HADITS
DITINJAU DARI KUALITASNYA
A.
Pengantar
Hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Secara teoritis, mempelajari hadits seharusnya lebih mudah dari pada
mempelajari al-Qur’an, sebab statusnya merupakan penjelas bagi al-Qur’an. Akan
tetapi dalam prakteknya, mempelajari hadits justru lebih sulit. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, hadits terbesar di berbagai
koleksi dengan kualitas yang beragam, sehingga untuk mendapatkannya relatif
sulit. Kedua, tidak semua hadits berada dalam kualitas yang sama,
sehingga untuk menggunakan suatu hadits, terlebih dahulu seseorang harus
melakukan penelitian kualitasnya, untuk mendapatkan hadits yang memenuhi
kualifikasi maqbul (diterima sebagai hujjah).

B.
Pengertian
Yang dimaksud dengan kaedah keabsahan hadits Nabawi di sini adalah
criteria-kriteria atau syarat-syarat dimana suatu hadits yang diriwayatkan
dapat dikatakan rah berasal dari Nabi SAW atau dengan kata lain hadits tersebut
benar-benar bersumber dari Nabi yang didukung dengan kaedah-kaedah kesahihan
yang telah ditetapkan oleh ahli kaedah-kaedah kesahihahn yang telah ditetapkan
oleh ahli hadits sebagai buktinya, karena menurut ahli hadits, hadits sahih
adalah hadits yang sanad dan matannya sahih. Sehingga diketahui bagaimana
status hadits-hadits yang tidak memenuhi criteria-kriteria tersebut dan
bagaimana suatu hadits sampai kepada derajat maudhu’ (palsu).
Sebagaiman diketahui, hadits Nabi merupakan sumber ajaran
Islam kedua setelah Al-Qur’an. Berbeda dengan Al-Qur’an yang bersifat qath’iy
I dilalah, hadits sebagian besarnya bersifat dzanniy ad dilalah.[1]
Juga melihat perjalanan hadits yang cukup panjang dengan kondisi
masing-masing yang melatar belakanginya, ternyata hadits Nabi mempunyai tingkat
kualitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu para ulama hadits perlu mengadakan
penelitian terhadap hadis Nabi. Adapun hadits yang terjadi obyek penelitian
adalah hadits ahad. Untuk itu para ulama telah menciptakan berbagai
kaedah-kaedah tersebut meliputi kaedah kesahihan sanad dan kesahihan matan.
Kata sanad berarti mu’tamad (sandaran), tempat
berpegang yang dipercaya atau yang sah. Secara terminoligos, sanad ialah siisilah
orang yang menghubungkan kepada matan hadis, yaitu silsilah orang-orang yang
menyampaikan materi hadis, baik berupa perkataan, perbuatan dan keputusan.[2]
Sedangkan kata matan memeiliki difinisi yang pada dasarnya
memiliki makna yang sama, yaitu materi atau lafadz hadits itu sendiri atau
suatu kalimat tempat berkhirnya sanad.[3]
C.
Hadits
Shahih
Shahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim”,
artinnya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis
shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi
cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat
atau tabi’in, buka hadis syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang
menyebabkan cacat dalam penerimaannya.[4] Menurut
Muhadditsin, hadis shahih adalah:
مانقله عدل تام الضبط متصل السندغيرمعلل ولاشاذ
“Hadis yang dinikil (diriwayatkan) oleh rawy
yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambng, tidak ber’illat dan
tidak janggal.”[5]
Dari definisi di atas disimpulkan bahwa hadis shahih mempunyai 5
(lima) kriteria, yaitu:[6]
1.
Persambungan
Sanad ((إتصال السند, artinya setiap perawi dalam sanad bertemu dan menerima periwatan dari perawi
sebelumnya baik secara langsung (مباشرة) atau secara hukum (حكمى) dari awal sanad samapai akhirannya. Pertemuan atau
persambungan sanad dalam periwayatan ada dua macam lambang yang digunakan oleh
para perawinya:
2.
Pertemuan
langsung (mubasyarah), seseorang bertatap muka lansung dengan syaikh yang
menyampaikan periwayatan. Maka ia mendengar berita yang disampaikan atau
melihat apa yang dilakukan. Misalnya:
سمعت=
aku mendengar,
حدثني/أخبرني/حدثنا/أخبرنا= memberikan kepadaku/kami
رأيت
فلان= aku melihat si Fulan, dan lain-lain.
3.
Pertemuan
secara hukum, seseorang meriwayatkan hadis dari seseorang yang hidup semasanya
dengan ungkapan kata yang mungkin mendengar atau mungkin melihat. Misalnya:
قال
فلان/عن فلان/فعل فلان = si
Fulan berkata :.../dari si Fulan/si Fulan melakukan begini.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya
ulama hadis menempuh tata kerja penelitian berikut:
1.
Mencatat
semua rawi dalam sanad yang diteliti.
2.
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing rawi.
3.
Meneliti
kata-kata yang berhubungan antara para rawi dan rawi yang tedekat dengan sanad.[7]
Jadi suatu hadis dapat dinyatakan bersambung apabila:
1.
Seluruh
rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit).
2.
Antara
masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar
telah terjadi hubungan periwayatan hadis secara sah menurut ketentuan tahamul
wa ada al-hadits. Adapun contohnya dari hadis shahih yang ditinjau dari
sanandnya, adalah:[8]
Hadis yang diriwayatkan oleh Malik ibn
Huwarits yang dikeluarkan oleh Bukhari, Muslim, Nasai, Darimi, Baihaqi,
Daraqutni, dan Ahmad:
وصلوا كمارأيتموني أصلي
Artinya
: “Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihat aku melakukan shalat.”
Hadis
yang dikeluarkan oleh Sembilan sahabat, yaitu (1) Abu Hurairah, (2) Maimunah,
(3) Sa’ad ibn Abi Waqqas, (4) Jubair ibn Mut’im, (5) Abu Sa’id al-Khudri, (6)
Jabir ibn Abdullah, (7) Abdullah ibn Zubair, (8) Abu Dzar dan (9) Abdullah ibn
Umar.
صلاة في مسجدي هذا خيرمن ألف صلاة
فيماسواه إلاالمسجدالحرام
Artinya
: “Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih baik seribu kali disbanding
shalat di tempat lain, kecuali apabila dilaksanakan di masjid Haram”.
3.
Keadilan para perawi (‘adalah
ar-ruwah). Pengertian adil dalam bahasa adalah seimbang atau meletakkan sesuatu
pada tempatnya, laan dari zalim. Dalam istilah periwayatan orang yang adil
adalah:
من استقام دينه وحسن خلقه وسلم من الفسق وخوارم المروء
ة
“Adil adalah orang yang konsisten (istiqamah)
dalam beragama, baik akhlaqnya, tidak fasiq dan tidak melakukan cacat muruah”
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteri periwayatan yang bersifat
adil, adalah:[9]
1.
Beragama
Islam
2.
Berstatus
mukalaf (dewasa; yang bertanggung jawab).[10]
3.
Melaksanakan
ketentuan agama
4.
Memelihara
muru’ah (terhindar dari perbuatan maksiat).
5.
Para
perawi bersifat dhabith (dhabith ar-ruwah). Maksudnya, para perawi
memilki daya ingat hapalan yang kuat dan sempurna.
6.
Tidak
terjadi ‘illat. Dalam bahasa arti ‘illah adalah penyakit, sebab, alasan,
atau udzur. Sedang arti ‘illah di sini adalah sebab tersembunyi yang
membuat cacat keabsahan suatu hadis padahal lahirnya selamat dari cacat tersebut.
Misalnya sebuah hadis setelah diadakan penelitian ternyata ada sebab yang
membuat cacat yang menghalangi
terkabulnya, seperti: munqathi’ (hadis yang gugur dai isnadnya nama
seorang perawi pada sebelum shahabi)[11],
mawafiq, atau perawi seorang fasik, tidak bagus hapalannya, seorang ahli
bid’ah, dan lain-lain.
7.
Tidak
terjadi kejanggalan (syadzdz). Syadz dalam bahasa berarti ganjil, tersaring,
atau menyalahi aturan. Maksud syadz di sini adalah terjadinya kejanggalan
terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi
yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadis yang
diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajah) daripadanya, disebabkan
kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih
yang lain.[12]
Hadis shahih ini wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’
sesuai dengan ijma’ para ulama hadis dan sebagian ulama ushul fikih.
Hadis shahih memilki dua macam, yang mana berdasarkan tingkat kekuatan atau
kelemahannya, antara lain:
1.
Hadis
Shahih Lidzatih
Hadis shahih lidzatih adalah hadis yang sanadnya
bersambung-sambung, diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna hafalannya dari
orang yang sekualitas dengannya hingga akhir sanad, tidak janggal dan tidak
mengandung cacat yang parah.[13]
2.
Hadis
Shahih Lighairih
Hadis shahih ligahirih adalah hadits shahih yang tidak memenuhi
syarat-syaratnya secara maksimal.[14]
Karena diantara perawi ada yang kurang sedikit hafalannya dibandingkan dalam
hadis shahih, tetapi karena diperkuat demgan jalan/sanad lain, maka naik
menjadi shahih ligahirih (shahihnya karena yang lain). Kualitas sanad
lain terkadang sama-sama hasan atau lebih kuat lagi yakni shahih.
Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, melalui jalan
Muhammad bin Amr Abu Salamah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda:[15]
لولاأن اشق على
أمتى لأمرتهم بالسواك عندكل صلاة
“Seandainya
aku tidak khawatir memberatkan umatku, pasti aku memerintahkan mereka agar
bersiwak setiap kali endak mengerjakan shalat”.
D.
Hadits
Hasan
Hadits hasan yaitu hadits yang bersambung sanadnya dengan
periwayatan perawi yang ‘adil dan dhabit, tetapi nilai
kedhabitannya kurang sempurna, serta selamat dari unsur shudud dan ‘illat.[16]
مااتصل سنده
بعدل خف ضبطه من غيرشدوذولاعلة
“Hadits yang muttashil sanadnya yang
diriwayatkan oelh perawi yang adil yang lebih rendah kedhabitannya tanpa syadz dan tanpa ‘illat”.[17]
Dengan demikian, hadits hasan sangat memenuhi syarat-syarat hadits
shahih seluruhnya, hanya saja semua perawinya atau sebagaimana kedhabitannya
lebih sedikit dibandig kedhabitan para perawi hadits shahih.
Dilihat dari definisi tersebut yang membedakan hadits hasan dengan
hadits shahih adalah pada aspek kedzabitan perawi. Dalam hadits hasan,
dhabit yang terkait dengan aspek tulisan dan hafalannya kurang sempurna
sedangkan hadits shahih kedhabitan perawi sangat handal. Contoh hadits
hasan adalah:
رضارب فى رضاالوالدوسخط الرب فى سخط الوالد
“Keridhaan Allah bergantung pada keridhaan
kedua orang tua dan kemurkaan Allah juga bergantung kepada kemurkaan orang
tua”.[18]
Pada dasarya hadis hasan dapat dijadikan hujah walaupun kualitasnya
di bawah hadis shahih. Semua Fuqaha, sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang yang sangat ketat dalam
mempersyaratkan penerimaan hadis (musyaddidin). Bahkan sebagian Muhadditsin
yang mepermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin) memasukkannya ke
dalam hadis shahih. Dalam hadis hasan, ada beberapa jenis, antara lain:[19]
1.
Hadis
Hasan Lidzatih
Hadis hasan lidzatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
adil, yang kurang kuat ingatannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat
dan tidak ada kejanggalan.
2.
Hadis
Hasan Lighairih
Hadis hasan lighairih adalah hadis yang sanadnya tidak sepi dari
seorang yang tidak jelas perilakunya atau kurang baik hafalannya dan lain-lain.
Selain itu, hadis ini harus memenuhi tiga syarat:
1.
Bukan
pelupa yang banyak salahnya dalam hadis yang diriwayatkan
2.
Tidak
tampak ada kefasikan pada diri perawinya
3.
Hadis
yang diriwayatkan benar-benar telah dikenal luas, karena ada periwayatan yang
serupa dengannya atau semakna, yang diriwayatkan dari satu jalur lain atau
lebih.
Adapun contonya dalam hadis hasan lidzatih adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Al-Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah dari
Sa’id bin Al-Musayyb dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:
لعن الله العقرب لاتدع مصلياولاغيره فاقتلوهافى الحل والحرم
“Allah melaknat kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik
keadaan shalat atau yang lain, maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah
Haram”[20]
E.
Hadits
Dha’if
Dhaif menurut lughat adalah lemah, lawan dari qawi (yang
kuat).[21]
Namun secara istilah hadis dhaif ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
bisa diterima. Mayoritas ulama menyatakan: Hadits dha’if yaitu hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat shahih ataupun syarat-syarat hasan.[22]
Contoh hadis dho’if yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi melalui jalan Hakim
Al-Atsram dari Abu Tamimah Al-Hujainmi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW
bersabda:
من
أتى حا ئضاأوامرأة من دبرأوكاهنافقد كفربماأنزل على محمد
“Barang
siapa yang mendatangi pada seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang
wanita dari jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah
mengingkari apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad”.[23]
Pada dasarnya,
Islam mengajak umatnyaagar mengetahui kebenaran, mencari dan meneliti setiap
yang didengar dan yang dilihatnya. Sebagaimana yang telah diingatkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Allah berfirman:[24]
يّاأيهاالذين أمنواّإن جاّء كم فاسق بنبإ فتبينواّأن
تصيبواقوما بجها لة فتصبواعلى مافعلتهم ندمين
(سورة الحجرات : 6)
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatan itu.”
(Q.S Al-Hujurat: 6)
Dari keterangan
di atas tadi, maka para ulama Muhadditsin mengadakan penelitian agar suatu
hadis mempunyai kualitas yang baik. Dengan demikian, maka mengemukakan
sebab-sebab tertolaknya hadis dari dua jurusan, yakni jurusan sanad dan jurusan
matan. Sebab-sebab tertolaknya hadis dari jurusan sanand adalah:[25]
1.
Terwujudnya
cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun kedhabitannya
2.
Ketidakbersambungannya
sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling
tidak bertemu satu sama lain
Adapun cacat
pada keadilan dan kedhabitan rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:[26]
1.
Dusta 6. Menyalahi riwayat orang kepercayaan
2.
Tertuduh
dusta 7. Banyak waham (purbasangka)
3.
Fasik 8. Tidak diketahui identitasnya
4.
Banyak
salah 9. Penganut bid’ah
5.
Lengah
dalam menghafal 10.
Tidak baik hafalannya
Hadis dhaif
tidak teridentik dengan hadis mawdhu’ (hadis palsu). Maka paraulama
memperbolehkan meriwayatkannya hadis dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifnanya dengan dua syarat:[27]
1.
Tidak
berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2.
Tidak
menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi
berkaitan masalah mau’ishah, targhib wa tarhib (hadis-hadis tentang ancaman dan
janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Keterangan di
atas sudah jelas, bahwa hadis dha’if dapat diamalkan selama kedhaifannya tidak
terlalu parah dengan syarat:
1.
Hadis
yang dhaif itu masih di bawah satu hadis yang dapat diamalkan (sahih dan hasan)
2.
Dalam
mengamalkan hadis dhaif harus denganitikaduntuk berhati-hati.[28]
Ibnu Hajar menjabarkan
urutan-urutan dalam hadis dha’if yang terburuk, antara lain adalah:
1.
Hadis
Maudhu’
Kata Maudhu’ dari akar kata وضع يضع وضعا فهو موضوع = diletakkan, dibiarkan, digugurkan,
ditinggalkan, dan dibuat-buat.[29]
Sebagian ulama mengartikan mendifiniskan hadis maudhu’ adalah hadis bohong atau
hadis palsu, bukan dari Rasulullah tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh
seorang pembohong. Jadi keseimpulannya hadis maudhu’ yaitu hadis yang yang
terindikasi dalam jalur perawinya ada yang melakuka pendustaan kepada
Rasulullah saw. atau tertuduh berbuat dusta. Adapun contoh hadis palsu yang
dikeluarkan oleh Ibn najjar juga dikeluarkan oleh Ibn Asakir dalam al-Tarikh,
semuanya lewat jalur Abbas ibn Katsir al-Ruqa, dari Zaid ibn Abi Habib:
صلاة بعمامة تعدل خمسا وعشرين صلاة بغيرعمامة, وجمعة بعمامة تعدل
سبعين جمعة بغيرعمامة, إن الملائكة لبشهدون الجمعة معتمين, ولا يزالون يصلون على
أصحاب العمائم حتى تغرب الشمس
“Shalat dengan menggunakan surban nilainya
sama dengan shalat dua puluh lima kali tanpa menggunakan surban. Sekali jum’atan dengan menggunakan
surban, nilainya sama dengan tujuh puluh kali jum’atan tanpa menggunakan
surban. Sesungguhnya para Malaikat senantiasa mendo’akan orang yang jum’atan
dengan bersurban, dan senantiasa mendo’akan yang bersurban itu sampai tengelam
matahari”[30]
Adapun sejarah mmunculnya hadis maudhu’ berawal dari masuknya massal
penganut agama lain ke dalam Islam, yang merupakan akibat dari keberhasilan
dakwah Islamiyah ke seluruh plosok dunia, secara tidak langsung menjadi faktor
munculnya hadis-hadis palsu. Ada juga segolongan mereka menganut agama Islam
hanya karena terpaksa tunduk pada kekuasaan Islam pada waktu itu. Golongan ini
kita kenal dengan kaum munafik.
Sejak masa Nabi dan masa Khulafaurrasyidin atau sebelum terjadi
konflik antara kelompok pendukung Ali dan Muawiyah hadis Nabi masih bersih dan
murni tidak terjadi pembauran dengan kebohongan dan perubahan-perubahan. Adapun
faktor-faktor penyebab munculnya hadis maudhu’, antara lain:[31]
1.
Pertentangan
Politik dalam Soal Pemilih Khalifah. Pertetangan di antara umat Islam timbul setelah terjadinya
pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan oleh para pemberontak dan
kekhalifaan yang digantikan oleh Ali bi Abi Thalib. Umat Islam pada masa itu
terpecah-belah menjadi beberapa golongan, seperti golongan yang ingin menuntut
bela terhadap kematian Khalifah Utsman dan golongan yang mendukung kekhalifaan
Sayyidina Ali (Syi’ah). Setelah perang Siffin, muncul pula beberapa golongan
lainnya, seperti Khawarij dan golongan pendukung Muawiyyah.
2.
Adanya
Kesenjangan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam. Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq, Yahudi, Majusi
dan Nashrani yang senantiasa menyimpan dendam terhadap agama Islam. Mereka
tidak mampu untuk melawan kekuatan Islam secara terbuka maka mereka mengambil
jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadis maudhu’ dengan
tujuan merusak ajaran Islam
3.
Mempertahankan
Madzhab dalam Masalah Fiqh dan Maalah Kalam. Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh
dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadis-hadis palsu untuk menguatkan
paham pendirian Imamnya.
4.
Membangkitkan
Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah. Dengan membuat hadis-hadis palsu, maka tujuan utamanya adalah
menarik orang untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melalui amalan-amalan
yang mereka ciptakan, atau dorongan-dorongan untuk meningkatkan amal, melalui tarhib
wa targhib (anjuran untuk meninggalkan yang tidak baik dan untuk
mengerjakan yang dipandangnya baik), dengan cara berlebih-lebihan.
5.
Menjilat
Para Penguasa untuk mencari Kedudukan atau Hadiah. Ulama-ulama su’ membuat hadis palsu ini untuk
membenarkan perbuatan-perbuatan para penguasa sehingga dari perbuatannya
tersebut, mereka mendapat upah dengan diberi kedudukan atau harta.
Para ulama Muhadditsin membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui
shahih, hasan, atau dhaif, mereka juga menetukan ciri-ciri untuk mengetahui
kemaudhu’an suatu hadis, yaitu:[32]
a)
Ciri-ciri
yang yang terdapat pada sanad, antara lain:
1.
Rawi
tersebut terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tidak ada seorang rawi yang
terpercaya yang meriwayatkan hadis dari dia.
2.
Pengakuan
dari si pembuat sendiri.
3.
Kenyataan
sejarah.
4.
Keadaan
rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadis maudhu’.
b)
Cirri-ciri
yang terdapat pada Matan, antara lain:
1.
Keburukan
susunan lafadznya. Maksudnya susunan kata dalam hadis, yang mana mungkin keluar
dari mulut Nabi SAW, dan tidak mungkin keluar dari mulut Nabi SAW.
2.
Kerusakan
maknanya. Contonya berlawanan dengan akal sehat, hukum akhlaq yang umum atau
menyalahi aturan, bertentangan dengan ilmu kedokteran, menyalahi undang-undang
(ketentuan-ketentuan), menyalahi hokum-hukum Allah, mengandung dongeng-dongeng
yang tidak masuk akal, bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an dan Hadis
Mutawatir, dan menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap
perbuatan-perbuatan yang sangat kecil.
Keterangan diatas tadi, sudah jelas kita bisa mengetahui mana yang
hadis palsu dan mana yang hadis shahih. Karena dengan dengan mengetahui sanad
dan matannya. Shalahuddin al-Adlabiy menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk
meneliti matan ada empat macam, yaitu:[33]
1.
Tidak
bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2.
Tidak
bertentangan dengan hadits yang lebih kuat
3.
Tidak
bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah
4.
Susunan
pernyataan tidak menunjukkan cirri-ciri sabda kenabian.
Umat Islam telah sepakat bahwa membuat hadis maudhu’ hukumnya haram
secara mutlaq tidak ada perbedaan antara mereka. Menciptakan hadis maudhu’ sama
dengan mendustakan kepada Rasulullah. Karena perkataan itu dari pencipta
sendiri atau dari perkataan orang lain kemudian diklaim Rasulullah yang
menyabdakan berarti ia berdusta atas nama Rasulullah. Orang yang melakukan hal
demikian diancam dengan api neraka, sebagaimana sabda beliau:
من
كذب على متعمدا فليتبوّأمقعده من النار
“Barang siapa yang mendustakanku dengan sengaja, maka hendak siap-siaplah
tempat tinggalnya di dalam
neraka”.[34]
2.
Hadis
Matruk
Hadis matruk bagian dari hadis dh’aif yang cacat
keadilan. Dari segi bahasa kata matruk dari akar kata: ترك
يترك تركا فهو متروك= tertinggal. Orang Arab menyebutkan kulit
telur setelah mengeluarkan anak ayam disebut tarikah (تريكة) = tertinggal tidak ada faedahnya.[35]
هوالحديث الذي
في إسناده راوٍمتهم باالكذ ب
“Hadis yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta”[36]
Dari difinisi di atas tadi, sudah jelas bahwa bahwa hadis matruk
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang “muttaham bi
al-kidzbi” (yang tertuduh melakukan dusta) dalam hadis Nabawiy, atau sering
berdusta dalam pembicaraannya, atau yang terlihat kefasikannya melalui
perbuatan kata-katanya ataupun sering sekali salah dan lupa.[37] Mengenai
hukum penggunaan hadis ini adalah bahwa hadis matruk tidak bisa diamalkan
dikarenakan cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta posisinya dekat dengan
hadis Maudhu’. Adapun contoh dari hadis ini adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam Qadha’ Al-Hawa’ij melalui jalur
Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari Ibnu Abas dari Nabi SAW:
عليكم بإصطناع
المعروف فإنه يمنع مصارع السوءوعليكم بصدقة السرفإنهاتطفئ غضب الله عزوجل
“Wajib atas kamu berbuat yang makruf
sesungguhnya ia mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqah samara
(sirr) sesungguhnya ia mematikan murka Allah Ajja wa Jalla”.[38]
3.
Hadis
Munkar
Kata munkar dari kata inkar: أنكر
ينكر إكارا فهو منكر= menolak, tidak menerima lawan dari kata iqrar
= mengakui dan menerima.
Secara istilah hadis Munkar adalah hadis pada sanadnya
terdapat rawi yang jelek kesalahannya, banyak kelengahan atau tampak
kefasikannya. Hadis syadz dan munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah.[39] Tingkat
kedha’ifannya sangat dho’if, karena cacat hadis munkar sangat
parah yaitu banyak kesalahan dan banyak kelupaan dalam meriwayatkan sehingga
menyalahi periwayatan para perawi yang tsiqat. Untuk mengetahui ini
tentunya setelah diadakan komparasi dengan periwayatan orang-orang yang tsiqah
pada tema hadis melalui berbagai periwayatan, baik dari segi sanad dan matan. Adapun
contoh dari hadis ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui
Usamah bin Zaid Al-Madani dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin
Auf dari ayahnya secara marfu’:
صائم رمضان في
السفركالمفطرفي الحضر
“Seorang puasa Ramadhan dalam perjalanan
seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya”.[40]
4.
Hadis
Syadz
Dari segi bahasa syadz berasal dari kata شد يشد شدا فهو شاذdiartikan ganjil tidak sama dengan yang mayoritas.[41] Awal
mula yang mengenalkan jenis hadis ini adalah Imam asy-Syafi’iy. Beliau mengatakan
bahwa hadis syadz bukanlah hadis di mana perawinya tsiqat meriwayatkan
hadis yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain.[42]
Dari definisi Imam asy-Syafi’iy, sudah jelas bahwa hadis syadz adalah
hadis yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi riwayat
orang yang lebih utama darinya, baik karena jumlahnya lebih banyak ataupun
lebih tinggi daya hafalannya.[43]
Adapun contoh hadis syadz pada matan, hadis yang diriwayatkan Abu Dawud
dan At-Tirmidzi melalui Abdul Wahid bin Zayyad dari Al-A’masy dari Abu Shahih
dari Abu Hurairah secara marfu’ (Rasulullah saw. bersabda):
إذا صلى أحدكم ركعتي الفجرفليضطجع عن يمينه
“Jika telah shalat dua raka’at Fajar salah
seorang di antarakamu, hendaklah tiduran pada lambung kanan”.[44]
F.
Kesimpulan
Kesimpula pertama adalah Pada dasarnya, kita bisa menilai
kualitas suatu hadits, kita dapat menilai dari kualitas sanad dan matannya.
Untuk menguji apakah hadits betul bersuber dari Rasulullah atau tidak. Diantara
syarat sahnya sebuah sanad adalah:
1.
Persambungan
sanad para perawi
2.
Keadilan
perawi
3.
Tingkat
kemampuan perawi dalam memelihara hadits (dhabit)
4.
Terhindar
dari syadz
5.
Terhindar
dari ‘illat.
Sedangkan untuk mengetahui matannya, yaitu:
1.
Tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an
2.
Tidak
bertentangan dengan fakta sejarah
3.
Tidak
bertentangan dengan logika
Untuk mengetahui makna dari matan, harus didasari pada suatu asumsi
bahwa teks atau matan hadits bukanlah sebuah narasi yang berada di tengah
sekian banyak variabel serta gagasan yang tersembunyi dibalik suatu teks atau
matan yang harus dipertimbangkan ketika seseorang ingin memahami dan
merekonstruksi makana sebuah hadits. Jika tidak, akan melahirkan kesalahpahaman
penafsiran.
Kesimpilan yang kedua adalah kebanyakan ulama ahli ilmu dan
fuqaha, bersepakat menggunakan hadits Shahih dan Hasan sebagai hujjah. Disamping
itu, ada ulama yang mensyaratkan bahwa hadits Hasan dapat dipergunakan hujjah,
bila memenuhi sifat-sifat yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan
peninjauan skema. Sebab sifat-sifat yang dapat diterima itu, ada yang tinggi,
menengah dan rendah. Hadits yang mempunyai sifat dapat diterima yang tinggi dan
menengah, adalah Hadits Shahih, sedang Hadits yang mempunyai sifat dapat
diterima yang rendah adalah Hadits Hasan.
Kesimpulan ketiga adalah Sebuah hadits tidak pernah berdiri
sendiri, tetapi memiliki kaitan dengan tradisi dan komunitas beragama yang
meresponnya. Ketika hadits dilepas dari umatnya, maka tidak akan lagi bermakna,
kecuali sekedar bundelan kertas yang dipenuhi goresan tinta di koleksi
perpustakaan.
G.
DAFTAR
PUSTAKA
Suyadi,
Agus, Solahuddin, Ulumul Hadis, (Bandung, Pustaka Setia, 2009).
‘Ajaj
Al-Khathib, Muhammad, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta,
Gaya Media Pratama, 2007).
Al-Mas’udi,
Hafizh Hasan, Ilmu Mustholah Hadis, (Surabaya, Al-Hidayah).
Kholis,
Nur, Pengantar Studi Al-Qur’an dan Al-Hadits, (Yogyakarta, Teras, 2008).
Khon,
Majid, Abdul, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari Penerbit Bumi
Aksara, 2009).
MKD
IAIN Sunan Ampel, Pengantar Studi Islam, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011).
MKD
IAIN Sunan Ampel, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011).
Partanto A, Pius
dan Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Arloka, 1994).
Rahman,
Fatchur, Ikhtisar Musthalahul Hadits, (Bandung,
PT Alma’arif, 1987).
Syuhbah, Abu, Kutubus
Sittah, (Surabaya, Pustaka progresif, 1999).
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 150-154.
[10] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya,
Arloka, 1994), hlm, 494.
[11] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya,
Arloka, 1994), hlm, 499.
[14] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 277.
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 155.
[17] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 299.
[20] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 161.
[22] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 304.
[23] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 164.
[27] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 164-165.
[29] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 199.
[34] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 207.
[37] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 313-314.
[38] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 184.
[40] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 188..
[42] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al-Hadits-Pokok-pokok Ilmu
Hadits, (Jakarta, Gaya Media Pratama, 2007), hlm, 312.
[44] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta, Amzah Divisi Dari
Penerbit Bumi Aksara, 2009), hlm, 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar