LOGIKA INDUKSI DAN LINGKARAN WINA
A. Pengantar
Penalaran
merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir
itu harus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap
sahih (valid). Kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika,
dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk
berfikit secara sahih”.[1]
Suatu kesimpulan
kita dapat buktikan suatu percobaan, karena dengan percobaan kita bisa
membuktikan bahwa kesimpulan tersebut memang benar-benar nyata tanpa ada
pengrekayasaan oleh seorang peneliti. Hal-hal empiris yang bisa dilihat oleh
indera kita bisa membantu dalam mengambil suatu kesimpulan, dan membentuk suatu
hukum.
Secara
defenitif, logika dapat dipahami sebagai studi tentang metode-metode dan
prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk membedakan penalaran yang lurus dari
penalaran yang tidak lurus. Arti
lain dari logika itu adalah pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir lurus.
Jadi logika itu berhubungan dengan kegiatan berpikir, namun bukan sekedar
berpikir sebagaimana merupakan kodrat rasional manusia sendiri, melainkan
berpikir lurus.[1] Menurut Langeveld, logika itu adalah kepandaian untuk
memutuskan secara jitu. Logika mempelajari syarat-syarat yang harus dipenuhi
untuk mengambil kesimpulan secara benar. Dengan kata lain pula,
logika diperlukan dalam penarikan dan keputusan.[2]
Dalam inductivisme, pemikiran tersebut didasarkan pada pengamatan.
Induksi
merupakan cara berfikir dimana ditarik kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai
dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang
khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan
yang bersifat umum.[3]
Dari keterangan di atas tadi, bahwa induksi dapat didefinisikan sebagai salah
satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang khusus, membawanya kepada kesimpulan
yang umum. Atau berfikir dari soal-soal yang kongkrit kepada soal-soal yang
abstrak.[4]
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai
pengetahuan, tentu saja mengenai pengetahuan yang satu itu (khusus).
Pengetahuan yang khusus ini dapat juga tercapai berulang kali dan kemudian
dijadikan landasan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas
wilayahnya, sehingga berlaku lebih umum. Jalan pikiran dari
putusan yang khusus kepada putusan yang berlaku umum tersebut dinamakan
induksi.
Induksi pada
umumnya disebut generalisasi.[5]
Ilmu eksakta mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar data
itu menyusun suatu ucapan umum. Titik pangkal penelitian filsafat mengenai
hakikat manusia juga selalu ditemukan pada kenyataan sendiri, atau pada pengalaman
yang konkrit dan individual. Adapun
contohnya dari logika induksi yaitu:
Besi itu mengalirkan listrik
Tembaga itu mengalirkan listrik
Perak itu mengalirkan listrik
Besi, tembaga, emas, perak adalah logam.
Jadi logam itu mengalirkan listrik.
Dari contoh di atas tadi, dimanakah letak suatu sebab,
yang mengesahkan kesimpulan yang lebih benar, dari jumlah
premis-premisnya ? Menurut Aristoteles, pengesahan itu terletak dalam
kodrat barang-barang itu. Jika kita sudah cukup mengalami kejadian-kejadian
yang individual, pengertian kita dengan intuitif melihat bahwa sifat yang demikian
itu esensial bagi barang-barang itu. Maka barang-barang itu adalah logam. Jadi
logam itu mengalirkan listrik.[6]
Penalaran induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik
tolak pada sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai
hukum ilmiah, maka secara berurutan sebagai proses penalaran dapatlah disusun
sebagai berikut :[7]
1. Observasi dan Eksperimen
Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus. Metode
khusus yang digunakan adalah observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi
harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimentasi terjadi untuk membuat atau
mengganti objek atau hal-hal yang harus dipelajari, sehingga observasi dan
eksperimentasinya bersifat selektif.
2. Hipotesis Ilmiah
Langkah
kedua dalam induksi ialah perumusa hipotesis. Hipotesis ialah suatu dalil
sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk
bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis yang dimaksud ialah dalil sementara atas
dasar observasi dan penggolongan yang didukung oleh pengetahuan ilmiah.
Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.
Hipotesis harus
dapat diuji kebenarannya dengan cara membandingkan dengan fakta yang diamati.
2.
Hipotesis harus
terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya.
3.
Hipotesis harus
runtut dengan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sudah dianggap benar.
4.
Hipotesis harus
dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan.
3. Verifikasi dan Pengukuhan
Langkah
ketiga dalam penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah
sekedar penelusuran dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan
terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk
diambil kesimpulan umum. Menverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini
adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menentukan
hukum atau dalil umum sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori.
4. Teori dan Hukum Ilmiah
Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah ialah
untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi induksi ialah
untuk sampai pada suatu dasar yang logik bagi generalisasi dengan tidak
mungkinnya semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan kebenaran
yang logik bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi
semua hal.
Untuk diterapkan, harus melalui suatu hukum ilmiah yang
derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi. Suatu hipotesis dapat
dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urutan-urutan
derajatnya. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis
itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori saling
berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang
diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hukum
ilmiah.
Coba perhatikan prinsip dasar induktif, yaitu tentang
"Jika sejumlah besar A (fakta-fakta dari fenomena itu)" dan
"variasi kondisi yang luas". Dari prinsip tersebut dapat ditanggapi
bahwa semakin besar A yang diamati (seyogyanya semua A pada fenomena) dan
semakin luas variasi dimana pengamatan itu dilakukan, maka makin mantap
hukum/dalil/teori yang dibangunnya.[8
Ada
dua macam induksi, antara lain :[9]
1.
Induksi sempurna. Dinamakan induksi sempurna jika
keputusan umum itu merupakan penjumlahan dari keputusan khusus. Misalnya dari
masing-masing (khusus) mahasiswa Universitas Islam Madura Pamekasan, diketahui
bahwa ia (mereka) itu orang Jawa. Maka dapat diadakan keputusan bahwa semua
(umum) mahasiswa Universitas Islam Madura Pamekasan adalah orang Jawa.
2.
Induksi tidak sempurna. Dinamakan induksi tidak sempurna,
jika putusan umum itu dari putusan khusus bukan penjumlahan melainkan lompatan
dari khusus kepada yang umum. Induksi tidak sepurna ini ada dua
macam:
a) Induksi tidak
sempurna mutlak.
Dalam ilmu alam,
putusan yang tercapai melalui induksi tidak sempurna ini berlaku umum dan
mutlak, jika ada kecualinya. Misalnya mengenai hukum pembekuan air, itu tidak
ada pengecualiannya. Dengan tidak ragu-ragu ilmu alam berani menetapkan tentang
pembekuan air ini, walaupun pengalamannya tidak dilakukan kepada semua air.
Kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa air akan membeku pada 0 derajat
celcius, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu (putusan) berlaku dengan
pasti, berlaku umum dan mutlak.
b) Induksi tidak
sempurna tidak mutlak.
Biasanya terjadi pada Ilmu sosial. Terjadinya karena
pengaruh subyektifitas manusianya, sehingga putusan umum yang dapat dari
pengalaman khusus tersebut (induksi) dapat diberlakukan umum tetapi tidak pasti
dan tidak mutlak, berarti selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian.
Kalau hukum alam pada prinsipnya tidak ada pengecualian, maka ilmu sosial
selalu ada kemungkinan kekecualiannya.
Contohnya : Kalau orang Jakarta kebanyakan makan di
restoran, maka jangan segera mengambil kesimpulan umum bahwa orang Jakarta
semuanya suka makan di restoran tanpa ada kecualinya. Sebab
makan atau tidak makan di restoran, bukan sifat mutlak bagi semua manusia
manapun, termasuk manusia Jakarta. Lain halnya dengan air yang membeku pada 0
derajat celcius itu, memang sudah menjadi sifatnya yang mutlak.
D. Generalisasi
Induktif
Generalisasi
adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual
untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena
itu.[10]
Generalisasi induktif memiliki syarat-syarat tertentu. Di bawah ini dijelaskan
syarat-syarat dan probalitasnya.[11]
1.
Syarat-syarat
Generalisasi Induktif
Sebagaimana kita
ketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum
dari premis-premis yang berupa proposisi empiris itu disebut generalisasi. Menurut
Soekadijo dalam Karomani[12]
bahwa prinsip penalaran itu demikian bunyinya. “Apa yang beberapa kali
terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila
kondisi yang sama terpenuhi.”[13]
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sediri disebut generalisasi.
Generalisasi selalu bersifat universal. Generalisasi harus memenuhi tiga syarat
berikut ini:
a) Generalisasi
harus tidak terbatas secara numerik. Artinya generalisasi tidak boleh terikat
pada jumlah tertentu.
b) Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio temporal,
artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu.
c) Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian atau
dasar pengambilan konklusi yag tepat.
2.
Generalisasi
Induktif dan Probalitasnya
Seperti telah
dijelaskan bahwa dalam logika induktif tidak ada konklusi yang mempunyai nilai
kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah probalitas rendah dan tinggi. Untuk
menjleaskan hal ini ikuti penjelasan di bawah ini:
a) Jeruk ini keras hijau dan rasanya masam.
Kesimpulan :
Semua jeruk yang keras dan hijau rasanya masam.
c) Jeruk 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk
2 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk
3 keras, hijau, dan rasanya masam.
Kesimpulan :
Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
d) Jeruk 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk
2 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 3 s.d. jeruk 15 keras, dan
rasanya masam.
Kesimpulan :
Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
e) Jeruk 1 keras,
hijau, kecil, benjol, masam.
Jeruk 2 keras, hijau, kecil,
benjol, masam.
Jeruk 3 keras, hijau, kecil,
benjol, masam.
Kesimpulan :
Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
f) Jeruk 1 keras,
hijau, kecil, benjol, masam.
Jeruk 2 keras, hijau, besar, dari
Baten, baru saja dipetik dan masam.
Jeruk 3 keras, hijau, besar, dari
Garut, sudah disimpan sebulan dan masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang
keras dan hijau rasaya masam.
Setelah kita perhatikan keenam penalaran di atas,
ternyata konklusinya sama, bahwa semua jeruk yang keras dan hijau itu rasanya,
masam. Namun dari keenam konklusi dalam penalaran generalisasi induktif itu ada
perbedaan tingkat probalitas atau kemungkinan kebenarannya. Jika kita melihat
konklusi penalaran no 3, dan lalu kita bandingkan dengan penalaran no.2, maka
jelas konklusi penalaran no. 3 lebih tinggi probalitasnya, karena fakta yang
terkandung dalam premis no. 3 jauh lebih banyak dibandingkan dengan fakta yang
ada dalam premis 2. Lebih-lebih dengan
penalaran no. 1, probalitasnya amat rendah dibandingkan dengan penalaran no. 2
sekalipun.
Dari hasil perbandingan-perbandingan di atas, kita
dapat merupmuskan bahwa faktor probalitas yang pertama dalam generalisasi
induktif adalah makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
indutif, maka makintinggi probalitas konklusinya, dan sebaliknya makin sedikit
jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, maka makin rendah
probalitas konklusinya.
F. Analogi
Induktif
Analogi induktif
adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang
mirip satu sama lain, kemudia menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk suatu
hal akan berlaku pula untuk hal lain. Analogi pada dasarnya membandingkan dua
hal, dan mengambil kesamaan dari dua hal tersebut.[14]
Contoh mengenai
analogi induktif di atas nampak dalam kasus berikut ini : Nina adalah
tamatan fakultas ekonomi Universitas Lampung, ia telah memberikan prestasi yang
luar biasa pada perusahaan tempat ia bekerja. Pada waktu penerimaan pegawai
baru, direktur perusahaan langsung menerima Dodi, karena Dodi sama lulusan
fakultas ekonomi Universitas Lampung. Semua pelamar-pelamar lain diabaikan. Direktur perusahaan ini menggunakan
penalaran analogi.
Analogi induktif tentu berbeda dengan generalisasi
induktif. Generalisasi induktif konklusinya berupa proposisi universal.
Sedangkan analogi induktif tidak selalu demikian. Ia tergantung pada
subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi, dan subyek itu bisa
individual, partikular, atau universal.
G. Cara
Kerja Induksi
Cara kerja induksi menurut Mill
adalah sebagai berikut:[15]
1.
Metode
kesesuaian (method of agreement)
Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada
gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu mempunyai (mengandung,
pen) faktor yang sama, maka faktor (yang sama) itu merupakan satu-satunya sebab
bagi gejala yang diselidiki. Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan
minum es sirup yang dijajakan di sekolah. Maka es sirup itu yang menjadi sebab
sakit perut mereka. Artinya, suatu sebab disimpulkan dari adanya kecocokan
sumber kejadian.
2.
Metode perbedaan
(method of difference)
Apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang
diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun
faktor-faktornya sama kecuali satu, yang mana faktor (yang satu) itu terdapat
pada peristiwa pertama, maka itulah satu-satunya faktor penyebab peristiwa itu
berbeda. Karena dapat disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai
suatu sebab terjadinya suatu gejala pembeda (yang diselidiki) tersebut.
Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan
telah makan: sop buntut, nasi, rendang dan buah dari kaleng. Sedang B yang
tidak sakit perut mengatakan bahwa ia telah makan: sop buntut, nasi, dan
rending. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah dari kaleng yang menyebakan sakit
perut. Ini artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya kelainan dalam
perisitiwa yang terjadi.
3.
Metode persamaan
variasi (method of concomitan variations)
Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan
selang-seling seiring. Apabila suatu gejala mengalami perubahan ketika gejala
lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat
dari gejala lain, atau berhubungan secara sebab akibat. Metode ini bisa dicontohkan misalnya dalam fenomena
pasang surut air laut. Diketahui bahwa pasang surut disebabkan
oleh tarikan gravitasi bulan.
4.
Metode
menyisakan (method of residues)
Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan
keadaan tertentu ini merupakan akibat dari faktor yang mendahuluinya, maka sisa
akibat yang terdapat pada peristiwa itu pasti disebabkan oleh faktor yang lain.
Metode menyisakan dapat dipakai dengan pengkajian
atas hanya satu kejadian. Jadi, berbeda dengan metode-metode lainnya yang
paling sedikit membutuhkan pengkajian atas dua kejadian. Cirri metode
menyisakan dapat dikatakan deduktif, karena bertumpu kuat pada hukum-hukum
kausal yang sudah terbukti sebelumnya. Namun demikian, kendati terdapat
premis-premisyang berupa hukum-hukum kausal, kesimpulan yang dapt dicari
melalui metode menyisakan sifatnya hanya probable, dan tidak dapat dideduksikan
secara sah dari premis-premisnya.
Keempat metode ini
dapat dijumpai dalam buku-buku pelajaran tentang logika. Maka
dengan demikian kita bisa menilainya dengan sebagai berikut:[16]
1.
Penalaran
berdasarkan probalitas dan pelajaran secara statistic
Jenis induksi
ketiga digambarkan dengan cara probalitas dan secara statistik. Misalnya kita
mengetahui bahwa John Smith adalah seorang guru dan kita ingin bertaruh usianya
akan mencapai 65 tahun. Berapakah taksiran kita mengenai usianya? Untuk menjawabnya
kita perlu mempunyai statistik mengenai panjangannya usia seorang guru. Dari
hal-hal ini, yang diringkas dalam bangun natematis yang tepat, dengan
menggunakan teori matematik tentang probabilitas, maka anda akan dapat
melakukan penaksiran. Suatu jenis induksi yang didasarkan pada probabilitas
yang serupa, dapat pula dilakukan, tetapi probabilitasnya tidak dapat diukur.
2.
Analogi dan
Komparasi
Dua bentuk
penyimpulan yang sangat lazim dipakai dalam perenungan kefilsafatan ialah
analogi dan komparasi. Penalaran secara analogi adalah berusaha mencapai
kesimpulan dengan menggantikan apa yang dicoba dibuktikan dengan sesuatu yang
serupa dengan hal tersebut, namun yang lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan
kembali apa yang mengawali penalaran tersebut.
Demikian kita
ingin membuktikan adanya Tuhan berdasarkan susunan dunia tempat kita hidup.
Secara analogi adanya dunia juga menunjukkan ada pembuatnya, karena dunia kita
ini juga sangat rumit susunannya dan bagian-bagiannya berhubungan sangat erat
yang satu dengan yang lain secara baik.
3.
Observasi
(Pengamatan)
Suatu pernyataan
yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang dapat diulangi, baik oleh
orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun oleh orang lain, pada
prinsipnya dapat dilakukan verifikasi terhadapnya. Jika pernyataan itu lulus
dalam ujian pengalaman, maka pengalaman itu dikukuhkan, meskipun tidak
sepenuhnya terbukti benar. Jika saya berkata, “Di luar hujan turun”. Dan saya
pergi ke luar serta melihat dan merasakan turunnya hujan, maka pernyatan saya
tersebut menurut ukuran tadi telah diverifikasikasi.
4.
Penalaran
berdasarkan kontradiksi
Metode
verifikasi yang kedua, yakni dengan menunjukkan kesesatan pernyataan yang
dipersoalkan karena bertentangan dengan dirinya, atau mengakibatkan pertentangan
dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah ditetapkan dengan baik. Misalnya,
untuk membuktikan bahwa garis-garis yang sejajar tidak pernah bertemu, orang
mengambil cara dengan mengandaikan bahwa gaaris-garis itu bertentangan dan
kemudian menunjukkan bahwa hal yang demikian ini akan membawa kita kepada
kontradiksi. Demikian pula, mengandaikan bahwa suatu sudut di dalam segi tiga
ada yang besarnya nol derajat dan ada yang lebih dari nol derajat. Saya
cukupkan pembicaraan ini sampai sekian, karena banyak hal dalam filsafat yang
sesungguhnya bersangkutan dengan menyimpulkan kontradiksi-kontradiksi.
H. Pengertian
Lingkaran Wina
Dalam ilmu pengetahuan, terdapat dua macam paradigma, ilmiah dan
alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme, sedangkan
paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis.[17] Positivisme
cenderung untuk menumbuhkan pengetahuan dengan bahan ilmu alam dan menyerahkan
pertanyaan-pertanyaan tentang makna saja untuk dianalisa oleh filsafat. Hal-hal
yang merupakan fakta-fakta dikatakan termasuk bidang ilmu. Hanya analisa
tentang bahasa dan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan verifikasi yang
menginginnya, yang tetap diakui termasuk lingkungan filsafat.[18]
Dalam sejarah
filsafat modern terlihat, positivisme memiliki pengaruh penting bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu alam. Pada tahun 1920-an,
positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum
positive logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Viena Circle).
Lingkaran Wina (Viena
Circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu
pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka
berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu
pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski
sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan
terus hingga 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936),
Hans Hahn (1880-1934), Otto Meurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975),
Herbert Feigi (1990) dan Rudolf Carnap (1891-1970).[19]
Anggota dari
kelompok ini (kecuali Kurt Godel) menganut suatu paham yang disebut Positivisme
logis. Paham ini dianggap radikal karena tidak hanya menyatakan metafisika
salah, namun menyatakan metafisika tidak ada artinya. Mereka mengambil
inspirasi dari filsuf Wittgenstein dalam buku “Tractacus Logico Philosophicus”,
walau sang filsuf sendiri merasa bahwa interpretasi mereka kurang tepat.
Pada tahun 1929
Hahn, Neurath dan Carnap menerbitkan Wissenschaftliche Weltauffassung. Der
Wiener Kreis (A scientific world-view. The Vienna Circle) sebuah manifesto dari
kelompok ini. Pada 1928 dan 1937 menerbitkan sepuluh buku dalam seri
Schriften zur wissenschaftlichen Weltauffassung (Papers on the Scientific
Worldview). Diantara buku itu ada was Logik der Forschung, 1935 buku pertama
dari filsuf Karl Raimud Popper. Kelompok ini dibubarkan ketika
partai Nazi berkuasa di Jerman. Banyak yang bermigrasi ke Amerika,
Schlick tinggal di Austria tapi 1936 dia dibunuh pelajar simpatisan Nazi
di Universitas Vienna.[20]
Behavioris
percaya bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya dapat dikontrol. Pandangan ini
sejalan dengan asumsinya tentang manusia yang secara prinsip sama dengan alam
(sebuah mesin) yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum alam (determinisme).
Tingkah laku manusia dipandang sebagai suatu sistem kompleks yang teratur
(stimulus-respon). Manusia adalah hewan yang lebih tinggi, akan tetapi secara
prinsip tidak terlalu berbeda dengan binatang. Manusia hanyalah hasil evolusi
akhir dari makhluk yang sederhana, karena itu penelitian tentang hewan (anjing,
tikus putih, atau monyet) dapat berlaku sama pada manusia.
Berkembangnya
positivisme logis (seperti pada psikologi, sosiologi) harus dilihat dalam
konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang
Dunia I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan
pemerintahan republik yang tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara
drastis. Di samping itu, perang mengakibatkan korban yang sangat besar di
kalangan generasi muda serta menimbulkan kehancuran material yang luar biasa.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran
baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui secara umum bahwa kemajuan ilmu
pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan sangat menentukan
kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk membangun
kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di
tengah-tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri
pada barisan terdepan menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa
berdasarkan landasan teologi dan metafisik.
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan
masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu
menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang
diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit of a
scientific conception of the world,” yakni semangat dunia ilmiah yang
berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat
perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi.[21]
I. Filsafat
Sebagai epistimologi dan logika
Penganut neo-positivisme sepaham untuk menolak
gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai
keseluruhan, atau bahkan menolak usaha filsafat untuk memberikan gambaran yang
sistematis tentang kenyataan. Penolakan ini dilakukan dengan dua cara:[22]
1.
Dengan berusaha
mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi
2.
Dengan
menganalisis bahasa, dan berusaha menunjukkan betapa kita dapat terpedaya oleh
struktur bahasa.
J. Hanya
Pengamatan Inderawi Itulah Yang Relevan
Penganut neo-positivisme mengatakan bahwa satu-satunya
corak pengamatan yang relevan ialah pengamatan inderawi. Jika ukuran
dapat diverifikasi tidak dapat diterapkan, maka tidak mungkin ada makna, dan
pernyataan yang dipertimbangkan dikatakan “tiada bermakna”. Dengan demikian,
apa yang dikatakan oleh penganut realisme, maupun pengikut idealisme, dapat
dikatakan tiada bermakna. Ini tidak berarti bahwa pernyataan-pernyataan yang
tiada bermakna tersebut tidak mempunyai arti emotif. Banyak diantara
penganut neo-positivisme menegaskan tentang pentingnya kalimat-kalimat tersebut
tidak berisi fakta.[23]
K. Verifikasi
dan Proposisi Analitik
Para filosof pada “kelompok” lingkaran wina pada
umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan
yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Artinya jika suatu pernyataan dapat
diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya jika tidak dapat
diverifikasi berarti tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menyatakan bahwa
suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat
diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip ini,
filsafat tradisional haruslah ditolak, karena ungkapan-ungkapannya melampaui
pengalaman, termasuk dalam teologi dan metafisika pada umumnya.
Menurut Carnap, ilmu (science) adalah sebuah system
pernyataan yang didasarkan pada pengalaman langsung, dan dikontrol oleh
verifikasi eksperimental. Verifikasi dalam ilmu bukanlah pernyataan tunggal,
tetapi termasuk system dan subsistem pernyataan tersebut. Verifikasi didasarkan
atas ”pernyataan protokol” (protocol statements). Istilah dipahami sebagai
pernyataan yang termasuk protokol dasar atau catatan langsung dari suatu
pengalaman yang langsung pula.[24]
Kendati tokoh positivism logic secara umum menerima
prinsip pentasdikan itu sebagai tolak ukur untuk menentukan konsep tentang
makna, namun mereka membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip
pentasdikan itu sendiri. Tokoh pemula positivism logic, seperti Moritz Schlick
misalnya, menafsirkan “mentasdikan” ini dalam pengertian pengamatan empiric
secara langsung bahwa hanya proposisi yang mengandung istilah yang diangkat
langsung dari objek yang dapat diamati itulah yang benar-benar mengandung
makna. Bagi Schlick, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan
pengamatan peristiwa.[25]
Berikut ini adalah beberapa prinsip verifikasi:
1.
Suatu proposisi
dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverikasi. Arti seuatu pernyataan
adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman emperis.
2.
Yang mesti
dilakukan itu adalah verifikasikan bukan menghasilkan suatu pernyataan yang
mesti benar. Proposisi “Di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna
walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “Jhon
tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk
membuktikan kebenarannya secara emperis.
3.
Setiap
pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya
pernyataan itu tidak berakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna
karena secara empiric tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat dianalisis
secara empiric.[26]
Dengan berkembangnya zaman, muncullah Ayer. Ia
merupakan salah satu penganut positivism logic, atau dapat dikatakan sebagai
generasi penerus tradisi positivism logic, menyadari kelemahan yang terkandung
dalam prinsip pentasdikan yang diajukan Schlick. Oleh karena itu, Ayer memperluas
prinsip pentasdikan dalam pengertian sebagai berikut: “Suatu cara sederhana
untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat
mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dianalisa
atau dapat ditasdikan secara empirik”.
Selain itu Ayer mengartikan pendapat Schlikck merupakan verifiable dalam arti ketat (Ayer
menambahkan pengertian veriable dalam arti longgar atau lunak). Kedua macam
pengertian verifiable ini dijelaskan oleh Ayer sebagao berikut: “Verifiable
dalam arti yang ketat yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung
pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable dalam arti lunak yaitu, jika
suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan
pengalaman yang memungkinkan”.[27]
Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Ayer bahwa
suatu kalimat mengandung makna jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan
itu dapat dianalisis atau ditasdikan secara emperik. Ini berarti ada dua macam
proposisi, yaitu proposisi empirik dan analitik. Bagi Ayer
proposisi emperik lebih mudah dipahami, karena dikaitkan dengan pengalaman yang
pasti atau pengalaman yang mungkin. Menurut Ayer proposisi empiric adalah
hipotesa yang mengandung kemungkinan untuk disahkan atau ditolak dalam
pengertian yang sebenarnya. berbeda halnya dengan proposisi analitik,
kebenarannya ataupun ketidak benarannya tidak didsarkan pada pengalaman. Apa
yang dimaksud Ayer dengan proposisi analitik ini yaitu, proposisi yang:
1.
Semata-mata
benar berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan symbol.
2.
Tidak
berdasarkan pada “a priori” (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis
atau perkiraan logis).
3.
Mengandung
kepastian dan keniscayaan, yaitu yang dinamakan “tautology” (suatu pernyataan
yang secara logis bersifat mesti benar).
4.
Mengandung makna
sejauh proposisi yang bersangkutan didsarkan pada penggunaan istilah yang
pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal.[28]
L. Eliminasi
Metafisika
Pandangan lingkaran wina tentang pernyataan
metafisika, termasuk etika adalah tidak karena ia menyajikan proposisi yang
tidak bisa diverifikasi atau sebagai proposisi yang “pseudo-statements” menurut
Carnap. Menurut Carnap, banyak penentang metafisika sejak dari kaum skeptic
masa Yunani hingga emperisis abad ke-19 berpendapat bahwa metafisika adalah
salah (false), yang lain lagi menyatakan tidak pasti (uncertain), atas dasar
bahwa problem-problemnya mengatasi (transcendent) batas-batas pengetahuan
manusia.[29]
Carnap menggunakan logika terapan atau teori
pengetahuan melalui cara-cara analisis logis untuk mengklarifikasi muatan
kognitif pernyataan-pernyataan ilmiah dan makna dari istilah-istilah yang
dipakai dalam pernyataan tersebut sehingga diperoleh hasil positif dan negatif.
Para pemikir yang termasuk
ke dalam gerakan ini bermaksud meniadakan metafisika dari ranah
filsafat. Hal itu dikarenakan metodologi yang
dikembangkan oleh gerakan ini. Mereka mengembangkan suatu metode ilmu
pengetahuan yang dapat digunakan ke dalam semua bidang ilmu pengetahuan,
termasuk filsafat yang banyak berbicara soal metafisika. Metafisika dianggap
tidak dapat diverifikasi oleh metode ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan
sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Para pemikir lingkaran Wina
menganggap bahwa bahasa dan pengetahuan ilmiah seharusnya berdasar pada dua hal, yakni logika
(pengetahuan a nalitik) dan fakta (pengetahuan positif).[30]
Contohnya Ayer, yang mana
titik tolak untuk menghapus metafisika dari kancah filsafat, juga didasarkan
pada gagasan Russel mengenai kegalatan aturan-aturan tatabahasa terhadap
keniscayaan-keniscayaan logik. Tujuan utama yang diinginkannya bersama
tokoh-tokoh positivisme logik lainnya bagi filsafat ini meliputi antara lain:
1.
Membentuk
kembali bahasa sehari-hari menjadi bahasa yang dibatasi penggunaannya. Melalui
teknik-teknik analisa bahasa itu dirumuskan pembatasan-pembatasan yang bersifat
operasional.
2.
Mengarahkan
filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa falsafati
adalah mengantar kita ke arah suatu pandangan positivistic mengenai dunia.[31]
M. Kesimpulan
Logika induksi
membicarakan tentang penarikan kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan yang
umum, melainkan dari pernyataan-pernyataan yang khusus. Kesimpulannya hanya
bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah
diajukan. Bertolak dari hal yang khusus menunju hal yang umum adalah corak
kesimpulan dalam logika induktif. Walau
demikian generalisasi dalam logika induktif selalu berdasar pada empirik dan
disertai dengan penjelasan. Contohnya:
Besi itu mengalirkan listrik
Tembaga itu mengalirkan listrik
Perak itu mengalirkan listrik
Besi, tembaga, emas, perak adalah logam.
Jadi logam itu mengalirkan listrik.
Lingkaran Wina atau Der Wiener Kreiss adalah suatu
istilah yang merujuk pada kelompok sekumpulan filsuf yang berkumpul di sekitar
Universitas Vienna pada tahun 1922. Mereka berkumpul di sekitar Moris Schlick
setelah dia kembali ke Vienna pada tahun yang sama, kemudian dia menjadi ketua
dari kelompok ini. Dikenal juga sebagai Ernst Mach Society
(Verein Ernst Mach).
Dilain sisi, Lingkaran
Wina mentasdikan (menverifikasikan) pada metode ilmiah. Sehingga Ayer
memperbaiki kekurangan dari pentasdikan Schlick, bahwa pentasdikan
dapat dibagi menjadi dua verifiable yaitu verifiable kuat (kebenaran yang
didukung dengan pengalaman yang meyakinkan) dan lemah (kebenaran yang didukung
dengan suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman). Terutama
verifiable dalam arti lunak, telah membuka kemungkinan untuk menerima
pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan
masa depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna.
Sedangkan
proposisi analitik yang semata-mata benar berdasarkan susunan simbolnya dapat
kita jumpai dalam matematik. Jadi kalau dikatakan “7 + 5 = 12”, maka kebenaran
proposisi itu semata-mata tergantung pada fakta bahwa ungkapan simbolik “7 + 5”
adalah sinonim dengan “12”.
Lain juga dengan
penolakan metafisika, bahwa alasan utama penghapusan metafisika oleh kaum
positivisme logik itu bukan saja lantaran ungkapan-ungkapan metafisik itu tidak
dapat ditasdikan secara empiric, dan bukan pula sekedar tidak dapat
dikategorikan sebagai proposisi-proposisi analitik. Tetapi yang lebih penting
adalah, upaya kaum positivisme logik ini untuk menjadikan filsafat sebagai
pendamping utama atau pengantar ke arah bidang ilmiah dalam rangka menyusun
pandangan yang positivistik mengenai dunia. Untuk mencapai tujuan itu salah
satu syarat utama adalah menyingkirkan permasalahan-permasalahan semu yang
ditimbulkan para metafisikus.
Achmad Charris Zubair, Anton Bakker. Metodelogi
Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1990).
Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan,
(Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT.
Rosda Karya, 2004).
Elifas
Tomix Maspaitella, http://kutikata.blogspot.com/2008/01/logika-induktif.html,
diterbitkan 25 January 2008.
Kattsoff,
Louis O, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004).
Karomani, Logika, (Yogyakarta,
Graha Ilmu, 2009).
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta, Liberity, 2007).
Positivisme
Logis, http://az-zayadi.blogspot.com/2009/02/positivisme-logis.html,
diterbitkan pada 25 Februari 2009.
Tiam, Dahri, Sunardji. Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan,
STAIN Press, 2006).
Lingkaran Wina, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran
Wina,
diterbitkan pada, 04 Juni 2011.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta,
Belukar Gowok, 2004).
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung:
Rosda Karya, 2005).
Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004).
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik,
(Jakarta, CV. Rajawali, 1987).
Rita hanfie, Soetriono. Filsafat Ilmu dan
Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007).
Ridwan
Fendy dalam Kategori Tokoh Filsafat Ilmu, http://www.filsafatilmu.com/artikel/tokoh/lingkaran-wina-der-wiener-kreiss,
diterbitkan pada 05 Mei 2011.
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 2001).
Hadi, Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, (Surakarta Jawa
Tengah, Lembaga Pengembangan pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan
Pencetakan UNS (UNS Press), 2008).
Sunardji Dahri Tiam, Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir
Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006).
Moleong,
Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung:
Rosda Karya, 2005).
[1] Elifas Tomix
Maspaitella, http://kutikata.blogspot.com/2008/01/logika-induktif.html, diterbitkan 25
January 2008.
[2]
Soetriono dan Rita hanfie, Filsafat
Ilmu dan Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007), hlm,
125.
[3] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2001), hlm, 48.
[4]
Sunardji Dahri Tiam, Bukuk
Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006), hlm,
43.
[5] Anton Bakker
dan Achmad Charris Zubair, Metodelogi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius,
1990), hlm, 43.
[6]
A. Soedomo Hadi, Logika
Filsafat Berfikir, (Surakarta Jawa Tengah, Lembaga Pengembangan pendidikan
(LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), 2008), hlm, 77.
[7]
Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Liberity, 2007), hlm,
116-118.
[8]
Soetriono dan Rita hanfie, Filsafat
Ilmu dan Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007), hlm,
152-153.
[9]
Sunardji Dahri Tiam, Bukuk
Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006), hlm,
44-45.
[10] Karomani, Logika, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009),
hlm, 108.
[11] Ibid., hlm, 108-110.
[12] Ibid., hlm, 108.
[13] Lebih lanjut penulis mencontohkan sebuah
kasus, bahwa garam bagi masyarakat Madura di pulau Madura terasa asin, hal ini
akan menjadi kesimpulan bahwa garam asin di tempat lain.
[14] Karomani, Logika, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009),
hlm, 111-112.
[16] Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm, 32-33.
[17]
Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung:
Rosda Karya, 2005), hlm, 50-51.
[19] Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 97-98.
[20] Ridwan Fendy
dalam Kategori Tokoh Filsafat Ilmu, http://www.filsafatilmu.com/artikel/tokoh/lingkaran-wina-der-wiener-kreiss, diterbitkan
pada 05 Mei 2011.
[21] Positivisme
Logis, http://az-zayadi.blogspot.com/2009/02/positivisme-logis.html,
diterbitkan
25 Februari 2009.
[22]
Louis O.
Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm, 117.
[23] Ibid., hlm, 118.
[24]
Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 99.
[25]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 69.
[26]
Chaedar Alwasilah, Filsafat
Bahasa dan Pendidikan, (Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia dengan PT. Rosda Karya, 2004), hlm, 29.
[27]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 71.
[28]
Ibd., hlm, 72-73.
[29]
Mohammad Muslih, Filsafat
Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 100.
[30] Lingkaran Wina, Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, Ensiklopedia bebas http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran
Wina,
diterbitkan pada, 04 Juni 2011.
[31]
Rizal Mustansyir, Filsafat
Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 76-77.
[1]
Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta, Pustaka
Sinar Harapan, 2001), hlm, 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar