Rabu, 20 Juni 2012

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


PROBLEM PENDIDIKAN DAN AL-TERNATIF FILOSOFIS
A.    Pengantar
Terdapat Kritik dan keluhan yang sering di lontarkan masyarakat serta pihak orag tua murid berkenaan dengan pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi, dimana mereka mengatakan bahwa pendidikan Agama belum mampu mengantarkan peserta didik untuk dapat memahami dan mengamalkan ajaran agamanya dengan baik dan benar. Sebagai contoh yang sering dikemukakan, anak-anak beragama islam, yang sejak disekolah dasar telah memperoleh pedidikan agama setelah tamat ditingkat menengah banyak diantaranya yang belum mampu membaca kitab suci Al-Qur’an dengan baik dan benar, apalagi menulis dan enerjemahkan isinya.
Demikian pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif) juga dalam hal pembentukan prilaku (aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi anak dalam kehidupan sehari-hari.
Tingginya frekwensi perkelahian sesama pelajar di kota-kota besar, kurangnya rasa hormat sang anak atau murid kepada guru, bahkan ada yang memukul guru kalau ia tidak naik kelas, akrabnya sebagian anak muda dengan obat-obat perangsang dan terlarang seperti narkotika, ecstassy adanya pergaulan bebas dan “ngumpet sekamar” pelajar putra dan putri atau “kumpul kebo” dikalangan (segelintir) mahasiswa atau generasi muda, sering diangkat oleh sebagian anggota masyarakat dan orang tua sebagai indikasi ketidak berhasilan pendidikan agama disekolah dan perguruan tinggi.
Di mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, system atau metodologi, alokasi waktu atau ketidak mampuan pihak guru agama?. Maka dari itu perlu kiranya kami menulis sebuah makalah yang berjudul “Problem Pendidikan Islam  dan Alternatif Solusi Filosofis”.
Secara konsep memang seharusnya peranan pendidikan agama Islam sangat berpengaruh terhadap permasalahan ini. Tetapi dalam praktek cukup sulit hal itu dilaksanakan. Mengapa demikian karena tindakan manusia dalam praktek kehidupan sehari-hari kurang baik. Hal ini perlu ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Ini yang menyangkut pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan nilai. Berdasarkan nilai tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode belajar, dan sebagainya.[1] Hal inilah yang membuat munculnya problem di dunia pendidikan, karena pada hakikatnya pendidikan merupakan suatu amanah dari Tuhan Yang Maha Esa.
 
B.    Pengertian Pendidikan Islam
Secara bahasa pendidikan Islam dikaitkan dengan kata tarbiyah Islamiyah. Adapun kata tarbiyah berasal dari rabba-yurabbi, yang artinya memperbaiki sesuatu dan meluruskannya, atau menyampaikan sesuatu untuk mencapai kesempurnaan. Adapun kata tarbiyah yang asalnya rabba-yarbu memiliki arti berkembang atau bertambah. Sedangkan menurut istilah pendidikan Islam adalah kumpulan metode-metode dan sarana-sarana baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, akal, sosial, keilmuan, dan aplikasi yang digunakan oleh ulama dan pendidik untuk pendidikan dan pengembangan individu dalam urusan masyarakat dan kemanusian untuk menuju taqwa kepada Allah di dalam hatinya, dan merasa takut di dalam jiwanya.[2]
Pendidikan Islam tidak terlepas dari dua sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis, sehingga segala bentuk isi serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan Islam tersebut harus berlandaskan pada dua sumber itu. Dengan demikian Arti pendidikan Islam sendiri adalah suatu sistem yang didalamnya terkandung nilai-nilai ajaran Islam. Sehingga disetiap menjalankan hidup selalu dilandaskan pada nilai-nilai islam tersebut[3].
Dari beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia. Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.

C.     Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. Sedangkan tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan pendidikan Islam. Menurut pemikiran Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasi kepada tiga, yaitu: 1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; 2) Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlaq karimah; 3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[4]
Berbeda dengan pendapatnya Drs. Ahmad D. marimba yang mengemukakan dua macam tujuan yaitu:
1.  Tujuan sementara. Tujuan sementara adalah sasaran yang harus dicapai oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam. Maksudnya adalah tercapainya berbagai kemampuan seperti kecakapan jasmani, pengetahuan membaca, menulis dll.
2.    Tujuan akhir. Tujuan akhir adalah terwujudnya kepribadian muslim. Yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Contohnya: cara-cara berbuat dan berbicara (aspek kejasmaniahan), cara berfikir, maksudnya berupa pendirian atau pandangan seseorang dalam menghadapi seeorang atau suatu hal (aspek kejiwaan), nilai-nilai yang meresap di dalam kepribadain yang mengarahkan dan memberi corak seluruh kepribadain individu (aspek kerohanian yang luhur).[5]

Namun para filosof dan pendidik menyebutkan tujuan dan fungsi utama dari pendidikan adalah untuk melatih pikiran demi mengembangkan kecerdasan. Karena dengan melatih pikiran kita dari yang kecil, sampai kita mengerti apa yang dimaksud dengan “pikiran”. Disisi lain arti dan teori disiplin mental bertujuan menumbuhkan bahan-bahan filsafat pendidikan agama Islam agar lebih baik atau buruk sehingga mempengaruhi pembelajaran.[6]
Sehubungan dari berbagai pemikiran di atas, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan yang dilakukan. Karena dalam pendidikan agama Islam yang penting ialah menanamkan pengertian pengetahuan atau kesadaran tentang agama.[7] Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.

D.    Problem Pendidikan Islam.
Masalah keilmuan Islam secara historis prespective dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekonstruksi pemikiran Islam secara Umum dan pemikiran pendidikan Islam secara secara khusus. Arus besar itu adalah earisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya positivisme kedalam metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi juga memberikan akses negatif terhadap bangunan epistimologi.[8]
Adagiun “pintu ijtihad tertutup”, pemikiran menjadi geologi atau mengalami proses ortodoksi, yaitu terjadinya pengkristalan pemikiran Islam (taqdis al-Afkar al-Din). Dampak dari stagnasi membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama hanya menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi. Permasalahan inilah yang membuat perkembangan pendidikan Islam menurun, hingga sampai ke anak cucunya.
Perbincangan tentang tantangan pendidikan Islam tidak akan pernah bisa dilepaskan dengan prediksi tentang kondisi, situasi, setting sosial, dan terutama problem-problem yang diperkirakan akan dihadapi oleh masyarakat masa depan yang termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan. Sehubungan dengan kondisi faktual kini, dalam memandang masa depan pendidikan Islam, sebagian pakar ada yang merasa optimis dan sebagian merasa pesimis.
Terdapat beberapa problem yang terjadi dalam pendidikan islam yang terjadi di masyarakat. Tentunya problem tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1.    Faktor internal
a)      Kurangnya semangat belajar tentang agama Islam.
b)      Islam dianggap pelajaran kedua oleh kebanyakan anak didik.
2.    Faktor eksternal
Kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum sangatlah banyak. Contohnya keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama. Hal ini memerlukan pemikiran agar tercapainya tujuan pengajaran dan pendidikan agama. Disinilah fungsi strategi pembelajaran agama memberi makna yang besar terhadap guru telah mempelajarinya secara baik, terutama berkenaan dengan desain dan rancangan pengajaran. Karena sifat pengajaran lebih banyak menekankan pada segi afektif (sikap) dibanding tujuan kognitif, menjadikan guru agama lebih bersifat mendidik dari mengajar.[9]
Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak mulia, taat melaksanakan agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus seperti ini, kiranya kurang adil kalau guru agama dituding sebagai kambing hitam.
Dari dipihak guru juga ada kekurangannya. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan menguasai materi yang diajarkan dan sering kali mengajar tanpa memperhatikan didaktik-metodik dan psikologi anak. Ketika muncul isu-isu yang mempertentankan nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua. Kejadian ini, setidaknya guru dapat memberikan bermacam-macam motivasi ekstrinsik (dorongan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang baik yang timbul dalam dirinya sendiri) terhadap anak-anak namun tidak semua motivasi itu baik bagi perkembangan jiwanya. Oleh karena itu seorang guru harus mengetahui dan memahami secara pasti kapan dan bilakah sebaiknya motivasi tersebut diberikan.[10]
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu saja atau dijadikan kambing hitam. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurangajar.  Banyak faktor lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin merebaknya kejahatan dan kenakalan remaja itu merupakan indikator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”. Dan yang terpenting, hal tersebut bukan indikator kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.

1.    Pandangan terhadap PAI
Ada dua pandangan tentang keberadaan PAI. Pertama, PAI secara sempit di perguruan tinggi dipandang sebagai mata kuliah yang sama dengan yang lainnya termasuk arti jumlah sks. Kedua, PAI secara luas dipandang sebagai mata kuliah yang memiliki jangkauan yang lebih daripada yang tertulis di dalam dokumen. PAI bertanggung jawab tidak hanya pada tataran pengajaran, melainkan lebih mementingkan pada tataran pendidikan, yaitu di samping membangun intelektualitas mahasiswa, juga membangun pribadinya sehingga menjadi insan kamil.[11]
Dalam rangka menciptakan lulusan yang berimtak dan beriptek tinggi menuju masyarakat madani di era Indonesia baru, kiranya secara ideal, pandangan kedua yang perlu dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, maka pandangan pertama dengan modifikasi kurikulum seperluasnya sesuai dengan kebutuhan, sehingga efektivitas pembelajaran PAI dan akhlaqnya secara minimal dapat dicapai.

          2.    Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Akhlaq Manusia
Menurut Ibn Bajjah tujuan hidup di dunia ini adalah untuk memperoleh kebahagian akal. Perbuatan manusia adakalanya  di dorong oleh naluri yang juga tidak berbeda dengan yang terdapat pada hewan. Dan keistimewaan manusia dari makhluk lain adalah daya pikir yang menjadi sumber perbuatannya. Semua perbuatan dan tingkah laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah.[12] Namun pemikiran yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah, tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengruhinya.
Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak delima yang muncul di kelas. Seringkali, para guru harus mengambil tindakan dalam situasi-situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar atau salah. Hal ini bisa ditinjau dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akhlaq anak didik.
1)      Faktor Pembawaan. Jadi jelaslah bahwa pembawaan adalah semua potensi atau kemungkinan yang dibawa oleh individu sejak ia hidup. Problem ini dapat dipecahkan dengan berdasarkan dua bagian:
a)    Watak Intelligible yaitu bagian dari jiwa manusia yang berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan kemauan, bagian ini dapat diubah atau dikembangkan dalam arti pikiran dapat dipertajam, perasaan dapat diperhalus dan kemauan dapat diperkuat dan dipengaruhi oleh nature.
b)   Watak Biologis yaitu bagian jiwa berhubungan dengan sifat penakut, pemalu, pemberani, sifat sosial, sifat egois dan lain-lain. Bagian ini tak dapat dipengaruhi oleh pendidikan, jadi disini nature tidak dapat diubah oleh nature.
2)      Faktor Aktivitet atau kemauan sendiri dari individu merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangannya.
a)      Faktor Lingkungan Sosial ialah lingkungan yang terdiri dari individu atau sekelompok individu (group).
b)      Faktor Lingkungan Kebudayaan ialah segala sesuatu yang ada di sekitar individu yang merupakan benda-benda kebudayaan yaitu segala sesuatu hasil ciptaan atau buah budi manusia.
c)      Faktor Lingkungan Alam ialah segala sesuatu yang ada di sekitar anak kecuali manusia-manusia/individu-idividu (lingkungan sosial) dan benda-benda kebudayaan (lingkungan kulturil).[13]

Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya memberi pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak manusia/bangsa Indonesia.
Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlaq/perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi Muhammad Saw, yaitu: Sidik, amanah, fatonah, dan tablig. Tentu dipahami bahwa empat nilai ini merupakan esensi. Karena Nabi juga terkenal dengan karakter kesabarannya. Maka wajar jika pemerintah mementingkan pendidikan karakter dalam seting sekolah yang bertujuan sebagai berikut:
1.      Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan. Tujuan ini bisa memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah).
2.      Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif.[14]

Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan dengan proses pendidikan di keluarga.

3.      Reformasi Akhlaq
Pertumbuhan negera-negara zaman sekarang ini, diiringi oleh kenaikan taraf hidup perorangan. Penerapan elektronika dan teknologi komputer oleh sektor swasta maupun pemerintah telah memicu revolusi industri kedua. Suatu masalah yang terdapat di negara berkembang maupun di negara maju adalah masalah “kelesuan budaya” tidak hanya di lembaga-lembaga, termasuk lembaga atau sistem pendidiakan, tetapi juga di dalam sikap dan nilai kehidupan. Itu di akibatkan oleh keadaan masyarakat, di mana penentu-penentu eksternal dari teknologi, ekonomi, kelembagaan berbeda-beda.[15]
Sebagai contoh moral atau akhlaq siswa dan mahasiswa yang terpublikasi keburukannya di berbagai media-media. Moral dapat diartikan dengan “menyangkut baik buruknya manusia sebagai manusia”. Sedangkan moralitas dapat diartikan dengan “keseluruhan norma-norma, nilai-nilai, dan sikap-sikap moral seseorang atau masyarakat. Sebutan moral mengacu pada “baik-buruk” seseorang sebagai manusia, yang berarti mengacu pada perilaku, bukan pada fisik. Jadi bukan sifat lahiriah.[16]
Nilai-nilai yang mengandung keteraturan hubungan antar sesama manusia itu sangat mendapatkan perhatian dalam duania pendidikan Islam. Yang perlu diperjelas lagi adalah bahwa nilai moralitas atau etika itu pada dasarnya harus tertanam pada hati nurani seseorang, yang kemudia ketika diimplementasikan menjadi kebaikan atau kesalehan sosial. Bahkan moral atau etika merupakan salah satu pondasi keislman, yakni akidah, syari’ah, dan akhlak, merupakan bagian integral dan tidak bisa dipisahkan, dalam kehidupan sehari-hari ketiganya menyatu secara integral.[17]
Contoh dari ambruknya moral yang terjadi di perguruan tinggi adalah Masalah pokok yang turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral lingkungan di Perguruan Tinggi adalah:
1.      Arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya. Lembaga pendidikan tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlaq, dimana mereka mendapat koreksi tentang tindakannya.
2.      Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan lembaga. Lembaga pendidikan ini cenderung lupa pada fungsinya untuk turut mendewasakan peserta didik.
3.      Beban kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi, hampir sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka. Sedangkan ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian yang sewajarnya.
4.      Peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering bertentagan.
5.      Peserta didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di lingkungannya.

Pada dasarnya suatu perguruan tinggi mengembangkan lima bentuk kecerdasan: 1) kecerdasan intelektual, 2) kecerdasan emosional, 3) kecerdasan praktikal, 4) kecerdasan sosial, 5) kecerdasan spiritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan ini harus dikembangkan secara simultan, jika berhasil dikerjakan dengan baik, akan mampu menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, praktikal, sosial, dan spiritual-moral.[18]
Akhlaq atau perilaku merupakan tujuan utama Pendidikan Agama Islam. Selam akhlaq mulia tidak diupayakan untuk dilaksanakan, maka secara esensial Pendidikan Agama Islam telah gagal. Proses belajar yang bersifat normatif dan verbal tidak menjamin perilaku mahasiswa untuk menjadi terpuji, mulia, arif, dan menjadi manusia yang baik, manusia yang terlatih menghayati dan mengamalkan agamanya secara perlahan tapi pasti.
Sebenarnya keberhasilan seorang anak didik dalam menuntut ilmu adalah menghormati gurunya. Sedangkan anak didik yang tidak berhasil dalam menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati gurunya/memuliakan ilmu dan guru. Menghormati itu lebih baik daripada menaati. Karena manusia tidak dianggap kufur baik bermaksiat. Hal ini dibuktikan adanya syair dalam kitab Ta’limul Muta’allim yang berbunyi “Tidak ada hak yang lebih besar kecuali hak guru. Ini wajib di pelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seseorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam agama”.[19]
Kecerdasan ternyata tidak mampu merangsang kesadaran spiritual sebagai makhluk yang lemah jagad pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu wajar jika kurikulum, metode, dan pengajar perlu dipertanyakan. Jangan-jangan kurikulumnya tidak mampu menyentuh substansi permasalahan? Atau mungkin motodenya lebih banyak berbau teoritis daripada yang praktis? Atau bisa saja pengajar atau dosennya yang tidak memiliki disiplin yang memadai atau pendekatannya yang salah? Atau mungkin sarjana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sehingga tidak merangsang sivitas akademika untuk kreatif menghidupkan nilai-nilai Islam di lingkungan kampus.
Menyangkut krisis moral/akhlaq, ada anggapan bahwa salah satu sebab adalah salahnya pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional (baik yang dilakukan oleh sekolah maupun madrasah) yang ada selama ini. Banyak ahli pendidikan seperti HAR Tilaar mengemukakan beberapa kelemahannya, antara lain:
1)      Sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Hal ini mencakup uniformasi dalam segala bidang, termasuk cara berpakaian (seragam sekolah), kurikulum, materi ujian, sistem evaluasi, dan sebagainya.
2)      Sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat. Lebih parah lagi, masyarakat dianggap hanya sebagai obyek pendidikan yang diperlakukan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai daya atau kemampuan untuk ikut menentukan jenis dan bentuk pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
3)      Kedua sistem tersebut di atas (sentralistik dan tidak adanya pemberdayaan masyarakat) ditunjang oleh sisttem birokrasi kaku yang tidak jarang dijadikan alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Birokrasi model ini menjadi lahan subur tumbuhnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepostisme) dan melemahnya atau bahkan hilangnya budaya prestasi dan profesionalisme.
4)      Terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian alat birokrasi. Birokrasi yang merupakan alat politik penguasa seperti uraian di atas.
5)      Pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada anak didik. itulah sebabnya etika, budi pekerti, atau akhlaq anak didik tidak pernah menjadi perhatian atau ukuran utama dalam kehidupan baik di dalam maupun di luar sekolah.
6)      Anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta berorientasi pada keinginan untuk tahu. Kurangnya perhatian terhadap ini menyebabkan anak hanya dipaksa menghafal dan menerima apa yang dipaketkan guru.[20]

E.    Alternatif Solusi filosofis.
Dari beberapa problem-problem pendidikan islam diatas, seringkalai dikaitkan dengan guru. Terdapat anggapan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru. Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu hadir kedalam dunia pendidikan berdasarkan tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti merintih atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya. Sebaliknya dengan guru agama yang memiliki beban moral pada siswanya. Karena usaha dalam menyampaikan mata pelajarannya dapat dipahami sesuai dengan kapasitas pemikiran anak didiknya.
Keberhasilan guru agama dalam mendidik peserta didik ketika guru menggunakan strategi eksplisit yang diajarkan sebagai bagian dari kurikulum, dan peserta didik diperlihatkan bagaimana menerapkan strategi ini untuk pembelajaran mereka sendiri di luar kelas. Dengan cara ini, mereka belajar bagaimana untuk menjadi yang lebih baik di luar konteks belajar.[21] Contohnya: menghafal beberapa dalil agama atau beberapa syarat-rukun setiap ibadah. Dari contoh tersebut sudah jelas, bahwa seorang anak didik bukan di titik tekankan pada hafalan tersebut. Tetapi bagaimana ia bisa mengamalkannya, dan mestinya sampai pada kepekaan akan amaliah Islam itu sendiri sehingga mereka mampu membuat amar ma’ruf dan nahi munkar. Karena tujuan akhir pendidikan agama untuk memndidik siswa berprilaku religius.
Mengenai masalah keberhasilan pendidikan tentu tidak hanya dibebankan sepenuhnya kepada guru, dimana menurut Aristoteles dalam pemikirannya tentang pendidikan, yang   didominasi oleh pandangannya adalah pendidikan merupakan tanggung jawab inti dari negara. memandang pendidikan sebagai bagian dari politik yang benar, karena negara memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan publik. Dia mengakui diperlukan dan timbal balik hubungan antara negara dan individu, di mana pendidikan adalah untuk melayani kebutuhan negara tetapi di mana negara juga memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa individu berkembang, yaitu mencapai teknis dan moral kebaikan dan kebahagiaan. Sedangkan moral dianggap elemen penting dari menjadi dewasa lengkap dan penciptaan warga negara bermoral yang paling penting tujuannya. Karena membuat seseorang yang baik dan kebajikan intelektual dan moral.[22]
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani problem dalam pendidikan Islam diantaranya:
1.      Teknik-Teknik Pendidikan. Islam belum pernah pula kehabisan persediaan dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih banyak lagi persediaan anak-anak panah didalam kantongnya. Cara yang dapat ditempuh dalam rangka pemupukan nilai-nilai agama, antara lain:
a)    Anak didik diajak mengunjungi panti asuhan, panti anak yatim sekaligus memberi penjelasan yang cukup diikuti dengan praktek beramal.
b)     Sejarah dan cerita (kisah-kisah dalam Al-Qur’an, sejarah rasul, sahabat, ulama, dan sebagainya) merupakan cara yang cukup efektif dalam membentuk kepribadian.
c)      Perwujudan dalam praktek. Contohnya pelajaran shalat harus dipraktekkan.
d)    Ada penekanan pada kehidupan sosial. Oleh karena itu, ajaran Islam tentang etika sosial tidak dapat diabaikan.[23]
2.  Pendidikan melalui teladan. Mengarang buku mengenai pendidikan adalah mudah, begitu juga menyusun suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan ketelitian, keberanian dan pendekatan yang menyeluruh. Namun suatu metodologi akan berubah menjadi suatu gerakan, dan menjadi suatu sejarah bila kita mempunyai seorang teladan yang bisa kita contoh dalam setiap beraktivitas. Oleh karena itulah Allah mengutus Muhammad SAW untuk menjadi tauladan buat manusia. Contohnya masukkan ayat Al-Qur’an tentang teladan dan Hadis, Laqadkanalakum firasulillahi uswatun hasanah.
3.    Pendidikan Melalui Nasehat. Didalam jiwa terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi dengan teladan dan perantara yang memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.
4.    Pendidikan Melalui Hukuman. Bila teladan tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan ditempat yang benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu hukuman itu, memandang tidak layak disebut-sebut. Tindakan tegas itu adalah hukuman. Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya. Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi sekali-kali.
5.      Pendidikan Melalui Cerita. Cerita mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bagaimanapun persoalannya, cerita itu pada kenyataannya sudah merajut kaki manusia dan akan tetap mempengaruhi kehidupan mereka. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan salah satu teknik pendidikan.
6.   Pendidikan Melalui Kebiasaan. Kebiasaan, sebagaimana sudah kita singgung, menduduki kedudukan yang sangat istimewa di dalam kehidupan manusia. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik pendidikan.

Dari keenam solusi tersebut, permasalahan yang sering disoroti oleh masyarakat adalah moral. Karena pengajaran agama Islam cenderung pada pembentukan watak Muslim. Jadi bukan hanya pengajaran yang dipakai, tapi yang perlu digunakan adalah pendidikan agama Islam, dimana aspek kognitf hanyalah salah-satu aspek. Menutut pandangan Islam, pendidikan moral adalah penting bagi setiap individu, malah merupakan kemahiran asa yang harus dipunyai oleh setiap anak, baik dari yang pemula sampai yang bukan pemula lagi.[24] Oleh karena itu, latihan beragama perlu digalakkan dalam bentuk uswah hasanah di lingkungan sivitas akademika di kampus maupun di sekolahn-sekolahan lainnya. Upaya strategis dalam hal akhlaq karimah dan yang bersifat uswah hasanah sebagai konsekuensi pengamalan nilai-nilai ajaran Islam yang merujuk pada Qur’an dan Hadis.[25]
Mengingat heterogenitas peserta didik dan aspek eksternalnya, maka ada tiga pendektan yang diharapkan memiliki afektifitas tinggi, antara lain:
1. Pendektan individualized educational progres. Pendekatan ini menghendaki bahwa dalam pengembangan materi hendaknya dapat dilakukan modifkasi kurikulum berdasarkan kekuatan, kelemahan, dan minatnya.
2.      Pendekatan androgogis yaitu suatu pendektan yang memperlakukan anak didik sebagai subjek yang memiliki sejumlah potensi yang siap didukung perkembangannya.
3.  Pendekatan belajar kooperatif. Maksudnya sebagai strategi yang efektif dalam memberdayakan teman sebayanya dan gurunya untuk membagi pengetahuan dan pengalaman religius. Di samping itu, aspek sosial emosional semau pihak dapat terbangun.[26]

Selain bebrapa solusi yang telah dipaparkan diatas, terdapat bebrapa solusi yang juga perlu dikembangkan:
1.      Pengembangan Kualitas Pendidikan Agama
Pendidikan agama seharusnya tidak disajikan secara indoktrinasi, namun dengan pemahaman dan penghayatan. Sedangkan pelajaran agama dalam banyak hal seharusnya diusahakan agar dapat dipahami sesuai dengan kapasitas pemikiran anak didik. Dan pendidikan agama seharusnya lebih menekankan pada pembentukan kepribadian atau amaliah ajaran nilai-nilai agama ketimbang menghitung seberapa besar niali ujian anak didik. Sebab boleh jadi akan terjadi kesenjangan antara pengetahuan yang diperoleh dengan sikap/kepribadian (perilaku).
Dasar dari pendidikan agama adalah hakekat manusia sebagai homoreligius dan tujuan pendidikan agama ialah membentuk manusia yang beragama atau pribadi religius. Pembentukan manusia beragama ini mencakup tiga hal yaitu:
1.    Pembentukan kesadaran, pengertian atau pengetahuan keagamaan. Faktor yang terpenting ialah menanamkan pengertian pengetahuan atau kesadaran tentang agama.
2.    Pembentukan sikap mental yang posistif terhadap agama. Sikap mental adalah reaksi emosionil terhadap sesuatu, jadi hal ini menyangkut bekerjanya daya perasaan dan kemauan.
3.    Pembentukan tindakan atau perbuatan religius.[27]

Hal ini dibuktikan dengan ibadah yang mempengaruhi perkembangan akhlaq seorang anak didik. di sisi lain, ibadah salah satu bentuk usaha mencapai derajat taqwa sehingga menjadikan dan menempatkan hidup kita sebagai proses memperhambakan diri kepada Allah, yang merupakan tugas dan kewajiban manusia.[28]
Dari ketiga dasar pendidikan agama, bahwa agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama juga mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, hampir semua Kitab Suci menganjurkan umatnya untuk mencari ilmu sebanyak mungkin. Agama dan pendidikan sama-sama memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam. Bencana alam dalam konteks agama adalah cobaan dan sekaligus rancaangannya tentang alam secara keseluruhan.[29]


F.    Kesimpulan
Kekurangan dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam, khususnya di Indonesia. Kesadaran masyarakat untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik kita makin tumbuh dan merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan “pendidikan agama” melaluai media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim, madrasah diniyah, pesantren kilat, taman pendidikan Al-Qur’an, dan lain-lain. Gerakan masyarakat dalam kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan meningkat lagi, dan segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita carikan jalan keluar.
Pendidikan menurut filsafat bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Proses pendidikan merupakan interaksi pluralistis antara manusia dengan manusia, dengan lingkungan alamiah, sosial, dan kultural akan sangat ditentukan oleh aspek manusianya. Kedudukan manusia sebagai subjek di dalam masyarakat dan di alam semesta ini, memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanat untuk  membina dan mengembangkan manusia sesamanya, memelihara alam lingkungan hidup bersama. Lebih jauhnya tanggung jawab atas martabat kemanusiaannya. Jadi pembahasan yang sudah kami ulas, kami dapat menyimpulkan bahwa:
1.      Pendidikan Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya pendidikan Islam.
2.      Adapun pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
3.      Kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama. Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Kelemahan lain, pada umumnya guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama.
4.      Merebaknya kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
5.      Teknik-Teknik Pendidikan: Pendidikan melalui teladan, nasehat, hukuman, cerita, dan kebiasaan.

G. DAFTAR PUSTAKA
Arza, Azyumardi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002).
Al-Ajami, Salam, Abdus, Muhammad, Tarbiyah Al-Islamiyah Al-Ushul Wa Tatbiqat, (Saudi Arabia: Darun Nasir Dhauli, 2006).
Az-Zarnuji, Islam, Burhanul. Ta’limul Muta’allim, (Surabaya: Mutiara Ilmu).
A. Fuad Ihsan, Hamdani Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009).
Buna’i. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009).
Cik Hasan Bisri, Fuaduddin. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).
Hobert W. Burn, Charles J. Brauner. Problems in Education and Philosophy, (United States of America: Prentice Hall, 1965).
Husen, Torsten. Masyarakat Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995).
Johar Permana, Cepi Triatna, Dharma Kesuma. Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011).
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995).
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002).
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta: Ciputat Pres, 2002).
Nunan, David. Second Language Teaching and Learning, (Heinle anPublishers, 1999).
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2003).
Sahroni, Jamali, Membedah Nalar Pendidikan Islam, Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005).
Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009).
Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992).
Sucipto. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003).
Syamsudin Yahya, Saifuddin Zuhri, Chabib Thoha. Metodologi Pengajaran Agama. (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999).
Tan, Charlene. Philosophical Reflections for Educators, (Cengage Learning Asia: Pte Ltd, 2008).
Usman, Basyiruddin. Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).
Samsul Nizar, Filsafat pendidikan Ilam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta: Ciputat Pres, 2002).


[1] Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Alfabeta, 2003), hlm: 88.
[2] Muhammad Abdus Salam Al-Ajami, Tarbiyah Al-Islamiyah Al-Ushul Wa Tatbiqat, (Saudi Arabia: Darun Nasir Dhauli, 2006), hlm: 21-27.
[3] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta: Ciputat Pres, 2002), hlm: 36.
[4] Siswanto. Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009), hlm: 59.
[5] Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm: 68-70.
[6] Charles J. Brauner and Hobert W. Burn. Problems in Education and Philosophy, (United States of America: Prentice Hall, 1965), hlm: 29-31.
[7] Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), hlm: 97.
[8] Jamali Sahroni, Membedah Nalar Pendidikan Islam, Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Islam,  (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm: 147.
[9] Buna’i. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Pamekasa: STAIN Pamekasan Press, 2009), hlm: 4.
[10] Basyiruddin Usman. Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta:: Ciputat Pers, 2002), hlm: 10.
[11] Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm: 156.
[12] Hasyimsyah Nasution. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm: 98.
19 Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm: 31-38.
[14] Dharma Kesuma, Cepi Triatna, dan Johar Permana. Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2011),  hlm: 9.
[15] Torsten Husen. Masyarakat Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hlm: 250.
[16] Sucipto. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 23.
[17] Chabib Thoha, Saifuddin Zuhri, dan Syamsudin Yahya. Metodologi Pengajaran Agama. (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm: 188.
[18] Azyumardi Arza. Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002),, hlm: 23.
[19] Burhanul Islam Az-Zarnuji. Ta’limul Muta’allim, (Surabaya: Mutiara Ilmu,), hlm: 83-85.
[20] Sucipto. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 8-12.
[21] David Nunan. Second Language Teaching and Learning, (Heinle anPublishers, 1999), hlm: 82-83.
[22] Charlene Tan. Philosophical Reflections for Educators, (Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2008), hlm: 21-22.
[23] Sucipto. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 68.
[24] Hasan Langgulung. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1995), hlm: 29.
[25] Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm,:123.
[26] Fuaduddin dan Cik Hasan Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm,:158-159.
[27] Suwarno. Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), hlm: 97-98.
[28] Chabib Thoha, Saifuddin Zuhri, dan Syamsudin Yahya. Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm: 185-186.
[29] Amsal Bakhtiar. Filsafat Ilmu, (Jakarrta, Rajawali Pers, 2009), hlm: 231.

1 komentar: