Selasa, 26 Juni 2012

FILSAFAT ILMU


LOGIKA INDUKSI DAN LINGKARAN WINA

            A. Pengantar
Penalaran merupakan suatu proses berfikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berfikir itu harus dilakukan cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid). Kalau proses penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut dengan logika, dimana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berfikit secara sahih”.[1]
Suatu kesimpulan kita dapat buktikan suatu percobaan, karena dengan percobaan kita bisa membuktikan bahwa kesimpulan tersebut memang benar-benar nyata tanpa ada pengrekayasaan oleh seorang peneliti. Hal-hal empiris yang bisa dilihat oleh indera kita bisa membantu dalam mengambil suatu kesimpulan, dan membentuk suatu hukum. 

      B. Pengertian Logika Induksi
Secara defenitif, logika dapat dipahami sebagai studi tentang metode-metode dan prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk membedakan penalaran yang lurus dari penalaran yang tidak lurus. Arti lain dari logika itu adalah pengetahuan dan keterampilan untuk berpikir lurus. Jadi logika itu berhubungan dengan kegiatan berpikir, namun bukan sekedar berpikir sebagaimana merupakan kodrat rasional manusia sendiri, melainkan berpikir lurus.[1] Menurut Langeveld, logika itu adalah kepandaian untuk memutuskan secara jitu. Logika mempelajari syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mengambil kesimpulan secara benar. Dengan kata lain pula, logika diperlukan dalam penarikan dan keputusan.[2] Dalam inductivisme, pemikiran tersebut didasarkan pada pengamatan.
Induksi merupakan cara berfikir dimana ditarik kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum.[3] Dari keterangan di atas tadi, bahwa induksi dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk pemikiran, dari soal-soal yang khusus, membawanya kepada kesimpulan yang umum. Atau berfikir dari soal-soal yang kongkrit kepada soal-soal yang abstrak.[4]
Dari satu pengalaman saja orang mungkin mempunyai pengetahuan, tentu saja mengenai pengetahuan yang satu itu (khusus). Pengetahuan yang khusus ini dapat juga tercapai berulang kali dan kemudian dijadikan landasan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuan yang lebih luas wilayahnya, sehingga berlaku lebih umum. Jalan pikiran dari putusan yang khusus kepada putusan yang berlaku umum tersebut dinamakan induksi.
Induksi pada umumnya disebut generalisasi.[5] Ilmu eksakta mengumpulkan data-data dalam jumlah tertentu, dan atas dasar data itu menyusun suatu ucapan umum. Titik pangkal penelitian filsafat mengenai hakikat manusia juga selalu ditemukan pada kenyataan sendiri, atau pada pengalaman yang konkrit dan individual. Adapun contohnya dari logika induksi yaitu:
Besi itu mengalirkan listrik
Tembaga itu mengalirkan listrik
Perak itu mengalirkan listrik
Besi, tembaga, emas, perak adalah logam.
Jadi logam itu mengalirkan listrik.
Dari contoh di atas tadi, dimanakah letak suatu sebab, yang mengesahkan kesimpulan yang lebih benar, dari jumlah premis-premisnya ? Menurut Aristoteles, pengesahan itu terletak dalam kodrat barang-barang itu. Jika kita sudah cukup mengalami kejadian-kejadian yang individual, pengertian kita dengan intuitif melihat bahwa sifat yang demikian itu esensial bagi barang-barang itu. Maka barang-barang itu adalah logam. Jadi logam itu mengalirkan listrik.[6]
Penalaran induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak pada sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, maka secara berurutan sebagai proses penalaran dapatlah disusun sebagai berikut :[7]
            1. Observasi dan Eksperimen
Langkah pertama adalah mengumpulkan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan adalah observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, eksperimentasi terjadi untuk membuat atau mengganti objek atau hal-hal yang harus dipelajari, sehingga observasi dan eksperimentasinya bersifat selektif.

            2. Hipotesis Ilmiah
Langkah kedua dalam induksi ialah perumusa hipotesis. Hipotesis ialah suatu dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi peneliti lebih lanjut. Hipotesis yang dimaksud ialah dalil sementara atas dasar observasi dan penggolongan yang didukung oleh pengetahuan ilmiah. Hipotesis ilmiah harus memenuhi syarat sebagai berikut:
1.      Hipotesis harus dapat diuji kebenarannya dengan cara membandingkan dengan fakta yang diamati.
2.      Hipotesis harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya.
3.      Hipotesis harus runtut dengan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sudah dianggap benar.
4.      Hipotesis harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan.

            3. Verifikasi dan Pengukuhan
Langkah ketiga dalam penalaran induktif ialah mengadakan verifikasi. Hipotesis adalah sekedar penelusuran dalil sementara yang harus dibuktikan atau diterapkan terhadap fakta-fakta atau juga diperbandingkan dengan fakta-fakta lain untuk diambil kesimpulan umum. Menverifikasi adalah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya. Ini juga mencakup generalisasi, untuk menentukan hukum atau dalil umum sehingga hipotesis tersebut menjadi suatu teori. 

            4. Teori dan Hukum Ilmiah
Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah ialah untuk sampai pada hukum ilmiah. Persoalan yang dihadapi induksi ialah untuk sampai pada suatu dasar yang logik bagi generalisasi dengan tidak mungkinnya semua hal diamati, atau dengan kata lain untuk menentukan kebenaran yang logik bagi penyimpulan berdasarkan beberapa hal untuk diterapkan bagi semua hal.
Untuk diterapkan, harus melalui suatu hukum ilmiah yang derajatnya dengan hipotesis adalah lebih tinggi. Suatu hipotesis dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urutan-urutan derajatnya. Bila bahan-bahan bukti yang mendukung telah terkumpul, maka hipotesis itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hukum ilmiah.
Coba perhatikan prinsip dasar induktif, yaitu tentang "Jika sejumlah besar A (fakta-fakta dari fenomena itu)" dan "variasi kondisi yang luas". Dari prinsip tersebut dapat ditanggapi bahwa semakin besar A yang diamati (seyogyanya semua A pada fenomena) dan semakin luas variasi dimana pengamatan itu dilakukan, maka makin mantap hukum/dalil/teori yang dibangunnya.[8

C. Macam-macam Induksi
Ada dua macam induksi, antara lain :[9]
1.   Induksi sempurna. Dinamakan induksi sempurna jika keputusan umum itu merupakan penjumlahan dari keputusan khusus. Misalnya dari masing-masing (khusus) mahasiswa Universitas Islam Madura Pamekasan, diketahui bahwa ia (mereka) itu orang Jawa. Maka dapat diadakan keputusan bahwa semua (umum) mahasiswa Universitas Islam Madura Pamekasan adalah orang Jawa.
2.   Induksi tidak sempurna. Dinamakan induksi tidak sempurna, jika putusan umum itu dari putusan khusus bukan penjumlahan melainkan lompatan dari khusus kepada yang umum. Induksi tidak sepurna ini ada dua macam:
      
a)  Induksi tidak sempurna mutlak.
Dalam ilmu alam, putusan yang tercapai melalui induksi tidak sempurna ini berlaku umum dan mutlak, jika ada kecualinya. Misalnya mengenai hukum pembekuan air, itu tidak ada pengecualiannya. Dengan tidak ragu-ragu ilmu alam berani menetapkan tentang pembekuan air ini, walaupun pengalamannya tidak dilakukan kepada semua air. Kalau sudah diketahui dengan pasti bahwa air akan membeku pada 0 derajat celcius, maka dapat juga dikatakan bahwa hukum itu (putusan) berlaku dengan pasti, berlaku umum dan mutlak.
b) Induksi tidak sempurna tidak mutlak.
Biasanya terjadi pada Ilmu sosial. Terjadinya karena pengaruh subyektifitas manusianya, sehingga putusan umum yang dapat dari pengalaman khusus tersebut (induksi) dapat diberlakukan umum tetapi tidak pasti dan tidak mutlak, berarti selalu ada kemungkinan lain, jadi ada kekecualian. Kalau hukum alam pada prinsipnya tidak ada pengecualian, maka ilmu sosial selalu ada kemungkinan kekecualiannya.
Contohnya : Kalau orang Jakarta kebanyakan makan di restoran, maka jangan segera mengambil kesimpulan umum bahwa orang Jakarta semuanya suka makan di restoran tanpa ada kecualinya. Sebab makan atau tidak makan di restoran, bukan sifat mutlak bagi semua manusia manapun, termasuk manusia Jakarta. Lain halnya dengan air yang membeku pada 0 derajat celcius itu, memang sudah menjadi sifatnya yang mutlak.

           D. Generalisasi Induktif
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena itu.[10] Generalisasi induktif memiliki syarat-syarat tertentu. Di bawah ini dijelaskan syarat-syarat dan probalitasnya.[11]
1.   Syarat-syarat Generalisasi Induktif
Sebagaimana kita ketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empiris itu disebut generalisasi. Menurut Soekadijo dalam Karomani[12] bahwa prinsip penalaran itu demikian bunyinya. “Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi.”[13] Hasil penalaran generalisasi induktif itu sediri disebut generalisasi. Generalisasi selalu bersifat universal. Generalisasi harus memenuhi tiga syarat berikut ini:
a) Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya generalisasi tidak boleh terikat pada jumlah tertentu.
b) Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio temporal, artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan waktu.
c) Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian atau dasar pengambilan konklusi yag tepat.

2.   Generalisasi Induktif dan Probalitasnya
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam logika induktif tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Yang ada hanyalah probalitas rendah dan tinggi. Untuk menjleaskan hal ini ikuti penjelasan di bawah ini:
a)  Jeruk ini keras hijau dan rasanya masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang keras dan hijau rasanya masam.
c)  Jeruk 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 2 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 3 keras, hijau, dan rasanya masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
d) Jeruk 1 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 2 keras, hijau, dan rasanya masam.
Jeruk 3 s.d. jeruk 15 keras, dan rasanya masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
e)  Jeruk 1 keras, hijau, kecil, benjol, masam.
Jeruk 2 keras, hijau, kecil, benjol, masam.
Jeruk 3 keras, hijau, kecil, benjol, masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.
f)  Jeruk 1 keras, hijau, kecil, benjol, masam.
Jeruk 2 keras, hijau, besar, dari Baten, baru saja dipetik dan masam.
Jeruk 3 keras, hijau, besar, dari Garut, sudah disimpan sebulan dan masam.
Kesimpulan : Semua jeruk yang keras dan hijau rasaya masam.

Setelah kita perhatikan keenam penalaran di atas, ternyata konklusinya sama, bahwa semua jeruk yang keras dan hijau itu rasanya, masam. Namun dari keenam konklusi dalam penalaran generalisasi induktif itu ada perbedaan tingkat probalitas atau kemungkinan kebenarannya. Jika kita melihat konklusi penalaran no 3, dan lalu kita bandingkan dengan penalaran no.2, maka jelas konklusi penalaran no. 3 lebih tinggi probalitasnya, karena fakta yang terkandung dalam premis no. 3 jauh lebih banyak dibandingkan dengan fakta yang ada dalam premis 2. Lebih-lebih  dengan penalaran no. 1, probalitasnya amat rendah dibandingkan dengan penalaran no. 2 sekalipun.
Dari hasil perbandingan-perbandingan di atas, kita dapat merupmuskan bahwa faktor probalitas yang pertama dalam generalisasi induktif adalah makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran indutif, maka makintinggi probalitas konklusinya, dan sebaliknya makin sedikit jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, maka makin rendah probalitas konklusinya.


           F. Analogi Induktif
Analogi induktif adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang mirip satu sama lain, kemudia menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk suatu hal akan berlaku pula untuk hal lain. Analogi pada dasarnya membandingkan dua hal, dan mengambil kesamaan dari dua hal tersebut.[14]
Contoh mengenai analogi induktif di atas nampak dalam kasus berikut ini : Nina adalah tamatan fakultas ekonomi Universitas Lampung, ia telah memberikan prestasi yang luar biasa pada perusahaan tempat ia bekerja. Pada waktu penerimaan pegawai baru, direktur perusahaan langsung menerima Dodi, karena Dodi sama lulusan fakultas ekonomi Universitas Lampung. Semua pelamar-pelamar lain diabaikan. Direktur perusahaan ini menggunakan penalaran analogi.
Analogi induktif tentu berbeda dengan generalisasi induktif. Generalisasi induktif konklusinya berupa proposisi universal. Sedangkan analogi induktif tidak selalu demikian. Ia tergantung pada subyek-subyek yang diperbandingkan dalam analogi, dan subyek itu bisa individual, partikular, atau universal.

         G. Cara Kerja Induksi
Cara kerja induksi menurut Mill adalah sebagai berikut:[15]
1.    Metode kesesuaian (method of agreement)
Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu mempunyai (mengandung, pen) faktor yang sama, maka faktor (yang sama) itu merupakan satu-satunya sebab bagi gejala yang diselidiki. Misalnya, semua anak yang sakit perut membeli dan minum es sirup yang dijajakan di sekolah. Maka es sirup itu yang menjadi sebab sakit perut mereka. Artinya, suatu sebab disimpulkan dari adanya kecocokan sumber kejadian.
2.    Metode perbedaan (method of difference)
Apabila sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktor-faktornya sama kecuali satu, yang mana faktor (yang satu) itu terdapat pada peristiwa pertama, maka itulah satu-satunya faktor penyebab peristiwa itu berbeda. Karena dapat disimpulkan bahwa satu faktor (yang berbeda) itu sebagai suatu sebab terjadinya suatu gejala pembeda (yang diselidiki) tersebut.
Misalnya, seseorang A yang sakit perut mengatakan telah makan: sop buntut, nasi, rendang dan buah dari kaleng. Sedang B yang tidak sakit perut mengatakan bahwa ia telah makan: sop buntut, nasi, dan rending. Maka kemudian disimpulkan bahwa buah dari kaleng yang menyebakan sakit perut. Ini artinya suatu sebab disimpulkan dari adanya kelainan dalam perisitiwa yang terjadi.
3.    Metode persamaan variasi (method of concomitan variations)
Metode ini juga dikenal dengan metode perubahan selang-seling seiring. Apabila suatu gejala mengalami perubahan ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau berhubungan secara sebab akibat. Metode ini bisa dicontohkan misalnya dalam fenomena pasang surut air laut. Diketahui bahwa pasang surut disebabkan oleh tarikan gravitasi bulan.
4.    Metode menyisakan (method of residues)
Jika ada peristiwa dalam keadaan tertentu dan keadaan tertentu ini merupakan akibat dari faktor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu pasti disebabkan oleh faktor yang lain.
Metode menyisakan dapat dipakai dengan pengkajian atas hanya satu kejadian. Jadi, berbeda dengan metode-metode lainnya yang paling sedikit membutuhkan pengkajian atas dua kejadian. Cirri metode menyisakan dapat dikatakan deduktif, karena bertumpu kuat pada hukum-hukum kausal yang sudah terbukti sebelumnya. Namun demikian, kendati terdapat premis-premisyang berupa hukum-hukum kausal, kesimpulan yang dapt dicari melalui metode menyisakan sifatnya hanya probable, dan tidak dapat dideduksikan secara sah dari premis-premisnya.

Keempat metode ini dapat dijumpai dalam buku-buku pelajaran tentang logika. Maka dengan demikian kita bisa menilainya dengan sebagai berikut:[16]
1.   Penalaran berdasarkan probalitas dan pelajaran secara statistic
Jenis induksi ketiga digambarkan dengan cara probalitas dan secara statistik. Misalnya kita mengetahui bahwa John Smith adalah seorang guru dan kita ingin bertaruh usianya akan mencapai 65 tahun. Berapakah taksiran kita mengenai usianya? Untuk menjawabnya kita perlu mempunyai statistik mengenai panjangannya usia seorang guru. Dari hal-hal ini, yang diringkas dalam bangun natematis yang tepat, dengan menggunakan teori matematik tentang probabilitas, maka anda akan dapat melakukan penaksiran. Suatu jenis induksi yang didasarkan pada probabilitas yang serupa, dapat pula dilakukan, tetapi probabilitasnya tidak dapat diukur.
2.   Analogi dan Komparasi
Dua bentuk penyimpulan yang sangat lazim dipakai dalam perenungan kefilsafatan ialah analogi dan komparasi. Penalaran secara analogi adalah berusaha mencapai kesimpulan dengan menggantikan apa yang dicoba dibuktikan dengan sesuatu yang serupa dengan hal tersebut, namun yang lebih dikenal, dan kemudian menyimpulkan kembali apa yang mengawali penalaran tersebut.
Demikian kita ingin membuktikan adanya Tuhan berdasarkan susunan dunia tempat kita hidup. Secara analogi adanya dunia juga menunjukkan ada pembuatnya, karena dunia kita ini juga sangat rumit susunannya dan bagian-bagiannya berhubungan sangat erat yang satu dengan yang lain secara baik.
3.   Observasi (Pengamatan)
Suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang dapat diulangi, baik oleh orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun oleh orang lain, pada prinsipnya dapat dilakukan verifikasi terhadapnya. Jika pernyataan itu lulus dalam ujian pengalaman, maka pengalaman itu dikukuhkan, meskipun tidak sepenuhnya terbukti benar. Jika saya berkata, “Di luar hujan turun”. Dan saya pergi ke luar serta melihat dan merasakan turunnya hujan, maka pernyatan saya tersebut menurut ukuran tadi telah diverifikasikasi.
4.   Penalaran berdasarkan kontradiksi
Metode verifikasi yang kedua, yakni dengan menunjukkan kesesatan pernyataan yang dipersoalkan karena bertentangan dengan dirinya, atau mengakibatkan pertentangan dengan pernyataan-pernyataan lain yang telah ditetapkan dengan baik. Misalnya, untuk membuktikan bahwa garis-garis yang sejajar tidak pernah bertemu, orang mengambil cara dengan mengandaikan bahwa gaaris-garis itu bertentangan dan kemudian menunjukkan bahwa hal yang demikian ini akan membawa kita kepada kontradiksi. Demikian pula, mengandaikan bahwa suatu sudut di dalam segi tiga ada yang besarnya nol derajat dan ada yang lebih dari nol derajat. Saya cukupkan pembicaraan ini sampai sekian, karena banyak hal dalam filsafat yang sesungguhnya bersangkutan dengan menyimpulkan kontradiksi-kontradiksi.

           H. Pengertian Lingkaran Wina
Dalam ilmu pengetahuan, terdapat dua macam paradigma, ilmiah dan alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme, sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis.[17] Positivisme cenderung untuk menumbuhkan pengetahuan dengan bahan ilmu alam dan menyerahkan pertanyaan-pertanyaan tentang makna saja untuk dianalisa oleh filsafat. Hal-hal yang merupakan fakta-fakta dikatakan termasuk bidang ilmu. Hanya analisa tentang bahasa dan pertanyaan-pertanyaan mengenai makna dan verifikasi yang menginginnya, yang tetap diakui termasuk lingkungan filsafat.[18]
Dalam sejarah filsafat modern terlihat, positivisme memiliki pengaruh penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu alam. Pada tahun 1920-an, positivisme mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan hadirnya kaum positive logis yang tergabung dalam Lingkaran Wina (Viena Circle).
Lingkaran Wina (Viena Circle) adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Setiap minggu mereka berkumpul untuk mendiskusikan masalah-masalah filosofis yang menyangkut ilmu pengetahuan. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924, meski sebenarnya pertemuan-pertemuannya sudah berlangsung sejak 1922, dan berjalan terus hingga 1938. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880-1934), Otto Meurath (1882-1945), Victor Kraft (1880-1975), Herbert Feigi (1990) dan Rudolf Carnap (1891-1970).[19]
Anggota dari kelompok ini (kecuali Kurt Godel) menganut suatu paham yang disebut Positivisme logis. Paham ini dianggap radikal karena tidak hanya menyatakan metafisika salah, namun menyatakan metafisika tidak ada artinya. Mereka mengambil inspirasi dari filsuf Wittgenstein dalam buku “Tractacus Logico Philosophicus”, walau sang filsuf sendiri merasa bahwa interpretasi mereka kurang tepat.
Pada tahun 1929 Hahn, Neurath dan Carnap menerbitkan Wissenschaftliche Weltauffassung. Der Wiener Kreis (A scientific world-view. The Vienna Circle) sebuah manifesto dari kelompok ini. Pada 1928 dan 1937  menerbitkan sepuluh buku dalam seri Schriften zur wissenschaftlichen Weltauffassung (Papers on the Scientific Worldview). Diantara buku itu ada was Logik der Forschung, 1935 buku pertama dari filsuf Karl Raimud  Popper.  Kelompok ini dibubarkan ketika partai Nazi berkuasa di Jerman. Banyak yang bermigrasi ke Amerika, Schlick  tinggal di Austria tapi 1936 dia dibunuh pelajar simpatisan Nazi di Universitas Vienna.[20]
Behavioris percaya bahwa tingkah laku manusia sepenuhnya dapat dikontrol. Pandangan ini sejalan dengan asumsinya tentang manusia yang secara prinsip sama dengan alam (sebuah mesin) yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum-hukum alam (determinisme). Tingkah laku manusia dipandang sebagai suatu sistem kompleks yang teratur (stimulus-respon). Manusia adalah hewan yang lebih tinggi, akan tetapi secara prinsip tidak terlalu berbeda dengan binatang. Manusia hanyalah hasil evolusi akhir dari makhluk yang sederhana, karena itu penelitian tentang hewan (anjing, tikus putih, atau monyet) dapat berlaku sama pada manusia.
Berkembangnya positivisme logis (seperti pada psikologi, sosiologi) harus dilihat dalam konteks perkembangan masyarakat di Eropa pada awal abad ke-20, saat Perang Dunia I baru saja usai. Banyak kekuatan politik, seperti kerajaan dan pemerintahan republik yang tumbang, sehingga peta politik Eropa berubah secara drastis. Di samping itu, perang mengakibatkan korban yang sangat besar di kalangan generasi muda serta menimbulkan kehancuran material yang luar biasa. Walaupun demikian, harus diakui bahwa perang ini telah menimbulkan kesadaran baru terhadap ilmu pengetahuan. Diakui secara umum bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan industri serta kekuatan ekonomi akan sangat menentukan kalah-menang dalam peperangan. Karena itu, muncul semangat untuk membangun kembali Eropa yang hancur itu di atas landasan ilmu pengetahuan. Di tengah-tengah lahirnya cara pandang yang demikian, positivisme logis berdiri pada barisan terdepan menghadapi pandangan lain yang juga ingin membangun Eropa berdasarkan landasan teologi dan metafisik.
Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itu, masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan “The spirit of a scientific conception of the world,” yakni semangat dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu-ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi.[21]

        I. Filsafat Sebagai epistimologi dan logika
Penganut neo-positivisme sepaham untuk menolak gagasan bahwa filsafat dapat mempersoalkan tentang kenyataan sebagai keseluruhan, atau bahkan menolak usaha filsafat untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang kenyataan. Penolakan ini dilakukan dengan dua cara:[22]
1.   Dengan berusaha mengembalikan semua persoalan menjadi masalah pengalaman inderawi
2.   Dengan menganalisis bahasa, dan berusaha menunjukkan betapa kita dapat terpedaya oleh struktur bahasa.

       J. Hanya Pengamatan Inderawi Itulah Yang Relevan
Penganut neo-positivisme mengatakan bahwa satu-satunya corak pengamatan yang relevan ialah pengamatan inderawi. Jika ukuran dapat diverifikasi tidak dapat diterapkan, maka tidak mungkin ada makna, dan pernyataan yang dipertimbangkan dikatakan “tiada bermakna”. Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh penganut realisme, maupun pengikut idealisme, dapat dikatakan tiada bermakna. Ini tidak berarti bahwa pernyataan-pernyataan yang tiada bermakna tersebut tidak mempunyai arti emotif. Banyak diantara penganut neo-positivisme menegaskan tentang pentingnya kalimat-kalimat tersebut tidak berisi fakta.[23]

       K. Verifikasi dan Proposisi Analitik
Para filosof pada “kelompok” lingkaran wina pada umumnya mencurahkan perhatiannya untuk mencari garis pemisah antara pernyataan yang bermakna (meaningfull) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Artinya jika suatu pernyataan dapat diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya jika tidak dapat diverifikasi berarti tidak bermakna. Prinsip verifikasi ini menyatakan bahwa suatu proposisi adalah bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman dan dapat diverifikasi dengan pengamatan (observasi). Sebagai akibat dari prinsip ini, filsafat tradisional haruslah ditolak, karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman, termasuk dalam teologi dan metafisika pada umumnya.
Menurut Carnap, ilmu (science) adalah sebuah system pernyataan yang didasarkan pada pengalaman langsung, dan dikontrol oleh verifikasi eksperimental. Verifikasi dalam ilmu bukanlah pernyataan tunggal, tetapi termasuk system dan subsistem pernyataan tersebut. Verifikasi didasarkan atas ”pernyataan protokol” (protocol statements). Istilah dipahami sebagai pernyataan yang termasuk protokol dasar atau catatan langsung dari suatu pengalaman yang langsung pula.[24]
Kendati tokoh positivism logic secara umum menerima prinsip pentasdikan itu sebagai tolak ukur untuk menentukan konsep tentang makna, namun mereka membuat rincian yang cukup berbeda mengenai prinsip pentasdikan itu sendiri. Tokoh pemula positivism logic, seperti Moritz Schlick misalnya, menafsirkan “mentasdikan” ini dalam pengertian pengamatan empiric secara langsung bahwa hanya proposisi yang mengandung istilah yang diangkat langsung dari objek yang dapat diamati itulah yang benar-benar mengandung makna. Bagi Schlick, jelas bahwa salah satu cara pengetahuan itu dimulai dengan pengamatan peristiwa.[25] Berikut ini adalah beberapa prinsip verifikasi:
1.   Suatu proposisi dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverikasi. Arti seuatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman emperis.
2.   Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasikan bukan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “Di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “Jhon tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan kebenarannya secara emperis.
3.   Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak berakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empiric tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat dianalisis secara empiric.[26]
 
Dengan berkembangnya zaman, muncullah Ayer. Ia merupakan salah satu penganut positivism logic, atau dapat dikatakan sebagai generasi penerus tradisi positivism logic, menyadari kelemahan yang terkandung dalam prinsip pentasdikan yang diajukan Schlick. Oleh karena itu, Ayer memperluas prinsip pentasdikan dalam pengertian sebagai berikut: “Suatu cara sederhana untuk merumuskan hal itu adalah dengan mengatakan bahwa suatu kalimat mengandung makna, jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dianalisa atau dapat ditasdikan secara empirik”.
Selain itu Ayer mengartikan pendapat Schlikck  merupakan verifiable dalam arti ketat (Ayer menambahkan pengertian veriable dalam arti longgar atau lunak). Kedua macam pengertian verifiable ini dijelaskan oleh Ayer sebagao berikut: “Verifiable dalam arti yang ketat yaitu, sejauh kebenaran suatu proposisi itu didukung pengalaman secara meyakinkan. Sedangkan verifiable dalam arti lunak yaitu, jika suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman atau merupakan pengalaman yang memungkinkan”.[27]
Sebagaimana yang telah dirumuskan oleh Ayer bahwa suatu kalimat mengandung makna jika dan hanya jika proposisi yang diungkapkan itu dapat dianalisis atau ditasdikan secara emperik. Ini berarti ada dua macam proposisi, yaitu proposisi empirik dan analitik. Bagi Ayer proposisi emperik lebih mudah dipahami, karena dikaitkan dengan pengalaman yang pasti atau pengalaman yang mungkin. Menurut Ayer proposisi empiric adalah hipotesa yang mengandung kemungkinan untuk disahkan atau ditolak dalam pengertian yang sebenarnya. berbeda halnya dengan proposisi analitik, kebenarannya ataupun ketidak benarannya tidak didsarkan pada pengalaman. Apa yang dimaksud Ayer dengan proposisi analitik ini yaitu, proposisi yang:
1.   Semata-mata benar berdasarkan makna yang terkandung dalam susunan symbol.
2.   Tidak berdasarkan pada “a priori” (pengetahuan yang diperoleh melalui refleksi logis atau perkiraan logis).
3.   Mengandung kepastian dan keniscayaan, yaitu yang dinamakan “tautology” (suatu pernyataan yang secara logis bersifat mesti benar).
4.   Mengandung makna sejauh proposisi yang bersangkutan didsarkan pada penggunaan istilah yang pasti, jadi maknanya terletak pada bahasa atau ungkapan verbal.[28]
 
        L. Eliminasi Metafisika
Pandangan lingkaran wina tentang pernyataan metafisika, termasuk etika adalah tidak karena ia menyajikan proposisi yang tidak bisa diverifikasi atau sebagai proposisi yang “pseudo-statements” menurut Carnap. Menurut Carnap, banyak penentang metafisika sejak dari kaum skeptic masa Yunani hingga emperisis abad ke-19 berpendapat bahwa metafisika adalah salah (false), yang lain lagi menyatakan tidak pasti (uncertain), atas dasar bahwa problem-problemnya mengatasi (transcendent) batas-batas pengetahuan manusia.[29]
Carnap menggunakan logika terapan atau teori pengetahuan melalui cara-cara analisis logis untuk mengklarifikasi muatan kognitif pernyataan-pernyataan ilmiah dan makna dari istilah-istilah yang dipakai dalam pernyataan tersebut sehingga diperoleh hasil positif dan negatif.
Para pemikir yang termasuk ke dalam gerakan ini bermaksud meniadakan metafisika dari ranah filsafat. Hal itu dikarenakan metodologi yang dikembangkan oleh gerakan ini. Mereka mengembangkan suatu metode ilmu pengetahuan yang dapat digunakan ke dalam semua bidang ilmu pengetahuan, termasuk filsafat yang banyak berbicara soal metafisika. Metafisika dianggap tidak dapat diverifikasi oleh metode ilmu pengetahuan yang mereka kembangkan sehingga tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Para pemikir lingkaran Wina menganggap bahwa bahasa dan pengetahuan ilmiah seharusnya berdasar pada dua hal, yakni logika (pengetahuan a nalitik) dan fakta (pengetahuan positif).[30]
Contohnya Ayer, yang mana titik tolak untuk menghapus metafisika dari kancah filsafat, juga didasarkan pada gagasan Russel mengenai kegalatan aturan-aturan tatabahasa terhadap keniscayaan-keniscayaan logik. Tujuan utama yang diinginkannya bersama tokoh-tokoh positivisme logik lainnya bagi filsafat ini meliputi antara lain:
1.   Membentuk kembali bahasa sehari-hari menjadi bahasa yang dibatasi penggunaannya. Melalui teknik-teknik analisa bahasa itu dirumuskan pembatasan-pembatasan yang bersifat operasional.
2.   Mengarahkan filsafat sebagai pendamping ilmu pengetahuan, artinya tujuan analisa falsafati adalah mengantar kita ke arah suatu pandangan positivistic mengenai dunia.[31]
 
        M. Kesimpulan
Logika induksi membicarakan tentang penarikan kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari pernyataan-pernyataan yang khusus. Kesimpulannya hanya bersifat probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. Bertolak dari hal yang khusus menunju hal yang umum adalah corak kesimpulan dalam logika induktif. Walau demikian generalisasi dalam logika induktif selalu berdasar pada empirik dan disertai dengan penjelasan. Contohnya:
             Besi itu mengalirkan listrik
            Tembaga itu mengalirkan listrik
            Perak itu mengalirkan listrik
           Besi, tembaga, emas, perak adalah logam.
          Jadi logam itu mengalirkan listrik.

Lingkaran Wina atau Der Wiener Kreiss adalah suatu istilah yang merujuk pada kelompok sekumpulan filsuf yang berkumpul di sekitar Universitas Vienna pada tahun 1922. Mereka berkumpul di sekitar Moris Schlick setelah dia kembali ke Vienna pada tahun yang sama, kemudian dia menjadi ketua dari kelompok ini. Dikenal juga sebagai Ernst Mach Society (Verein Ernst Mach).
Dilain sisi, Lingkaran Wina mentasdikan (menverifikasikan) pada metode ilmiah. Sehingga Ayer memperbaiki kekurangan dari pentasdikan Schlick, bahwa pentasdikan dapat dibagi menjadi dua verifiable yaitu verifiable kuat (kebenaran yang didukung dengan pengalaman yang meyakinkan) dan lemah (kebenaran yang didukung dengan suatu proposisi itu mengandung kemungkinan bagi pengalaman). Terutama verifiable dalam arti lunak, telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan juga prediksi ilmiah (ramalan masa depan) sebagai pernyataan yang mengandung makna.
Sedangkan proposisi analitik yang semata-mata benar berdasarkan susunan simbolnya dapat kita jumpai dalam matematik. Jadi kalau dikatakan “7 + 5 = 12”, maka kebenaran proposisi itu semata-mata tergantung pada fakta bahwa ungkapan simbolik “7 + 5” adalah sinonim dengan “12”.
Lain juga dengan penolakan metafisika, bahwa alasan utama penghapusan metafisika oleh kaum positivisme logik itu bukan saja lantaran ungkapan-ungkapan metafisik itu tidak dapat ditasdikan secara empiric, dan bukan pula sekedar tidak dapat dikategorikan sebagai proposisi-proposisi analitik. Tetapi yang lebih penting adalah, upaya kaum positivisme logik ini untuk menjadikan filsafat sebagai pendamping utama atau pengantar ke arah bidang ilmiah dalam rangka menyusun pandangan yang positivistik mengenai dunia. Untuk mencapai tujuan itu salah satu syarat utama adalah menyingkirkan permasalahan-permasalahan semu yang ditimbulkan para metafisikus. 

N. DAFTAR PUSTAKA

Achmad Charris Zubair, Anton Bakker. Metodelogi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1990).
Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT. Rosda Karya, 2004).
Elifas Tomix Maspaitella, http://kutikata.blogspot.com/2008/01/logika-induktif.html, diterbitkan 25 January 2008.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004).
Karomani, Logika, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009).
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Liberity, 2007).
Positivisme Logis, http://az-zayadi.blogspot.com/2009/02/positivisme-logis.html, diterbitkan pada 25 Februari 2009.
Tiam, Dahri, Sunardji. Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006).
Lingkaran Wina, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran Wina, diterbitkan pada, 04 Juni 2011.
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004).
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya, 2005).
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004).
Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987).
Rita hanfie, Soetriono. Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007).
Ridwan Fendy dalam Kategori Tokoh Filsafat Ilmu, http://www.filsafatilmu.com/artikel/tokoh/lingkaran-wina-der-wiener-kreiss, diterbitkan pada 05 Mei 2011.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2001).
Hadi, Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, (Surakarta Jawa Tengah, Lembaga Pengembangan pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), 2008).
Sunardji Dahri Tiam, Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006).
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya, 2005).


[1] Elifas Tomix Maspaitella, http://kutikata.blogspot.com/2008/01/logika-induktif.html, diterbitkan 25 January 2008.
[2] Soetriono dan Rita hanfie, Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007), hlm, 125.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm, 48.
[4] Sunardji Dahri Tiam, Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006), hlm, 43.
[5] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodelogi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta, Kanisius, 1990), hlm, 43.
[6] A. Soedomo Hadi, Logika Filsafat Berfikir, (Surakarta Jawa Tengah, Lembaga Pengembangan pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press), 2008), hlm, 77.
[7] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Liberity, 2007), hlm, 116-118.
[8] Soetriono dan Rita hanfie, Filsafat Ilmu dan Metodelogi Penelitian, (Yogyakarta, CV. Andi Offset, 2007), hlm, 152-153.
[9] Sunardji Dahri Tiam, Bukuk Ajar Langkah-langkah Berfikir Logis, (Pamekasan, STAIN Press, 2006), hlm, 44-45.
[10] Karomani, Logika, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009), hlm, 108.
[11] Ibid., hlm, 108-110.
[12] Ibid., hlm, 108.
[13] Lebih lanjut penulis mencontohkan sebuah kasus, bahwa garam bagi masyarakat Madura di pulau Madura terasa asin, hal ini akan menjadi kesimpulan bahwa garam asin di tempat lain.
[14] Karomani, Logika, (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009), hlm, 111-112.
[15] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 95-97.
[16] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm, 32-33.
[17] Lexy Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm, 50-51.
[18] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm, 116.
[19] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 97-98.
[20] Ridwan Fendy dalam Kategori Tokoh Filsafat Ilmu, http://www.filsafatilmu.com/artikel/tokoh/lingkaran-wina-der-wiener-kreiss, diterbitkan pada 05 Mei 2011.
[21] Positivisme Logis, http://az-zayadi.blogspot.com/2009/02/positivisme-logis.html, diterbitkan 25 Februari 2009.
[22] Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm, 117.
[23] Ibid., hlm, 118.
[24] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 99.
[25] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 69.
[26] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Kerjasama Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT. Rosda Karya, 2004), hlm, 29.
[27] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 71.
[28] Ibd., hlm, 72-73.
[29] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta, Belukar Gowok, 2004), hlm, 100.
[30] Lingkaran Wina, Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Ensiklopedia bebas http://id.wikipedia.org/wiki/Lingkaran Wina, diterbitkan pada, 04 Juni 2011.
[31] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Jakarta, CV. Rajawali, 1987), hlm, 76-77.


[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Popular, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2001), hlm, 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar