Jumat, 22 Maret 2013

FILSAFAT


AKSIOLOGI ILMU PENGETAHUAN

  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam rangka mengetahui dan memahami filsafat dan pengetahuan baik secara eksplisit maupun inplicit, terlebih dahulu harus mengetahui dan  memahami definisi dari filsafat dan ilmu pengetahuan, namun pengertian dari keduanya sudah banyak dijelaskan oleh pemakalah sebelumnya. Dalam hal ini  tentunya filsafat ilmu ingin  menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul terkait dengan  hakikat ilmu itu sendiri, di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: Objek apa yang menjadi kajian  ilmu?, Bagaiman cara untuk memperoleh ilmu? Dan untuk apa ilmu itu  digunakan?
Tiga hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ontologi ilmu, epistemologi ilmu dan aksiologi ilmu. Ontologi adalah merupakan  pembahasan terhadap apa yang ada dan merupakan  hakikat kenyataan  dari obyek yang ditelaah dalam rangka menghasilkan pengetahuan. Dengan demikian, berarti setiap ilmu harus mempunyai obyek pengkajian yang jelas. Adapun epistemologi adalah merupakan  cara yang digunakan untuk membahas dan mengkaji, sehingga ilmu itu bisa diperoleh. Selanjutnya  adalah, aksiologi yang berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai.[1] Artinya bahwa aksiologi ini adalah merupakan cabang filsafat ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri dan bagaimana manusia menggunakan ilmu tersebut.[2] Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.[3]
Dalam makalah ini sedikit akan dibahas dan dipaparkan  tentang aksiologi ilmu pengetahuan, bagaimana kaitannya dengan nilai moral atau etika dan kaitannya dengan kehidupan sosial kemasyarakatan.
  1. PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi adalah cabang filsafat yang menyelididiki tentang nilai /martabat dan tindakan manusia.[4] Aksiologi ini merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar, sedangkan logos berarti ilmu. Aksiolog juga disebut dengan teori nilai.[5] Artinya bahwa aksiologi ini adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian terhadap baik dan buruk (good and bad ), benar dan salah ( right and wrong ), serta tentang cara dan tujuan ( meam and end ).[6]Menurut John Sinclair,dalam lingkup kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. [7] Kalau menurut Richard Bender bahwa suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan kepuasan batin dan memiliki nilai manfa’at dalam kehidupan.[8] Sedangkan arti aksiologi yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya adalah diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[9]Dalam hal ini secara moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[10]
Dari paparan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah merupakan  ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai. Nilai yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[11] Kalau epistemologi bertujuan untuk mendapatkan kebenaran secara teoritis-rasional, maka aksiologi lebih menekankan pada masalah kebaikan dan estetika terkait erat dengan masalah keindahan.[12] Yang menjadi pertanyaan dalam aksiologi adalah, untuk apa ilmu itu dipergunakan. Apakah ilmu itu harus digunakan  kepada kemaslahatan manusia saja atau untuk kemaslahatan alam secara umum? Atau apakah ilmu itu bebas dari nilai?.[13] Hal-hal seperti inilah yang termasuk dalam pembahasan teori nilai atau aksiologi ilmu pengetahuan.
  1. MACAM-MACAM AKSIOLOGI
Beberapa kelompok ilmuan ada yang berpendapat bahwa teori nilai ( aksiologi ) itu dibagi menjadi dua macam. Ada yang mengatakan bahwa aksiologi melahirkan etika dan estetika.[14] Menurut Bramel, aksiologi itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama, moral conduct atau yang disebut dengan  tindakan moral, bidang inilah yang kemudian  melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. Kedua, esthetic expression atau yang disebut dengan  ekspresi keindahan. Bidang inilah yang kemudian  melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, atau yang disebut dengan  kehidupan sosial politik, bidang inilah yang kemudian  melahirkan filsafat sosio-politik.[15]
 Suparlan Suhartono berpendapat bahwa ada tiga jenis nilai yang dijadikan pokok  bahasan dalam aksiologi, pertama adalah nilai keindahan yang pada akhirnya dibahas secara khusus dalam filsafat estetika, kedua adalah nilai kebenaran yang kemudian dibahas secara khusus dalam filsafat epistemologi dan yang ketiga adalah nilai kebaikan yang kemudian dibahas secara khusus dalam filsafat etika.[16] Adapun Kant mengatakan, bahwa aksiologi itu berhubungan dengan tiga aspek, pertama  aspek moral,kedua aspek estetik dan ketiga aspek religius.[17]
 Beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa  pembahasan  dalam aksiologi paling tidak mencakup  tiga hal, yaitu: pertama , moral atau etika baik pembahasan itu menurut manusia maupun menurut agama. Kedua, keindahan atau estetika, dan yang ketiga adalah, tentang hubungannya dengan kehidupan sosial.
  1. NILAI DALAM AKSIOLOGI
Sebagaimana yang telah dipaparkan diatas bahwa didalam aksiologi ada dua komponen yang sangat mendasar, yaitu: Etika ( moralitas ) dan estetika ( keindahan ).
    1.  Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos yaitu  watak, adapun  moral berasal dari kata Latin mos, berbentuk tunggal, adapun bentuk  bentuk jamaknya adalah mores yang berarti kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kata etika atau moral diartikan dengan kesusilaan.[18]
Etika adalah merupakan cabang dari filsafat aksiologi yang pembahasannya lebih fokus terhadap masalah-masalah moral, sehingga etika ini banyak mengkaji tentang prilaku, norma dan adat istiadat yang berlaku dalam komonitas masyarakat tertentu. Ada yang mengatakan bahwa  etika adalah merupakan salah satu cabang filsafat tertua, sebab ini sudah menjadi pembahasan-pembahasan yang sangat menarik sejak masa Sokrates dan dan para kaum Shopis.[19] Didalam buku Etika Dasar  yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno yang dikutip oleh Tim penyusun MKD IAIN Sunan Ampel dikatan, bahwa “etika itu diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, sehingga yang menjadi tema sentral dan selalu diperbincangkan dalam etika adalah predikat-predikat nilai “betul” dan “salah” dalam arti susila (moral ) dan tidak susila (immoral )”.[20]
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila.[21]
Objek material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar tidak dapat dikenai penilaian bermoral atau tidak bermoral.[22]
Namun sebenarnya masih ada perdebatan diantara para ilmuwan, apakah ilmu itu berkaitan dengan nilai moral atau bebas nilai. Permasalahan ini telah ada sejak saat pertumbuhan ilmu, ketika Copernicus mengemukakan teori “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan agama, maka timbullah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun ini, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya bebas dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.[23]
Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan  ataukah masalah moral? Apabila teknologi itu menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat.[24] 
Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, yaitu:
    1. Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang yang menggunakannya, apakah untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada era Galileo.
    2. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan  haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Pada dasarnya golongan ini berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia.[25]

    1. Estetika
Estetika adalah merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki tetang nilai dalam seni dan karya seni.[26]Secara etimologis, estetika diambil dari bahasa Yunani, aisthetike yang berarti segala sesuatu yang diserap oleh indera. Filsafat estetika membahas tentang refleks kritis yang dirasakan oleh indera dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah.[27] Estetika juga disebut dengan filsafat keindahan (philosophy of beauty).[28]
Estetika dicetuskan pertama kali oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang mengungkapkan bahwa estetika adalah merupakan cabang ilmu yang dimaknai oleh perasaan. Estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiologi, yaitu filsafat nilai. Estetika memberikan batasan mengenai hakikat keindahan atau nilai keindahan. Kaum materialis cenderung mengatakan bahwa nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum idealis berpendapat bahwa nilai bersifat objektif.[29]
Menurut kaum materialis bahwa yang namanya nilai keindahan itu merupakan reaksi-reaksi subjektif. Hal ini sesuai dengan sebuah ungkapan bahwa “Masalah selera tidaklah perlu diperdebatkan atau dipertentangkan”. Jika sebagian orang mengaggap lukisan abstrak itu aneh, maka sebagian yang lain pasti menganggap lukisan abstrak itu indah. Karena reaksi itu muncul dari dalam diri manusia berdasarkan selera.[30]
Penilaian terhadap keindahan di setiap zaman akan selalu berbeda, sebagai contoh misalnya, pada zaman romantisme di Prancis keindahan berarti kemampuan untuk menyampaikan sebuah keagungan, lain halnya pada zaman realisme keindahan mempunyai makna kemampuan untuk menyampaikan sesuatu apa adanya. Sedangkan di Belanda pada era de Stijl keindahan mempunyai arti kemampuan mengomposisikan warna dan ruang juga kemampuan mengabstraksi benda.[31]
Pembahasan estetika akan berhubungan dengan nilai-nilai sensoris yang dikaitkan dengan sentimen dan rasa. Sehingga nantinya estetika juga berkaitan dengan seni. Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb. [32]

  1. HUBUNGAN AKSIOLOGI  DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT.
Aksiologi dalam kaitannya dengan kehidupan sosial adalah bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di pundaknya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan  masyarakat,  namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tetentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.[33]
            Jadi, fungsi dari seorang  ilmuwan itu  tidak hanya melakukan penelaahan  keilmuan secara individual saja, namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan tersebut sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Sebagai contoh, misalnya mengenai keselamatan atau keberhasilan diadakannya sistem pembangkit listrik tenaga nuklir. Masyarakat terkadang tidak tahu seberapa jauh pengamanan telah dilakukan? Bahaya apa yang mungkin menimpa? Tindakan penyelamatan apa yang perlu dilakukan? dan seterusnya.[34]
            Menghadapi problem seperti ini  peranan ilmuwan  sangat diperlukan, sebab  dialah yang mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat  menempatkan masalah tersebut pada proporsinya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka cerna.[35]

  1. PENUTUP
Dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis dapat memberikan       kesimpulan-kesimpulan, diantaranya bahwa:
1.                  Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Jadi axiologi berarti teori tentang nilai atau aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
2.                  Didalam aksiologi ada tiga pokok macam bahasan, yaitu :pertama , moral atau etika baik pembahasan itu menurut manusia maupun menurut agama. Kedua, keindahan atau estetika, dan yang ketiga adalah, bagaimana hubungannya dengan kehidupan sosial.
3.                  Nilai yang sangat mendasar dalam aksiologi, yaitu: Etika ( moralitas ) dan estetika ( keindahan ).
4.                  Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di pundaknya, jadi fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan keilmuan secara individual saja, namun ia juga harus ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan  dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.

  1. DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ahira, Anne, “Makna Filsafat Estetika”, dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Rahardjo, Mudjia, dkk, Filsafat Ilmu, Malang: UIN-Malang Press, 2009.
Salam, Burhanuddin, Logika Materiil: Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sapoetra, Hardja, “Aksiologi (Etika dan Estetika) Filsafat Pendidikan”, dalam http://hardjasapoetra.wordpress.com/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
A Partanto ,Pius. al-Barry ,M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya,1994



[1] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011),hal 92
[2]  Ibid, 92
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 69.
[4] Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya,1994
[5] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011),hal 92
[6] Ibid 93
[7] Ibid,92
[8] Ibid,92
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. 234.
[10] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. 79.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 165.
[12]Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011) ,92
[13] Mudjia Rahardjo, dkk, Filsafat Ilmu ( Malang: UIN-Malang Press, 2009), 32.
[14] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. 79.
[15] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 106.
[16] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), 137.
[17] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu. 27.
[18] Ibid. 29.
[19] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011) ,94.
[20] Ibid. 95.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 165.
[22] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu. 29-30.
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. 233.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu. 169.
[25] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. 235.
[26] Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola Surabaya,1994,hlm 161,
[27] Anne Ahira, “Makna Filsafat Estetika”, dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html (24 Nopember 2010)
[29] Anne Ahira, “Makna Filsafat Estetika”, dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html (24 Nopember 2010)
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Hardja Sapoetra, “Aksiologi (Etika dan Estetika) Filsafat Pendidikan”, dalam http://hardjasapoetra.wordpress.com/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat  (24 Nopember 2010)
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu.237.
[34] Ibid. 239.
[35] Ibid.

TASAWUF


TAREKAT ..............??????????????????????

Hubungan kyai dan tarekat sangat erat, karena tanpa adanya seorang muqaddam dan penerusnya. Maka kiprah tarekat itu akan punah, dan pengikutnya akan sedikit. Tarekat dalam arti bahasa adalah menuju satu jalan. Sedangkan menurut definisinya, istilah ahli tasawuf adalah metode perjalanan menuju ridallah. Istilah tarekat diambil dari firman Allah swt:
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak)”.(Al-Jin/72: 16).

Tarekat adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik), dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Metode semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid-muridnya, sebagaimana madzhab-madzhab dalam bidang fiqh dan firqah-firqah dalam bidang kalam. Pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyyah (organisasi) yang disebut dengan tarekat.
Pada awal permulaannya tarekat dengan ajaran-ajarannya dilalui oleh seorang sufi secara individual. Kemudian dalam perjalanan perkembangannya lebih lanjut menjadi kumpulan-kumpulan orang yang mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan peraturan-peraturan sendiri-sendiri sampai sekarang ini. Namun pada dasarnya pemakaian tarekat dalam sufisme terdapat dua tujuan teknis yang berurutan. Pertama, pada abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat adalah sebuah metode psikologi moral untuk bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Kedua, sesudah abad ke-11 M, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tatacara latihan spiritual tertentu bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan.
Sedangkan jaringan yang cukup luas, perkembangan tarekat semata-mata bisa diterangkan dari sudut pandang agama semata, fenomena perkembangan tarekat ini muncullah beberapa pendapat bahwa fenomena tarekat yaitu agama, sosial, dan juga politik. Ketiga penyebab inilah yang membuat bermunculannya tarekat karena tarekat sebagai gerakan spiritual yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk menempuh berbagai tingkatan psikologis (maqamat) dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya yang lebih tinggi, samapi akhirnya mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi. Disini tarekat kemudian berfungsi sebagai metode praktis bimbingan kepada murid dengan menggunakan pikiran, perasaan dan tindakan secara bertingkat dan berurutan untuk merasakan hakikat Tuhan.
Kata lain yang sering digunakan adalah sebagai jalan seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Dan dengan Konsep suluk  artinya perjalanan menuju ridha Allah; yaitu suatu perjalanan tasawuf dari tingkatan maqam dan kondisi hal awal kepada tingkatan maqam serta kondisi hal yang lebih tinggi, selain itu bisa membuat peran pengikut tarekat lebih dekat lagi kepada Allah. Di dalamnya ada amalan-amalan ritualnya bersifat kesufian, dan sangat pribadi. Inilah yang membedakan makna tarekat dengan istilah-istilah yang diberikan oleh para orientalis seperti sufi orders dan prathernity yang kesemuanya menitik beratkan pada suatu aktifitas kolektif. Secara khusus, pengertian tarekat mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas.
Di dalam suatu ketarekatan, ada beberapa amalan ritual khusus yang sering dibaca oleh para pengikutnya, diantaranya:
1.    Istighatsah. Istilah istighasah berarti permohonan, atau semakna dengan doa. Tetapi yang dimaksud dengan istighasah biasanya adalah doa bersama yang tidak menggunakan kalimat-kalimat doa secara langsung, melainkan mempergunakan bacaan-bacaan ratib tertentu.
2.    Manaqib. Manaqib sebenarnya merupakan biografi seorang sufi besar atau kekasih Allah (waliyullah) seperti syekh Abd Qadir Jailani atau syekh Bahauddi al-Naqsyabandi yang diyakini oleh para pengikut tarekat memiliki kekuatan spiritual (barakah). Bacaan manaqib seringkali dijadikan sebagai amalan, terutama untuk tujuan terkabulnya hajat-hajat tertentu.
3.    Ratib. Ratib adalah serangkaian amalan yang biasanya harus diwiridkan oleh para pengamalannya. Ratib yang diwiridkan ini berupa kumpulan dan beberapa potongan ayat, atau beberapa surat pendek, yang digabung dengan bacaan-bacaan lain seperti istighfar, tasbih, al-asma’ al-Husna, dan kalimat thayyibah dengan suatu rumusan dan komposisi (jumlah bacaan masing-masing) yang telah ditentukan dalam suatu paket amalan khusus.
4.    Muzik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diringi dengan bunyian-bunyian (instrumental) seperti memukul rabana.
5.    Menari, yaitu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimulkan kekhidmatan.
6.    Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.

Keenam ritual inilah yang membuat pengikut suatu tarekat melebur jiwanya dengan Allah, dan dengan jalan inilah seorang pengikut tarekat lebih dekat lagi dengan Allah, khususnya dengan sufi besar dalam suatu tarekat tertentu.