Senin, 04 Maret 2013

BANI IDRIS DI PRENDUAN


RISALAH SINGKAT BIOGRAFI KIAI DJAUHARI

Spiritual adalah ruh keluarga Kiai Djauhari. Spiritualitas ini pula menempatkan keluarganya pada posisi terhormat di mata masyarakat Madura. Kakek Kiai Djauhari bernama Kiai Idirs. Kiai karismatik yang hidup pada awal abad ke-19, di sebuah desa Guluk-guluk. Kehidupannya kaya dengan warna sufi. Konon, ia senang bertapa. Maka, masyarakat Guluk-guluk memberi nama desa yang dijadikan pertapaan beliau dengan sebutan nama Kiai Idris Patapan.
Istri beliau adalah Nyai Khadijah, dari perkawinan tersebut, beliau dikaruniai empat orang putra dan putri, yaitu Kiai Chotib, Kiai Hafifuddin, Nyai Nursiti, dan Nyai Mariyah. Sedangkan istri keduanya beliau setelah istri pertamanya meninggal dunia adalah Nyai Aminah, adik Nyai Khadijah. Beliau dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai Halimatussa’diyah dan Nyai Halimatussa’adah.
Dahulu kala, kondisi masyarakat Prenduan merupakan  masyarakat pedagang yang kosmopolit, tetapi rata-rata mereka buta agama. Dengan kedatangan Kiai Syarqawi, seorang ulama besar dari Kudus ke Prenduan menjadi kabar gembira bagi Kiai Idris. Beliau rajin bersilaturrahmi sambil bertukar pikiran, bahkan keakrabannya ditandai dengan dua putra Kiai Idris, yaitu Kiai Chotib dan Nyai Mariyah untuk nyantri ke Kiai Syarqawi yang terkenal dengan alim dan tawadhu’.
Rupanya Kiai Syarqawi tak kerasan tinggal di Prenduan. Beliau merasa pengap hidup di tengah masyarakat Prenduan yang borjuis dan sikap arogansinya, bahkan beliau mendapat perlakuan yang menyakiti hatinya Kiai Syarqawi. Kejadian inilah beliau menunduk dihadapan Takdir dengan rendah hati; untuk menyebarkan agama Islam, dengan mencari tempat yang bersahabat, semacam Madinah bagi Rasulullah. Aapun tempat yang beliau temukan adalah yaitu dusun Lubangsa, desa Guluk-guluk, sekitar delapan kilometer ke arah utara desa Prenduan.
Sepeninggalan Kiai Syarqawi, maka gerak perjuangan dakwah di Prenduan dilanjutkan oleh muridnya, Kiai Chotib. Beliau mencoba tegar, walaupun pengalaman pahit pernah dialami oleh gurunya, Kiai Syarqawi. Dengan memohon petunjuk dari Allah swt, beliau memulai langkah awal pembinaan. Pengajian Al-Qur’an untuk anak-anak dan dakwah merupakan starting point dalam melanjutkan perjuangan gurunya, walaupun kondisi masyarakat Prenduan yang benci dengan istilah syiar Islam. Disinilah Kiai Chotib membangun Congkop (rumah gedek beratap ilalang, kecil dan sempit sekedar bisa bertedduh dari panas dan hujan) sebagai modal awal memeulai perjuangan mengajar dan menyiarkan agama Islam. Congkop itu sendiri sendiri dibangun di atas tanah milik Nyai Bani (istri Kiai Chotib).
Kiai Chotib menikah dengan Nyai Bani atas saran Nyai Khadijah serta restu dari Kiai Syarqawi, dan Kiai Idris Patapan. Pada saat bersamaan, Kiai Syarqawi juga menikah dengan Nyai Mariyah (adik Kiai Chotib). Pernikahan antara Kiai Chotib dengan Nyai Bani dan antara Kiai Syarqawi dengan Nyai Mariyah sejatinya adalah satu strategi yang dirancang oleh Nyai Khadijah dengan tujuan agar kelak dari kedua pasangan itu lahir ulama yang mundzirul qaum, generasi penerus estafeta perjuangan dakwah, dan tercapainya cita-cita Kiai Idris Patapan.
Akhirnya cita-cita yang diharapkan terwujudkan, dari perkawinan Kiai Syarqawi dan Nyai Mariyah, lahir empat orang anak, yaitu Kiai Ilyas, Kiai Abdullah Sajjad, Kiai Sirajuddin, dan Nyai Aisyah. Sedangkan perkawinannya Kiai Chorib dan Nyai bani dikaruniai anak, yaitu Kiai Djauhari dan Nyai Khairiyah (istri Kiai Mukrie).
Kiai Djauhari lahir di Congkop, Prenduan, Sumenep, pada tanggal 27 Ramadhan 1323 H/ 28 Agustus 1904 M malam Ahad pukul 03.00 WIB. Kiai Djauhari dilahirkan dengan nama Muhammad Amien. Kiai Djauhari adalah anak kesepuluh dari Kiai Chotib yang dilahirkan kembar dengan saudaranya, Aminah. Sayangnya, Aminah meninggal dalam usia 12 tahun. Semasa kecilnya, ayahnya langsung mendidiknya sendiri dengan mengajarkan pendidikan agama, contohnya mengajarkan kitab-kitab agama, seperti Sullam-Safinah, Bidayatul Hidayah, ‘Aqidatul ‘Awam, Jurmiah, dan lain-lain. Dan Kiai Djauhari termasuk santri yang cerdas dan dibandingkan dengan teman-temannya.
Walaupun Kiai Djauhari tidak pernah mengenyam pendidikan pada sekolah formal yang dikelola oleh Belanda. Kiai Djauhari cukup berbekal dengan kemahirannya dalam mengikuti jejak ayahnya sewaktu berdakwah ke berbagai tempat. Selain itu beliau mendapat pendidikan khusus dari teman-teman ayahnya. Beliau juga beberapa kali khatam Al-Qur’an serta menguasai kitab kuning yang diajarkan oleh ayahnya. Bahkan beliau belajar secara otodidak pengetahuan umum dengan bertanya kepada teman-temannya yang elit dari anak pedagang Prenduan.
Saat usia belaiu menginjak 15 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah, konon  adalah hadiah dari sang ayah  atas kecerdasannya. Keberangkatan beliau ke tanah suci, bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji, melainkan ada rencana di balik keberangkatannya, yaitu beliau selama 10 bulan mengikuti pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dari pengajian itu, motivasi beliau untuk mendalami ilmu agama sangat tinggi, sehingga ketika kembali ke kampung halaman, beliau belajar ilmu agama di berbagai pesantren-pesantren yang ada di Madura ataupun di luar Madura. Hal ini dapat dibuktikan dengan prestasi beliau di tiga pesantren terkenal yaitu, Annuqayah, Sidogiri, dan Tebuireng. Di lain sisi, beliau mendalami ilmu tasawuf kepada Kiai Nawawi, karena ilmu inilah yang sangat berpengaruh dalam menenagkan jiwanya. Jadi secara resmi, nama Djauhari dapat digunakan menggantikan nama Muhammad Amien. Semakin beranjak usia beliau lebih dewasa lagi, kematangannya di bidang tasawuf, membuatnya yakin bahwa dengan jalan tasawuf, beliau memberikan perubahan terhadap perkembangan masyarakat Prenduan. Ilmu agama, ilmu ketarekatan tijaniyah, ijazah dan talqin yang beliau dapatkan di Makkah/Madinah dan berbagai guru, membuat beliau dikenal sebagai muqaddam Tarekat Tijaniyah di Madura.
Ketika Kiai Chotib wafat, ibunda beliau meminta kepada Kiai Djauhari untuk menetap di Prenduan dan melanjutkan sisa-sisa perjuangannya, yakni mengajar ngaji anak-anak sekitar Prenduan bersama kakak kandungnya Kiai Mawardi. Tetapi ketika kakaknya hijrah ke Pekandangan, beliau merasa kesepian sehingga beliau meminta izin kepada ibunya untuk menetap bersama Kiai Mukrie (kakak iparnya) yangmana tempatnya tidak jauh dari Congkop. Disanalah beliau bisa menuangkan idenya yakni membangun suatu madrasah dengan sistem klasikal dan metode pengajarannya adalah ceramah atau kuliah.
Ketika beliau ingin menghabiskan m asa bujangnya untuk menikah dengan Nyai Maryam binti Syekh Abdullah dan Nyai Shofiyah putri Kiai Jamaluddin Bangkoneng yang masih bermukim di Makkah. Yang paling berkesan bagi beliau adalah masyarakat Prenduan berduyun-duyun mengantarkan kepergian Kiai Djauhari beserta Nyai Maryam, dan Kiai Mukrie beserta istrinya ke tanah suci Makkah. Ini semua atas dasar bantuan dari kaum elit pedagang Prenduan. Selama tiga tahun beliau memperluas wawasan dan menapaktilasi jejak langkah kehidupan Rasulullah saw.
Nyai Maryam adalah wanita istimewa bagi beliau. Nyai Maryam tidak lepas dari wudlu’ dan lisannya tidak pernah kering dari doa dan dzikir. Bahkan Nyai Maryam aktif menghatamkan Al-Qur’an. Kiai Djauhari dan Nyai Maryam tidak pernah absen shalat berjamaah dan setelah shalat shubuh secara rutin mereka terlibat diskusi kecil membicarakn berbagai problem, perjuangan, dan persoalan-persoalan masyarakat.
Bersama keluarga beliau yang hidup rukun dan damai, beliau dikaruniai putri dan diberi nama Khadijah, tapi sayang putri cantik tersebut selama satu tahun saja menikmati hidup di dunia. Ketika beliau cukup banyak ilmu dan pengalaman yang di dapat selama bermukim di Makkah, beliau bersama istrinya memutuskan untuk pulang ke Prenduan, karena ibundanya menderita sakit keras. Ketika beliau sampai ke tanah kelahirannya, masyarakat Prenduan sudah menanti sosok figur yang akan menjadi panutat bagi umat Islam di Prenduan.
Pada tanggal 10 November 1952 bertepatan dengan Hari Pahlawan atau bertepatan pada tanggal 10 Dzulhijjah 1371 yang juga bertepatan dengan Hari Arafah, Kiai Djauhari mendirikan lembaga pendidikan Pesantren dan diberi nama Pondok Tegal. Konon pemberian nama pondok Tegal, karena waktu itu dibangun di atas tegalan.
Pondok inilah yang kemudian berkembang menjadi Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Di tahun ini pula, Nyai Maryam melahirkan putra kelima (terakhir) dan diberi nama Muhammad Idris. Dua tahun kemudian  tepatnya pada tanggal 18 Oktober 1954 M/ 20 Shofar 1374 H, tepat malam Senin pukul 20.00 WIB, Nyai Maryam wafat dan disemayamkan di komplek Pondok Tegal.
Sepeninggal Nyai Maryam, Kiai Djauhari menikah dengan seorang janda dari Kangenan, Pamekasan, yang masih berdarah biru, Nyai Thoyyib, atas saran H. Syarbini. Namun pernikahan tersebut tidak bertahan lama, dan akhirnya perceraian endingnya. Setalah kejadian itu, beliau belajar dari kegagalannya dan menikah lagi dengan Nyai Sahati atau Aminah, gadis berusia 18 tahun asal Pajung, Batu Putih, Sumenep. Bersama Nyai Sahati, beliau dikaruniai dua orang anak, yaitu Kiai Makhtum dan Nyai Makhtumah.
Kiai Djauhari tidak saja dikenal dengan pejuang di jalur pendidikan saja. Akan tetapi beliau masyhur sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang gigih melawan kekejaman kolonialisme. Semasa penjajahan Jepang (1942-1945), Kiai Djauhari bersama tokoh-tokoh masyarakat melakukan perlawanan non fisik terhadap Jepang yang miliki markas di Aeng Panas. Perlawanan ini dilakukan, karena tentara Jepang terkenal bengis, ganas, dan sadis. Menghadapi keadaan seperti ini, beliau bersama keluarga mengungsi ke Rembang lalu ke Danggeddang. Setelah keadaan sudah redah, beliau kembali ke Prenduan menyusun taktik dan kekuatan dengan cara menyusupkan pemuda-pemuda tangguh yang terlatih ke dalam gerakan Jepang sehingga mereka mampu ditaklukan. Keberhasilan ini berkat ijazah yang diberikah kepada para penyusup dengan memohon perlindungan kepada Allah dari ketentuan-Nya yang buruk (istighatsah).
Pada masa revolusi (1945-1950), Kiai Djauhari bersama tokoh masyarakat Prenduan melakukan perlawanan terhadap Belanda secara sistematis dan agresif. Saat itu, dibentuklah beberapa front perlawanan, seperti Barisan Sabilillah, BKR (Barisan Keamanan Rakyat), KNI (Keamanan Nasional Indonesia), BPRI (Barisan Pertahanan Rakyat Indonesia) dan AMP (Angkatan Muda Prenduan). Beliau sendiri dipercayai sebagai komando Sabilillah se Madura.
Pada tahun 1948, Belanda mencoba untuk masuk ke kota Sumenep dari Pamekasan. Saat itu juga, para pemuda Prenduan merusak jembatan menuju Prenduan, sehingga Belanda maju mundur samapi Keppo, lalu mereka mengambil jalan pintas lewat Cen-lecen dan Guluk-guluk terus ke Lenteng dan Sumenep. Faktor pertahanan Prenduan adalah gerakan batin (GERBAT) yang hasilnya kemudianditabur memagari batas desa sehingga Belanda di buat tidak berkutik untuk menerobos pagar gaib tersebut.
Kepemimpinan beliau dalam mengomandoi para pejuang Prenduan (yang tergabung dalam KNI, BPRI, dan AMP) sehingga beliau dapat mengusir Jepang dan Belanda. Keberhasilan ini, tidak lepas dari jerih payah beliau ketika beliau memperdalam ilmu agama di Makkah, Madinah, dan berbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia. Di lain sisi beliau merupakan kiai pesantren yang mempunyai tanggung jawab pada muridnya. Ciri khas yang tampak pada Kiai Djauhari mudah kita baca, karena kepemimpinan Kiai Djauhari sama dengan kepemimpinan Rasulullah Saw disaat beliau hidup;
1)      Unggul: Unggul dalam berbuat baik, dalam belajar, dalam ilmu, kemampuan dan prestasi.
2)      Visioner: beliau menunjukkannya dengan teladan yang efektif, dari memberi senyum, bersedekah, menghormati wanita, membebaskan budak, sampai memaafkan musuh-musuhnya.
3)      Memimpin dengan pemahaman: pencerahan, kesabaran dan teladan, tidak perlu dengan cara otoriter atau paksaan.
4)      Partisipatif: terbuka terhadap masukan yang datang dari para pengikutnya. Ini membuat para pengikutnya merasa sangat dihargai dan semakin mencintainya.
5)      Prestatif: beliau sukses berdagang, mampu memecahkan masalah dengan baik, mampu menyakinkan banyak orang dengan kekuatan karakternya, dan beliau mampu memberikan inspirasi kepada para pengikutnya.
6)      Berani: beliau tidak pernah ragu dalam memperjuangkan kebenaran karena keyakinan yang sempurna terhadap Allah Swt.
7)      Disiplin: semua keunggulan di atas hanya diperoleh dengan disiplin dan ketahanan yang sangat tinggi, yaitu disiplin moral dan disiplin ilmu.

Ketika penyerahan kedaulatan sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Prenduan diakui sebagai desa kecamatan yang lebih dahulu menyatakan kesetiaannya kepada Pemerintah RI. Kiai Djauhari mewakili Persatuan Alim Ulama Madura (PAUM) memperjuangkan pembubaran penjajah, sehingga beliau mendapat sertifikat penghargaan pemerintah atas jasa-jasa perjuangannya merebut kemerdekaan. Bukti inilah selayaknya ditiru oleh kita semua, bahwa hidup ini penuh perjuangan, dan seorang pejuang yang membuat perjuangannya berhenti, yaitu mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar