAPI, 2010).
Tim Dosesn IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, (Surabaya, Usaha Nasional, 2003)


[1] Ali Imron. Kebijaksanaan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 1996), hlm. 18-19
[2] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung, PT Rosdakarya, 2010), hlm. 87
[3] S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia, (Jakarta, Bumi Aksara, 2001), hlm. 34-35
[4] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012), hlm. 56
[5] Bustami Said. Buku Ajar Prinsip-prinsip Pengelolaan Pembelajaran, (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press, 2006), hlm. 55
[6] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012), hlm. 64
[7] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012), hlm. 67
[8] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012), hlm. 68-70
[9] Nini Subini. Psikologi Pembelajaran, (Yogyakarta, Mentari Pustaka, 2012), hlm. 73-75
[10] Ibid., hlm. 78-80
[11] Abin Syamsuddi Makmun. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1997), hlm. 117
[12] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 132
[13] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 132
[14] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 131
[15] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 135
[16] Sue Cowley. Panduan Manajemen Perilaku Siswa, (Erlangga Group, 2001), hlm. 149
[17] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 133
[18] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2002), hlm. 135
[19] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, ((Bandung, PT. Rosdakarya, 2010), hlm. 134
[20] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1995), hlm. 652
[21] Alex Sobur. Psikologi Umum, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2003), hlm. 252-257
[22] Dimyati dan Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2009), hlm. 245-259
[23] Tim Dosesn IKIP Malang. Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, (Surabaya, Usaha Nasional, 2003), hlm. 13
[24] Moh. Padil dan Triyo Suprayitno. Sosiologi Pendidikan, (Malang, UIN Maliki Press, Anggota IKAPI, 2010), hlm. 147-148