TAREKAT AL-QADIRIYAH
A.
Pengantar
Salah satu ciri mencolok dalam
perkembangan Islam di Melayu-Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat di
kalangan Muslim. Karena Islamisasi Indonesia dimulai ketika tasawuf menjadi
corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Dengan ini, muncullah ikatan ketarekatan
yang dalam bahasa Inggris disebut dengan sufi orders, secara relatif
meupakan klimaks dari perkembangan pengamalan dan praktek ajaran tasawuf. Namun
pada abad ke-13, tarekat sedang ada di puncak kejayaannya.

Pada abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat
adalah sebuah metode psikologi moral untuk bimbingan praktis bagi
individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Sesudah abad ke-11 M, tarekat
menjadi sistem keseluruhan dari tatacara latihan spiritual tertentu bagi
kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan Muslim. Setelah itu,
banyaklah bermunculan tarekat-tarekat yang meperluas ajarannya ke berbagai umat
dunia.
Munculnya ikatan-ikatan ketarekatan
ini telah menyebabkan perubahan besar dalam pengamalan tasawuf. Tasawuf yang
semula merupakan gerakan individual dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan
elite keruhanian, berubah menjadi gerakan massal dari kaum Muslimin.
B.
Pengertian dan Sejarah Perkembangan Tarekat
Sejarah
bahasa tarekat berasal dari bahasa Arab tariqah yang berarti al-Khat
fi al-Syai’ (garis sesuatu), al-Shirah (jalan). Tarekat juga berarti
jalan atau cara tertentu untuk mencapai tingkatan-tingkatan dalam (maqamat)
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Melalui cara ini seorang penganut ajaran
tarekat (sufi) dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata (fana fi
al-Haq). Dengan demikian tarekat berarti melakukan olah batin, dengan
latihan-latihan spiritual (riyadloh) dan perjuangan yang sungguh-sungguh
(mujahadah) di bidang olah kerohanian.[2]
Pengertian
tarekat sebelum abad VI H hanya dapat diartikan sebagai suatu aliran dalam
suatu ajaran tasawuf, misalnya dikenal dengan aliran tasawuf Abu Yazid
al-Bustami yang disebut tariqah al-Tayfuriyyah, aliran tasawuf al-Junayd
al-Baghdadi yang disebut dengan tariqah al-Junaydiyah, aliran tasawuf
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Salim al-Saghir yang disebut tariqah
al-Salimiyah dan aliran tasawuf al-Ghazali yang disebut tariqah
al-Ghaziliyyah, tetapi pengertian tersebut tidak dapat disamakan dengan
pengertian tarekat setelah timbulnya aliran tarekat pada abad-abad
perkembangannya, yang diawali dengan abad VI H.[3]
Awal
permulaannya tarekat dengan ajaran-ajarannya dilalui oleh sufi secara
individual. Akan tetapi seiring dengan perjalanannya waktu yang terus berputar
tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun secara kolektif.
Kemudian dalam perjalanan yang lebih lanjut kumpulan-kumpulan orang ini
mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan
peraturan-peraturan sendiri-sendiri. Diantaranya tarekat dalam sejarah adalah
tarekat Qadiriyah di Baghdad Iraq. Tarekat ini dinisbahkan
(dihubungkan) dengan nama pendirinya yaitu Muhyidin Abdul Qadir Ibn Abi Shalih
Janki Daousti (W. 1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa’iyah di
Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (W. 1182 M), tarekat Sadzaliyah
di Maroko yang didirikan oleh Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Sadzily (W.
1228 M). di Mesir berdiri tarekat Badawiyyah atau Ahmadiyah yang
didirikan oleh Syekh Ahmad Badawi (W. 1276 M). sementara di Asia Tengah berdiri
tarekat al-Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad
Baha’uddin al-Naqsyabandi (W. 1317 M). selain itu Bektasyiah di Turki, al-Khalwatiyyah
di Persia, al-Syanusiyyah di Libya, al-Syatariyyah di India, al-Tijjaniyah
di Afrika Utara.[4]
Adapun tata cara pelaksanaan tarekat antara lain:
1.
Zikir,
yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan
namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan
dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
2.
Ratib,
yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
3.
Musik,
yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan
bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabbana.
4. Menari,
yatiu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu
untuk menimbulkan kekhidmatan.
5.
Bernafas,
yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.[5]
Pada
mulanya merupakan kumpulan orang-orang sufi yang berdiri secara spontan dan
tanpa ikatan, berkembang menjadi organisasi sufi populer yang mempunyai
peraturan-peraturan tertentu, sehingga berkembang menjadi 200 buah tarekat yang
mempunyai jaringan yang cukup luas. Oleh karenanya perkembangan tarekat ini
tidak semata-mata bisa diterangkan dari sudut pandang agama semata, fenomena
perkembangan tarekat yang ada beberapa perspektif yang bisa digunakan dalam
menerangkan fenomena tarekat yaitu agama, sosial, dan juga politik.
Dengan
berkembangnya tarekat, muncullah dugaan ketidaksenangan gerakan para Syekh
tarekat dengan ulama-ulama fiqh ketika itu semata-mata karena alasan keagamaan
mendapat relevasinya. Hal ini terjadi karena kaum ulama terkait hubungan intim
dengan Negara dalam persoalan hukum-hukum yang diterapkan di tengah masyarakat.
Perluasan tarekat dengan berbagai doktrin membuat gerakan spiritual yang
mengajarkan kepada pengikutnya untuk menempuh berbagai tingkatan psikologis (maqamat)
dalam keimanan dan pengamalan ajaran Islam untuk mencapai pengetahuan tentang
Tuhan dari satu tingkatan ke tingkatan berikutnya yang lebih tinggi, sampai
akhirnya mencapai realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi. Hal ini
berfungsi sebagai jalan seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
Ada
beberapa tuduhan bahwa tarekat adalah sebagai perilaku bid’ah, khurafat,
tahayyul, musyrik, dan pelestari sinkritik di Indonesia. Hal ini tampaknya
sangat beerpengaruh terhadap kondisi psikologis pengikut tarekat. Sementara
kelompok tradisional dengan berbagai kelebihan dan kekurangan tampil “membela”
kelompok tarekat ini. Dengan kejadian ini, tarekat membuat federasi dan
bernaung dalam “payung” NU, secara otomatis menjadi pilar penguat NU baik
secara organisatoris maupun secara politis, tarekat banyak “dilirik” oleh
beberapa kalangan yang mempunyai kepentingan dengan kekuasaan, terlebih dengan
pihak yang sedang berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Jenderal A.H.
Nasution.
Masuknya
KH. Musta’in Romly ke dalam partai
Golkar dan sekaligus menjadi juru kampanye “partai” tersebut dalam Pemilihan
Umum tahun 1977. Sebagaimana diketahui Golkar adalah kendaraan rezim Orde Baru
yang menyokong kekuasaannya selam kurang lebih 32 tahun lamanya di Indonesia,
sampai akhirnya pada tahun 1998 kekuatan Mahasiswa didukung oleh elemen
masyarakat lainnya, dan dengan slogan reformasinya “memaksa” rezim ini
mengakhiri kekuasaannya dengan ditandai turunnya Soeharto dari jabatannya
sebagai presiden.
C.
Perkembangan Tarekat Al-Qadiriyah di Indonesia
Sebagai
sistem ajaran keagamaan yang lengkap dan utuh, Islam memberi tempat kepada
jenis penghayatan keagamaan eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniah)
sekaligus. Kaum syariah, yaitu mereka yang lebih menitik beratkan perhatian
kepada segi-segi syariat atau hukum sering juga disebut kaum lahiri. Sedangkan
kaum thariqah, yaitu mereka yang berkecipung dalam amalan-amalan tarekat,
dinamakan kaum batini. Antara kedua orientasi penghayatan keagamaan itu pernah
terjadi ketegangan dan polemik, dan saling menuduh bahwa lawannya adalah
penyeleweng dari agama dan sesat.[6]
Sama
seperti halnya tarekat Qadiriyah, karena tarekat ini merupakan tarekat pertama
yang masuk ke Nusantara. Melalui syair-syair Hamzah Fansuri, Martin van
Bruinessen berkesimpulan bahwa Hamzah merupakan orang Melayu pertama yang
menganut tarekat ini. Hamzah mendapatkan ijazah untuk mengajarkan
tarekat Qadiriyah ketika bermukim di
Ayuthia, ibu kota Muangthai. Pendapat lain mengatakan bahwa beliau mendapatkan ijazah
di Baghdad, yakni pada waktu berziarah ke makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani
di Baghdad.[7]
Tarekat
ini sempat tertahan di Aceh sepeninggal Hamzah Fansuri. Indikasinya, ketika
Syaikh Yusuf Makassar melaukan perjalanan dari Sulawesi ke Mekkah pada 1645,
dia singgah dulu ke Aceh. Di kota ini ia memasukkan tarekat Qadiriyah. Di Jawa
sudah sejak lama terdapat pengaruh. Hal ini bisa dilihat dari tradisi pembacaan
Manaqib abd al-qadir yang sejak lama telah menjadi bagian tradisi
keberagamaan masyarakat Jawa. Manaqib ini dibaca dengan tujuan agar
mendapatkan berkah karena kekeramatan sang syaikh. Di Cirebon dan Banten,
paling tidak abad ke-17, masuknya ajaran tarekat ini. Karena nama Abdul Qadir
sangat populer di Indonesia, tterutama di Jawa, mungkin saja wirid-wirid yang
dipakai dalam berbagai aliran kesaktian dan kekebalan berasal dari tarekat ini.
Seperti permainan debus di Banten yang dihubungkan dengan tarekat Qadiriyah,
maupun pemujaan terhadap Syaikh Abdul Qadir dalam bentuk bacaan manaqib
yang telah berkembang di luar kalangan tarekat itu sendiri.
Tarekat
ini berkembang sehingga membuat cabang baru karena seorang mursyid
diberi wewenang untuk mengembangkan amalan wirid tersendiri dan tidak lagi
terkait dengan metode riyadhah yang diberikan oleh mursyid terdahulu.
Mursyid dan pengikutnya memakai namanya sendiri dalam sebuah cabang tarekat
sebagai identitas tarekat yang dikembangkannya. Seperti tarekat
Qadiriyah-Khalwatiyah dan Qadiriyah-Naqsyabandiyah.
Selain
di Jawa, Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga berkembang di beberapa daerah di luar
Jawa. Di Palembang terdapat Syaikh khalifah tarekat yaitu Muhammad Ma’ruf bin Abdullah
Khatib, Abah Anom dari Suryalaya juga menunjuk wakil talqin-nya di Palembang,
yaitu Drs. H. Ghalib pada 1994 dan Dr. H. Syaikh H. Abd al-Malik Jabbar yang ditunjuk pada 1998. Di Lampung,
ada H. Ahmad Lampung atau Muhammad Shalih Lampung. Wakil talqin untuk
daerah Sumatera Utara adalah Syaikh Abd al-Latif Deli yang ditunjuk pada 1994.
Di Kalimantan adalah Syaikh Yasin di Mempawah.[8]
D.
Asal-Usul Tariqat Al-Qadiriyah
Tariqat
ini dikenal di Negara-negara Afrika, di antaranya Negara Arab, India, dan
Pakistan. Tariqat Al-Qadiriyah diatas namakan kepada Abdul Qadir Al-Jaili atau
Al-Jailani. Abdul Qadir dinisbatkan kepada Jalil, sebuah daerah terbelakang
Tibristan. Ada yang mengakatan daerah tersebut adalah Jailan dan Kailan. Konon
ia lahir pada tahun 470 H, yang lahir dirumah Abu Shalih Abdullah bin Janki
Dusti di Jilan (wilayah iraq sekarang) dan meninggal pada di Baghdad pada tahun
561. Ibunya bernama Ummu Al-Khair Fathimah binti Syaikh Abdullah Ash-Shamai
yang zuhud. Ketika mengandungnya, ibunya berumur 60 tahun.[9]
Beliau
muali belajar di Baghdad. Ia berguru pada para Syaikh, para iamam, para
penunjuk jalan, dan ulama-ulama umat. Ia sibuk mempelajari Al-Qur’an dengan
baik dan pengetahuannya yang mendalam. Ia belajar fiqh kepada Abu Ghalib
Muhammad bin Al-Hasan Al-Baqilani. Ia belajar sastra kepada Abu Zakaria
At-Tibrizi. Ia bergaul dengan syaikh yang arif dan panutan orang-orang sufi
yaitu Abu Al-Khair Hamad bin Muslim Ad-Dibagh dan mengambil ilmu sufi darinya
serta santun terhadapnya.
Tadinya
beliau bermadzhab syafi’i, kemudian melihad Ahmad bin Hambal yang mempunyai
madzhab. Beliau meminta kepada Abd Qadir untuk mempelajari madzhabnya. Namun
ketika itu, Madzhab Hambali tidak begitu berpengaruh di Baghdad dan nyaris
hilang. Kemudian Abd Qadir mempelajarinya hingga ia menjadi imam para pengikut
madzhab Hambali. Dalam tariqat Qadiriyah ada tiga pokok ajaran yang di
kedepankan yaitu:
1.
Istighatsah. Istilah ini berarti permohonan, atau semakna dengan doa. Tapi
yang dimasksud adalah doa bersama yang tidak mempergunakan kalimat-kalimat doa
secara langsung, melainkan mempergunakan bacaan-bacaan ratib tertentu.
2.
Manaqib. Istilah ini merupakan biografi seorang sufi besar atau kekasih
Allah (waliyullah) seperti Syaikh Abd Qadir al-Jailani atau Syekh Bahauddin al-Naqsyabandiyah
yang diyakini oleh para pengikut tarekat memiliki spiritual (barakah).
Bacaan manaqib seringkali dijadikan sebagai amalan, yang bertujuan
terkabulnya hajat-hajat tertentu.
3.
Ratib. Istilah ini merupakan serangkaian amalan yang biasanya harus diwiridkan
oleh para pengamalan. Ratib yang diwiridkan berupa kumpulan dan beberapa
potongan ayat, atau beberapa surat pendek, yang digabung dengan bacaan-bacaan
lain seperti istighfar, tasbih, shalawat, al-asma’ al-husna, dan kalimat
thayyibah dengan suatu rumusan dan komposisi (jumlah bacaan
masing-masing) yang telah ditentukan dalam suatu paket amalan khusus.[10]
E.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Tariqat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat hasil dari penggabungan dua
tarekat besar, yaitu Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Naqsyabandiyah. Perbedaan
itu terutama terdapat pada bentuk-bentuk riyadhah dan ritualnya.[11] Sebelum
kita mengkaji tarekat ini, setidaknya kita harus tau tentang kedua tarekat ini.
Tarekat
Qadiriyah dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris, Syekh
Muhyidin Abd Qadir al-Jailani, yang mendapat banyak sebutan kehormatan seperti
Wali Kutub (Qutb al-Auliya’), Shahib al-Karamat, dan Sulthan al-Auliya’.
Beliau diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat Qadiriyah. Beliau seorang
sufi besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian para sufi
dan ulama sesudahnya. Beliau juga dikenal seorang ulama sunni yang bermadzhab
Hambali yang cukup produktif dan menulis beberapa karyanya adalah al-Ghunyah li
Thabili Thariq al-Haq, kitab ini menjadi rujukan dan memuat beberapa dimensi
keislaman, seperti fiqh, tauhid, ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf. Dan beliau
dikenal seorang teolog (ahli ilmu kalam), seorang mujtahid dalam fiqh dan juga
seorang orator yang piawai.
Beliau
memimpin ribath (pemondokan para sufi) dan madrasahnya di Baghdad.
Setelah ia wafat, kepemimpinannya diteruskan oleh puteranya yang bernama Abd
Wahab, namun setelah ia wafat diteruskan oleh puteranya yang bernama Abd Salam.
Madrasah dan ribath secara turun temurun tetap berada di bawah pengasuh
keturunan Syekh Abd Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota
Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Halagu Khan.
Serangan tersebut menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd Qadir al-Jailani,
serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribathnya di kota Baghdad. Beberapa
murid beliau semenjak masih hidup sudah mengajarkan metode dan ajaran tasawuf
sang guru ke berbagai negeri Islam. Alhasil pada abad 12-13 M tarekat Qadiriyah
telah tersebar dan menjadi tarekat yang tersebar di dunia Islam, baik di Barat
maupun di Timur. Dan tarekat ini masih menjadi tarekat yang terbesar di dunia
Islam sampai sekarang ini (abad XX), dengan berjuta-juta pengikut, seperti di
Yaman, Mesir, India, Turki, Syiria, dan Afrika.[12]
Sedangkan
tarekat Naqsabandiyah dinisbatkan kepada seorang sufi besar Muhammad ibn
Muhammad Baha’uddin al-Uwaisi al-Bukhori al-Naqsyabandi. Beliau dilahirkan di
desa Hinduan yang terletak beberapa kilo meter dari kota Bukhara (sekarang kota
Yugolavia), dab beliau wafat dan di makamkan disana juga. Tarekat ini biasa
disebut dengan tarekat Khawajakiyah yang dinisbatkan kepada Abd Khaliq
Ghujdawani. Ia seorang sufi dan mursyid dan juga kakek spiritual al-Naqsyabandi
yang ke enam yang berada di daaerah Asia Tengah. Tarekat ini berperan penting
dalam kerajaan Timurid, dan hampir seluruh wilayah Asia Tengah “dikuasai” oleh
tarekat ini. Tarekat ini mulai masuk ke India diperkirakan sejak masa
pemerintahan Babur (pendiri kerajaan Mughal di India), dan mulai masuk Mekkah
melalui India yang dibawa oleh Tajuddin ibn Zakaria. Pada abad ke-19 memiliki
pusat penyebaran di kota suci ini.
Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Suryala didirikan oleh seorang sufi dan Syekh besar
masjid al-Haram di Mekkah, Ahmad ibn Abd Ghaffar al-Sambasi al-Jawi. Ia wafat
di Mekkah pada tahun 1878 M, ia seorang ulama besar dari Mekkah dari Indonesia
yang tinggal akhir hayatnya di Mekkah. Beliau seorang mursyid tarekat
Qadiriyah, namun ada yang menyebut bahwa beliau juga seorang mursyid dalam
tarekat Naqsyabandiyah. Inti ajaran ini mengajarkan kepada murid-muridnya,
terutama berasal dari Indonesia.
Penggabungan
inti ajaran kedua tarekat ini, didasarkan pada pertimbangan logis dan strategis
bahwa inti kedua ajaran itu saling melengkapi, terutama dalam hal dzikir
dan metodenya. Tarekat Qadiriyah menekankan pada dzikir jahr (dzikir
dengan bersuara), sedangkan tarekat Naqsyabandiyah menekankan kepada model dzikir
sirr (dzikir dalam hati). Penggabungan tersebut diharapkan dapat membuat
pada muridnya mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi dengan cara yang
lebih efktif dan efesien.
Mengamalkan
ajaran tersebut, bisa membuka kesadaran seseorang untuk dapat mengamalkan syariat
dengan baik, meskipun tidak mengerti banyak tentang ilmu Keislaman. “Mengenal
dan cinta kepada Allah adalah kunci kebahagian hidup. Mengenal Allah adalah
permulaan orang beragama”, demikian keyakinan para sufi. Kebenaran logika ini
telah terbukti secara empiris bahwa orang-orang yang telah diperkenalkan dengan
Tuhan dan diajari (ditalqin) menyebut Asma Allah berubah menjadi manusia yang
berkepribadian baik.[13]
Contohnya seorang sufi tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiya yaitu Abah Anom yang
bukan dikenal sebagai ulama yang mengajarkan ilmu-ilmu Islam saja, tetapi ia
juga dipercayai dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kabar tentang kemampuan
beliau tersiar ke berbagai tempat, sehingga makin hari para peminta obat
semakin bertambah.
Melalui
berita tersebut baik secara lisan maupun melalui media lainnya, pasien-pasien
yang datang berasal dari kelompok sosial yang semakin beragam dengan masalah
penyakit yang semakin bervariasi pula. Beliau bukan hanya bisa menyembuhkan
penyakit seseorang yang sakit secara fisik saja, akan tetapi juga di antaranya
orang tua yang membawa anak-anak remaja pecandu meinuman keras, narkotika, dan
obat-obatan terlarang lainnyayang termasuk kelompok obat-obatan terlarang
lainnya yang termasuk kelompok obat-obatan psikotropika. Para penderita inipun
tidak ditolak. Dengan talaten beliau merawat meraka dengan cara memandikannya
pada dini hari, mengajak shalat tahajjud, berdzikir, dan cara pengobatan
lainnya. Diakui oleh beliau bahwa praktek tersebut bersumber dari ajara Tarekat
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.[14]
F.
Upaya Upacara-upacara Ritual
Yang
dimaksud dengan upacara-uapacara ritual adalah beberapa kegiatan yang
“disakralkan”, dan mempunyai tatacara tertentu (upacara dan prosesi yang
khidmat), dan membutuhkan keterlibatan bersama antara murid dan mursyid. Ada
beberapa bentuk ritual dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sebagai sebuah
jami’ah, yaitu:
1.
Pembaiatan
Pembaiatan adalah sebuag prosesi perjanjian, antara seorang murid
terhadap mursyid. Seorang murid menyerahkan dirinya untuk dibina dan dibimbing
dalam rangka membersihkan jiwanya, dan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Dan
selanjutnya seorang mursyid menerimanya dengan mengajarkan dzikir (talqin
al-dzikir), kepadanya
Uapacra tersebut merupakan langkah awal yang dilalui oleh salik,
khususnya seorang yang memasuki jalan hidup kesufian melalui tarekat. Menurut
para ahli tarekat “bai’at” merupakan syarat sahnya seuatu perjalanan spiritual
(suluk).
2.
Manaqiban
Manaqib memiliki aspek
ceremonial manaqiban juga memiliki aspek mistikal. Kata manaqiban
berasal dari kata manaqib (bahasa Arab) yang berarti biografi ditambah
dengan akhiran: -an, menjadi manaqiban sebagai istilah yang berarti
kegiatan pembacaan manaqib (biografi), syekh Abd Qadir al-Jailani,
pendiri tarekat Qadiriyah, dan seorang wali yang sangat legendaris di
Indonesia.
Kalau dilihat secara ilmiah kitab manaqib itu memang tidak
istimewa. Tetapi maknanya dalam kehidupan penganut tarekat ini, manaqiban
merupakan kegiatan ritual yang tidak kalah sakralnya dengan ritus-ritus yang
lain. Bahkan manaqiban tidak hanya dikerjakan oleh para oleh masyarakat
santri pedesaan di Pulau Jawa dan Madura.
3.
Khataman
Tujuan khataman merupakan kegiatan individual, yakni amalan
tertentu yang harus dikerjakan oleh seorang murid yang telah mengkhatamkan tarbiyat
dzikir lathaif. Dan khataman sebagai suatu ritus (upacara sakral)
dilakukan dalam rangka tasyakuran atas keberhasilan seorang murid dalam
melaksanakan sejumlah beban dan kewajiban dalam semua tingkatan dzikir
lathaif.
Khataman merupakan upacara ritual yang “resmi” lengkap dan rutin. Kegiatan
ini dipimpin oleh mursyid atau asisten mursyid (khalifah kubra). Sehingga forum
khataman sekaligus berfungsi sebagai forum tawajjuh, serta silaturrahmi
antara para ikhwan. Kegiatan ini pula biasanya juga disebut mujahadah,
karena memang upacara dan kegiatan ini memang dimaksudkan untuk meujahadah
(bersungguh-sungguh dalam meningkatkan kualitas spiritual para salik), baik
dengan melakukan dzikir dan wirid, maupun dengan pengajian dan
bimbingan ruhaniyah oleh mursyid.[15]
G.
Kesimpulan
Tarekat adalah awal kegiatan tasawuf, yaitu proses pengamalan
perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah, yang disebut syariat.
Tarekat dan syariat disebut tahapan al-Hidayah dan al-Bidayah.
Sedangkan tahapan selanjutnya adalah al-Nihayah, yaitu tahapan hakekat.
Disinilah dikatakan bahwa penganut aliran tasawuf salafi yaitu tasawuf tidak
sampai melanjutkan perjalanan spiritualnya kepada ma’rifah atau ittihat
dan semacamnya, karena hal tersebut harus melakukan upaya pencapaian fana’ dan
baqa’, sebagai ciri tasawuf Irfani (tasawuf Sunni dan Falsafi).
Pada dasarnya munculnya tarekat adanya gerakan yang dimotivasi oleh
tujuan pencapaian tingkat spritual yang tinggi, dengan kata lain adalah suatu metode
atau jalan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan. Dalam
rangka mencapai tujuan dengan metode taarekat seorang (salik) penempuh
jalan sufi harus mengenal dirinya sendiri sebagaimana yang diajarkan oleh sabda
Nabi yang cukup populer di kalangan kaum Muslimin yang berbunyi “man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa Rabahu” yang artinya; barang siapa yang mengenal
dirinya maka akan mengenal Tuhannya.
Secara historis, munculnya kehidupan sufistik pada dasarnya
merupakan refleksi pemaknaan ajaran orientis Islam dengan tujuan utama makrifat
kepada Allah. Selain itu, ketika kondisi objektif sosial politik umat mengalami
degradasi nilai dan penyimpangan dari ajaran normatif Islam, kaum sufi pun
memberikan respon dan perlawanan spiritual. Dengan demikian, ajaran sufi yang
dikesankan oleh sementara orang sebagai sikap mengabaikan urusan keduaniawian,
termasuk urusan politik, mempunyai potensi yang bersifat sosial politis. Karena
gerakan sufisme mengandung potensi sebagai gerakan moral, sebagai realisasi
ajaran amar ma’ruf wa nahy an al-munkar, memerintah yang baik dan
mencegah kemungkaran. Ini merupakan tanggung jawab seorang Muslim dalam
menghadapi kondisi objektif yang tidak mendukung bagi pelaksanaan ajaran Islam.
Perlawanan spiritual dan gerakan moral itu pada momen tertentu menjadi basis
gerakan protes dan gerakan politik.
Nama tarekat Al-Qadiriyah ini dinisbatkan kepada seorang sufi besar
legendaris, dengan sedemikian banyak sebutan kehormatan, antara lain: Qurub
al-auliya’, sahib al-karamat, dan Sultan al-auliya’. Ia diyakini
sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini. Sufi besar itu adalah Syekh Muhyidin
Abd al-Qadir al-Jailani.
Sedangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat
yang univikasi dari dua tarekat besar, yaitu tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah. Penggabungan kedua tarekat tersebut kemudian dimodifikasi
sedemikian rupa, sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri, dan berbeda
dengan kedua tarekat induknya.
H. DAFTAR
PUSTAKA
Aqib, Kharisuddin, Inabah “Jalan
Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa, (Surabaya, PT. Bina Ilmu,
2005).
Aqib,
Kharisuddin, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2004)
Burhanuddin, Jajat dan Baedowi, Ahmad,
Transformasi Otoritas Keagamaan, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,
2003).
Dhahir, Ilahi, Ihsan, Darah Hitam
Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, (Jakarta, Darul Falah, 2001).
Huda, Nor, Islam Nusantara
Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media,
2007).
Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf II,
(Jakarta, Kalam Mulia, 2010).
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf,
(Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Shodiq, Ja’far, Pertemuan Antara
Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Sujuthi, Mahmud, Politik Tarekat
Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Yogyakarta, Galang Press, 2001).
Nata, Abuddin, Akhlaq Tasawuf,
(Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
[1] Nor Huda, Islam
Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2007), hlm, 281.
[2] Ja’far Shodiq, Pertemuan
Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 38-39.
[3] Mahjuddin, Akhlaq
Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010), hlm, 205.
[4] Ja’far Shodiq, Pertemuan
Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 41-42.
[5] Abuddin Nata, Akhlaq
Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm,
276-277.
[6] Mahmud Sujuthi,
Politik Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah, (Yogyakarta, Galang Press,
2001), hlm, 207.
[7] Nor Huda, Islam
Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz
Media, 2007), hlm, 289.
[8] Nor Huda, Islam
Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz
Media, 2007), hlm, 306.
[9] Ihsan Ilahi
Dhahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, (Jakarta,
Darul Falah, 2001), hlm, 285-286.
[10] Harun Nasution,
Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta, Universitas
Indonesia, 2008), hlm, 33.
[11] Kharisuddin
Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 33.
[12] Kharisuddin
Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 34-35.
[13] Kharisuddin
Aqib, Inabah “Jalan Kembali” dari Narkoba, Stres dan Kehampaan Jiwa,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2005), hlm, 43.
[14] Jajat
Burhanuddin dan Ahmad Baedowi, Transformasi Otoritas Keagamaan,
(Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm, 280.
[15] Kharisuddin
Aqib, Al-Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah,
(Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2004), hlm, 97-121.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar