Senin, 02 Juli 2012

STUDI AL-QUR'AN


AL-QUR'AN DITURUNKAN DALAM TUJUH HURUF

A.    Pengantar
Banyak terjadi kesalahan dan penyimpangan dalam memahami al-Qur’an, di samping disebabkan oleh fanatik golongan, juga disebabkan oleh tidak dikuasainya ilmu-ilmu al-Qur’an ini. Di sisi lain, ilmu ini diciptakan oleh para ulama sebagai antisipasi terhadap sabda Nabi Muhammad saw, yang menyatakan bahwa “Barang siapa berkata tentang al-Qur’an tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka” (HR. al-Tirmidzi).
Sama dengan Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam Ulum al-Qur’an. Ilmu ini tidak banyak dikaji kecuali oleh kalangan tertentu, yakni di kalangan akademik. Hal ini terjadi dikarenakan antara lain karena ilmu qira’at ini tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan kehidupan manusia seperti masalah halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Sungguhpun tidak banyak peminatnya, ilmu ini termasuk ilmu yang sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah saw. Para ahli qira’at telah mencurahkan segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an.

B.    Kaitan Dialek Dan Bahasa Suku-suku Arab Berkaitan Dengan Bahasa Al-Qur’an
Orang Arab mempunyai keberagaman lahjah (dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama terdiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain. Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih unggul dari bahasa Arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jemaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya berbagai karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk mempersatukan bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika mereka diminta untuk mendatangkan satu surat yang seperti Al-Qur’an.
Apabila orang Arab berdialek dalam mengungkapkan sesuatu makna dengan beberapa perbedaan pendapat tertentu, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna mukjizatnya karena ia mencakup semua huruf dan ragam qira’ah diantara lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya. Ada beberapa hadits secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf sab’atu ahruf. Diantaranya : [1]
آقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستز يده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf”
Hadits mutawatir yang mengemukakan bahwa bahasa Al-Qur’an mudah dipahami oleh orang-orang Arab. Karena hadits tersebut acuannya kepada firman Allah SWT, yang berbunyi:[2]
اناانزلنه قراناعربيالعلكم تعقلون (يوسف : ٢ )
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya beberapa Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yusuf: 2).

C.    Macam-macam Pendapat Para Ulama Tentang Nuzul Al-Qur’an ‘Ala Sab’ati Ahrufin
Awal mulanya terjadinya perdebatan dan perbedaaan pendapat para ulama tentang Nuzulul Qur’an Ala Sab’ati Ahrufin berawal dari suatu ketika Hisyam bin Hakim shalat jahr. Ia membaca surat Al-Furqan. Rupanya Umar memperhatikan bacaan Hisyam bin Hakim itu mendengar “kejanggalan” bacaan hisyam. Ada beberapa lafazh Hisyam yang belum pernah diketahui Umar. Padahal, sepengatahuan Umar, Rasulullah tidak pernah mengajkarkan bacaan yang baru saja dibaca oleh Hisyam. Sahabat Rasulullah SAW. Yang terkenal spontan ini nyaris tak sabar, ingin langsung menegor Hisyam. Tapi, untung Umar mampu bertahan, menanti sampai Hisyam usai shalat. Begitu selesai shalat, Umar langsung menegornya. “Siapa yang mengajarkanmu membaca surah ini?”, tegur Umar dengan berang. “Aku diajarkan membacanya oleh Rasulullah”, jawab Hisyam. Tapi rupanya Umar tak percaya dengan jawaban Hisyam dan sampai mengatakan: “Kau bohong!”. Kemudian Umar mengadu kepada Rasulullah atas kejadian tadi. Maka Rasulullah menjawabnya: “Ajaklah ia ke sini, hai Umar”. Rasulullah lalu menyuruh Hisyam membaca surah Al-Furqan yang tadi dianggap berbeda oleh Umar. Setelah mendengar bacaan Hisyam Rasulullah membenarkannya dan bersabda :[3]
إن هذاالقران انزل على سبعة احرف فاقرأوا ماتيسرمنه
Artinya: Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan tujuh hurf, maka bacalah yang mudahnya”
 Namun, ketika Rasulullah telah wafat. Para ulama berbeda pendapat dalam penafsiran maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan

mengatakan, “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat”. Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpah tindih. Disini kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran. Adapun pendapat pata ulama, antara lain:[4]
Pertama, sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan lafazh sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak ada perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja. Menurut Abu Hatim As-Sijistani, bahwasanya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Kedua, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana dengannyalah Al-Qur’an diturunkan dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya bahasa Quraisy. Menurut pengertian diatas tadi, sangatlah jelas, bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat Al-Qur’an, bukan tujuh huruf yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Ketiga, sebagian ulama menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita) dan mastsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amstsal. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud , Rasulullah bersabda:[5]
“Kitab umat terdahulu dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Al-Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu; zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
Keempat, segolongan ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu :
1.    Iktilaful asma’ (perbedaan kata benda): dalam bentuk mufrad mudzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tatsniyah, jamak dan ta’nits. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Mukmin 8: وعهد هم رعون والذ ين هم لأ منتهم dibaca dengan bentuk jamak dan dibaca pula dengan bentuk mufrad. Sedang rasmnya dalam huruf mushaf adalah  لأ منتهمyang kemungkinan kedua qira’at itu karena tidak adanya alif yang mati (sukun). Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qira’at itu adalah sama. Sebab bacaan dalam bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istighraq (mencakupi) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan untuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan bentuk mufrad dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna yang banyak, yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
2.    Perbedaan dalam segi i’rab, seperti firman Allah Ta’ala: ما هذا بشرا (Yusuf: 31) Jumhur membacanya dengan nashab, sebab “ما” berfungsi seperti “ليس” sebagaimana bahasa penduduk Hijaz, dengan bahasa inilah Al-Qur’an diturunkan. Adapun Ibnu Mas’ud membacanya dengan rafa ما هدا بشرا, sesuai dengan bahasa Tamim, karena mereka tidak mengfungsikan ما seperti ليس juga seperti firman-Nya: كلمت فتلقى ءادم من ربه dalam Al-Baqarah: 37. Disini ءادم dibaca dengan nashab dan كلما ت dibaca dengan rafa’   كلما ت.
3.    Perbedaan dalam tashrif, seperti firman-Nya: فقا لوا ربنا ب عدبين أسفارنا dalam (Saba’: 19), dibaca dengan menashabkan  ربناkarena menjadi mudhaf dan  باعدdibaca dengan bentuk perintah (fi’il amr). Disini, lafazh ربنا dibaca pula rafa’ (ربنا) sebagai mubtada’ dan با عد dengan membaca fathah huruf ‘ain sebagai fi’il madhi.  Juga dibaca بعد dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan me rafa’kan lafazh ربنا.
4.    Perbedaan dalam taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan), baik terjadi pada huruf seperti firman-Nya: أفلم ييأ س dibaca (Ar-Ra’ad: 31), maupun di dalam kata seperti:  أفلم يأيس (At-Taubah: 111) di mana yang pertama dibaca dalam bentuk aktif, dan yang kedua dibaca dalam bentuk pasif, juga dibaca dengan sebaliknya, yaitu: yang pertama dijadikan bentuk pasif dan yang kedua dibaca dalam bentuk aktif.
5.    Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian), baik penggantian huruf dengan huruf, seperti وانظرإلى العظام كيف نشزها (Al-Baqarah: 159) yang dibaca dengan huruf za’ dan mendhamamkan nun, tetapi juga dibaca dengan huruf ra’ dan menfathakan nun. Maupun menggantikan lafazh dengan lafazh, seperti firman-Nya:  كالعهن المنفوش(Al-Qari’ah: 5) Ibnu Mas’ud dan lain-lain membacanya dengan كالصوف النفوش. Terkadang penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan makhraj atau tempat keluar huruf, seperti:  طلح منصود (Al-Waqi’ah: 29), dibaca dengan  طلح منضودkarena makhraj ha’ dan ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
6.    Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan. Dalam penambahan misalnya: وأعدلهم جنات تجرىتحتهاالأنهار (At-Taubah: 100), dibaca dengan tambahan  من  yaitu:  من تحتهاالأنهارkeduanya merupakan qira’at mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqsh), seperti: قلواتحذاالله ولدا (Al-Baqarah: 166), tanpa huruf wawu (و). Jumhur ulama membacanya وقلوااتخذاالله ولدا.
7.    Perbedaan lahjah dengan pembacaan tafkhim (tebal) dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tas-hil, isyam, dan lain-lain. Seperti membaca imalah dan tidak imalah seperti:  هل أتاك حد يث موسى(Thaha: 9), yang dibaca dengan mengimalahkan kata  أتى dan موسى. Membaca taqriq huruf ra’ dalam خيرابصيرا menafkhimkan huruf lam dalam kata الطلاق, mentan-hilkan (meringankan) huruf hamzah} dalam ayat:  قدأفلح(Al-Muminun: 1), huruf ghain dengan didhamahkan bersama kasrah} dalam ayat:  وعيض الماء (Hud: 44) dan seterusnya.
8.    Sebagai ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
9.    Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at sab’ah.
Pendapat yang telah disebutkan diatas tadi, sangatlah jelas bahwa merujuk kepada hadis. Diantaranya hadis Abu Hurairah ynag mengatakan:[6]
انزل القرآن على سبعة احرف عليما حكيماغفورارحيما

D.    Analisis Tarjih Atas Macam-macam Pendapat Tujuh Huruf
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah pendapat pertama, yang mengatakan bahwa tujuh hurf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama, misalnya: aqbala, ta’al, halumma, ‘ajala dan asra’a. Lafazh-lafazh yang berbeda ini digunakan untuk menunjuk pada satu makna.
Ibnu Abdil Barr menisbatkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama. Bahawa dalil ini ialah apa yang terdapat dalam Al-hadits Abu Bakrah yang menyebutkan, bahwasanya Jibril Berkata, “Hai Muhammad, bacalah Al-Qur’an dengan satu huruf” lalu mikail berkata, “Tambahkanlah”. Jibril berkata lagi, “Dengan dua huruf”. Jibril terus menambahnya sehingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata, “Semua itu obat penawar yang memadai, selama ayat adzab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat adzab. Seperti kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil, idzhab, asra’a dan ‘ajala.[7]
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Maksud hadits ini hanyalah sebagai contoh mengenai huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna atau sisi-sisi yang saling berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari adzab.[8]
Sedangkan pendapat yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang dipilih oleh Imam Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan. Ia memperkuat dengan alas an-alasan sebagai berikut:[9]
1.    Pendapat ini didukung oleh hadits-hadits.
2.    Pendapat ini berpegang pada teori penyelidikan yang detail terhadap qira’at dan sumbernya, yaitu tentang huruf yang tujuh.
3.    Tidak ada bantahan terhadap pendapat ini.

E.    Sejarah timbulnya Qira’ah 7, Qira’ah 10 dan Qira’ah 14
Secara etimologis, qira’at artinya bacaan atau pembacaan (Al-Qur’an).[10] Namun pada dasarnya qira’at merupakan term qira'at seakar dengan term Al-Qur'an, yaitu akar kata dari kata qar'a yang berarti tala (membaca). Term qara'a merupakan bentuk masdhar (verbal noun) dari kata qara'a, yang artinya bacaan.[11]
Sedangkan secara terminologis, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian qira'at ini. Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. abdul Hadi al-Fadli, mengemukakan definisi qira'at sebagaimana berikut:[12]
القراءات علم يعلم منه إتفاق الناقلين لكتاب الله تعالى واختلافهم فى الحذ ف والإثبات والتحريك                     والتسكين والفصل والوصل وغيرذالك من هيًة الطق والإبدال وغيره من حيث السماع
Qira'at itu sebuah ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur'an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilafkanolah para ahli qira'at, seperti hafzh (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memeberi harakat), taskin (member tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (mengganti huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperolehkan melalui indera pendengaran. Selain itu, qira’at merupakan cabang ilmu dalam Ulum al-Qur’an. Ilmu ini tidak banyak dikaji kecuali kalangan akademik. Hal ini terjadi dikarenakan antara lain karena ilmu qira’at in tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia seperti masalah halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan.[13]
Dalam istilah keilmuan, qira'a adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda.[14] Qira'at ini didasarkan kepada sanad-sanad yag bersambung kepada Rasulullah SAW. Periode Qurra' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira'at ialah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas'ud, Abu Musa,Al-Asy'ari dan lain-lain.[15] Dari mereka kebanyakan para sahabat berpedomana kepada Rasulullah SAW. Sampai dengan datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. selanjutnya, timbul golongan-golongan yang sangat memperhatikan tanda baca secara sempurna manakala diperlukan dan mereka menjadikan sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana halnya ilmu-ulmu syari'at yang lain.[16] Sedangkan orang-orang yang belajar qira’at pada masa itu, meriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya dan sering menghafalkan qira’at yang diriwayatkan oleh dari guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi.[17] Dalam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, harus belajar langsung pada guru, kemudian menghafalkan dan meriwayatkannya.
Pada masa khalifah Utsman mengirimkan mashahif ke pelosok negeri yang dikuasai Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai qiraatnya dengan mashahif tersebut. Qira'at ini berbeda satu dengan lainnya karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabi'in di setiap daerah penyebaran. Demikian seterusnya sehingga sampai pada munculnya imam qurra’. Begitu banyaknya jenis qira'at sehingga seorang imam, Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam (w. 224 H) tergerak untuk menjadi orang pertama yang mengumpulkan berbagai qira'at dan menyusunnya dalam satu kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat dengan masing-masing metode penulisan dan ketegorisasinya. Demi kemudahan mengenali qira’at yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Maka dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang terkenal yaitu, qiraat sabah, ‘asyrah, dan arba’ asyrah. Sedangkan Ibn al-Jazari membaginya dari segi kaidah hadits dan kekuatan sanadnya. Namun demikian kedua pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya. Paparan berikut membatasi penjelasan hanya pada asal-usul timbulnya beberapa peristilahan di atas, yaitu qira’at sab’ah, ‘asyrah, dan syadzah.
1.   Qira'ah Sab'ah
Pada dasawarsa pertama abad IV Hijrah, Abu Bakar Ahmad bin Musa al-'Abbas yang dikenal seorang ulama besar dari Baghdad yang pada permulaan tahun ke-300 H di Bagdad menghimpun tujuh system qira'at dari tujuh orang imam al-Harami (Mekkah dan Madinah), kufah Bashrah dan Syam, yang semuanya terkenal sebagai para Imam terpercaya, jujur dan ahli dibidang ilmu qira'at.[18] Penghimpun yang dilakukan oleh Imam besar bersifat kebetulan, sebab diluar mereka ada ahli qira'at yang lebih berbobot dan jumlahnyapun tidak sedikit.
Namun Abu Bakar Ahmad bin Musa al-'Abbas pernah dikecam atas tuduhan bahwa ia telah mengakibatkan  dipandang telah mengaburkan persoalan dengan meresahkan orang-orang yang berpandangan picik bahwa qira’at ini adalah tujuh huruf yang disebut dalam al-hadits. Karena istilah tujuh system qira'at tidak dikenal di negeri-negeri Islam ketiaka para ulama mulai menciptkan system qira'at. Para ahli qira'at terdahulu, seperti Abu 'Ubaidah al-Qasim bin Salam, Abu Ja'farat at-Thabari dan Abu Hatim as-Sajistani[19], dalam kitabnya masing-masing menyebut jumlah system qira'at jauh lebih banyak daripada hanya sekedar tujuh system. Istilah qira’at sab’ah di zaman Abu al-Abbas memang belum populer. Tetapi bukan berarti tidak ada. Qira’at ini sesungguhnya telah akrab di dunia akademis sejak abad II Hijrah. Yang membuat tidak atau belum memasyarakatnya qira’at tersebut adalah karena kecenderungan ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qira’at saja dengan mengabaikan qira’at yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Istilah tujuh sisten qira'at baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu setelah banyak orang di negeri-negeri Islam menerima baik system qira'at dari beberapa Imam dengan menerimanya dari Imam-iama yang lainnya. Ibn Mujahidlah, dengan tantangan yang dihadapinya, melakukan terobosan dengan mengumpulkan tujuh jenis qira’at yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah terkemuka. Mereka adalah:[20]

1.    Abdullah ibn Katsir al-Dariy dari Makkah (w. 120 H)
2.    Nafi’ ibn Abd al-Rahman ibn Abu Nu’aim, dari Madinah (w. 169 H)
3.    Abdullah al-Yashsibiyn atau Abu ‘Amir al-Dimasyqi dari Syam (w. 118 H)
4.    Zabban ibn al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr dari Bashrah (w. 154 H)
5.    Ibn Ishaq al-Hadrami atau Ya’qub dari Bashrah (w. 205 H)
6.    Ibn Habib al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah (w. 188 H)
7.    Ibn Abi al-Najud al-Asadly atau ‘Ashim dari Kufah (w. 127)
Ketika itu Ibn Mujahid menghimpun qira’at-qira’at mereka, ia menandakan nama Ya’qub untuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah (w. 182 H). Pergantian ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu ‘Amr yang mewakili Bashrah. Sehingga untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama yaitu, Hamzah, ‘Ashim dan al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, namun kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibn Mujahid secara khusus membukukan qira’aibt-qira’at mereka.
2.      Qira'ah 'Asyrah
Selain tujuh qira’at di atas yang ditetapkan Ibn Mujahid, masih ada tiga qira’at lagi yang qira’atnya, sesuai persyaratan yang ditetapkan, masih bisa diterima. Karena itu kemudian dikenal pula istilah qira’at ‘asyrah. Tiga tambahan itu adalah:[21]
1.    Qira’at Ya’qub (yang digeser oleh Ibn Mujahid dari qira’at sab’ah untuk diganti dengan al Kisai)
2.    Qira’at Khalaf ibn Hisyam (w. 229). Beliau belajar ilmu qira’at kepada Sulaiman bin ‘Isa bin Hamzah bin Habib az-Zayyat.
3.    Qira’at Yazid ibn al-Qa’qa’ yang masyhur disebut Abu Ja’far (w. 130 H). Beliau berguru kepada Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah dan Ubay bin Ka’ab.
Untuk diterimanya qira’at para ulama menetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.    Mutawatir yaitu yang diriwayatkan oleh sekelompok orag banyak dari orang banyak, dan mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Adapun qira’at yang tergolong mutawatir, yaitu qira’at sab’at (qira’ah tujuh) dengan para Imam qira’atnya yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Nafi’, Ibn Kasir, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, dan al-Kisa’i.[22]
2.    Sesuai dengan kaidah bahasa Arab
3.    Sesuai dengan tulisan (rasm) mushhaf utsmani
4.    Mempunyai sanad yang shahih
Isnad para ahi Hadis mempunyai pengaruh yang jelas didalam masalah asal-usul system qira’at. Sama halnya dengan para ulama hokum syara’ dan tafsir yang boleh menarik kesimpulan hanya berdasarkan Hadis-hadis yang berisnad shahih. Karena itu dalam sumber isnad terdapat terulang-ulang nama parasahabat Nabi yang menjadi pangkal berita-berita Hadis yang menegenai berbagai persoalan. Dengan ini sudah jelas, bahwa penetapkan hukum syara’, ulama beristinbath kepada riwayat-riwayat yang bersanad shahih, begitu pula dalam penerimaan qira’at,sehingga sistem qira’at bisa diterima oleh orang banyak.
3.      Qira’at Arba’ Asharah
Qira’at Arba’ Asharah merupakan tambahan dari empat qira’at yang disandarkan kepada al-Hasan al-Basri, Ibn Muhasyin, Yahya al-Yazidi, dan ash-Shanbudhi.[23]
4.      Qira'ah Syadz
Qira’at Syadz adalah qira’at yang sanadnya tidak shahih. Yakni tidak memenuhi persyaratan yang diminta untuk keabsahan sebuah qira’at. Misalnya: tidak mutawatir, atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau tidak sesuai dengan tulisan Musyhaf Utsmani.[24]
Jika diperhatikan tiga rukun pertama di atas, maka besar kemungkinan dapat diketahui bahwa qira’at syadzah muncul pada masa pemerintahan khalifah Utsman ibn ‘Affan ketika al-Qur’an telah dikodifikasikan dan adanya perintah untuk membakar semua tulisan yang al-Qur’an selain yang dibentuk Utsman bin ‘Affan. Peristiwa tersebut merupakan batas yang membedakan dan menentukan antara qira’at shahih dengan qira’at syadzah. Oleh sebab itu persesuaian antara satu qira’at dengan rasm Utsmani merupakan salah satu syarat shahihnya qira’at tersebut.
Di samping Mutawatir dan syadz, juga terdapat jenis qira’at lain yang dikenal di dalam dunia ilmu Al-Qur’an. Yakni:[25]
1.     Masyhur. Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya shahih karena diriwayatkan oleh tokoh adil, dhabit (mempunyai ketelitian tulisan atau hafalan yang baik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan sesuai dengan tulisan Musyhaf Utsman. Misalnya qira’at yang diriwayatkan oleh satu dari tujuh qari’ terkemuka yang diiventarisasi Ibnu Mujahid, sementara tokoh-tokoh qari’ lainnya tidak meriwayatkan qari’at tersebut.
2.     Shahih Sanad. Qira’at macam ini sanadnya sahih, tetapi tidak sama dengan tulisan Musyhaf Utsman atau tidak seterkenal Qari’at Masyhur dan Mutawatir. Qira’at yang disebut terakhir ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini kebenarannya.
3.     Maudhu’. Qira’at ini hanya dinisbatkan kepada orang yang mengucapkannya tanpa usul-usl sama sekali. Misalnya qira’at yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khuza’I dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah, padahal bukan.
Dr. Muhammad Salim Muhaisin, dalam kitab “fi Rihabi al-Qur’an”, berpendapat bahwa batas yang membedakan dan menentukan antara qira’at shahih dengan qira’at syadzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir terhadap qira’at al-Qur’an Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam pemeriksaan terakhir ini, sebagian qira’at dinasakh, dan inilah yang dianggap kemudian sebagai syadzah. Adapun dari segi sanad, qira’at syadzah ada kemungkinan bersambung kepada Rasulullah. Demikian paparan singkat ini. Penelitian ulang mengenai bahasan ini, khususnya, dan disiplin qira’at, umumnya, adalah pekerjaan yang mungkin menjawab segala pertanyaan yang ada dan segala keraguan yang masih tersimpan dalam benak setiap muslim. Wallahu a’lam bi al shawab.

F.     Sejarah Perkembangan Ahlul Qurra wal Huffadz dan Lagu-lagu Bacaan Al-Qur’an
Ilmu qira’at adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang pertama menyusunnya adalah Abi Ubaid Al-QasimIbnu Sallam, Abu Hatim As-Sajistani, Abi Ja’far At-Tabari dan Ismail Al-Qadi.[26]
Awal terpopulernya qari’at adalah qari’at sab’ah pada abad kedua hijriyah. Di Basrah orang membaca menurut qira’at Abi Amr dan Yaqub. Di Kufah menurut qira’at Hamzah dan Ashim sedangkan di Syam menurut qira’ah Ibnu Amir, di Mekah menurut qira’at Ibnu Katsir, dan di Madinah menurut qira’at Nafi’.
Qira’at dibukukan pada akhir abad ketiga Hijriyah di Baghdad atas usaha Imam Mujahid Ibnu Musa Ibnu Abbas. Beliau membukukan qira’at yang tujuh hanya saja mencantumkan nama Al-Kisai dan tidak menyebut-nyebut nama Yaqub. Pada masa itu pula ada beberapa Qari’ yang dikenal oleh orang-orang Arab hingga sekarang.
1.   Ibnu Amir
Nama lengkapnya adalah Abdullah Al-Yahsubi, seorang qadi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid Ibnu Abdul Malik. Panggilannya adalah Abu Imran.[27] Dia seorang tabi’in terkemuka, bertemu dengan (belajar kepada) Wa-tsilah ibn al-Asqa’ dan an-Nu’man ibn Basyir. Dia mengambil qari’ah dari al-Mughirah ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari Utsman ibn Affan dari Rasulullah SAW. Dikatakan, bahwa ia membaca dihadapan Utsman secara langsung. Dia wafat di Damaskus tahun 118 H. yang masyhur meriwayatkan qari’ahnya adalah Hisyam dan Ibn Dzakwan, tetapi melalui murid-muridnya.[28]
2.   Ibnu Katsir
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ibnu Katsir Ad-Dari Al-Makki. Ia adalah imam dalam hal qira’at di Mekkah. Ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup bersama Abdullah Ibnu Jubair, Abu Ayyub Al-Ansari dan Anas Ibnu Malik. Dia wafat di Mekkah pada tahun 120 H. Adapun yang masyhur meriwayatkan darinya (muridnya) adalah al-Bazziy dan Qunbul. Mereka berdua wafat pada tahun 291 H.[29]
3.   Ashim Al-Kuti
Nama lengkapnya adalah Ashim Ibnu Abi An-Nujud Al-Asadi. Kata al-Najud al-Asadiy diambil dari ungkapan "نجدت الثياب" yang berarti saya meratakan sebagian pakaian dengan sebagian lainnya.[30] Beliau disebut juga dengan Ibnu Bahladah. Panggilannya adalah Abu Bakar. Ia seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H. kedua perawinya adalah Syaubah yang wafat pada tahun 193 H di Kufah.[31]
Semasa hidupnya, ia seorang qarra’ yang handal, memiliki kecermatan, kehandalan, kefashihan dan suara yang merdu dalam membaca al-Qur’an. Dan beliau pernah membaca Ziir Ibn Hubaisy di hadapan Ahdullah ibn Mas’ud di hadapan Rasulullah SAW.
4.   Abu Amr
Nama lengkapnya adalah Abu Amar Zabban Ibnul Ala Ibnu Ammar Al-Bashari, seorang guru besar pada rawi. Disebut juga dengan nama Yahya. Menurut sebagian orang, nama Abu Amradalah nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H.[32] Semasa hidupnya, beliau dikenal dengan kejujurannya dan kepercayaan dalam agamanya. Sedangkankan Kedua perawinya adalah Ad-Duri wafat pada tahun 246 H. dan As-Susi wafat pada tahun 261 H.
5.    Hamzah Al-Kufi
Nama lengkapnya adalah HamzahIbnu Habib Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi At-Thaimi, seorang bekas hamba Ikrimah Ibnu Rabi At-Thaimi. Dipanggil dengan Ibnu Imarah, wafat pada masa khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 156 H.[33] Semasa hidupnya, beliau dikenal sangat handal tentang Kitabullah, menguasai dengan baik, menetahui berbagai kefardhuan dan kebahasaan serta hafidz dibidang hadits.[34] Adapun perawinya adalah Khalaf, wafat tahun 299 H. dan Khallaad wafat tahun 220 H, dengan peantara Salim.
6.    Imam Nafi’
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nabi (Ibnu Abdur Rahman Ibnu Abi Naim Al-Laitsi, asal dari Isfaham). Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para qari’ di Madinah. Beliau wafat pada tahun 169 H.[35]
Yang masyhur meriwayatkannya antara lain Qalun dan Warasy. Qalun adalah Abu Musa Isa ibn Mina al-Nahwiy, diberi nama la>qa>b karena keindahan qari’ahnya. Sebab kata “Qalun” pada mulanya berarti “yang indah” atau “yang baik”. Dia membaca dihadapan Nafi’ serta belajar secara khusus kepadanya. Dia wafat tahun 220 H.[36]

7.   Al-Kisai
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah. Beliau diberi laqab dengan al-Kisai, karena sewaktu ihram dia menggenakan baju. Dilain sisi, beilau seorang Imam nahwu golongan Kufah dan satu-satunya orang yang paling tahu tentang al-Gharib serta paling pandai dalam masalah qari’ah.[37] Beliau wafat di Ranbawiyah, yaitu sebuah desa di Negeri Ray ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama Ar-Rasyid pada tahun 189 H. Adapun perawinya adalah Abdul Harits yang wafat pada tahun 242 H. dan Ad-Duri yang wafat tahun 246 H.[38]
Ketujuh para Ahlul qurra’, memiliki sistem qiraa’t yang bisa dipakai oleh orang-orang Arab-sekarang. Namun terdapat qira’at yang sangat lemah bahkan sampai tertolak. Surat Al-Fatihah umpamanya para qari’ membacanya seperti cntoh di bawah ini:[39]
Qari’ Membacanya/Qira’at
Bacaan/Cara
حسن البصر
الحمدلله رب العالمين
قارئ الباقى
الحمدلله رب العالمين
عاصم الكسان
مالك
الباقى
مالك
أبوصا لح
مالك
سرع بن يزيد
مالك
عمرو
مالك
على بن أبوطالب
مالك
أبوهريرة
مالك
عمروبن قايد
إياك
ابن السور
هواك
يحي بن وثاب
تستعين
جعفربن محمد
إهدنا صراط المسثقيم
حسن البصرى
إهدنا صراطا المستقيما
ابن مسعود
ارشدناصراط المستقيم
ثابت البنانى
بصرنا الصراط المستقيم
عمربن احمد
صراط من انعمت
حمزة
عليهم
الحليل بن احمد
غيرالمغضوب
عمرابن الخطاب
غيرالمغضوب عليهموغيرالضالين
أبوالسحتيانى
ولآالضالين
Surat Al-Fatihah minimal dapat dibaca sebagaimana tersebut di atas, walaupun di antara bacaan itu, ada yang masyhur ada yang tidak.
Membaca Al-Qur’an dengan suara merdu sangat dianjurkan dan Al-Qur’an memiliki keindahan bahasa serta lebih indah jika dibaca dengan lagu baik. Terkait dengan anjuran melagukan bacaan al-Qur’an, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak melagukan bacaan al-Qur’an, maka ia bukan pengikut kami” (Imam Dawud, 1994:I: 546: nomor 1469). Pada hadits lain, Nabi SAW bersabda, “Hiasilah bacaan al-Qur’an dengan suara kalian” (Abu Dawud, 1994:I: 546: nomor 1469).[40]
Dalam nagham ada beberapa tingkatan seni baca al-Qur’an, atara lain: 1) Mu’allam : Seni baca al-Qur’an dasar, 2) Murottal : Seni baca al-Qur’an lanjutan, 3) Mujawwad : Seni baca al-Qur’an yang menggunakan nada rendah sedang dan tinggi dengan irama yang khusus.[41] Selain itu, ada macam-macamnya jenis irama bacaan al-qur'an:[42]
1.    Bayati, contohnya: سَيِّدِي بِالَّذِي أَمَآدَّكَ بِالْحُسْنىَ وَأَوْلاَكَ بَهْجَةً وَجَمَالاً
2.    Shoba, contohnya: ارا طيرا على غصن ينادي
3.    Hijaz, contohnya: يا وردة والصطرياضي مظلة تزري بوجه ذات حطر عاطرا
4.    Nihawand, contohnya: بيمناك بحر عطي بيا ني, فهلل وبشر بدين اله
5.    Rast, contohnya: وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ
6.    Sika, contohnya: مو لا يكتبت رحمة الناس عليه فضلا وكرم
7.    Jiharka, contohnya: الله زاد محمد تعظيما,وحباه فضلامن لدنه عليما
Keberadaan ilmu nagham, tidak sekedar realisasi dari firman Allah dalam suroh Al Muzzammil ayat 4,"
اوزدعليه ورتل القرآن ترتيلا (المزمل : ۴)
Artinya: Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan (Q.S Al-Muzammil: 4)[43]
Maksud dari suroh Al-Muzammil tersbut adalah bacalah Al Quran itu secara tartil", akan tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk nagham) merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Nagham merupakan salah satu dari sekian ekspresi seni yang menjadi bagian integral hidup manusia. Bahkan nagham ini telah tumbuh sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula munculnya nagham Al Quran. Pertama, nagham Al-

Quran berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran berasal dari khazanah tradisional Arab (tentu saja berbau padang pasir). Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran idealnya bernuansa irama Arab. Sehingga apa yang pernah ditawarkan Mukti Ali dalam sebuah kesempatan pertemuan ilmiah tentang pribumisasi lagu-lagu Al Quran.[44]
Meski kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi tetap saja muncul permasalahan. Jika memang benar nagham Al-Qur’an berasal dari seni Arab lalu siapakah yang pertama kali mengkonversikannya untuk lagu Al-Qur’an? Sampai di sini ketidakjelasan. Dan lagi, jika memang benar nagham Al-Qur’an berasal dari nyanyian tentu dapat direpresentasikan dalam not balok atau oktaf tangga nada. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, nagham Al-Qur’an sangat sulit ditransfer ke dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme inilah kemudian yang "memaksa" bahwa metode sima'i, talaqqi, dan musyahafah merupakan satu-satunya cara dalam mentransmisikan lagu-lagu Al-Qur’an.

G.    Kesimpulan
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagaimana berikut:
1.    Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syariat, apalagi mentradisikannya.
2.    Bukti kemukjizatan Al-Qur’an sebagai naluri kebahasaan orang Arab, karena Al-Qur’an mempunyai banyak susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga stiap orang Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya, tanpa mengganggu kemukjizatan Al-Qur’an yang didatangkan Rasulullah kepada mereka.
3.    Kemukjizatan Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab, perubahan lafazh pada bagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan berbagai hukum dari padanya.
4.    Seorang qari’ belumlah dikatakan ahli qari’at maskipun ia hafal sepuluh dan empat belas sistem qira’at sebelum ia membuktikan kebenarannya dengan memperdengarkan secara lisan
5.    Didalam sistem qariat, lebih mengedepankan fikiran umum ulama ahli qira’at, agar memahami nash-nash al-Qur’an berdasarkan sumber riwayat yang mutawatir.
6.    Hadits yang menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam “tujuh huruf”, maka kita bisa mempelajarinya dalam setiap qira’at yang secara mutawatir mengandung salah satu diantara “tujuh huruf”. Dengan ini, acuannya pada nash yang paling benar, bukan kepada yang paling cocok dengan bahasa Arab.
7.    Secara kognisi dan psikomotorik umat Islam terhadap nagham tidak selazim ilmu tajwid. Kata nagham secara etimologi paralel dengan kata ghina yang bermakna lagu atau irama. Secara terminologi nagham dimaknai sebagai membaca Al-Qur’an dengan irama (seni) atau suara yang indah dan merdu atau melagukan Al Quran secara baik dan benar tanpa melanggar aturan-aturan bacaan.

H. Daftar Pustaka

Abu Abdullah Az-Zanjani, Allamah M.H. Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka.
Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung CV Pustaka Setia, 1998).
Al-Barry, M. Dahlan, dan A Partanto, Pius, Kamus Ilmiah Populer, (Arloka Surabaya).
As-Shahih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, Tim Pustaka Firdaus, 1990).
Al-Qaththan, Manna’, Syaikh, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar).
Aziz, Ali, Pengetahuan Dasar Al-Qur’an, (Surabya, Imtiyaz Surabaya, 2011).
Belajar Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://abrahkreatif.blogspot.com/2010/01/kesamaan-antara-seni-musik-dan-seni.html, diterbitkan pada 11 Februari 2011.
Belajar Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://klikanwar.blogspot.com/2011/01/belajar-irama-seni-baca-al-quran-dengan.html, diterbitkan pada 11 Februari 2011.
Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro, 2003).
Ichwan, Nor, Mohammad, Stufi Ilmu-ilmu Al-Qaur’an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008).
Marzuki, Kamaluddin, Rosda Karya, Ulum Al-Qur’an, (Bandung 1413).
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press, Juli 2011).
Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Stufi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2005).
Sekilas Tentang Nagham (Irama) Al-Qur’an dan Historisnya http://kolongdapur.blogspot.com/2008/10/sekilas-tentang-nagham-irama-al-quran.html, diterbitkan pada Februari 2008.


[1] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 195.
[2] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 355.
[3] Kamaluddin Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1 Muharram 1413), hlm, 39. 
[4] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 196-200.
[5] Ibid., hlm, 198.
[6] Kamaluddin Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an,(Bandung, Rosda Karya Bandung, 1 Muharram 1413), hlm, 43. 
[7] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 201.
[8] Ibid., hlm, 201.
[9] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 201.
[9] Ibid, hlm, 367.
[10] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Arloka Surabaya), hlm, 645.
[11] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 201.
[12] Ibid., hlm, 201-202.
[13] MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press Juli 2011), hlm, 203.
[14] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 211.
[15] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 211.
[16] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia 1998), hlm, 374-375.
[17] Allamah dan Abu Abdullah Az-Zanjani, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, (PT Mizan Pustaka), hlm: 225.
[18] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Pustaka Firdaus Jakarta, 1990), hlm, 349.
[19] Ibid., hlm, 350.
[20] Ibid., hlm, 350-351.
[21] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Pustaka Firdaus Jakarta 1990), hlm, 352.
[22] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 213.
[23] MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press, Juli 2011), hlm, 205.
[24] Kamaluddin Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1 Muharram 1413), hlm, 108.
[25] Kamaluddin Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1 Muharram 1413), hlm, 108-109.
[26] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998,), hlm, 378.
[27] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 380.
[28] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 220.
[29] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 381.
[30] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 222.
[31] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 382.
[32] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 383.
[33] Ibid., hlm, 384.
[34] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 223.
[35] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 384.
[36] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 224.
[37] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 225.
[38] Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 385.
[39] Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel Press, 2005), hlm, 34-35.
[40] KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag, Pengetahuan Dasar Al-Qur’an, (Surabaya, Imtiyaz Surabaya, 2011), hlm, 170.
[41] Belajar Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://klikanwar.blogspot.com/2011/01/belajar-irama-seni-baca-al-quran-dengan.html, diterbitkan pada 11 Februari 2011.       
[42] Belajar Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://abrahkreatif.blogspot.com/2010/01/kesamaan-antara-seni-musik-dan-seni.html, diterbitkan pada 11 Februari 2011.     
43 Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro, 2003), hlm, 458.
[44] Sekilas Tentang Nagham (Irama) Al-Qur’an dan Historisnya, http://kolongdapur. blogspot.com/2008/10/sekilas-tentang-nagham-irama-al-quran.html, diterbitkan pada Februari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar