RISALAH
SINGKAT BIOGRAFI KIAI DJAUHARI
Spiritual adalah ruh keluarga
Kiai Djauhari. Spiritualitas ini pula menempatkan keluarganya pada posisi
terhormat di mata masyarakat Madura. Kakek Kiai Djauhari bernama Kiai Idirs.
Kiai karismatik yang hidup pada awal abad ke-19, di sebuah desa Guluk-guluk.
Kehidupannya kaya dengan warna sufi. Konon, ia senang bertapa. Maka, masyarakat
Guluk-guluk memberi nama desa yang dijadikan pertapaan beliau dengan sebutan
nama Kiai Idris Patapan.
Istri beliau adalah Nyai Khadijah, dari
perkawinan tersebut, beliau dikaruniai empat orang putra dan putri, yaitu Kiai
Chotib, Kiai Hafifuddin, Nyai Nursiti, dan Nyai Mariyah. Sedangkan istri
keduanya beliau setelah istri pertamanya meninggal dunia adalah Nyai Aminah,
adik Nyai Khadijah. Beliau dikaruniai dua orang putri, yaitu Nyai
Halimatussa’diyah dan Nyai Halimatussa’adah.
Dahulu kala, kondisi masyarakat Prenduan
merupakan masyarakat pedagang yang
kosmopolit, tetapi rata-rata mereka buta agama. Dengan kedatangan Kiai
Syarqawi, seorang ulama besar dari Kudus ke Prenduan menjadi kabar gembira bagi
Kiai Idris. Beliau rajin bersilaturrahmi sambil bertukar pikiran, bahkan
keakrabannya ditandai dengan dua putra Kiai Idris, yaitu Kiai Chotib dan Nyai
Mariyah untuk nyantri ke Kiai Syarqawi yang terkenal dengan alim dan tawadhu’.
Rupanya Kiai Syarqawi tak kerasan tinggal di
Prenduan. Beliau merasa pengap hidup di tengah masyarakat Prenduan yang borjuis
dan sikap arogansinya, bahkan beliau mendapat perlakuan yang menyakiti hatinya
Kiai Syarqawi. Kejadian inilah beliau menunduk dihadapan Takdir dengan rendah
hati; untuk menyebarkan agama Islam, dengan mencari tempat yang bersahabat,
semacam Madinah bagi Rasulullah. Aapun tempat yang beliau temukan adalah yaitu
dusun Lubangsa, desa Guluk-guluk, sekitar delapan kilometer ke arah utara desa
Prenduan.
Sepeninggalan Kiai Syarqawi, maka gerak perjuangan dakwah di Prenduan
dilanjutkan oleh muridnya, Kiai Chotib. Beliau mencoba tegar, walaupun
pengalaman pahit pernah dialami oleh gurunya, Kiai Syarqawi. Dengan memohon
petunjuk dari Allah swt, beliau memulai langkah awal pembinaan. Pengajian
Al-Qur’an untuk anak-anak dan dakwah merupakan starting point dalam melanjutkan
perjuangan gurunya, walaupun kondisi masyarakat Prenduan yang benci dengan
istilah syiar Islam. Disinilah Kiai Chotib membangun Congkop (rumah gedek
beratap ilalang, kecil dan sempit sekedar bisa bertedduh dari panas dan hujan)
sebagai modal awal memeulai perjuangan mengajar dan menyiarkan agama Islam.
Congkop itu sendiri sendiri dibangun di atas tanah milik Nyai Bani (istri Kiai
Chotib).
Kiai Chotib menikah dengan Nyai Bani atas saran Nyai Khadijah serta restu
dari Kiai Syarqawi, dan Kiai Idris Patapan. Pada saat bersamaan, Kiai Syarqawi
juga menikah dengan Nyai Mariyah (adik Kiai Chotib). Pernikahan antara Kiai
Chotib dengan Nyai Bani dan antara Kiai Syarqawi dengan Nyai Mariyah sejatinya
adalah satu strategi yang dirancang oleh Nyai
Khadijah dengan tujuan agar kelak dari kedua pasangan itu lahir ulama yang mundzirul
qaum, generasi penerus estafeta perjuangan dakwah, dan tercapainya
cita-cita Kiai Idris Patapan.
Akhirnya cita-cita yang diharapkan terwujudkan, dari perkawinan Kiai
Syarqawi dan Nyai Mariyah, lahir empat orang anak, yaitu Kiai Ilyas, Kiai
Abdullah Sajjad, Kiai Sirajuddin, dan Nyai Aisyah. Sedangkan perkawinannya Kiai
Chorib dan Nyai bani dikaruniai anak, yaitu Kiai Djauhari dan Nyai Khairiyah
(istri Kiai Mukrie).
Kiai Djauhari
lahir di Congkop, Prenduan, Sumenep, pada tanggal 27 Ramadhan 1323 H/ 28
Agustus 1904 M malam Ahad pukul 03.00 WIB. Kiai Djauhari dilahirkan dengan nama
Muhammad Amien. Kiai Djauhari adalah anak kesepuluh dari Kiai Chotib yang
dilahirkan kembar dengan saudaranya, Aminah. Sayangnya, Aminah meninggal dalam
usia 12 tahun. Semasa kecilnya, ayahnya langsung mendidiknya sendiri dengan
mengajarkan pendidikan agama, contohnya mengajarkan kitab-kitab agama, seperti Sullam-Safinah,
Bidayatul Hidayah, ‘Aqidatul ‘Awam, Jurmiah, dan lain-lain. Dan Kiai
Djauhari termasuk santri yang cerdas dan dibandingkan dengan teman-temannya.
Walaupun Kiai Djauhari
tidak pernah mengenyam pendidikan pada sekolah formal yang dikelola oleh
Belanda. Kiai Djauhari cukup berbekal dengan kemahirannya dalam mengikuti jejak
ayahnya sewaktu berdakwah ke berbagai tempat. Selain itu beliau mendapat
pendidikan khusus dari teman-teman ayahnya. Beliau juga beberapa kali khatam
Al-Qur’an serta menguasai kitab kuning yang diajarkan oleh ayahnya. Bahkan
beliau belajar secara otodidak pengetahuan umum dengan bertanya kepada
teman-temannya yang elit dari anak pedagang Prenduan.
Saat usia belaiu
menginjak 15 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Makkah, konon adalah hadiah dari sang ayah atas kecerdasannya. Keberangkatan beliau ke
tanah suci, bukan hanya untuk menunaikan ibadah haji, melainkan ada rencana di
balik keberangkatannya, yaitu beliau selama 10 bulan mengikuti pengajian di
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dari pengajian itu, motivasi beliau untuk
mendalami ilmu agama sangat tinggi, sehingga ketika kembali ke kampung halaman,
beliau belajar ilmu agama di berbagai pesantren-pesantren yang ada di Madura
ataupun di luar Madura. Hal ini dapat dibuktikan dengan prestasi beliau di tiga
pesantren terkenal yaitu, Annuqayah, Sidogiri, dan Tebuireng. Di lain sisi,
beliau mendalami ilmu tasawuf kepada Kiai Nawawi, karena ilmu inilah yang
sangat berpengaruh dalam menenagkan jiwanya. Jadi secara resmi, nama Djauhari
dapat digunakan menggantikan nama Muhammad Amien. Semakin beranjak usia beliau
lebih dewasa lagi, kematangannya di bidang tasawuf, membuatnya yakin bahwa
dengan jalan tasawuf, beliau memberikan perubahan terhadap perkembangan
masyarakat Prenduan. Ilmu agama, ilmu ketarekatan tijaniyah, ijazah dan talqin
yang beliau dapatkan di Makkah/Madinah dan berbagai guru, membuat beliau
dikenal sebagai muqaddam Tarekat Tijaniyah di Madura.
Ketika Kiai Chotib
wafat, ibunda beliau meminta kepada Kiai Djauhari untuk menetap di Prenduan dan
melanjutkan sisa-sisa perjuangannya, yakni mengajar ngaji anak-anak sekitar
Prenduan bersama kakak kandungnya Kiai Mawardi. Tetapi ketika kakaknya hijrah
ke Pekandangan, beliau merasa kesepian sehingga beliau meminta izin kepada
ibunya untuk menetap bersama Kiai Mukrie (kakak iparnya) yangmana tempatnya
tidak jauh dari Congkop. Disanalah beliau bisa menuangkan idenya yakni membangun
suatu madrasah dengan sistem klasikal dan metode pengajarannya adalah ceramah
atau kuliah.
Ketika beliau ingin
menghabiskan m asa bujangnya untuk
menikah dengan Nyai Maryam binti Syekh Abdullah dan Nyai Shofiyah putri Kiai
Jamaluddin Bangkoneng yang masih bermukim di Makkah. Yang paling berkesan bagi
beliau adalah masyarakat Prenduan berduyun-duyun mengantarkan kepergian Kiai
Djauhari beserta Nyai Maryam, dan Kiai Mukrie beserta istrinya ke tanah suci
Makkah. Ini semua atas dasar bantuan dari kaum elit pedagang Prenduan. Selama
tiga tahun beliau memperluas wawasan dan menapaktilasi jejak langkah kehidupan
Rasulullah saw.
Nyai Maryam adalah
wanita istimewa bagi beliau. Nyai Maryam tidak lepas dari wudlu’ dan lisannya
tidak pernah kering dari doa dan dzikir. Bahkan Nyai Maryam aktif menghatamkan
Al-Qur’an. Kiai Djauhari dan Nyai Maryam tidak pernah absen shalat berjamaah
dan setelah shalat shubuh secara rutin mereka terlibat diskusi kecil
membicarakn berbagai problem, perjuangan, dan persoalan-persoalan masyarakat.
Bersama keluarga beliau
yang hidup rukun dan damai, beliau dikaruniai putri dan diberi nama Khadijah,
tapi sayang putri cantik tersebut selama satu tahun saja menikmati hidup di
dunia. Ketika beliau cukup banyak ilmu dan pengalaman yang di dapat selama
bermukim di Makkah, beliau bersama istrinya memutuskan untuk pulang ke
Prenduan, karena ibundanya menderita sakit keras. Ketika beliau sampai ke tanah
kelahirannya, masyarakat Prenduan sudah menanti sosok figur yang akan menjadi
panutat bagi umat Islam di Prenduan.
Pada tanggal 10
November 1952 bertepatan dengan Hari Pahlawan atau bertepatan pada tanggal 10
Dzulhijjah 1371 yang juga bertepatan dengan Hari Arafah, Kiai Djauhari
mendirikan lembaga pendidikan Pesantren dan diberi nama Pondok Tegal. Konon pemberian
nama pondok Tegal, karena waktu itu dibangun di atas tegalan.
Pondok inilah yang
kemudian berkembang menjadi Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan. Di tahun ini
pula, Nyai Maryam melahirkan putra kelima (terakhir) dan diberi nama Muhammad
Idris. Dua tahun kemudian tepatnya pada
tanggal 18 Oktober 1954 M/ 20 Shofar 1374 H, tepat malam Senin pukul 20.00 WIB,
Nyai Maryam wafat dan disemayamkan di komplek Pondok Tegal.
Sepeninggal Nyai
Maryam, Kiai Djauhari menikah dengan seorang janda dari Kangenan, Pamekasan,
yang masih berdarah biru, Nyai Thoyyib, atas saran H. Syarbini. Namun
pernikahan tersebut tidak bertahan lama, dan akhirnya perceraian endingnya.
Setalah kejadian itu, beliau belajar dari kegagalannya dan menikah lagi dengan
Nyai Sahati atau Aminah, gadis berusia 18 tahun asal Pajung, Batu Putih,
Sumenep. Bersama Nyai Sahati, beliau dikaruniai dua orang anak, yaitu Kiai
Makhtum dan Nyai Makhtumah.
Kiai Djauhari tidak
saja dikenal dengan pejuang di jalur pendidikan saja. Akan tetapi beliau masyhur
sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang gigih melawan kekejaman
kolonialisme. Semasa penjajahan Jepang (1942-1945), Kiai Djauhari bersama
tokoh-tokoh masyarakat melakukan perlawanan non fisik terhadap Jepang yang
miliki markas di Aeng Panas. Perlawanan ini dilakukan, karena tentara Jepang
terkenal bengis, ganas, dan sadis. Menghadapi keadaan seperti ini, beliau
bersama keluarga mengungsi ke Rembang lalu ke Danggeddang. Setelah keadaan
sudah redah, beliau kembali ke Prenduan menyusun taktik dan kekuatan dengan
cara menyusupkan pemuda-pemuda tangguh yang terlatih ke dalam gerakan Jepang
sehingga mereka mampu ditaklukan. Keberhasilan ini berkat ijazah yang diberikah
kepada para penyusup dengan memohon perlindungan kepada Allah dari
ketentuan-Nya yang buruk (istighatsah).
Pada masa revolusi
(1945-1950), Kiai Djauhari bersama tokoh masyarakat Prenduan melakukan
perlawanan terhadap Belanda secara sistematis dan agresif. Saat itu,
dibentuklah beberapa front perlawanan, seperti Barisan Sabilillah, BKR (Barisan
Keamanan Rakyat), KNI (Keamanan Nasional Indonesia), BPRI (Barisan Pertahanan
Rakyat Indonesia) dan AMP (Angkatan Muda Prenduan). Beliau sendiri dipercayai
sebagai komando Sabilillah se Madura.
Pada tahun 1948,
Belanda mencoba untuk masuk ke kota Sumenep dari Pamekasan. Saat itu juga, para
pemuda Prenduan merusak jembatan menuju Prenduan, sehingga Belanda maju mundur
samapi Keppo, lalu mereka mengambil jalan pintas lewat Cen-lecen dan
Guluk-guluk terus ke Lenteng dan Sumenep. Faktor pertahanan Prenduan adalah
gerakan batin (GERBAT) yang hasilnya kemudianditabur memagari batas desa
sehingga Belanda di buat tidak berkutik untuk menerobos pagar gaib tersebut.
Kepemimpinan beliau
dalam mengomandoi para pejuang Prenduan (yang tergabung dalam KNI, BPRI, dan
AMP) sehingga beliau dapat mengusir Jepang dan Belanda. Keberhasilan ini, tidak
lepas dari jerih payah beliau ketika beliau memperdalam ilmu agama di Makkah,
Madinah, dan berbagai pondok pesantren yang ada di Indonesia. Di lain sisi
beliau merupakan kiai pesantren yang mempunyai tanggung jawab pada muridnya.
Ciri khas yang tampak pada Kiai Djauhari mudah kita baca, karena kepemimpinan
Kiai Djauhari sama dengan kepemimpinan Rasulullah Saw disaat beliau hidup;
1) Unggul:
Unggul dalam berbuat baik, dalam belajar, dalam ilmu, kemampuan dan prestasi.
2) Visioner:
beliau menunjukkannya dengan teladan yang efektif, dari memberi senyum,
bersedekah, menghormati wanita, membebaskan budak, sampai memaafkan
musuh-musuhnya.
3) Memimpin
dengan pemahaman: pencerahan, kesabaran dan teladan, tidak perlu dengan cara
otoriter atau paksaan.
4) Partisipatif:
terbuka terhadap masukan yang datang dari para pengikutnya. Ini membuat para
pengikutnya merasa sangat dihargai dan semakin mencintainya.
5) Prestatif:
beliau sukses berdagang, mampu memecahkan masalah dengan baik, mampu
menyakinkan banyak orang dengan kekuatan karakternya, dan beliau mampu
memberikan inspirasi kepada para pengikutnya.
6) Berani:
beliau tidak pernah ragu dalam memperjuangkan kebenaran karena keyakinan yang
sempurna terhadap Allah Swt.
7) Disiplin:
semua keunggulan di atas hanya diperoleh dengan disiplin dan ketahanan yang
sangat tinggi, yaitu disiplin moral dan disiplin ilmu.
Ketika penyerahan
kedaulatan sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Prenduan diakui
sebagai desa kecamatan yang lebih dahulu menyatakan kesetiaannya kepada
Pemerintah RI. Kiai Djauhari mewakili Persatuan Alim Ulama Madura (PAUM)
memperjuangkan pembubaran penjajah, sehingga beliau mendapat sertifikat
penghargaan pemerintah atas jasa-jasa perjuangannya merebut kemerdekaan. Bukti
inilah selayaknya ditiru oleh kita semua, bahwa hidup ini penuh perjuangan, dan
seorang pejuang yang membuat perjuangannya berhenti, yaitu mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar