Kamis, 28 Juni 2012

STUDI HADITS


HADITS DITINJAU DARI KUALITASNYA

A.    Pengantar
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Secara teoritis, mempelajari hadits seharusnya lebih mudah dari pada mempelajari al-Qur’an, sebab statusnya merupakan penjelas bagi al-Qur’an. Akan tetapi dalam prakteknya, mempelajari hadits justru lebih sulit. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, hadits terbesar di berbagai koleksi dengan kualitas yang beragam, sehingga untuk mendapatkannya relatif sulit. Kedua, tidak semua hadits berada dalam kualitas yang sama, sehingga untuk menggunakan suatu hadits, terlebih dahulu seseorang harus melakukan penelitian kualitasnya, untuk mendapatkan hadits yang memenuhi kualifikasi maqbul (diterima sebagai hujjah).
Dengan berkembangnya penulisan hadits, maka muncul metode studi hadits untuk melacak kevalidan sebuah hadits. Dalam kajian tentang hadits itu disebutkan bahwa metode yang umum digunakan adalah melalui penelitian terhadap sanad (perawi hadits) dan matan (teks hadits). Persoalan yang muncul ketika mengkaji sanad dan matan adalah bahwa dua komponen hadits tersebut tidak mungkin muncul mendadak begitu saja tanpa masa perkembangan sebelumnya, baik sisi teknis maupun materinya.

B.     Pengertian
Yang dimaksud dengan kaedah keabsahan hadits Nabawi di sini adalah criteria-kriteria atau syarat-syarat dimana suatu hadits yang diriwayatkan dapat dikatakan rah berasal dari Nabi SAW atau dengan kata lain hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi yang didukung dengan kaedah-kaedah kesahihan yang telah ditetapkan oleh ahli kaedah-kaedah kesahihahn yang telah ditetapkan oleh ahli hadits sebagai buktinya, karena menurut ahli hadits, hadits sahih adalah hadits yang sanad dan matannya sahih. Sehingga diketahui bagaimana status hadits-hadits yang tidak memenuhi criteria-kriteria tersebut dan bagaimana suatu hadits sampai kepada derajat maudhu’ (palsu).
Sebagaiman diketahui, hadits Nabi merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat qath’iy I dilalah, hadits sebagian besarnya bersifat dzanniy ad dilalah.[1] Juga melihat perjalanan hadits yang cukup panjang dengan kondisi masing-masing yang melatar belakanginya, ternyata hadits Nabi mempunyai tingkat kualitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu para ulama hadits perlu mengadakan penelitian terhadap hadis Nabi. Adapun hadits yang terjadi obyek penelitian adalah hadits ahad. Untuk itu para ulama telah menciptakan berbagai kaedah-kaedah tersebut meliputi kaedah kesahihan sanad dan kesahihan matan.
Kata sanad berarti mu’tamad (sandaran), tempat berpegang yang dipercaya atau yang sah. Secara terminoligos, sanad ialah siisilah orang yang menghubungkan kepada matan hadis, yaitu silsilah orang-orang yang menyampaikan materi hadis, baik berupa perkataan, perbuatan dan keputusan.[2]
Sedangkan kata matan memeiliki difinisi yang pada dasarnya memiliki makna yang sama, yaitu materi atau lafadz hadits itu sendiri atau suatu kalimat tempat berkhirnya sanad.[3]

C.    Hadits Shahih
Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim”, artinnya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabi’in, buka hadis syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[4] Menurut Muhadditsin, hadis shahih adalah:
مانقله عدل تام الضبط متصل السندغيرمعلل ولاشاذ
“Hadis yang dinikil (diriwayatkan) oleh rawy yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambng, tidak ber’illat dan tidak janggal.”[5]
Dari definisi di atas disimpulkan bahwa hadis shahih mempunyai 5 (lima) kriteria, yaitu:[6]
1.    Persambungan Sanad ((إتصال السند, artinya setiap perawi dalam sanad  bertemu dan menerima periwatan dari perawi sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمى) dari awal sanad samapai akhirannya. Pertemuan atau persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang digunakan oleh para perawinya:
2.    Pertemuan langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka lansung dengan syaikh yang menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau melihat apa yang dilakukan. Misalnya:
 سمعت= aku mendengar,
 حدثني/أخبرني/حدثنا/أخبرنا= memberikan kepadaku/kami
 رأيت فلان= aku melihat si Fulan, dan lain-lain.
3.    Pertemuan secara hukum, seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
قال فلان/عن فلان/فعل فلان  = si Fulan berkata :.../dari si Fulan/si Fulan melakukan begini.

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadis menempuh tata kerja penelitian berikut:
1.    Mencatat semua rawi dalam sanad yang diteliti.
2.    Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi.
3.    Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para rawi dan rawi yang tedekat dengan sanad.[7]

Jadi suatu hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
1.    Seluruh rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
2.    Antara masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul wa ada al-hadits. Adapun contohnya dari hadis shahih yang ditinjau dari sanandnya, adalah:[8]
Hadis yang diriwayatkan oleh Malik ibn Huwarits yang dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Nasai, Darimi, Baihaqi, Daraqutni, dan Ahmad:
وصلوا كمارأيتموني أصلي
Artinya : “Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat.”
Hadis yang dikeluarkan oleh Sembilan sahabat, yaitu (1) Abu Hurairah, (2) Maimunah, (3) Sa’ad ibn Abi Waqqas, (4) Jubair ibn Mut’im, (5) Abu Sa’id al-Khudri, (6) Jabir ibn Abdullah, (7) Abdullah ibn Zubair, (8) Abu Dzar dan (9) Abdullah ibn Umar.
صلاة في مسجدي هذا خيرمن ألف صلاة فيماسواه إلاالمسجدالحرام
Artinya : “Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih baik seribu kali disbanding shalat di tempat lain, kecuali apabila dilaksanakan di masjid Haram”.
3.    Keadilan para perawi (‘adalah ar-ruwah). Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya, laan dari zalim. Dalam istilah periwayatan orang yang adil adalah:
من استقام دينه وحسن خلقه وسلم من الفسق وخوارم المروء ة
“Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah) dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muruah”

Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteri periwayatan yang bersifat adil, adalah:[9]
1.   Beragama Islam
2.   Berstatus mukalaf (dewasa; yang bertanggung jawab).[10]
3.   Melaksanakan ketentuan agama
4.   Memelihara muru’ah (terhindar dari perbuatan maksiat).
5.   Para perawi bersifat dhabith (dhabith ar-ruwah). Maksudnya, para perawi memilki daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna.
6.   Tidak terjadi ‘illat. Dalam bahasa arti ‘illah adalah penyakit, sebab, alasan, atau udzur. Sedang arti ‘illah di sini adalah sebab tersembunyi yang membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut. Misalnya sebuah hadis setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang membuat cacat  yang menghalangi terkabulnya, seperti: munqathi’ (hadis yang gugur dai isnadnya nama seorang perawi pada sebelum shahabi)[11], mawafiq, atau perawi seorang fasik, tidak bagus hapalannya, seorang ahli bid’ah, dan lain-lain.
7.   Tidak terjadi kejanggalan (syadzdz). Syadz dalam bahasa berarti ganjil, tersaring, atau menyalahi aturan. Maksud syadz di sini adalah terjadinya kejanggalan terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[12]

Hadis shahih ini wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul fikih. Hadis shahih memilki dua macam, yang mana berdasarkan tingkat kekuatan atau kelemahannya, antara lain:
1.    Hadis Shahih Lidzatih
Hadis shahih lidzatih adalah hadis yang sanadnya bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak mengandung cacat yang parah.[13]
2.    Hadis Shahih Lighairih
Hadis shahih ligahirih adalah hadits shahih yang tidak memenuhi syarat-syaratnya secara maksimal.[14] Karena diantara perawi ada yang kurang sedikit hafalannya dibandingkan dalam hadis shahih, tetapi karena diperkuat demgan jalan/sanad lain, maka naik menjadi shahih ligahirih (shahihnya karena yang lain). Kualitas sanad lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yakni shahih.
Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, melalui jalan Muhammad bin Amr Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:[15]
لولاأن اشق على أمتى لأمرتهم بالسواك عندكل صلاة
Seandainya aku tidak khawatir memberatkan umatku, pasti aku memerintahkan mereka agar bersiwak setiap kali endak mengerjakan shalat”. 

D.    Hadits Hasan
Hadits hasan yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan periwayatan perawi yang ‘adil dan dhabit, tetapi nilai kedhabitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsur shudud dan ‘illat.[16]
مااتصل سنده بعدل خف ضبطه من غيرشدوذولاعلة
“Hadits yang muttashil sanadnya yang diriwayatkan oelh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa ‘illat”.[17]
Dengan demikian, hadits hasan sangat memenuhi syarat-syarat hadits shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagaimana kedhabitannya lebih sedikit dibandig kedhabitan para perawi hadits shahih.
Dilihat dari definisi tersebut yang membedakan hadits hasan dengan hadits shahih adalah pada aspek kedzabitan perawi. Dalam hadits hasan, dhabit yang terkait dengan aspek tulisan dan hafalannya kurang sempurna sedangkan hadits shahih kedhabitan perawi sangat handal. Contoh hadits hasan adalah:
رضارب فى رضاالوالدوسخط الرب فى سخط الوالد
“Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan kedua orang tua dan kemurkaan Allah juga bergantung kepada kemurkaan orang tua”.[18]
Pada dasarya hadis hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin yang mepermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke dalam hadis shahih. Dalam hadis hasan, ada beberapa jenis, antara lain:[19]

1.    Hadis Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat dan tidak ada kejanggalan.
2.    Hadis Hasan Lighairih
Hadis hasan lighairih adalah hadis yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain-lain. Selain itu, hadis ini harus memenuhi tiga syarat:
1.    Bukan pelupa yang banyak salahnya dalam hadis yang diriwayatkan
2.    Tidak tampak ada kefasikan pada diri perawinya
3.    Hadis yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau lebih.

Adapun contonya dalam hadis hasan lidzatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Al-Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah dari Sa’id bin Al-Musayyb dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
لعن الله العقرب لاتدع مصلياولاغيره فاقتلوهافى الحل والحرم
Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram”[20]

E.     Hadits Dha’if
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang kuat).[21] Namun secara istilah hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan: Hadits dha’if yaitu hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.[22] Contoh hadis dho’if yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujainmi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda:
من أتى حا ئضاأوامرأة من دبرأوكاهنافقد كفربماأنزل على محمد
“Barang siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.[23]
Pada dasarnya, Islam mengajak umatnyaagar mengetahui kebenaran, mencari dan meneliti setiap yang didengar dan yang dilihatnya. Sebagaimana yang telah diingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah berfirman:[24]
يّاأيهاالذين أمنواّإن جاّء كم فاسق بنبإ فتبينواّأن تصيبواقوما بجها لة فتصبواعلى مافعلتهم ندمين
 (سورة الحجرات : 6)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” (Q.S Al-Hujurat: 6)
Dari keterangan di atas tadi, maka para ulama Muhadditsin mengadakan penelitian agar suatu hadis mempunyai kualitas yang baik. Dengan demikian, maka mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni jurusan sanad dan jurusan matan. Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanand adalah:[25]
1.    Terwujudnya cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kedhabitannya
2.    Ketidakbersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain

Adapun cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:[26]
1.    Dusta                                                   6.   Menyalahi riwayat orang kepercayaan
2.    Tertuduh dusta                                    7.   Banyak waham (purbasangka)
3.    Fasik                                                    8.   Tidak diketahui identitasnya
4.    Banyak salah                                       9.   Penganut bid’ah
5.    Lengah dalam menghafal                    10. Tidak baik hafalannya

Hadis dhaif tidak teridentik dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Maka paraulama memperbolehkan meriwayatkannya hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifnanya dengan dua syarat:[27]
1.    Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2.    Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi berkaitan masalah mau’ishah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Keterangan di atas sudah jelas, bahwa hadis dha’if dapat diamalkan selama kedhaifannya tidak terlalu parah dengan syarat:
1.    Hadis yang dhaif itu masih di bawah satu hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan)
2.    Dalam mengamalkan hadis dhaif harus denganitikaduntuk berhati-hati.[28]

Ibnu Hajar menjabarkan urutan-urutan dalam hadis dha’if yang terburuk, antara lain adalah:
1.    Hadis Maudhu’
Kata Maudhu’ dari akar kata وضع يضع وضعا فهو موضوع = diletakkan, dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat.[29] Sebagian ulama mengartikan mendifiniskan hadis maudhu’ adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Jadi keseimpulannya hadis maudhu’ yaitu hadis yang yang terindikasi dalam jalur perawinya ada yang melakuka pendustaan kepada Rasulullah saw. atau tertuduh berbuat dusta. Adapun contoh hadis palsu yang dikeluarkan oleh Ibn najjar juga dikeluarkan oleh Ibn Asakir dalam al-Tarikh, semuanya lewat jalur Abbas ibn Katsir al-Ruqa, dari Zaid ibn Abi Habib:
صلاة بعمامة تعدل خمسا وعشرين صلاة بغيرعمامة, وجمعة بعمامة تعدل سبعين جمعة بغيرعمامة, إن الملائكة لبشهدون الجمعة معتمين, ولا يزالون يصلون على أصحاب العمائم حتى تغرب الشمس
“Shalat dengan menggunakan surban nilainya sama dengan shalat dua puluh lima kali tanpa menggunakan surban. Sekali jum’atan dengan menggunakan surban, nilainya sama dengan tujuh puluh kali jum’atan tanpa menggunakan surban. Sesungguhnya para Malaikat senantiasa mendo’akan orang yang jum’atan dengan bersurban, dan senantiasa mendo’akan yang bersurban itu sampai tengelam matahari”[30]
Adapun sejarah mmunculnya hadis maudhu’ berawal dari masuknya massal penganut agama lain ke dalam Islam, yang merupakan akibat dari keberhasilan dakwah Islamiyah ke seluruh plosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor munculnya hadis-hadis palsu. Ada juga segolongan mereka menganut agama Islam hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini kita kenal dengan kaum munafik.
Sejak masa Nabi dan masa Khulafaurrasyidin atau sebelum terjadi konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah hadis Nabi masih bersih dan murni tidak terjadi pembauran dengan kebohongan dan perubahan-perubahan. Adapun faktor-faktor penyebab munculnya hadis maudhu’, antara lain:[31]
1.    Pertentangan Politik dalam Soal Pemilih Khalifah. Pertetangan di antara umat Islam timbul setelah terjadinya pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan kekhalifaan yang digantikan oleh Ali bi Abi Thalib. Umat Islam pada masa itu terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut bela terhadap kematian Khalifah Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifaan Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
2.    Adanya Kesenjangan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam. Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi dan Nashrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadis maudhu’ dengan tujuan merusak ajaran Islam
3.    Mempertahankan Madzhab dalam Masalah Fiqh dan Maalah Kalam. Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadis-hadis palsu untuk menguatkan paham pendirian Imamnya.
4.    Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah. Dengan membuat hadis-hadis palsu, maka tujuan utamanya adalah menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui tarhib wa targhib (anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk mengerjakan yang dipandangnya baik), dengan cara berlebih-lebihan.
5.    Menjilat Para Penguasa untuk mencari Kedudukan atau Hadiah. Ulama-ulama su’ membuat hadis palsu ini untuk membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.

Para ulama Muhadditsin membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui shahih, hasan, atau dhaif, mereka juga menetukan ciri-ciri untuk mengetahui kemaudhu’an suatu hadis, yaitu:[32]
a)      Ciri-ciri yang yang terdapat pada sanad, antara lain:
1.    Rawi tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang terpercaya yang meriwayatkan hadis dari dia.
2.    Pengakuan dari si pembuat sendiri.
3.    Kenyataan sejarah.
4.    Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadis maudhu’.
b)      Cirri-ciri yang terdapat pada Matan, antara lain:
1.    Keburukan susunan lafadznya. Maksudnya susunan kata dalam hadis, yang mana mungkin keluar dari mulut Nabi SAW, dan tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.
2.    Kerusakan maknanya. Contonya berlawanan dengan akal sehat, hukum akhlaq yang umum atau menyalahi aturan, bertentangan dengan ilmu kedokteran, menyalahi undang-undang (ketentuan-ketentuan), menyalahi hokum-hukum Allah, mengandung dongeng-dongeng yang tidak masuk akal, bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an dan Hadis Mutawatir, dan menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil.

Keterangan diatas tadi, sudah jelas kita bisa mengetahui mana yang hadis palsu dan mana yang hadis shahih. Karena dengan dengan mengetahui sanad dan matannya. Shalahuddin al-Adlabiy menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk meneliti matan ada empat macam, yaitu:[33]
1.    Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2.    Tidak bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
3.    Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah
4.    Susunan pernyataan tidak menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian.

Umat Islam telah sepakat bahwa membuat hadis maudhu’ hukumnya haram secara mutlaq tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptakan hadis maudhu’ sama dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian diklaim Rasulullah yang menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah. Orang yang melakukan hal demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana sabda beliau:
من كذب على متعمدا فليتبوّأمقعده من النار
Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendak siap-siaplah tempat tinggalnya di dalam neraka”.[34]

2.      Hadis Matruk
Hadis matruk bagian dari hadis dh’aif yang cacat keadilan. Dari segi bahasa kata matruk dari akar kata:  ترك يترك تركا فهو متروك= tertinggal. Orang Arab menyebutkan kulit telur setelah mengeluarkan anak ayam disebut tarikah (تريكة) = tertinggal tidak ada faedahnya.[35]

هوالحديث الذي في إسناده راوٍمتهم باالكذ ب
Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta”[36]
Dari difinisi di atas tadi, sudah jelas bahwa bahwa hadis matruk adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadis Nabawiy, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui perbuatan kata-katanya ataupun sering sekali salah dan lupa.[37] Mengenai hukum penggunaan hadis ini adalah bahwa hadis matruk tidak bisa diamalkan dikarenakan cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta posisinya dekat dengan hadis Maudhu’. Adapun contoh dari hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam Qadha’ Al-Hawa’ij melalui jalur Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abas dari Nabi SAW:
عليكم بإصطناع المعروف فإنه يمنع مصارع السوءوعليكم بصدقة السرفإنهاتطفئ غضب الله عزوجل
Wajib atas kamu berbuat yang makruf sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah samara (sirr) sesungguhnya ia mematikan murka Allah Ajja wa Jalla”.[38]

3.      Hadis Munkar
Kata munkar dari kata inkar:  أنكر ينكر إكارا فهو منكر= menolak, tidak menerima lawan dari kata iqrar = mengakui dan menerima.
Secara istilah hadis Munkar adalah hadis pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahan atau tampak kefasikannya. Hadis syadz dan munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah.[39] Tingkat kedha’ifannya sangat dho’if, karena cacat hadis munkar sangat parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam meriwayatkan sehingga menyalahi periwayatan para perawi yang tsiqat. Untuk mengetahui ini tentunya setelah diadakan komparasi dengan periwayatan orang-orang yang tsiqah pada tema hadis melalui berbagai periwayatan, baik dari segi sanad dan matan. Adapun contoh dari hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf dari ayahnya secara marfu’:
صائم رمضان في السفركالمفطرفي الحضر
“Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya”.[40]

4.      Hadis Syadz
Dari segi bahasa syadz berasal dari kata  شد يشد شدا فهو شاذdiartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas.[41] Awal mula yang mengenalkan jenis hadis ini adalah Imam asy-Syafi’iy. Beliau mengatakan bahwa hadis syadz bukanlah hadis di mana perawinya tsiqat meriwayatkan hadis yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain.[42] Dari definisi Imam asy-Syafi’iy, sudah jelas bahwa hadis syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun lebih tinggi daya hafalannya.[43] Adapun contoh hadis syadz pada matan, hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shahih dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah saw. bersabda):
إذا صلى أحدكم ركعتي الفجرفليضطجع عن يمينه
“Jika telah shalat dua raka’at Fajar salah seorang di antarakamu, hendaklah tiduran pada lambung kanan”.[44]

F.     Kesimpulan
Kesimpula pertama adalah Pada dasarnya, kita bisa menilai kualitas suatu hadits, kita dapat menilai dari kualitas sanad dan matannya. Untuk menguji apakah hadits betul bersuber dari Rasulullah atau tidak. Diantara syarat sahnya sebuah sanad adalah:
1.    Persambungan sanad para perawi
2.    Keadilan perawi
3.    Tingkat kemampuan perawi dalam memelihara hadits (dhabit)
4.    Terhindar dari syadz
5.    Terhindar dari ‘illat.

Sedangkan untuk mengetahui matannya, yaitu:
1.    Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an
2.    Tidak bertentangan dengan fakta sejarah
3.    Tidak bertentangan dengan logika

Untuk mengetahui makna dari matan, harus didasari pada suatu asumsi bahwa teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi yang berada di tengah sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi dibalik suatu teks atau matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan merekonstruksi makana sebuah hadits. Jika tidak, akan melahirkan kesalahpahaman penafsiran.
Kesimpilan yang kedua adalah kebanyakan ulama ahli ilmu dan fuqaha, bersepakat menggunakan hadits Shahih dan Hasan sebagai hujjah. Disamping itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits Hasan dapat dipergunakan hujjah, bila memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan skema. Sebab sifat-sifat yang dapat diterima itu, ada yang tinggi, menengah dan rendah. Hadits yang mempunyai sifat dapat diterima yang tinggi dan menengah, adalah Hadits Shahih, sedang Hadits yang mempunyai sifat dapat diterima yang rendah adalah Hadits Hasan.
Kesimpulan ketiga adalah Sebuah hadits tidak pernah berdiri sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang meresponnya. Ketika hadits dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna, kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi perpustakaan.

G.    DAFTAR PUSTAKA
Suyadi, Agus, Solahuddin, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009).
‘Ajaj Al-Khathib, Muhammad, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007).
Al-Mas’udi, Hafizh Hasan, Ilmu Mustholah Hadis, (Surabaya, Al-Hidayah).
Kholis, Nur, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta, Teras, 2008).
Khon, Majid, Abdul, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009).
MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011).
MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011).
Partanto A, Pius dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arloka, 1994).
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung, PT Alma’arif, 1987).
Syuhbah, Abu, Kutubus Sittah, (Surabaya, Pustaka progresif, 1999).


[1] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta, Teras, 2008), hlm, 251.
[2] MKD IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm, 42-43.
[3] Ibid., hlm, 43.
[4] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm, 141.
[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung, PT Alma’arif, 1987), hlm, 95.
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 150-154.
[7] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm, 143.
[8] MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm, 119-121.
[9] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm, 142.
[10] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arloka, 1994), hlm, 494.
[11] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arloka, 1994), hlm, 499.
[12] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm, 144.
[13] Hafizh Hasan Al-Mas’udi, Ilmu Mustholah Hadis, (Surabaya, Al-Hidayah), hlm, 11.
[14] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 277.
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 155.
[16] MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm, 130.
[17] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 299.
[18] MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm, 131
[19] Hafizh Hasan Al-Mas’udi, Ilmu Mustholah Hadis, (Surabaya, Al-Hidayah), hlm, 13-15.
[20] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 161.
[21] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 148.
[22] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 304.
[23] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 164.
[24] M.M. Abu Syuhbah, Kutubus Sittah, (Surabaya, Pustaka progresif, 1999), hlm, 31.
[25] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 148.
[26] Ibid., hlm, 148-149.
[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 164-165.
[28] Hafizh Hasan Al-Mas’udi, Ilmu Mustholah Hadis, (Surabaya, Al-Hidayah), hlm, 19.
[29] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 199.
[30] MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), hlm, 139-140.
[31] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm, 176-182..
[32] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 182-186.
[33] Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta, Teras, 2008), hlm, 263.
[34] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 207.
[35] Ibid., hlm, 183.
[36] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 150.
[37] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 313-314.
[38] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 184.
[39] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 150.
[40] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 188..
[41] Ibid., hlm, 197.
[42] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 312.
[43] M. Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009), hlm, 151.
[44] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 198.