Selasa, 26 Juni 2012

STUDI SEJARAH PEMIKIRAN ISLAM


TAREKAT AL-QADIRIYAH

A.    Pengantar
Salah satu ciri mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu-Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat di kalangan Muslim. Karena Islamisasi Indonesia dimulai ketika tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Dengan ini, muncullah ikatan ketarekatan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan sufi orders, secara relatif meupakan klimaks dari perkembangan pengamalan dan praktek ajaran tasawuf. Namun pada abad ke-13, tarekat sedang ada di puncak kejayaannya.
Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada ke hadirat Tuhan sebagai “jalan”, karena konsep syariat, tarekat, dan hakikat mempunyai keterkaitan satu sama lain. Yang mana tarekat mempunyai arti jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi\in, turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai. Secara khusus tarekat mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini.[1]
Pada abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat adalah sebuah metode psikologi moral untuk bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Sesudah abad ke-11 M, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tatacara latihan spiritual tertentu bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan Muslim. Setelah itu, banyaklah bermunculan tarekat-tarekat yang meperluas ajarannya ke berbagai umat dunia.
Munculnya ikatan-ikatan ketarekatan ini telah menyebabkan perubahan besar dalam pengamalan tasawuf. Tasawuf yang semula merupakan gerakan individual dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite keruhanian, berubah menjadi gerakan massal dari kaum Muslimin.

 B.    Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tarekat
Sejarah bahasa tarekat berasal dari bahasa Arab tariqah yang berarti al-Khat fi al-Syai’ (garis sesuatu), al-Shirah (jalan). Tarekat juga berarti jalan atau cara tertentu untuk mencapai tingkatan-tingkatan dalam (maqamat) rangka mendekatkan diri kepada Allah. Melalui cara ini seorang penganut ajaran tarekat (sufi) dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata (fana fi al-Haq). Dengan demikian tarekat berarti melakukan olah batin, dengan latihan-latihan spiritual (riyadloh) dan perjuangan yang sungguh-sungguh (mujahadah) di bidang olah kerohanian.[2]
Pengertian tarekat sebelum abad VI H hanya dapat diartikan sebagai suatu aliran dalam suatu ajaran tasawuf, misalnya dikenal dengan aliran tasawuf Abu Yazid al-Bustami yang disebut tariqah al-Tayfuriyyah, aliran tasawuf al-Junayd al-Baghdadi yang disebut dengan tariqah al-Junaydiyah, aliran tasawuf Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Salim al-Saghir yang disebut tariqah al-Salimiyah dan aliran tasawuf al-Ghazali yang disebut tariqah al-Ghaziliyyah, tetapi pengertian tersebut tidak dapat disamakan dengan pengertian tarekat setelah timbulnya aliran tarekat pada abad-abad perkembangannya, yang diawali dengan abad VI H.[3]
Awal permulaannya tarekat dengan ajaran-ajarannya dilalui oleh sufi secara individual. Akan tetapi seiring dengan perjalanannya waktu yang terus berputar tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun secara kolektif. Kemudian dalam perjalanan yang lebih lanjut kumpulan-kumpulan orang ini mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan peraturan-peraturan sendiri-sendiri. Diantaranya tarekat dalam sejarah adalah tarekat Qadiriyah di Baghdad Iraq. Tarekat ini dinisbahkan (dihubungkan) dengan nama pendirinya yaitu Muhyidin Abdul Qadir Ibn Abi Shalih Janki Daousti (W. 1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa’iyah di Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (W. 1182 M), tarekat Sadzaliyah di Maroko yang didirikan oleh Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Sadzily (W. 1228 M). di Mesir berdiri tarekat Badawiyyah atau Ahmadiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Badawi (W. 1276 M). sementara di Asia Tengah berdiri tarekat al-Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandi (W. 1317 M). selain itu Bektasyiah di Turki, al-Khalwatiyyah di Persia, al-Syanusiyyah di Libya, al-Syatariyyah di India, al-Tijjaniyah di Afrika Utara.[4] Adapun tata cara pelaksanaan tarekat antara lain:
1.      Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
2.      Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3.      Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabbana.
4.  Menari, yatiu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
5.      Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.[5]

Pada mulanya merupakan kumpulan orang-orang sufi yang berdiri secara spontan dan tanpa ikatan, berkembang menjadi organisasi sufi populer yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu, sehingga berkembang menjadi 200 buah tarekat yang mempunyai jaringan yang cukup luas. Oleh karenanya perkembangan tarekat ini tidak semata-mata bisa diterangkan dari sudut pandang agama semata, fenomena perkembangan tarekat yang ada beberapa perspektif yang bisa digunakan dalam menerangkan fenomena tarekat yaitu agama, sosial, dan juga politik.
Dengan berkembangnya tarekat, muncullah dugaan ketidaksenangan gerakan para Syekh tarekat dengan ulama-ulama fiqh ketika itu semata-mata karena alasan keagamaan mendapat relevasinya. Hal ini terjadi karena kaum ulama terkait hubungan intim dengan Negara dalam persoalan hukum-hukum yang diterapkan di tengah masyarakat. Perluasan tarekat dengan berbagai doktrin membuat gerakan spiritual yang mengajarkan kepada pengikutnya untuk menempuh berbagai tingkatan psikologis (maqamat) dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya yang lebih tinggi, sampai akhirnya mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi. Hal ini berfungsi sebagai jalan seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Ada beberapa tuduhan bahwa tarekat adalah sebagai perilaku bid’ah, khurafat, tahayyul, musyrik, dan pelestari sinkritik di Indonesia. Hal ini tampaknya sangat beerpengaruh terhadap kondisi psikologis pengikut tarekat. Sementara kelompok tradisional dengan berbagai kelebihan dan kekurangan tampil “membela” kelompok tarekat ini. Dengan kejadian ini, tarekat membuat federasi dan bernaung dalam “payung” NU, secara otomatis menjadi pilar penguat NU baik secara organisatoris maupun secara politis, tarekat banyak “dilirik” oleh beberapa kalangan yang mempunyai kepentingan dengan kekuasaan, terlebih dengan pihak yang sedang berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Jenderal A.H. Nasution.
Masuknya KH. Musta’in Romly  ke dalam partai Golkar dan sekaligus menjadi juru kampanye “partai” tersebut dalam Pemilihan Umum tahun 1977. Sebagaimana diketahui Golkar adalah kendaraan rezim Orde Baru yang menyokong kekuasaannya selam kurang lebih 32 tahun lamanya di Indonesia, sampai akhirnya pada tahun 1998 kekuatan Mahasiswa didukung oleh elemen masyarakat lainnya, dan dengan slogan reformasinya “memaksa” rezim ini mengakhiri kekuasaannya dengan ditandai turunnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden.

C.     Perkembangan Tarekat Al-Qadiriyah di Indonesia
Sebagai sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniah) sekaligus. Kaum syariah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian kepada segi-segi syariat atau hukum sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan kaum thariqah, yaitu mereka yang berkecipung dalam amalan-amalan tarekat, dinamakan kaum batini. Antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu pernah terjadi ketegangan dan polemik, dan saling menuduh bahwa lawannya adalah penyeleweng dari agama dan sesat.[6]
Sama seperti halnya tarekat Qadiriyah, karena tarekat ini merupakan tarekat pertama yang masuk ke Nusantara. Melalui syair-syair Hamzah Fansuri, Martin van Bruinessen berkesimpulan bahwa Hamzah merupakan orang Melayu pertama yang menganut tarekat ini. Hamzah mendapatkan ijazah untuk mengajarkan tarekat Qadiriyah  ketika bermukim di Ayuthia, ibu kota Muangthai. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau mendapatkan ijazah di Baghdad, yakni pada waktu berziarah ke makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Baghdad.[7]
Tarekat ini sempat tertahan di Aceh sepeninggal Hamzah Fansuri. Indikasinya, ketika Syaikh Yusuf Makassar melaukan perjalanan dari Sulawesi ke Mekkah pada 1645, dia singgah dulu ke Aceh. Di kota ini ia memasukkan tarekat Qadiriyah. Di Jawa sudah sejak lama terdapat pengaruh. Hal ini bisa dilihat dari tradisi pembacaan Manaqib abd al-qadir yang sejak lama telah menjadi bagian tradisi keberagamaan masyarakat Jawa. Manaqib ini dibaca dengan tujuan agar mendapatkan berkah karena kekeramatan sang syaikh. Di Cirebon dan Banten, paling tidak abad ke-17, masuknya ajaran tarekat ini. Karena nama Abdul Qadir sangat populer di Indonesia, tterutama di Jawa, mungkin saja wirid-wirid yang dipakai dalam berbagai aliran kesaktian dan kekebalan berasal dari tarekat ini. Seperti permainan debus di Banten yang dihubungkan dengan tarekat Qadiriyah, maupun pemujaan terhadap Syaikh Abdul Qadir dalam bentuk bacaan manaqib yang telah berkembang di luar kalangan tarekat itu sendiri.
Tarekat ini berkembang sehingga membuat cabang baru karena seorang mursyid diberi wewenang untuk mengembangkan amalan wirid tersendiri dan tidak lagi terkait dengan metode riyadhah yang diberikan oleh mursyid terdahulu. Mursyid dan pengikutnya memakai namanya sendiri dalam sebuah cabang tarekat sebagai identitas tarekat yang dikembangkannya. Seperti tarekat Qadiriyah-Khalwatiyah dan Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Selain di Jawa, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga berkembang di beberapa daerah di luar Jawa. Di Palembang terdapat Syaikh khalifah tarekat yaitu Muhammad Ma’ruf bin Abdullah Khatib, Abah Anom dari Suryalaya juga menunjuk wakil talqin-nya di Palembang, yaitu Drs. H. Ghalib pada 1994 dan Dr. H. Syaikh H. Abd  al-Malik Jabbar yang ditunjuk pada 1998. Di Lampung, ada H. Ahmad Lampung atau Muhammad Shalih Lampung. Wakil talqin untuk daerah Sumatera Utara adalah Syaikh Abd al-Latif Deli yang ditunjuk pada 1994. Di Kalimantan adalah Syaikh Yasin di Mempawah.[8]


D.    Asal-Usul Tariqat Al-Qadiriyah
Tariqat ini dikenal di Negara-negara Afrika, di antaranya Negara Arab, India, dan Pakistan. Tariqat Al-Qadiriyah diatas namakan kepada Abdul Qadir Al-Jaili atau Al-Jailani. Abdul Qadir dinisbatkan kepada Jalil, sebuah daerah terbelakang Tibristan. Ada yang mengakatan daerah tersebut adalah Jailan dan Kailan. Konon ia lahir pada tahun 470 H, yang lahir dirumah Abu Shalih Abdullah bin Janki Dusti di Jilan (wilayah iraq sekarang) dan meninggal pada di Baghdad pada tahun 561. Ibunya bernama Ummu Al-Khair Fathimah binti Syaikh Abdullah Ash-Shamai yang zuhud. Ketika mengandungnya, ibunya berumur 60 tahun.[9]
Beliau muali belajar di Baghdad. Ia berguru pada para Syaikh, para iamam, para penunjuk jalan, dan ulama-ulama umat. Ia sibuk mempelajari Al-Qur’an dengan baik dan pengetahuannya yang mendalam. Ia belajar fiqh kepada Abu Ghalib Muhammad bin Al-Hasan Al-Baqilani. Ia belajar sastra kepada Abu Zakaria At-Tibrizi. Ia bergaul dengan syaikh yang arif dan panutan orang-orang sufi yaitu Abu Al-Khair Hamad bin Muslim Ad-Dibagh dan mengambil ilmu sufi darinya serta santun terhadapnya.
Tadinya beliau bermadzhab syafi’i, kemudian melihad Ahmad bin Hambal yang mempunyai madzhab. Beliau meminta kepada Abd Qadir untuk mempelajari madzhabnya. Namun ketika itu, Madzhab Hambali tidak begitu berpengaruh di Baghdad dan nyaris hilang. Kemudian Abd Qadir mempelajarinya hingga ia menjadi imam para pengikut madzhab Hambali. Dalam tariqat Qadiriyah ada tiga pokok ajaran yang di kedepankan yaitu:
1.      Istighatsah. Istilah ini berarti permohonan, atau semakna dengan doa. Tapi yang dimasksud adalah doa bersama yang tidak mempergunakan kalimat-kalimat doa secara langsung, melainkan mempergunakan bacaan-bacaan ratib tertentu.
2.      Manaqib. Istilah ini merupakan biografi seorang sufi besar atau kekasih Allah (waliyullah) seperti Syaikh Abd Qadir al-Jailani atau Syekh Bahauddin al-Naqsyabandiyah yang diyakini oleh para pengikut tarekat memiliki spiritual (barakah). Bacaan manaqib seringkali dijadikan sebagai amalan, yang bertujuan terkabulnya hajat-hajat tertentu.
3.      Ratib. Istilah ini merupakan serangkaian amalan yang biasanya harus diwiridkan oleh para pengamalan. Ratib yang diwiridkan berupa kumpulan dan beberapa potongan ayat, atau beberapa surat pendek, yang digabung dengan bacaan-bacaan lain seperti istighfar, tasbih, shalawat, al-asma’ al-husna, dan kalimat thayyibah dengan suatu rumusan dan komposisi (jumlah bacaan masing-masing) yang telah ditentukan dalam suatu paket amalan khusus.[10]

E.    Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tariqat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat hasil dari penggabungan dua tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Perbedaan itu terutama terdapat pada bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya.[11] Sebelum kita mengkaji tarekat ini, setidaknya kita harus tau tentang kedua tarekat ini.
Tarekat Qadiriyah dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris, Syekh Muhyidin Abd Qadir al-Jailani, yang mendapat banyak sebutan kehormatan seperti Wali Kutub (Qutb al-Auliya’), Shahib al-Karamat, dan Sulthan al-Auliya’. Beliau diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat Qadiriyah. Beliau seorang sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian para sufi dan ulama sesudahnya. Beliau juga dikenal seorang ulama sunni yang bermadzhab Hambali yang cukup produktif dan menulis beberapa karyanya adalah al-Ghunyah li Thabili Thariq al-Haq, kitab ini menjadi rujukan dan memuat beberapa dimensi keislaman, seperti fiqh, tauhid, ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf. Dan beliau dikenal seorang teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam fiqh dan juga seorang orator yang piawai.
Beliau memimpin ribath (pemondokan para sufi) dan madrasahnya di Baghdad. Setelah ia wafat, kepemimpinannya diteruskan oleh puteranya yang bernama Abd Wahab, namun setelah ia wafat diteruskan oleh puteranya yang bernama Abd Salam. Madrasah dan ribath secara turun temurun tetap berada di bawah pengasuh keturunan Syekh Abd Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Halagu Khan. Serangan tersebut menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd Qadir al-Jailani, serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribathnya di kota Baghdad. Beberapa murid beliau semenjak masih hidup sudah mengajarkan metode dan ajaran tasawuf sang guru ke berbagai negeri Islam. Alhasil pada abad 12-13 M tarekat Qadiriyah telah tersebar dan menjadi tarekat yang tersebar di dunia Islam, baik di Barat maupun di Timur. Dan tarekat ini masih menjadi tarekat yang terbesar di dunia Islam sampai sekarang ini (abad XX), dengan berjuta-juta pengikut, seperti di Yaman, Mesir, India, Turki, Syiria, dan Afrika.[12]
Sedangkan tarekat Naqsabandiyah dinisbatkan kepada seorang sufi besar Muhammad ibn Muhammad Baha’uddin al-Uwaisi al-Bukhori al-Naqsyabandi. Beliau dilahirkan di desa Hinduan yang terletak beberapa kilo meter dari kota Bukhara (sekarang kota Yugolavia), dab beliau wafat dan di makamkan disana juga. Tarekat ini biasa disebut dengan tarekat Khawajakiyah yang dinisbatkan kepada Abd Khaliq Ghujdawani. Ia seorang sufi dan mursyid dan juga kakek spiritual al-Naqsyabandi yang ke enam yang berada di daaerah Asia Tengah. Tarekat ini berperan penting dalam kerajaan Timurid, dan hampir seluruh wilayah Asia Tengah “dikuasai” oleh tarekat ini. Tarekat ini mulai masuk ke India diperkirakan sejak masa pemerintahan Babur (pendiri kerajaan Mughal di India), dan mulai masuk Mekkah melalui India yang dibawa oleh Tajuddin ibn Zakaria. Pada abad ke-19 memiliki pusat penyebaran di kota suci ini.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryala didirikan oleh seorang sufi dan Syekh besar masjid al-Haram di Mekkah, Ahmad ibn Abd Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat di Mekkah pada tahun 1878 M, ia seorang ulama besar dari Mekkah dari Indonesia yang tinggal akhir hayatnya di Mekkah. Beliau seorang mursyid tarekat Qadiriyah, namun ada yang menyebut bahwa beliau juga seorang mursyid dalam tarekat Naqsyabandiyah. Inti ajaran ini mengajarkan kepada murid-muridnya, terutama berasal dari Indonesia.
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat ini, didasarkan pada pertimbangan logis dan strategis bahwa inti kedua ajaran itu saling melengkapi, terutama dalam hal dzikir dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan pada dzikir jahr (dzikir dengan bersuara), sedangkan tarekat Naqsyabandiyah menekankan kepada model dzikir sirr (dzikir dalam hati). Penggabungan tersebut diharapkan dapat membuat pada muridnya mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi dengan cara yang lebih efktif dan efesien.
Mengamalkan ajaran tersebut, bisa membuka kesadaran seseorang untuk dapat mengamalkan syariat dengan baik, meskipun tidak mengerti banyak tentang ilmu Keislaman. “Mengenal dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagian hidup. Mengenal Allah adalah permulaan orang beragama”, demikian keyakinan para sufi. Kebenaran logika ini telah terbukti secara empiris bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang berkepribadian baik.[13] Contohnya seorang sufi tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiya yaitu Abah Anom yang bukan dikenal sebagai ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam saja, tetapi ia juga dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kabar tentang kemampuan beliau tersiar ke berbagai tempat, sehingga makin hari para peminta obat semakin bertambah.
Melalui berita tersebut baik secara lisan maupun melalui media lainnya, pasien-pasien yang datang berasal dari kelompok sosial yang semakin beragam dengan masalah penyakit yang semakin bervariasi pula. Beliau bukan hanya bisa menyembuhkan penyakit seseorang yang sakit secara fisik saja, akan tetapi juga di antaranya orang tua yang membawa anak-anak remaja pecandu meinuman keras, narkotika, dan obat-obatan terlarang lainnyayang termasuk kelompok obat-obatan terlarang lainnya yang termasuk kelompok obat-obatan psikotropika. Para penderita inipun tidak ditolak. Dengan talaten beliau merawat meraka dengan cara memandikannya pada dini hari, mengajak shalat tahajjud, berdzikir, dan cara pengobatan lainnya. Diakui oleh beliau bahwa praktek tersebut bersumber dari ajara Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[14]

F.     Upaya Upacara-upacara Ritual
Yang dimaksud dengan upacara-uapacara ritual adalah beberapa kegiatan yang “disakralkan”, dan mempunyai tatacara tertentu (upacara dan prosesi yang khidmat), dan membutuhkan keterlibatan bersama antara murid dan mursyid. Ada beberapa bentuk ritual dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai sebuah jami’ah, yaitu:
1.      Pembaiatan
Pembaiatan adalah sebuag prosesi perjanjian, antara seorang murid terhadap mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan selanjutnya seorang mursyid menerimanya dengan mengajarkan dzikir (talqin al-dzikir), kepadanya
Uapacra tersebut merupakan langkah awal yang dilalui oleh salik, khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesufian melalui tarekat. Menurut para ahli tarekat “bai’at” merupakan syarat sahnya seuatu perjalanan spiritual (suluk).
2.      Manaqiban
Manaqib memiliki aspek ceremonial manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Kata manaqiban berasal dari kata manaqib (bahasa Arab) yang berarti biografi ditambah dengan akhiran: -an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abd Qadir al-Jailani, pendiri tarekat Qadiriyah, dan seorang wali yang sangat legendaris di Indonesia.
Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang tidak istimewa. Tetapi maknanya dalam kehidupan penganut tarekat ini, manaqiban merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritus-ritus yang lain. Bahkan manaqiban tidak hanya dikerjakan oleh para oleh masyarakat santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.
3.      Khataman
Tujuan khataman merupakan kegiatan individual, yakni amalan tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang murid yang telah mengkhatamkan tarbiyat dzikir lathaif. Dan khataman sebagai suatu ritus (upacara sakral) dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan dzikir lathaif.
Khataman merupakan upacara ritual yang “resmi” lengkap dan rutin. Kegiatan ini dipimpin oleh mursyid atau asisten mursyid (khalifah kubra). Sehingga forum khataman sekaligus berfungsi sebagai forum tawajjuh, serta silaturrahmi antara para ikhwan. Kegiatan ini pula biasanya juga disebut mujahadah, karena memang upacara dan kegiatan ini memang dimaksudkan untuk meujahadah (bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual para salik), baik dengan melakukan dzikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan bimbingan ruhaniyah oleh mursyid.[15]

G.    Kesimpulan
Tarekat adalah awal kegiatan tasawuf, yaitu proses pengamalan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah, yang disebut syariat. Tarekat dan syariat disebut tahapan al-Hidayah dan al-Bidayah. Sedangkan tahapan selanjutnya adalah al-Nihayah, yaitu tahapan hakekat. Disinilah dikatakan bahwa penganut aliran tasawuf salafi yaitu tasawuf tidak sampai melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada ma’rifah atau ittihat dan semacamnya, karena hal tersebut harus melakukan upaya pencapaian fana’ dan baqa’, sebagai ciri tasawuf Irfani (tasawuf Sunni dan Falsafi).
Pada dasarnya munculnya tarekat adanya gerakan yang dimotivasi oleh tujuan pencapaian tingkat spritual yang tinggi, dengan kata lain adalah suatu metode atau jalan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan. Dalam rangka mencapai tujuan dengan metode taarekat seorang (salik) penempuh jalan sufi harus mengenal dirinya sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh sabda Nabi yang cukup populer di kalangan kaum Muslimin yang berbunyi “man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabahu” yang artinya; barang siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.
Secara historis, munculnya kehidupan sufistik pada dasarnya merupakan refleksi pemaknaan ajaran orientis Islam dengan tujuan utama makrifat kepada Allah. Selain itu, ketika kondisi objektif sosial politik umat mengalami degradasi nilai dan penyimpangan dari ajaran normatif Islam, kaum sufi pun memberikan respon dan perlawanan spiritual. Dengan demikian, ajaran sufi yang dikesankan oleh sementara orang sebagai sikap mengabaikan urusan keduaniawian, termasuk urusan politik, mempunyai potensi yang bersifat sosial politis. Karena gerakan sufisme mengandung potensi sebagai gerakan moral, sebagai realisasi ajaran amar ma’ruf wa nahy an al-munkar, memerintah yang baik dan mencegah kemungkaran. Ini merupakan tanggung jawab seorang Muslim dalam menghadapi kondisi objektif yang tidak mendukung bagi pelaksanaan ajaran Islam. Perlawanan spiritual dan gerakan moral itu pada momen tertentu menjadi basis gerakan protes dan gerakan politik.
Nama tarekat Al-Qadiriyah ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar legendaris, dengan sedemikian banyak sebutan kehormatan, antara lain: Qurub al-auliya’, sahib al-karamat, dan Sultan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyidin Abd al-Qadir al-Jailani.
Sedangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang univikasi dari dua tarekat besar, yaitu tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri, dan berbeda dengan kedua tarekat induknya.
  
 H. DAFTAR PUSTAKA

Aqib, Kharisuddin, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005).
Aqib, Kharisuddin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2004)
Burhanuddin, Jajat dan Baedowi, Ahmad, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Dhahir, Ilahi, Ihsan, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, (Jakarta, Darul Falah, 2001).
Huda, Nor, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007).
Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010).
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Shodiq, Ja’far, Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Sujuthi, Mahmud, Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Yogyakarta, Galang Press, 2001).
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).



[1] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), hlm, 281.
[2] Ja’far Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 38-39.
[3] Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010), hlm, 205.
[4] Ja’far Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 41-42.
[5] Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm, 276-277.
[6] Mahmud Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Yogyakarta, Galang Press, 2001), hlm, 207.
[7] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), hlm, 289.
[8] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), hlm, 306.
[9] Ihsan Ilahi Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, (Jakarta, Darul Falah, 2001), hlm, 285-286.
[10] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, Universitas Indonesia, 2008), hlm, 33.
[11] Kharisuddin Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 33.
[12] Kharisuddin Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 34-35.
[13] Kharisuddin Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 43.
[14] Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm, 280.
[15] Kharisuddin Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, (Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2004), hlm, 97-121. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar