PROBLEM PENDIDIKAN DAN AL-TERNATIF FILOSOFIS
Demikian
pula kemampuan dalam praktek ibadah tidak seperti yang diharapkan. Selain
kelemahan dalam peguasaan materi (aspek kognitif) juga dalam hal pembentukan prilaku
(aspek afektif) dampak nilai-nilai luhur agama dari proses pendidikan agama di
sekolah-sekolah oleh sebagian masyarakat dinilai kurang nampak dalam pribadi
anak dalam
kehidupan sehari-hari.

Di
mana letak kesalahannya? Pada isi kurikulum yang kurang tepat, system atau
metodologi, alokasi waktu atau ketidak mampuan pihak guru agama?. Maka dari itu perlu
kiranya kami menulis sebuah makalah yang berjudul “Problem Pendidikan
Islam dan Alternatif Solusi Filosofis”.
Secara
konsep memang seharusnya peranan pendidikan agama Islam sangat berpengaruh terhadap permasalahan
ini. Tetapi dalam praktek cukup sulit
hal itu dilaksanakan. Mengapa demikian karena tindakan manusia dalam praktek
kehidupan sehari-hari kurang baik. Hal ini perlu
ditanamkan, dikembangkan, dan dibiasakan sejak kecil. Ini yang menyangkut
pendidikan yang secara langsung berkaitan dengan nilai. Berdasarkan nilai
tersebut, pendidikan dapat menentukan tujuan, motivasi, kurikulum, metode
belajar, dan sebagainya.[1] Hal
inilah yang membuat munculnya problem di dunia pendidikan, karena pada
hakikatnya pendidikan merupakan suatu amanah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Secara bahasa
pendidikan Islam dikaitkan dengan kata tarbiyah Islamiyah. Adapun kata tarbiyah
berasal dari rabba-yurabbi, yang
artinya memperbaiki sesuatu dan meluruskannya, atau menyampaikan sesuatu untuk
mencapai kesempurnaan. Adapun kata tarbiyah yang asalnya rabba-yarbu memiliki arti berkembang atau bertambah. Sedangkan
menurut istilah pendidikan Islam adalah kumpulan metode-metode dan
sarana-sarana baik yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, akal, sosial,
keilmuan, dan aplikasi yang digunakan oleh ulama dan pendidik untuk pendidikan
dan pengembangan individu dalam urusan masyarakat dan kemanusian untuk menuju
taqwa kepada Allah di dalam hatinya, dan merasa takut di dalam jiwanya.[2]
Pendidikan Islam
tidak terlepas dari dua sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis, sehingga segala
bentuk isi serta segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan Islam tersebut
harus berlandaskan pada dua sumber itu. Dengan demikian Arti pendidikan Islam sendiri
adalah suatu sistem yang didalamnya terkandung nilai-nilai ajaran Islam.
Sehingga disetiap menjalankan hidup selalu dilandaskan pada nilai-nilai islam
tersebut[3].
Dari
beberapa uraian tersebut diatas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pendidikan
Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan
ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya
kepribadian yang berakhlak mulia. Dimana
akhlak yang mulia adalah merupakan hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab
itu individu yang
memiliki akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai
cerminan dari
terlaksananya pendidikan Islam.
C.
Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan
adalah suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau kelompok orang yang melakukan
suatu kegiatan. Sedangkan
tujuan pendidikan Islam yaitu suatu sasaran yang akan dicapai seseorang atau
kelompok orang yang melakukan pendidikan Islam. Menurut pemikiran
Imam Al-Ghazali, tujuan pendidikan Islam dapat diklasifikasi kepada tiga,
yaitu: 1) Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan semata-mata untuk ilmu pengetahuan
itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada Allah; 2) Tujuan utama pendidikan Islam
adalah pembentukan akhlaq karimah; 3) tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan
peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[4]
Berbeda dengan pendapatnya Drs.
Ahmad D. marimba yang mengemukakan dua macam tujuan yaitu:
1. Tujuan sementara. Tujuan sementara adalah
sasaran yang harus dicapai oleh umat Islam yang melaksanakan pendidikan Islam.
Maksudnya adalah tercapainya berbagai kemampuan seperti kecakapan jasmani, pengetahuan membaca,
menulis dll.
2. Tujuan akhir. Tujuan akhir adalah terwujudnya kepribadian muslim. Yaitu kepribadian yang seluruh
aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Contohnya: cara-cara
berbuat dan berbicara (aspek kejasmaniahan), cara berfikir, maksudnya berupa
pendirian atau pandangan seseorang dalam menghadapi seeorang atau suatu hal
(aspek kejiwaan), nilai-nilai yang meresap di dalam kepribadain yang mengarahkan
dan memberi corak seluruh kepribadain individu (aspek kerohanian yang luhur).[5]
Namun para filosof dan pendidik menyebutkan tujuan dan
fungsi utama dari pendidikan adalah untuk melatih pikiran demi mengembangkan kecerdasan.
Karena dengan
melatih pikiran kita dari yang kecil, sampai kita mengerti apa yang dimaksud
dengan “pikiran”. Disisi lain arti dan teori disiplin mental bertujuan
menumbuhkan bahan-bahan
filsafat pendidikan agama Islam agar lebih baik atau buruk sehingga
mempengaruhi pembelajaran.[6]
Sehubungan
dari berbagai pemikiran di atas, maka tujuan pendidikan Islam mempunyai makna yang sangat penting, keberhasilan dari suatu sasaran yang diinginkan, arah atau
pedoman yang harus ditempuh, tahapan, sasaran, serta sifat dan mutu kegiatan
yang dilakukan. Karena dalam pendidikan agama Islam yang penting ialah
menanamkan pengertian
pengetahuan atau kesadaran tentang agama.[7]
Oleh karena itu kegiatan tanpa disertai dengan tujuan, menyebabkan
sasarannya akan kabur, akibatnya program dan kegiatan tersebut akan acak-acakan.
D.
Problem Pendidikan Islam.
Masalah keilmuan Islam secara historis prespective
dipengaruhi oleh dua arus besar yang menjadi tabir bagi upaya rekonstruksi
pemikiran Islam secara Umum dan pemikiran pendidikan Islam secara secara
khusus. Arus besar itu adalah earisan ortodoksi pemikiran Islam dan masuknya
positivisme kedalam metodologi keilmuan Islam. Dampak dari warisan ortodoksi
pemikiran Islam tersebut tidak sekedar mewarnai bingkai-bingkai fiqh, tetapi
juga memberikan akses negatif terhadap bangunan epistimologi.[8]
Adagiun “pintu ijtihad tertutup”, pemikiran menjadi geologi
atau mengalami proses ortodoksi, yaitu terjadinya pengkristalan pemikiran Islam
(taqdis al-Afkar al-Din). Dampak dari
stagnasi membawa dunia Islam dalam rentang waktu yang cukup lama hanya
menghasilkan ilmu-ilmu yang isinya sebagian besar berbentuk elaborasi.
Permasalahan inilah yang membuat perkembangan pendidikan Islam menurun, hingga
sampai ke anak cucunya.
Perbincangan tentang tantangan pendidikan Islam tidak
akan pernah bisa dilepaskan dengan prediksi tentang kondisi, situasi, setting
sosial, dan terutama problem-problem yang diperkirakan akan dihadapi oleh
masyarakat masa depan yang termasuk di dalamnya adalah dunia pendidikan.
Sehubungan dengan kondisi faktual kini, dalam memandang masa depan pendidikan
Islam, sebagian pakar ada yang merasa optimis dan sebagian merasa pesimis.
Terdapat beberapa problem yang terjadi dalam
pendidikan islam yang terjadi di masyarakat. Tentunya problem tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor:
1.
Faktor internal
a) Kurangnya semangat belajar tentang agama Islam.
b) Islam dianggap pelajaran kedua oleh
kebanyakan anak didik.
2.
Faktor eksternal
Kelemahan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan
agama di
sekolah-sekolah umum sangatlah banyak. Contohnya keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang kurang memadai dan
isi kurikulum yang
terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan lingkungan sekolah sering
tidak menunjang
pelaksanaan pendidikan agama. Hal ini memerlukan pemikiran agar tercapainya tujuan
pengajaran dan pendidikan agama. Disinilah fungsi strategi pembelajaran agama
memberi makna yang besar terhadap guru telah mempelajarinya secara baik, terutama
berkenaan dengan desain dan rancangan pengajaran. Karena sifat pengajaran lebih
banyak menekankan pada segi afektif (sikap) dibanding tujuan kognitif, menjadikan
guru agama lebih bersifat mendidik dari mengajar.[9]
Juga dari pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Mereka
hanya menuntut anaknya menjadi orang yang berpengetahuan luas dan berakhlak
mulia, taat melaksanakan
agama, sementara mereka tidak mau memberi dukungan dan contoh. Bagaimana
seorang anak menjadi manusia atau generasi berbudi pekerti luhur dan taat
melaksanakan perintah agama seperti shalat, puasa, dan lain-lain kalau orang
tuanya dirumah tidak pernah melakukan shalat dan puasa. Dalam kasus seperti
ini, kiranya
kurang adil kalau guru agama dituding sebagai kambing hitam.
Dari dipihak
guru juga ada kekurangannya. Diantara kekurangan mereka adalah keterbatasan kemampuan
menguasai materi yang diajarkan dan sering kali mengajar tanpa memperhatikan
didaktik-metodik dan psikologi anak. Ketika muncul isu-isu yang mempertentankan
nilai-nilai dasar agama dengan penemuan-penemuan baru dari kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, guru-guru tidak mampu memberikan penjelasan yang memadai.
Kiranya perlu kita sadari pula bahwa merebaknya kenakalan remaja,
perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya “premanisme” dan
berbagai bentuk
kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi para pendidik, tokoh masyarakat,
guru agama, dan kita semua. Kejadian ini, setidaknya guru dapat memberikan bermacam-macam
motivasi ekstrinsik (dorongan dari orang lain untuk melakukan sesuatu yang baik
yang timbul dalam dirinya sendiri) terhadap anak-anak namun tidak semua
motivasi itu baik bagi perkembangan jiwanya. Oleh karena itu seorang guru harus
mengetahui dan memahami secara pasti kapan dan
bilakah sebaiknya motivasi tersebut diberikan.[10]
Tetapi kita juga ingin menegaskan bahwa dalam menghadapi
kasus-kasus kejahatan tersebut guru-guru agama tidak dapat dipersalahkan begitu
saja atau dijadikan
kambing hitam. Guru Agama tidak dapat dipersalahkan secara pukul rata lantaran
ada kejahatan, tidak berakhlak, brutal, alkoholis, berkelahi dan bersikap kurangajar. Banyak faktor
lain yang lebih dominan dalam pembentukan perilaku dan watak mereka. Karenanya
kita menolak kalau ada pihak yang menilai bahwa semakin merebaknya kejahatan dan kenakalan
remaja itu merupakan indikator kuat terhadap kegagalan pendidikan agama
disekolah-sekolah. Tetapi meski demikian kita juga tidak boleh bersikap apatis sambil
berkata: “apa yang terjadi, terjadilah!”. Dan yang terpenting, hal tersebut bukan indikator
kegagalan atau merosotnya kualitas penghayatan dan pengamalan keagamaan umat islam Indonesia.
1.
Pandangan
terhadap PAI
Ada dua pandangan tentang keberadaan PAI. Pertama, PAI
secara sempit di
perguruan tinggi dipandang
sebagai mata kuliah yang sama dengan yang lainnya termasuk arti jumlah sks. Kedua,
PAI secara luas dipandang sebagai mata kuliah yang memiliki
jangkauan yang lebih daripada yang tertulis di dalam dokumen. PAI bertanggung
jawab tidak hanya pada tataran pengajaran, melainkan lebih mementingkan pada
tataran pendidikan, yaitu di samping membangun intelektualitas mahasiswa, juga
membangun pribadinya sehingga menjadi insan kamil.[11]
Dalam rangka menciptakan lulusan yang berimtak dan beriptek tinggi
menuju masyarakat madani di era Indonesia baru, kiranya secara ideal, pandangan
kedua yang perlu dipertimbangkan. Jika tidak memungkinkan, maka pandangan
pertama dengan modifikasi kurikulum seperluasnya sesuai dengan kebutuhan,
sehingga efektivitas pembelajaran PAI dan akhlaqnya secara minimal dapat
dicapai.
2.
Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan dan Akhlaq Manusia
Menurut Ibn Bajjah tujuan hidup di dunia ini adalah untuk
memperoleh kebahagian akal. Perbuatan manusia adakalanya di dorong oleh naluri yang juga tidak berbeda
dengan yang terdapat pada hewan. Dan keistimewaan manusia dari makhluk lain
adalah daya pikir yang menjadi sumber perbuatannya. Semua perbuatan dan tingkah
laku yang didasarkan atas akal sehatnya disebut perbuatan ikhtiariah.[12] Namun
pemikiran yang dikemukakan oleh Ibn Bajjah, tidak sesuai dengan apa yang ada di
lapangan. Karena banyak sekali faktor-faktor yang mempengruhinya.
Pengetahuan tentang etika dapat membantu guru memecahkan banyak
delima yang muncul di kelas. Seringkali, para guru harus mengambil tindakan
dalam situasi-situasi di mana mereka tidak mampu mengumpulkan semua fakta
relevan dan dimana tidak ada arah tindakan yang tunggal yang secara total benar
atau salah. Hal ini bisa ditinjau dari beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
akhlaq anak didik.
1)
Faktor
Pembawaan. Jadi jelaslah bahwa pembawaan adalah semua potensi atau kemungkinan
yang dibawa oleh individu sejak ia hidup. Problem ini dapat dipecahkan dengan
berdasarkan dua bagian:
a)
Watak
Intelligible yaitu bagian dari jiwa manusia yang berhubungan dengan pikiran,
perasaan, dan kemauan, bagian ini dapat diubah atau dikembangkan dalam arti
pikiran dapat dipertajam, perasaan dapat diperhalus dan kemauan dapat diperkuat
dan dipengaruhi oleh nature.
b)
Watak
Biologis yaitu bagian jiwa berhubungan dengan sifat penakut, pemalu, pemberani,
sifat sosial, sifat egois dan lain-lain. Bagian ini tak dapat dipengaruhi oleh
pendidikan, jadi disini nature tidak dapat diubah oleh nature.
2)
Faktor
Aktivitet atau kemauan sendiri dari individu merupakan hal yang sangat penting
bagi perkembangannya.
a)
Faktor
Lingkungan Sosial ialah lingkungan yang terdiri dari individu atau sekelompok
individu (group).
b)
Faktor
Lingkungan Kebudayaan ialah segala sesuatu yang ada di sekitar individu yang
merupakan benda-benda kebudayaan yaitu segala sesuatu hasil ciptaan atau buah
budi manusia.
c)
Faktor
Lingkungan Alam ialah segala sesuatu yang ada di sekitar anak kecuali
manusia-manusia/individu-idividu (lingkungan sosial) dan benda-benda kebudayaan
(lingkungan kulturil).[13]
Mencermati fungsi pendidikan nasional, yakni mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak dan peradaban bangsa seharusnya memberi
pencerahan yang memadai bahwa pendidikan harus berdampak pada watak
manusia/bangsa Indonesia.
Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang
mencerminkan akhlaq/perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi Muhammad Saw,
yaitu: Sidik, amanah, fatonah, dan tablig. Tentu dipahami bahwa empat nilai ini
merupakan esensi. Karena Nabi juga terkenal dengan karakter kesabarannya. Maka wajar jika pemerintah mementingkan pendidikan karakter dalam seting sekolah yang bertujuan sebagai berikut:
1.
Menguatkan
dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu
sehingga menjadi kepribadian/kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana
nilai-nilai yang dikembangkan. Tujuan ini bisa memfasilitasi penguatan dan
pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik
ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari
sekolah).
2.
Mengoreksi
perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang
dikembangkan oleh sekolah. Tujuan ini memiliki makna bahwa pendidikan karakter
memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi
positif.[14]
Membangun koneksi yang harmoni dengan keluarga dan masyarakat dalam
memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. Tujuan ini
memiliki makna bahwa proses pendidikan karakter di sekolah harus dihubungkan
dengan proses pendidikan di keluarga.
3.
Reformasi
Akhlaq
Pertumbuhan
negera-negara zaman sekarang ini, diiringi oleh kenaikan taraf hidup
perorangan. Penerapan elektronika dan teknologi komputer oleh sektor swasta
maupun pemerintah telah memicu revolusi industri kedua. Suatu masalah yang
terdapat di negara berkembang maupun di negara maju adalah masalah “kelesuan
budaya” tidak hanya di lembaga-lembaga, termasuk lembaga atau sistem
pendidiakan, tetapi juga di dalam sikap dan nilai kehidupan. Itu di akibatkan
oleh keadaan masyarakat, di mana penentu-penentu eksternal dari teknologi,
ekonomi, kelembagaan berbeda-beda.[15]
Sebagai
contoh moral atau akhlaq siswa dan mahasiswa yang terpublikasi keburukannya di
berbagai media-media. Moral dapat diartikan dengan “menyangkut baik buruknya
manusia sebagai manusia”. Sedangkan moralitas dapat diartikan dengan
“keseluruhan norma-norma, nilai-nilai, dan sikap-sikap moral seseorang atau
masyarakat. Sebutan moral mengacu pada “baik-buruk” seseorang sebagai manusia,
yang berarti mengacu pada perilaku, bukan pada fisik. Jadi bukan sifat
lahiriah.[16]
Nilai-nilai
yang mengandung keteraturan hubungan antar sesama manusia itu sangat
mendapatkan perhatian dalam duania pendidikan Islam. Yang perlu diperjelas lagi
adalah bahwa nilai moralitas atau etika itu pada dasarnya harus tertanam pada
hati nurani seseorang, yang kemudia ketika diimplementasikan menjadi kebaikan
atau kesalehan sosial. Bahkan moral atau etika merupakan salah satu pondasi
keislman, yakni akidah, syari’ah, dan akhlak, merupakan bagian integral dan
tidak bisa dipisahkan, dalam kehidupan sehari-hari ketiganya menyatu secara
integral.[17]
Contoh
dari ambruknya moral yang terjadi di perguruan tinggi adalah Masalah pokok yang
turut menjadi akar krisis mentalitas dan moral lingkungan di Perguruan Tinggi
adalah:
1. Arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya. Lembaga
pendidikan tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat
sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlaq, dimana mereka mendapat
koreksi tentang tindakannya.
2. Proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan
lembaga. Lembaga pendidikan ini cenderung lupa pada fungsinya untuk turut
mendewasakan peserta didik.
3. Beban kurikulum yang demikian berat, lebih parah lagi, hampir
sepenuhnya diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif belaka. Sedangkan
ranah afeksi dan psikomotorik hampir tidak mendapat perhatian yang sewajarnya.
4. Peserta didik dihadapkan kepada nilai-nilai yang sering
bertentagan.
5. Peserta didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang
baik di lingkungannya.
Pada
dasarnya suatu perguruan tinggi mengembangkan lima bentuk kecerdasan: 1)
kecerdasan intelektual, 2) kecerdasan emosional, 3) kecerdasan praktikal, 4)
kecerdasan sosial, 5) kecerdasan spiritual dan moral. Kelima bentuk kecerdasan
ini harus dikembangkan secara simultan, jika berhasil dikerjakan dengan baik,
akan mampu menghasilkan mahasiswa dan lulusan yang bukan hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional, praktikal, sosial, dan spiritual-moral.[18]
Akhlaq
atau perilaku merupakan tujuan utama Pendidikan Agama Islam. Selam akhlaq mulia
tidak diupayakan untuk dilaksanakan, maka secara esensial Pendidikan Agama
Islam telah gagal. Proses belajar yang bersifat normatif dan verbal tidak menjamin
perilaku mahasiswa untuk menjadi terpuji, mulia, arif, dan menjadi manusia yang
baik, manusia yang terlatih menghayati dan mengamalkan agamanya secara perlahan
tapi pasti.
Sebenarnya keberhasilan seorang anak didik dalam
menuntut ilmu adalah menghormati gurunya. Sedangkan anak didik yang tidak
berhasil dalam menuntut ilmu, karena mereka tidak mau menghormati
gurunya/memuliakan ilmu dan guru. Menghormati itu lebih baik daripada menaati.
Karena manusia tidak dianggap kufur baik bermaksiat. Hal ini dibuktikan adanya
syair dalam kitab Ta’limul Muta’allim yang berbunyi “Tidak ada hak yang
lebih besar kecuali hak guru. Ini wajib di pelihara oleh setiap orang Islam.
Sungguh pantas bila seseorang guru yang mengajar, walau hanya satu huruf,
diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang
mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam
agama”.[19]
Kecerdasan
ternyata tidak mampu merangsang kesadaran spiritual sebagai makhluk yang lemah
jagad pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu wajar jika kurikulum, metode, dan
pengajar perlu dipertanyakan. Jangan-jangan kurikulumnya tidak mampu menyentuh
substansi permasalahan? Atau mungkin motodenya lebih banyak berbau teoritis
daripada yang praktis? Atau bisa saja pengajar atau dosennya yang tidak
memiliki disiplin yang memadai atau pendekatannya yang salah? Atau mungkin
sarjana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat, sehingga tidak merangsang
sivitas akademika untuk kreatif menghidupkan nilai-nilai Islam di lingkungan
kampus.
Menyangkut
krisis moral/akhlaq, ada anggapan bahwa salah satu sebab adalah salahnya
pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan nasional (baik yang
dilakukan oleh sekolah maupun madrasah) yang ada selama ini. Banyak ahli
pendidikan seperti HAR Tilaar mengemukakan beberapa kelemahannya, antara lain:
1) Sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik. Hal ini mencakup
uniformasi dalam segala bidang, termasuk cara berpakaian (seragam sekolah),
kurikulum, materi ujian, sistem evaluasi, dan sebagainya.
2) Sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan
yang ada di masyarakat. Lebih parah lagi, masyarakat dianggap hanya sebagai
obyek pendidikan yang diperlakukan sebagai orang-orang yang tidak mempunyai
daya atau kemampuan untuk ikut menentukan jenis dan bentuk pendidikan yang
sesuai dengan kebutuhannya sendiri.
3) Kedua sistem tersebut di atas (sentralistik dan tidak adanya pemberdayaan
masyarakat) ditunjang oleh sisttem birokrasi kaku yang tidak jarang dijadikan
alat kekuasaan atau alat politik penguasa. Birokrasi model ini menjadi lahan
subur tumbuhnya budaya KKN (korupsi, kolusi, dan nepostisme) dan melemahnya
atau bahkan hilangnya budaya prestasi dan profesionalisme.
4) Terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai bagian alat
birokrasi. Birokrasi yang merupakan alat politik penguasa seperti uraian di
atas.
5) Pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan
kepribadian, namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada anak didik.
itulah sebabnya etika, budi pekerti, atau akhlaq anak didik tidak pernah
menjadi perhatian atau ukuran utama dalam kehidupan baik di dalam maupun di
luar sekolah.
6) Anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan
inovatif serta berorientasi pada keinginan untuk tahu. Kurangnya perhatian
terhadap ini menyebabkan anak hanya dipaksa menghafal dan menerima apa yang
dipaketkan guru.[20]
E.
Alternatif Solusi filosofis.
Dari beberapa problem-problem pendidikan islam diatas,
seringkalai dikaitkan dengan guru. Terdapat anggapan bahwa dia tidak ingin berhasil dalam mengajar, adalah ungkapan
seorang guru yang sudah putus asa dan jauh dari kepribadian seorang guru.
Mustahil setiap guru tidak ingin berhasil dalam mengajar. Apalagi jika guru itu
hadir kedalam
dunia pendidikan berdasarkan tuntunan hati nurani. Panggilan jiwanya pasti
merintih atas kegagalan mendidik dan membina anak didiknya. Sebaliknya dengan
guru agama
yang memiliki beban moral pada siswanya. Karena usaha dalam menyampaikan
mata pelajarannya dapat dipahami sesuai dengan kapasitas
pemikiran anak didiknya.
Keberhasilan
guru agama dalam mendidik peserta didik ketika guru menggunakan strategi
eksplisit yang diajarkan sebagai bagian dari kurikulum, dan peserta didik
diperlihatkan bagaimana menerapkan strategi ini untuk pembelajaran mereka
sendiri di luar kelas. Dengan cara ini, mereka belajar bagaimana untuk menjadi
yang lebih baik di luar konteks belajar.[21] Contohnya: menghafal beberapa dalil agama atau beberapa syarat-rukun
setiap ibadah. Dari contoh tersebut sudah jelas, bahwa seorang anak didik bukan
di titik tekankan pada hafalan tersebut. Tetapi bagaimana ia bisa
mengamalkannya, dan mestinya sampai pada kepekaan akan amaliah Islam itu
sendiri sehingga mereka mampu membuat amar ma’ruf dan nahi munkar.
Karena tujuan akhir pendidikan agama untuk memndidik siswa berprilaku religius.
Mengenai masalah
keberhasilan pendidikan tentu tidak hanya dibebankan sepenuhnya kepada guru,
dimana menurut Aristoteles dalam pemikirannya tentang pendidikan, yang
didominasi oleh pandangannya adalah pendidikan
merupakan tanggung jawab inti dari negara. memandang pendidikan sebagai bagian dari politik yang benar, karena negara memiliki kewajiban
untuk memberikan pendidikan publik.
Dia mengakui diperlukan dan timbal balik hubungan antara negara dan individu, di mana pendidikan adalah untuk melayani kebutuhan negara tetapi di mana negara juga memiliki kewajiban untuk memastikan
bahwa individu berkembang, yaitu mencapai teknis dan moral kebaikan dan kebahagiaan. Sedangkan moral dianggap
elemen penting dari menjadi dewasa lengkap dan penciptaan warga negara bermoral
yang paling penting tujuannya. Karena membuat seseorang yang baik dan kebajikan
intelektual dan moral.[22]
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menangani problem dalam pendidikan Islam diantaranya:
1.
Teknik-Teknik
Pendidikan. Islam belum
pernah pula kehabisan persediaan dalam hal teknik-teknik pendidikan dan masih
banyak lagi persediaan anak-anak panah didalam kantongnya. Cara yang dapat ditempuh dalam rangka
pemupukan nilai-nilai agama, antara lain:
a) Anak didik diajak mengunjungi panti asuhan,
panti anak yatim sekaligus memberi penjelasan yang cukup diikuti dengan praktek
beramal.
b) Sejarah dan cerita (kisah-kisah dalam
Al-Qur’an, sejarah rasul, sahabat, ulama, dan sebagainya) merupakan cara yang
cukup efektif dalam membentuk kepribadian.
c)
Perwujudan dalam praktek. Contohnya pelajaran
shalat harus dipraktekkan.
d) Ada penekanan pada kehidupan sosial. Oleh
karena itu, ajaran Islam tentang etika sosial tidak dapat diabaikan.[23]
2. Pendidikan
melalui teladan. Mengarang buku
mengenai pendidikan adalah mudah, begitu
juga menyusun suatu metodologi pendidikan, kendatipun hal itu membutuhkan
ketelitian, keberanian dan pendekatan yang menyeluruh. Namun suatu metodologi
akan berubah menjadi suatu gerakan, dan menjadi suatu sejarah bila kita mempunyai seorang
teladan yang bisa kita contoh dalam setiap beraktivitas. Oleh karena itulah Allah
mengutus Muhammad SAW untuk menjadi
tauladan buat
manusia. Contohnya
masukkan ayat Al-Qur’an tentang teladan dan Hadis,” Laqadkanalakum firasulillahi uswatun hasanah”.
3. Pendidikan
Melalui Nasehat. Didalam jiwa
terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan
itu biasanya tidak tetap, dan oleh karena itu kata-kata harus diulang-ulang.
Nasehat yang berpengaruh, membuka jalannya kedalam jiwa secara langsung
melalui perasaan. Dalam pendidikan nasehat saja tidaklah cukup bila tidak dibarengi
dengan teladan dan perantara yang memungkinkan teladan itu diikuti dan diteladani.
4. Pendidikan
Melalui Hukuman. Bila teladan
tidak mampu, dan begitu juga nasehat, maka waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat
meletakkan persoalan
ditempat yang benar. Kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang
tabu hukuman
itu, memandang tidak layak disebut-sebut. Tindakan tegas itu adalah hukuman.
Hukuman sesungguhnya tidaklah mutlak diperlukan. Ada orang-orang yang
teladan dan nasehat saja sudah cukup, tidak perlu lagi hukuman dalam hidupnya.
Tetapi manusia itu tidak sama seluruhnya. Diantara mereka ada yang perlu dikerasi
sekali-kali.
5.
Pendidikan
Melalui Cerita. Cerita
mempunyai daya tarik yang menyentuh perasaan. Bagaimanapun persoalannya, cerita
itu pada kenyataannya sudah merajut kaki manusia dan akan tetap mempengaruhi
kehidupan mereka. Islam menyadari sifat alamiah manusia untuk menyenangi
cerita itu, dan menyadari pengaruhnya yang besar
terhadap perasaan. Oleh karena itu Islam mengeksploitasi cerita itu untuk dijadikan
salah satu teknik pendidikan.
6. Pendidikan
Melalui Kebiasaan. Kebiasaan, sebagaimana
sudah kita singgung,
menduduki kedudukan yang sangat
istimewa di dalam kehidupan manusia. Islam mempergunakan kebiasaan itu sebagai
salah satu teknik pendidikan.
Dari keenam solusi tersebut, permasalahan yang sering
disoroti oleh masyarakat adalah moral. Karena pengajaran agama Islam cenderung pada
pembentukan watak Muslim. Jadi bukan
hanya pengajaran yang dipakai, tapi yang perlu digunakan adalah pendidikan
agama Islam, dimana aspek kognitf hanyalah salah-satu aspek. Menutut pandangan Islam, pendidikan moral
adalah penting bagi setiap individu, malah merupakan kemahiran asa yang harus
dipunyai oleh setiap anak, baik dari yang pemula sampai yang bukan pemula lagi.[24] Oleh karena itu, latihan beragama perlu digalakkan dalam bentuk uswah
hasanah di lingkungan sivitas akademika di kampus maupun di sekolahn-sekolahan lainnya. Upaya strategis dalam hal akhlaq karimah dan yang bersifat uswah
hasanah sebagai konsekuensi pengamalan nilai-nilai ajaran Islam yang
merujuk pada Qur’an dan Hadis.[25]
Mengingat heterogenitas peserta didik dan aspek
eksternalnya, maka ada tiga pendektan yang diharapkan memiliki afektifitas tinggi,
antara lain:
1. Pendektan individualized educational
progres. Pendekatan ini menghendaki bahwa dalam pengembangan materi
hendaknya dapat dilakukan modifkasi kurikulum berdasarkan kekuatan, kelemahan,
dan minatnya.
2. Pendekatan androgogis yaitu suatu pendektan
yang memperlakukan anak didik sebagai subjek yang memiliki sejumlah potensi
yang siap didukung
perkembangannya.
3. Pendekatan belajar kooperatif. Maksudnya
sebagai strategi yang efektif dalam memberdayakan teman sebayanya dan gurunya
untuk membagi pengetahuan dan pengalaman religius. Di samping itu, aspek sosial
emosional semau pihak dapat terbangun.[26]
Selain bebrapa solusi yang telah dipaparkan diatas,
terdapat bebrapa solusi yang juga perlu dikembangkan:
1.
Pengembangan
Kualitas Pendidikan Agama
Pendidikan
agama seharusnya tidak disajikan secara indoktrinasi, namun dengan pemahaman
dan penghayatan. Sedangkan pelajaran agama dalam banyak hal seharusnya
diusahakan agar dapat dipahami sesuai dengan kapasitas pemikiran anak didik.
Dan pendidikan agama seharusnya lebih menekankan pada pembentukan kepribadian
atau amaliah ajaran nilai-nilai agama ketimbang menghitung seberapa besar niali
ujian anak didik. Sebab boleh jadi akan terjadi kesenjangan antara pengetahuan
yang diperoleh dengan sikap/kepribadian (perilaku).
Dasar
dari pendidikan agama adalah hakekat manusia sebagai homoreligius dan tujuan
pendidikan agama ialah membentuk manusia yang beragama atau pribadi religius.
Pembentukan manusia beragama ini mencakup tiga hal yaitu:
1.
Pembentukan
kesadaran, pengertian atau pengetahuan keagamaan. Faktor yang terpenting ialah
menanamkan pengertian pengetahuan atau kesadaran tentang agama.
2.
Pembentukan
sikap mental yang posistif terhadap agama. Sikap mental adalah reaksi emosionil
terhadap sesuatu, jadi hal ini menyangkut bekerjanya daya perasaan dan kemauan.
3.
Pembentukan
tindakan atau perbuatan religius.[27]
Hal
ini dibuktikan dengan ibadah yang mempengaruhi perkembangan akhlaq seorang anak
didik. di sisi lain, ibadah salah satu bentuk usaha mencapai derajat taqwa sehingga
menjadikan dan menempatkan hidup kita sebagai proses memperhambakan diri kepada
Allah, yang merupakan tugas dan kewajiban manusia.[28]
Dari
ketiga dasar pendidikan agama, bahwa agama memberikan ketenangan dari segi
batin karena ada janji kehidupan setelah mati, sedangkan ilmu memberi
ketenangan dan
sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Agama juga mendorong
umatnya untuk
menuntut ilmu, hampir semua Kitab Suci menganjurkan umatnya untuk
mencari ilmu sebanyak
mungkin. Agama dan
pendidikan sama-sama memberikan penjelasan ketika terjadi bencana alam. Bencana alam
dalam konteks agama adalah cobaan dan sekaligus rancaangannya tentang alam secara
keseluruhan.[29]
F. Kesimpulan
Kekurangan
dan hambatan, program pendidikan agama telah memberikan hasil dan dampak
positif bagi peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan generasi muda dan umat Islam, khususnya di Indonesia. Kesadaran
masyarakat untuk menanamkan keimanan dan ketaqwaan sedini mungkin kepada anak-anak didik
kita makin tumbuh dan
merata. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin maraknya kegiatan
“pendidikan agama”
melaluai media masa, munculnya pengajian-pengajian, majlis ta’lim,
madrasah
diniyah, pesantren
kilat, taman pendidikan Al-Qur’an, dan
lain-lain. Gerakan
masyarakat dalam
kegiatan pendidikan agama tersebut perlu didorong lebih luas dan
meningkat lagi, dan
segala kekurangan dan hambatan yang ada kita tanggulangi dan kita
carikan jalan keluar.
Pendidikan
menurut filsafat bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan
untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan sendiri,
bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Proses
pendidikan merupakan interaksi pluralistis antara manusia dengan manusia, dengan
lingkungan alamiah, sosial, dan kultural akan sangat ditentukan oleh aspek
manusianya. Kedudukan manusia sebagai subjek di dalam masyarakat dan di alam
semesta ini, memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengemban amanat untuk membina dan mengembangkan manusia sesamanya,
memelihara alam lingkungan hidup bersama. Lebih jauhnya tanggung jawab atas
martabat kemanusiaannya. Jadi pembahasan yang sudah kami ulas, kami dapat
menyimpulkan bahwa:
1.
Pendidikan
Islam ialah usaha dalam pengubahan sikap dan tingkah laku individu dengan menanamkan
ajaran-ajaran agama Islam dalam proses pertumbuhannya menuju terbentuknya
kepribadian yang berakhlak mulia, Dimana akhlak yang mulia adalah merupakan
hasil pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sudah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu individu yang memiliki
akhlak mulia menjadi sangat penting keberadaannya sebagai cerminan dari terlaksananya
pendidikan Islam.
2.
Adapun
pendidikan Islam mempunyai tujuan untuk membentuk manusia muslim yang berakhlak
mulia, cakap dan percaya pada diri sendiri dan berguna bagi masyarakat.
3.
Kelemahan
dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum. Dari kalangan guru, keluhan yang sering dikemukakan adalah alokasi waktu yang
kurang memadai dan isi kurikulum yang terlalu syarat. Di samping itu, sarana dan
lingkungan sekolah sering tidak menunjang pelaksanaan pendidikan agama. Juga dari
pihak orang tua kurang memperlihatkan kerjasama. Kelemahan lain, pada umumnya
guru-guru agama kurang mampu atau tidak dengan sungguh-sungguh untuk mengembangkan
metodologi yang tepat untuk mata pelajaran pendidikan agama.
4.
Merebaknya
kenakalan remaja, perkehian antar pelajar terutama di kota-kota besar, munculnya
“premanisme” dan berbagai bentuk kejahatan lainnya merupakan tantangan bagi
para pendidik, tokoh masyarakat, guru agama, dan kita semua.
5.
Teknik-Teknik
Pendidikan: Pendidikan melalui teladan, nasehat, hukuman, cerita, dan kebiasaan.
G. DAFTAR PUSTAKA
Arza, Azyumardi.
Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT
Kompas Media Nusantara, 2002).
Al-Ajami,
Salam, Abdus, Muhammad, Tarbiyah
Al-Islamiyah Al-Ushul Wa Tatbiqat, (Saudi Arabia: Darun Nasir Dhauli,
2006).
Az-Zarnuji, Islam, Burhanul. Ta’limul Muta’allim, (Surabaya:
Mutiara Ilmu).
A. Fuad
Ihsan, Hamdani Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007).
Bakhtiar,
Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta, Rajawali Pers, 2009).
Buna’i. Strategi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009).
Cik Hasan Bisri, Fuaduddin.
Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999).
Hobert W.
Burn, Charles J. Brauner. Problems in Education and Philosophy, (United
States of America: Prentice Hall, 1965).
Husen, Torsten.
Masyarakat Belajar, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1995).
Johar Permana, Cepi
Triatna, Dharma Kesuma. Pendidikan Karakter, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2011).
Langgulung,
Hasan. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1995).
Nasution,
Hasyimsyah. Filsafat Ilmu, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002).
Nizar, Samsul. Filsafat
Pendidikan Islam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta: Ciputat Pres, 2002).
Nunan,
David. Second Language Teaching and Learning, (Heinle anPublishers,
1999).
Sadulloh, Uyoh.
Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV
Alfabeta, 2003).
Sahroni,
Jamali, Membedah Nalar Pendidikan Islam,
Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005).
Siswanto. Pendidikan
Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2009).
Suwarno. Pengantar
Umum Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992).
Sucipto. Pendidikan
(Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai
dan Bermanfaat). (Semarang: CV
Aneka Ilmu, 2003).
Syamsudin Yahya, Saifuddin
Zuhri, Chabib
Thoha. Metodologi Pengajaran Agama. (Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
1999).
Tan, Charlene. Philosophical
Reflections for Educators, (Cengage
Learning Asia: Pte Ltd, 2008).
Usman, Basyiruddin.
Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002).
Samsul Nizar, Filsafat
pendidikan Ilam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta:
Ciputat Pres, 2002).
[2] Muhammad
Abdus Salam Al-Ajami, Tarbiyah
Al-Islamiyah Al-Ushul Wa Tatbiqat, (Saudi Arabia: Darun Nasir Dhauli,
2006), hlm: 21-27.
[3] Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam; pendekatan historis, teoritis dan peraktis (Jakarta:
Ciputat Pres, 2002), hlm: 36.
[4] Siswanto.
Pendidikan Islam dalam Perspektif Filosofis, (Pamekasan: STAIN Pamekasan
Press, 2009), hlm: 59.
[5] Hamdani
Ihsan dan A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), hlm: 68-70.
[6] Charles
J. Brauner and Hobert W. Burn. Problems in Education and Philosophy, (United
States of America: Prentice Hall, 1965), hlm: 29-31.
[8] Jamali
Sahroni, Membedah Nalar Pendidikan Islam,
Pengantar ke arah Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm:
147.
[9] Buna’i. Strategi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Pamekasa: STAIN Pamekasan Press,
2009), hlm: 4.
[10] Basyiruddin
Usman. Metodologi Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta:: Ciputat Pers,
2002), hlm: 10.
[11] Fuaduddin dan Cik Hasan
Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm: 156.
[14] Dharma Kesuma, Cepi
Triatna, dan Johar Permana. Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2011), hlm: 9.
[16] Sucipto. Pendidikan
(Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai
dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 23.
[17] Chabib Thoha, Saifuddin
Zuhri, dan Syamsudin Yahya. Metodologi Pengajaran Agama. (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999), hlm: 188.
[18] Azyumardi Arza. Paradigma
Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2002),, hlm:
23.
[20] Sucipto. Pendidikan
(Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai
dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 8-12.
[22] Charlene Tan. Philosophical Reflections
for Educators, (Cengage Learning Asia Pte Ltd, 2008), hlm: 21-22.
[23] Sucipto. Pendidikan
(Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai
dan Bermanfaat). (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2003), hlm: 68.
[24] Hasan
Langgulung. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1995), hlm: 29.
[25] Fuaduddin dan Cik Hasan
Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm,:123.
[26] Fuaduddin dan Cik Hasan
Bisri. Dinamika Pemikiran Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm,:158-159.
[28] Chabib
Thoha, Saifuddin Zuhri, dan Syamsudin Yahya. Metodologi Pengajaran Agama, (Yogyakarta:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar,
1999), hlm: 185-186.
ayo komentari
BalasHapus