AL-QUR'AN DITURUNKAN DALAM TUJUH HURUF
A. Pengantar
Banyak terjadi kesalahan dan penyimpangan dalam
memahami al-Qur’an, di samping disebabkan oleh fanatik golongan, juga
disebabkan oleh tidak dikuasainya ilmu-ilmu al-Qur’an ini. Di sisi lain, ilmu
ini diciptakan oleh para ulama sebagai antisipasi terhadap sabda Nabi Muhammad
saw, yang menyatakan bahwa “Barang siapa berkata tentang al-Qur’an tanpa
didasari oleh ilmu pengetahuan, maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya
di dalam neraka” (HR. al-Tirmidzi).
Sama dengan Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu
dalam Ulum al-Qur’an. Ilmu ini tidak banyak dikaji kecuali oleh kalangan
tertentu, yakni di kalangan akademik. Hal ini terjadi dikarenakan antara lain
karena ilmu qira’at ini tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara
langsung dengan kehidupan manusia seperti masalah halal-haram atau hukum-hukum
tertentu dalam kehidupan manusia.
Sungguhpun tidak banyak peminatnya, ilmu ini
termasuk ilmu yang sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan
berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan
Rasulullah saw. Para ahli qira’at telah mencurahkan segala kemampuannya demi
mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian mereka telah menjadikan
al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan dan masuknya
unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an.
B.
Kaitan
Dialek Dan Bahasa Suku-suku Arab Berkaitan Dengan Bahasa Al-Qur’an
Orang Arab mempunyai keberagaman lahjah
(dialek) dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara
komprehensif dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama terdiri
dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah yang lain.
Namun kaum Quraisy mempunyai faktor-faktor yang membuat bahasa mereka lebih
unggul dari bahasa Arab lainnya, antara lain karena tugas mereka menjaga
Baitullah, menjamu para jemaah haji, memakmurkan Masjidil Haram dan menguasai
perdagangan. Oleh sebab itu, seluruh suku bangsa Arab menjadikan bahasa Quraisy
sebagai bahasa ibu bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya berbagai
karakteristik tersebut. Dengan demikian, wajarlah jika Al-Qur’an diturunkan
dalam bahasa Quraisy, kepada Rasul yang Quraisy pula, untuk mempersatukan
bangsa Arab, dan mewujudkan kemukjizatan Al-Qur’an sekaligus kelemahan ketika
mereka diminta untuk mendatangkan satu surat yang seperti Al-Qur’an.
Apabila orang Arab berdialek dalam mengungkapkan
sesuatu makna dengan beberapa perbedaan pendapat tertentu, maka Al-Qur’an yang
diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, menyempurnakan makna mukjizatnya karena ia
mencakup semua huruf dan ragam qira’ah
diantara
lahjah-lahjah itu. Ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk
membaca, menghafal dan memahaminya. Ada beberapa hadits secara mutawatir
mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf sab’atu
ahruf. Diantaranya : [1]
آقرأني
جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستز يده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة
أحرف
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf.
Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya
kepadaku sampai dengan tujuh huruf”
Hadits mutawatir yang mengemukakan bahwa bahasa
Al-Qur’an mudah dipahami oleh orang-orang Arab. Karena hadits tersebut acuannya
kepada firman Allah SWT, yang berbunyi:[2]
اناانزلنه
قراناعربيالعلكم تعقلون (يوسف : ٢ )
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkannya beberapa
Al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yusuf: 2).
C. Macam-macam Pendapat Para Ulama Tentang Nuzul
Al-Qur’an ‘Ala Sab’ati Ahrufin
Awal mulanya terjadinya perdebatan dan perbedaaan
pendapat para ulama tentang Nuzulul Qur’an Ala Sab’ati Ahrufin berawal dari
suatu ketika Hisyam bin Hakim shalat jahr. Ia membaca surat Al-Furqan. Rupanya
Umar memperhatikan bacaan Hisyam bin Hakim itu mendengar “kejanggalan” bacaan
hisyam. Ada beberapa lafazh Hisyam yang belum pernah diketahui Umar. Padahal,
sepengatahuan Umar, Rasulullah tidak pernah mengajkarkan bacaan yang baru saja
dibaca oleh Hisyam. Sahabat Rasulullah SAW. Yang terkenal spontan ini nyaris
tak sabar, ingin langsung menegor Hisyam. Tapi, untung Umar mampu bertahan,
menanti sampai Hisyam usai shalat. Begitu selesai shalat, Umar langsung
menegornya. “Siapa yang mengajarkanmu membaca surah ini?”, tegur Umar dengan
berang. “Aku diajarkan membacanya oleh Rasulullah”, jawab Hisyam. Tapi rupanya
Umar tak percaya dengan jawaban Hisyam dan sampai mengatakan: “Kau bohong!”.
Kemudian Umar mengadu kepada Rasulullah atas kejadian tadi. Maka Rasulullah
menjawabnya: “Ajaklah ia ke sini, hai Umar”. Rasulullah lalu menyuruh Hisyam
membaca surah Al-Furqan yang tadi dianggap berbeda oleh Umar. Setelah mendengar
bacaan Hisyam Rasulullah membenarkannya dan bersabda :[3]
إن هذاالقران انزل على سبعة احرف فاقرأوا ماتيسرمنه
Artinya: Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dengan
tujuh hurf, maka bacalah yang mudahnya”
Namun, ketika
Rasulullah telah wafat. Para ulama berbeda pendapat dalam penafsiran maksud
tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibnu Hayyan
mengatakan,
“Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh
lima pendapat”. Namun kebanyakan pendapat-pendapat itu bertumpah tindih. Disini
kami akan mengemukakan beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling
mendekati kebenaran. Adapun pendapat pata ulama, antara lain:[4]
Pertama, sebagian besar ulama
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa
dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Jika bahasa mereka berbeda-beda
dalam mengungkapkan satu makna, maka Al-Qur’an pun diturunkan dengan lafazh
sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak
ada perbedaan, maka Al-Qur’an hanya mendatangkan satu lafazh atau lebih saja.
Menurut Abu Hatim As-Sijistani, bahwasanya Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa
Quraisy, Hudzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Kedua, yang dimaksud dengan
tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang ada, yang mana
dengannyalah Al-Qur’an diturunkan dengan pengertian bahwa kata-kata dalam
Al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi, yaitu
bahasa yang paling fasih di kalangan bangsa Arab, meskipun sebagian besarnya
bahasa Quraisy. Menurut pengertian diatas tadi, sangatlah jelas, bahwa yang
dimaksud tujuh huruf adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surat
Al-Qur’an, bukan tujuh huruf yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Ketiga, sebagian ulama
menyebutkan, yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh segi, yaitu: amr
(perintah),
nahyu (larangan),
wa’d (ancaman),
jadal (perdebatan),
qashash (cerita) dan mastsal
(perumpamaan).
Atau amr, nahyu,
halal, haram,
muhkam, mutasyabih
dan
amstsal. Diriwayatkan dari
Ibnu Mas’ud , Rasulullah bersabda:[5]
“Kitab
umat terdahulu dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Al-Qur’an
diturunkan melalui tujuh pintu dan dengan tujuh huruf, yaitu; zajr (larangan),
amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
Keempat, segolongan ulama berpendapat,
bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya
terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu :
1.
Iktilaful
asma’ (perbedaan kata benda):
dalam bentuk mufrad mudzakkar dan
cabang-cabangnya, seperti tatsniyah,
jamak dan
ta’nits.
Misalnya
firman Allah dalam surat Al-Mukmin 8: وعهد
هم رعون والذ ين هم لأ منتهم dibaca dengan bentuk jamak dan dibaca pula
dengan bentuk mufrad. Sedang rasmnya
dalam
huruf mushaf adalah لأ
منتهمyang
kemungkinan kedua qira’at itu
karena tidak adanya alif yang
mati (sukun). Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qira’at
itu
adalah sama. Sebab bacaan dalam bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istighraq
(mencakupi)
yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan untuk mufrad dimaksudkan
untuk jenis yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan bentuk mufrad
dimaksudkan
untuk jenis yang menunjukkan makna yang banyak, yaitu semua jenis amanat
yang
mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
2.
Perbedaan dalam
segi i’rab,
seperti firman Allah Ta’ala: ما هذا بشرا
(Yusuf: 31) Jumhur membacanya
dengan nashab, sebab “ما”
berfungsi seperti “ليس”
sebagaimana bahasa penduduk Hijaz, dengan bahasa inilah Al-Qur’an diturunkan.
Adapun Ibnu Mas’ud membacanya dengan rafa
ما هدا بشرا, sesuai dengan bahasa Tamim, karena mereka
tidak mengfungsikan ما seperti ليس
juga seperti firman-Nya: كلمت
فتلقى ءادم من ربه dalam Al-Baqarah: 37. Disini ءادم
dibaca dengan nashab
dan
كلما ت dibaca dengan rafa’
كلما
ت.
3.
Perbedaan dalam tashrif,
seperti firman-Nya: فقا لوا ربنا ب
عدبين أسفارنا
dalam
(Saba’: 19), dibaca dengan menashabkan
ربناkarena menjadi mudhaf dan باعدdibaca dengan bentuk
perintah (fi’il
amr). Disini, lafazh
ربنا dibaca pula rafa’
(ربنا)
sebagai mubtada’
dan
با عد
dengan membaca fathah huruf ‘ain
sebagai
fi’il madhi. Juga dibaca بعد
dengan membaca fathah dan mentasydidkan huruf ‘ain dan
me rafa’kan
lafazh ربنا.
4.
Perbedaan dalam taqdim
(mendahulukan)
dan ta’khir (mengakhirkan), baik
terjadi pada huruf seperti firman-Nya: أفلم
ييأ س dibaca (Ar-Ra’ad: 31), maupun di dalam kata seperti: أفلم
يأيس (At-Taubah: 111) di
mana yang pertama dibaca dalam bentuk aktif, dan yang kedua dibaca dalam bentuk
pasif, juga dibaca dengan sebaliknya, yaitu: yang pertama dijadikan bentuk
pasif dan yang kedua dibaca dalam bentuk aktif.
5.
Perbedaan dalam
segi ibdal
(penggantian),
baik penggantian huruf dengan huruf, seperti وانظرإلى
العظام كيف نشزها (Al-Baqarah: 159) yang dibaca dengan huruf
za’ dan
mendhamamkan nun, tetapi juga
dibaca dengan huruf ra’
dan
menfathakan nun. Maupun
menggantikan lafazh dengan lafazh, seperti firman-Nya: كالعهن
المنفوش(Al-Qari’ah: 5) Ibnu Mas’ud dan lain-lain membacanya dengan كالصوف
النفوش. Terkadang penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan
makhraj atau tempat keluar huruf, seperti: طلح منصود (Al-Waqi’ah: 29), dibaca dengan طلح منضودkarena
makhraj ha’ dan
‘ain
itu
sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
6.
Perbedaan dengan
sebab adanya penambahan dan pengurangan. Dalam penambahan misalnya: وأعدلهم
جنات تجرىتحتهاالأنهار (At-Taubah: 100), dibaca dengan tambahan من yaitu: من تحتهاالأنهارkeduanya
merupakan qira’at mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqsh),
seperti: قلواتحذاالله ولدا
(Al-Baqarah: 166), tanpa huruf wawu (و).
Jumhur ulama membacanya وقلوااتخذاالله ولدا.
7.
Perbedaan lahjah
dengan pembacaan tafkhim
(tebal)
dan tarqiq
(tipis),
fathah dan
imalah, izhar
dan
idgham, hamzah
dan
tas-hil, isyam,
dan lain-lain. Seperti membaca imalah
dan
tidak imalah
seperti:
هل
أتاك حد يث موسى(Thaha: 9), yang dibaca dengan mengimalahkan
kata أتى dan موسى.
Membaca taqriq
huruf
ra’ dalam
خيرابصيرا menafkhimkan huruf lam
dalam
kata الطلاق, mentan-hilkan (meringankan) huruf hamzah}
dalam
ayat: قدأفلح(Al-Muminun: 1), huruf ghain dengan didhamahkan bersama kasrah}
dalam
ayat: وعيض
الماء (Hud: 44) dan seterusnya.
8.
Sebagai ulama
ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak bisa diartikan secara
harfiah, tetapi angka tujuh tersebut hanya sebagai simbol kesempurnaan menurut
kebiasaan orang Arab. Dengan demikian maka kata tujuh adalah isyarat bahwa
bahasa dan susunan Al-Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi semua
perkataan orang Arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi.
9.
Ada juga ulama
yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at sab’ah.
Pendapat yang telah disebutkan diatas tadi,
sangatlah jelas bahwa merujuk kepada hadis. Diantaranya hadis Abu Hurairah ynag
mengatakan:[6]
انزل القرآن على سبعة احرف عليما حكيماغفورارحيما
D.
Analisis
Tarjih Atas Macam-macam Pendapat Tujuh Huruf
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut adalah
pendapat pertama, yang mengatakan bahwa tujuh hurf yang dimaksud adalah tujuh
macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama,
misalnya: aqbala,
ta’al, halumma, ‘ajala dan asra’a.
Lafazh-lafazh yang berbeda ini digunakan untuk menunjuk pada satu makna.
Ibnu Abdil Barr menisbatkan pendapat ini kepada
sebagian besar ulama. Bahawa dalil ini ialah apa yang terdapat dalam Al-hadits
Abu Bakrah yang menyebutkan, bahwasanya Jibril Berkata, “Hai Muhammad, bacalah
Al-Qur’an dengan satu huruf” lalu mikail berkata, “Tambahkanlah”. Jibril
berkata lagi, “Dengan dua huruf”. Jibril terus menambahnya sehingga sampai
dengan enam atau tujuh huruf. Jibril terus menambahnya hingga sampai dengan
enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata, “Semua itu obat penawar yang memadai,
selama ayat adzab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak
ditutup dengan ayat adzab. Seperti kata-kata: halumma, ta’ala, aqbil, idzhab, asra’a
dan
‘ajala.[7]
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Maksud hadits ini hanyalah
sebagai contoh mengenai huruf-huruf yang dengannya Al-Qur’an diturunkan.
Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi
ucapannya. Dan tidak satu pun di antaranya yang mempunyai makna atau sisi-sisi
yang saling berlawanan, seperti rahmat yang merupakan lawan dari adzab.[8]
Sedangkan pendapat yang mendekati kebenaran adalah
pendapat yang dipilih oleh Imam Az-Zarqani dalam kitabnya Manahilul Irfan. Ia
memperkuat dengan alas an-alasan sebagai berikut:[9]
1.
Pendapat ini
didukung oleh hadits-hadits.
2.
Pendapat ini
berpegang pada teori penyelidikan yang detail terhadap qira’at dan sumbernya,
yaitu tentang huruf yang tujuh.
3.
Tidak ada
bantahan terhadap pendapat ini.
E.
Sejarah
timbulnya Qira’ah 7, Qira’ah 10 dan Qira’ah 14
Secara etimologis, qira’at artinya bacaan atau
pembacaan (Al-Qur’an).[10]
Namun pada dasarnya qira’at merupakan term qira'at seakar
dengan term Al-Qur'an, yaitu akar kata dari kata qar'a yang
berarti tala
(membaca).
Term qara'a
merupakan bentuk masdhar
(verbal
noun) dari kata qara'a,
yang artinya bacaan.[11]
Sedangkan secara terminologis, terdapat berbagai
ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan
pengertian qira'at ini. Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. abdul Hadi
al-Fadli, mengemukakan definisi qira'at sebagaimana berikut:[12]
القراءات
علم يعلم منه إتفاق الناقلين لكتاب الله تعالى واختلافهم فى الحذ ف والإثبات
والتحريك والتسكين
والفصل والوصل وغيرذالك من هيًة الطق والإبدال وغيره من حيث السماع
Qira'at itu sebuah ilmu untuk mengetahui cara
pengucapan lafal-lafal al-Qur'an, baik yang disepakati maupun yang
diikhtilafkanolah para ahli qira'at, seperti hafzh (membuang
huruf), isbat
(menetapkan huruf), tahrik (memeberi
harakat), taskin
(member
tanda sukun), fashl
(memisahkan huruf), washl (menyambung
huruf), ibdal
(mengganti
huruf atau lafaz tertentu), dan lain-lain yang diperolehkan melalui indera
pendengaran. Selain itu, qira’at merupakan cabang ilmu dalam Ulum al-Qur’an.
Ilmu ini tidak banyak dikaji kecuali kalangan akademik. Hal ini terjadi
dikarenakan antara lain karena ilmu qira’at in tidak mempelajari
masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan kehidupan manusia seperti
masalah halal-haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan.[13]
Dalam istilah keilmuan, qira'a
adalah
salah satu madzhab
pembacaan
Al-Qur'an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab
yang berbeda.[14] Qira'at
ini
didasarkan kepada sanad-sanad yag bersambung kepada Rasulullah SAW. Periode
Qurra' yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an kepada orang-orang menurut cara mereka
masing-masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para
sahabat yang terkenal mengajarkan qira'at ialah Ubay, Ali, Zaid bin Tsabit,
Ibnu Mas'ud, Abu Musa,Al-Asy'ari dan lain-lain.[15] Dari mereka
kebanyakan para sahabat berpedomana kepada Rasulullah SAW. Sampai dengan
datangnya masa tabi'in pada permulaan abad ke-2 H. selanjutnya, timbul
golongan-golongan yang sangat memperhatikan tanda baca secara sempurna manakala
diperlukan dan mereka menjadikan sebagai satu cabang dari ilmu sebagaimana
halnya ilmu-ulmu syari'at yang lain.[16] Sedangkan
orang-orang yang belajar qira’at pada masa itu, meriwayatkannya dengan
menyebutkan sanadnya dan sering menghafalkan qira’at yang diriwayatkan oleh
dari guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa
itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi.[17]
Dalam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh
karena itu, harus belajar langsung pada guru, kemudian menghafalkan dan
meriwayatkannya.
Pada masa khalifah Utsman mengirimkan mashahif ke
pelosok negeri yang dikuasai Islam, beliau menyertakan orang yang sesuai
qiraatnya dengan mashahif tersebut. Qira'at ini berbeda satu dengan lainnya
karena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula. Perbedaan ini berlanjut
pada tingkat tabi'in di setiap daerah penyebaran. Demikian seterusnya sehingga
sampai pada munculnya imam qurra’. Begitu banyaknya jenis qira'at sehingga
seorang imam, Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salam (w. 224 H) tergerak untuk menjadi
orang pertama yang mengumpulkan berbagai qira'at dan menyusunnya dalam satu
kitab. Menyusul kemudian ulama lainnya menyusun berbagai kitab qiraat dengan
masing-masing metode penulisan dan ketegorisasinya. Demi kemudahan mengenali
qira’at yang banyak itu, pengelompokan dan pembagian jenisnya adalah cara yang
sering digunakan. Maka dari segi jumlah, ada tiga macam qiraat yang terkenal
yaitu, qiraat sabah, ‘asyrah, dan arba’ asyrah. Sedangkan Ibn al-Jazari
membaginya dari segi kaidah hadits dan kekuatan sanadnya. Namun demikian kedua
pembagian ini saling terkait satu dengan lainnya. Paparan berikut membatasi
penjelasan hanya pada asal-usul timbulnya beberapa peristilahan di atas, yaitu
qira’at sab’ah, ‘asyrah, dan syadzah.
1.
Qira'ah
Sab'ah
Pada
dasawarsa pertama abad IV Hijrah, Abu Bakar Ahmad bin Musa al-'Abbas yang
dikenal seorang ulama besar dari Baghdad yang pada permulaan tahun ke-300 H di
Bagdad menghimpun tujuh system qira'at dari tujuh orang imam al-Harami (Mekkah
dan Madinah), kufah Bashrah dan Syam, yang semuanya terkenal sebagai para Imam
terpercaya, jujur dan ahli dibidang ilmu qira'at.[18] Penghimpun yang dilakukan oleh Imam
besar bersifat kebetulan, sebab diluar mereka ada ahli qira'at yang lebih
berbobot dan jumlahnyapun tidak sedikit.
Namun
Abu Bakar Ahmad bin Musa al-'Abbas pernah dikecam atas tuduhan bahwa ia telah
mengakibatkan dipandang telah
mengaburkan persoalan dengan meresahkan orang-orang yang berpandangan picik
bahwa qira’at ini adalah tujuh huruf yang disebut dalam al-hadits. Karena
istilah tujuh system qira'at tidak dikenal di negeri-negeri Islam ketiaka para
ulama mulai menciptkan system qira'at. Para ahli qira'at terdahulu, seperti Abu
'Ubaidah al-Qasim bin Salam, Abu Ja'farat at-Thabari dan Abu Hatim as-Sajistani[19],
dalam kitabnya masing-masing menyebut jumlah system qira'at jauh lebih banyak
daripada hanya sekedar tujuh system. Istilah qira’at sab’ah di zaman Abu
al-Abbas memang belum populer. Tetapi bukan berarti tidak ada. Qira’at ini
sesungguhnya telah akrab di dunia akademis sejak abad II Hijrah. Yang membuat
tidak atau belum memasyarakatnya qira’at tersebut adalah karena kecenderungan
ulama-ulama saat itu hanya memasyarakatkan satu jenis qira’at saja dengan
mengabaikan qira’at yang lain, baik yang tidak benar maupun dianggap benar.
Istilah
tujuh sisten qira'at baru dikenal orang pada tahun ke-200 H, yaitu setelah
banyak orang di negeri-negeri Islam menerima baik system qira'at dari beberapa
Imam dengan menerimanya dari Imam-iama yang lainnya. Ibn Mujahidlah, dengan
tantangan yang dihadapinya, melakukan terobosan dengan mengumpulkan tujuh jenis
qira’at yang mempunyai sanad bersambung kepada sahabat Rasulullah terkemuka.
Mereka adalah:[20]
1.
Abdullah ibn
Katsir al-Dariy dari Makkah (w. 120 H)
2.
Nafi’ ibn Abd
al-Rahman ibn Abu Nu’aim, dari Madinah (w. 169 H)
3.
Abdullah
al-Yashsibiyn atau Abu ‘Amir al-Dimasyqi dari Syam (w. 118 H)
4.
Zabban ibn
al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr dari Bashrah (w. 154 H)
5.
Ibn Ishaq
al-Hadrami atau Ya’qub dari Bashrah (w. 205 H)
6.
Ibn Habib
al-Zayyat atau Hamzah dari Kufah (w. 188 H)
7.
Ibn Abi al-Najud
al-Asadly atau ‘Ashim dari Kufah (w. 127)
Ketika
itu Ibn Mujahid menghimpun qira’at-qira’at mereka, ia menandakan nama Ya’qub
untuk digantikan posisinya dengan al-Kisai dari Kufah (w. 182 H). Pergantian
ini memberi kesan bahwa ia menganggap cukup Abu ‘Amr yang mewakili Bashrah.
Sehingga untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama yaitu, Hamzah, ‘Ashim dan
al-Kisai. Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, namun
kemasyhuran tujuh imam tersebut semakin luas setelah Ibn Mujahid secara khusus
membukukan qira’aibt-qira’at mereka.
2.
Qira'ah
'Asyrah
Selain
tujuh qira’at di atas yang ditetapkan Ibn Mujahid, masih ada tiga qira’at lagi
yang qira’atnya, sesuai persyaratan yang ditetapkan, masih bisa diterima.
Karena itu kemudian dikenal pula istilah qira’at ‘asyrah. Tiga tambahan itu
adalah:[21]
1.
Qira’at Ya’qub
(yang digeser oleh Ibn Mujahid dari qira’at sab’ah untuk diganti dengan al
Kisai)
2.
Qira’at Khalaf
ibn Hisyam (w. 229). Beliau belajar ilmu qira’at kepada Sulaiman bin ‘Isa bin
Hamzah bin Habib az-Zayyat.
3.
Qira’at Yazid
ibn al-Qa’qa’ yang masyhur disebut Abu Ja’far (w. 130 H). Beliau berguru kepada
Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah dan Ubay bin Ka’ab.
Untuk
diterimanya qira’at para ulama menetapkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.
Mutawatir yaitu
yang diriwayatkan oleh sekelompok orag banyak dari orang banyak, dan mereka
tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Adapun qira’at yang tergolong mutawatir,
yaitu qira’at
sab’at (qira’ah tujuh) dengan
para Imam qira’atnya yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Nafi’, Ibn Kasir, Abu
‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Ashim, Hamzah, dan al-Kisa’i.[22]
2.
Sesuai dengan
kaidah bahasa Arab
3.
Sesuai dengan
tulisan (rasm) mushhaf utsmani
4.
Mempunyai sanad
yang shahih
Isnad
para ahi Hadis mempunyai pengaruh yang jelas didalam masalah asal-usul system
qira’at. Sama halnya dengan para ulama hokum syara’ dan tafsir yang boleh
menarik kesimpulan hanya berdasarkan Hadis-hadis yang berisnad shahih. Karena
itu dalam sumber isnad terdapat terulang-ulang nama parasahabat Nabi yang
menjadi pangkal berita-berita Hadis yang menegenai berbagai persoalan. Dengan
ini sudah jelas, bahwa penetapkan hukum syara’, ulama beristinbath kepada
riwayat-riwayat yang bersanad shahih, begitu pula dalam penerimaan qira’at,sehingga
sistem qira’at bisa diterima oleh orang banyak.
3.
Qira’at
Arba’ Asharah
Qira’at
Arba’ Asharah merupakan tambahan dari empat qira’at yang disandarkan kepada
al-Hasan al-Basri, Ibn Muhasyin, Yahya al-Yazidi, dan ash-Shanbudhi.[23]
4.
Qira'ah
Syadz
Qira’at
Syadz adalah qira’at yang sanadnya tidak shahih. Yakni tidak memenuhi
persyaratan yang diminta untuk keabsahan sebuah qira’at. Misalnya: tidak
mutawatir, atau tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, atau tidak sesuai
dengan tulisan Musyhaf Utsmani.[24]
Jika
diperhatikan tiga rukun pertama di atas, maka besar kemungkinan dapat diketahui
bahwa qira’at syadzah muncul pada masa pemerintahan khalifah Utsman ibn ‘Affan
ketika al-Qur’an telah dikodifikasikan dan adanya perintah untuk membakar semua
tulisan yang al-Qur’an selain yang dibentuk Utsman bin ‘Affan. Peristiwa tersebut
merupakan batas yang membedakan dan menentukan antara qira’at shahih dengan
qira’at syadzah. Oleh sebab itu persesuaian antara satu qira’at dengan rasm
Utsmani merupakan salah satu syarat shahihnya qira’at tersebut.
Di
samping Mutawatir dan syadz, juga terdapat jenis qira’at lain yang dikenal di
dalam dunia ilmu Al-Qur’an. Yakni:[25]
1.
Masyhur. Qira’at Masyhur adalah qira’at
yang sanadnya shahih karena diriwayatkan oleh tokoh adil, dhabit
(mempunyai
ketelitian tulisan atau hafalan yang baik), sesuai dengan kaidah bahasa Arab
dan sesuai dengan tulisan Musyhaf Utsman. Misalnya qira’at yang diriwayatkan
oleh satu dari tujuh qari’ terkemuka yang diiventarisasi Ibnu Mujahid,
sementara tokoh-tokoh qari’ lainnya tidak meriwayatkan qari’at tersebut.
2.
Shahih Sanad. Qira’at macam
ini sanadnya sahih, tetapi tidak sama dengan tulisan Musyhaf Utsman atau tidak
seterkenal Qari’at Masyhur dan Mutawatir. Qira’at yang disebut terakhir ini
tidak boleh dibaca dan tidak wajib diyakini kebenarannya.
3.
Maudhu’. Qira’at
ini hanya dinisbatkan kepada orang yang mengucapkannya tanpa usul-usl sama
sekali. Misalnya qira’at yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja’far al-Khuza’I
dan ia mengatakannya bersumber dari Abu Hanifah, padahal bukan.
Dr. Muhammad Salim Muhaisin, dalam kitab “fi Rihabi
al-Qur’an”, berpendapat bahwa batas yang membedakan dan menentukan antara
qira’at shahih dengan qira’at syadzah adalah pemeriksaan Jibril yang terakhir
terhadap qira’at al-Qur’an Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam
pemeriksaan terakhir ini, sebagian qira’at dinasakh, dan inilah yang dianggap
kemudian sebagai syadzah. Adapun dari segi sanad, qira’at syadzah ada
kemungkinan bersambung kepada Rasulullah. Demikian paparan singkat ini.
Penelitian ulang mengenai bahasan ini, khususnya, dan disiplin qira’at,
umumnya, adalah pekerjaan yang mungkin menjawab segala pertanyaan yang ada dan
segala keraguan yang masih tersimpan dalam benak setiap muslim. Wallahu a’lam
bi al shawab.
F.
Sejarah
Perkembangan Ahlul Qurra wal Huffadz dan Lagu-lagu Bacaan Al-Qur’an
Ilmu qira’at adalah ilmu yang lahir pada masa yang
sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang pertama menyusunnya adalah Abi
Ubaid Al-QasimIbnu Sallam, Abu Hatim As-Sajistani, Abi Ja’far At-Tabari dan
Ismail Al-Qadi.[26]
Awal terpopulernya qari’at adalah qari’at sab’ah
pada abad kedua hijriyah. Di Basrah orang membaca menurut qira’at Abi Amr dan
Yaqub. Di Kufah menurut qira’at Hamzah dan Ashim sedangkan di Syam menurut
qira’ah Ibnu Amir, di Mekah menurut qira’at Ibnu Katsir, dan di Madinah menurut
qira’at Nafi’.
Qira’at dibukukan pada akhir abad ketiga Hijriyah di
Baghdad atas usaha Imam Mujahid Ibnu Musa Ibnu Abbas. Beliau membukukan qira’at
yang tujuh hanya saja mencantumkan nama Al-Kisai dan tidak menyebut-nyebut nama
Yaqub. Pada masa itu pula ada beberapa Qari’ yang dikenal oleh orang-orang Arab
hingga sekarang.
1.
Ibnu
Amir
Nama
lengkapnya adalah Abdullah Al-Yahsubi, seorang qadi di Damaskus pada masa
pemerintahan Walid Ibnu Abdul Malik. Panggilannya adalah Abu Imran.[27]
Dia seorang tabi’in terkemuka, bertemu dengan (belajar kepada) Wa-tsilah
ibn al-Asqa’ dan an-Nu’man ibn Basyir. Dia mengambil qari’ah dari al-Mughirah
ibn Abi Syihab al-Makhzumi dari Utsman ibn Affan dari Rasulullah SAW.
Dikatakan, bahwa ia membaca dihadapan Utsman secara langsung. Dia wafat di
Damaskus tahun 118 H. yang masyhur meriwayatkan qari’ahnya adalah Hisyam dan
Ibn Dzakwan, tetapi melalui murid-muridnya.[28]
2.
Ibnu
Katsir
Nama
lengkapnya adalah Abu Muhammad Ibnu Katsir Ad-Dari Al-Makki. Ia adalah imam
dalam hal qira’at di Mekkah. Ia adalah seorang tabi’in yang pernah hidup
bersama Abdullah Ibnu Jubair, Abu Ayyub Al-Ansari dan Anas Ibnu Malik. Dia
wafat di Mekkah pada tahun 120 H. Adapun yang masyhur meriwayatkan darinya
(muridnya) adalah al-Bazziy dan Qunbul. Mereka berdua wafat pada tahun 291 H.[29]
3.
Ashim
Al-Kuti
Nama
lengkapnya adalah Ashim Ibnu Abi An-Nujud Al-Asadi. Kata al-Najud al-Asadiy
diambil dari ungkapan "نجدت الثياب"
yang berarti saya meratakan sebagian pakaian dengan sebagian lainnya.[30] Beliau disebut juga dengan Ibnu
Bahladah. Panggilannya adalah Abu Bakar. Ia seorang tabi’in yang wafat sekitar
tahun 127-128 H. kedua perawinya adalah Syaubah yang wafat pada tahun 193 H di
Kufah.[31]
Semasa
hidupnya, ia seorang qarra’ yang handal, memiliki kecermatan, kehandalan,
kefashihan dan suara yang merdu dalam membaca al-Qur’an. Dan beliau pernah
membaca Ziir Ibn Hubaisy di hadapan Ahdullah ibn Mas’ud di hadapan Rasulullah
SAW.
4.
Abu
Amr
Nama
lengkapnya adalah Abu Amar Zabban Ibnul Ala Ibnu Ammar Al-Bashari, seorang guru
besar pada rawi. Disebut juga dengan nama Yahya. Menurut sebagian orang, nama
Abu Amradalah nama panggilannya. Beliau wafat di Kufah pada tahun 154 H.[32] Semasa hidupnya, beliau dikenal
dengan kejujurannya dan kepercayaan dalam agamanya. Sedangkankan Kedua
perawinya adalah Ad-Duri wafat pada tahun 246 H. dan As-Susi wafat pada tahun
261 H.
5.
Hamzah
Al-Kufi
Nama
lengkapnya adalah HamzahIbnu Habib Imarah Az-Zayyat Al-Fardhi At-Thaimi,
seorang bekas hamba Ikrimah Ibnu Rabi At-Thaimi. Dipanggil dengan Ibnu Imarah,
wafat pada masa khalifah Abu Ja’far Al-Manshur tahun 156 H.[33] Semasa hidupnya, beliau dikenal
sangat handal tentang Kitabullah, menguasai dengan baik, menetahui berbagai
kefardhuan dan kebahasaan serta hafidz dibidang hadits.[34] Adapun perawinya adalah Khalaf,
wafat tahun 299 H. dan Khallaad wafat tahun 220 H, dengan peantara Salim.
6.
Imam
Nafi’
Nama
lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nabi (Ibnu Abdur Rahman Ibnu Abi Naim Al-Laitsi,
asal dari Isfaham). Dengan kemangkatan Nafi’ berakhirlah kepemimpinan para
qari’ di Madinah. Beliau wafat pada tahun 169 H.[35]
Yang
masyhur meriwayatkannya antara lain Qalun dan Warasy. Qalun adalah Abu Musa Isa
ibn Mina al-Nahwiy, diberi nama la>qa>b karena
keindahan qari’ahnya. Sebab kata “Qalun” pada mulanya berarti “yang indah” atau
“yang baik”. Dia membaca dihadapan Nafi’ serta belajar secara khusus kepadanya.
Dia wafat tahun 220 H.[36]
7.
Al-Kisai
Nama
lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah. Beliau diberi laqab dengan al-Kisai, karena
sewaktu ihram dia menggenakan baju. Dilain sisi, beilau seorang Imam nahwu
golongan Kufah dan satu-satunya orang yang paling tahu tentang al-Gharib
serta paling pandai dalam masalah qari’ah.[37] Beliau wafat di Ranbawiyah, yaitu
sebuah desa di Negeri Ray ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama
Ar-Rasyid pada tahun 189 H. Adapun perawinya adalah Abdul Harits yang wafat
pada tahun 242 H. dan Ad-Duri yang wafat tahun 246 H.[38]
Ketujuh para Ahlul qurra’, memiliki sistem qiraa’t
yang bisa dipakai oleh orang-orang Arab-sekarang. Namun terdapat qira’at yang
sangat lemah bahkan sampai tertolak. Surat Al-Fatihah umpamanya para qari’
membacanya seperti cntoh di bawah ini:[39]
Qari’
Membacanya/Qira’at
|
Bacaan/Cara
|
حسن البصر
|
الحمدلله رب العالمين
|
قارئ الباقى
|
الحمدلله رب العالمين
|
عاصم الكسان
|
مالك
|
الباقى
|
مالك
|
أبوصا لح
|
مالك
|
سرع بن يزيد
|
مالك
|
عمرو
|
مالك
|
على بن أبوطالب
|
مالك
|
أبوهريرة
|
مالك
|
عمروبن قايد
|
إياك
|
ابن السور
|
هواك
|
يحي بن وثاب
|
تستعين
|
جعفربن محمد
|
إهدنا صراط المسثقيم
|
حسن البصرى
|
إهدنا صراطا المستقيما
|
ابن مسعود
|
ارشدناصراط المستقيم
|
ثابت البنانى
|
بصرنا الصراط المستقيم
|
عمربن احمد
|
صراط من انعمت
|
حمزة
|
عليهم
|
الحليل بن احمد
|
غيرالمغضوب
|
عمرابن الخطاب
|
غيرالمغضوب عليهموغيرالضالين
|
أبوالسحتيانى
|
ولآالضالين
|
Surat Al-Fatihah
minimal dapat dibaca sebagaimana tersebut di atas, walaupun di antara bacaan
itu, ada yang masyhur ada yang tidak.
Membaca Al-Qur’an dengan suara merdu sangat
dianjurkan dan Al-Qur’an memiliki keindahan bahasa serta lebih indah jika
dibaca dengan lagu baik. Terkait dengan anjuran melagukan bacaan al-Qur’an,
Nabi SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak melagukan bacaan al-Qur’an, maka ia
bukan pengikut kami” (Imam Dawud, 1994:I: 546: nomor 1469). Pada hadits lain,
Nabi SAW bersabda, “Hiasilah bacaan al-Qur’an dengan suara kalian” (Abu Dawud,
1994:I: 546: nomor 1469).[40]
Dalam nagham ada beberapa tingkatan seni baca al-Qur’an,
atara lain: 1) Mu’allam
: Seni baca al-Qur’an dasar, 2) Murottal :
Seni baca al-Qur’an lanjutan, 3) Mujawwad :
Seni baca al-Qur’an yang menggunakan nada rendah sedang dan tinggi dengan irama
yang khusus.[41]
Selain itu, ada macam-macamnya jenis irama bacaan al-qur'an:[42]
1.
Bayati,
contohnya: سَيِّدِي بِالَّذِي أَمَآدَّكَ بِالْحُسْنىَ وَأَوْلاَكَ بَهْجَةً وَجَمَالاً
2.
Shoba,
contohnya: ارا طيرا على غصن ينادي
3.
Hijaz,
contohnya: يا وردة والصطرياضي مظلة تزري بوجه ذات حطر عاطرا
4.
Nihawand,
contohnya: بيمناك بحر عطي بيا ني, فهلل وبشر بدين اله
5.
Rast, contohnya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْحَاقَّةُ
6.
Sika, contohnya:
مو لا يكتبت رحمة الناس عليه فضلا وكرم
7.
Jiharka,
contohnya: الله زاد محمد تعظيما,وحباه فضلامن لدنه عليما
Keberadaan ilmu nagham, tidak sekedar realisasi dari
firman Allah dalam suroh Al Muzzammil ayat 4,"
اوزدعليه
ورتل القرآن ترتيلا (المزمل : ۴)
Artinya:
Atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan
perlahan-lahan (Q.S Al-Muzammil: 4)[43]
Maksud dari suroh Al-Muzammil tersbut adalah bacalah
Al Quran itu secara tartil", akan tetapi merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbudaya yang
memiliki cipta, rasa, dan karsa. Rasa yang melahirkan seni (termasuk nagham)
merupakan bagian integral kehidupan manusia yang didorong oleh adanya daya
kemauan dalam dirinya. Kemauan rasa itu sendiri timbul karena didorong oleh
karsa rohaniah dan pikiran manusia.
Nagham merupakan salah satu dari sekian ekspresi
seni yang menjadi bagian integral hidup manusia. Bahkan nagham ini telah tumbuh
sejak lama. Ibnu Manzur menyatakan bahwa ada dua teori tentang asal mula
munculnya nagham Al Quran. Pertama, nagham Al-
Quran
berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, nagham terinspirasi dari
nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut
menegaskan bahwa lagu-lagu Al Quran berasal dari khazanah tradisional Arab
(tentu saja berbau padang pasir). Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa
lagu-lagu Al Quran idealnya bernuansa irama Arab. Sehingga apa yang pernah
ditawarkan Mukti Ali dalam sebuah kesempatan pertemuan ilmiah tentang
pribumisasi lagu-lagu Al Quran.[44]
Meski kedua teori tersebut hampir benar adanya tapi
tetap saja muncul permasalahan. Jika memang benar nagham Al-Qur’an berasal dari
seni Arab lalu siapakah yang pertama kali mengkonversikannya untuk lagu Al-Qur’an?
Sampai di sini ketidakjelasan. Dan lagi, jika memang benar nagham Al-Qur’an
berasal dari nyanyian tentu dapat direpresentasikan dalam not balok atau oktaf
tangga nada. Tapi kenyataannya tidaklah demikian, nagham Al-Qur’an sangat sulit
ditransfer ke dalam notasi angka atau nada. Dan karena sifat eksklusifisme
inilah kemudian yang "memaksa" bahwa metode sima'i, talaqqi, dan musyahafah
merupakan satu-satunya cara dalam mentransmisikan lagu-lagu Al-Qur’an.
G.
Kesimpulan
Dari
semua yang telah diuraikan sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan pokok
sebagaimana berikut:
1.
Untuk memudahkan
bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, yang setiap kabilahnya mempunyai
dialek masing-masing, dan belum terbiasa menghafal syariat, apalagi
mentradisikannya.
2.
Bukti
kemukjizatan Al-Qur’an sebagai naluri kebahasaan orang Arab, karena Al-Qur’an
mempunyai banyak susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek
bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang Arab, sehingga stiap orang
Arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya, tanpa mengganggu
kemukjizatan Al-Qur’an yang didatangkan Rasulullah kepada mereka.
3.
Kemukjizatan
Al-Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab, perubahan lafazh pada
bagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan
berbagai hukum dari padanya.
4.
Seorang qari’
belumlah dikatakan ahli qari’at maskipun ia hafal sepuluh dan empat belas
sistem qira’at sebelum ia membuktikan kebenarannya dengan memperdengarkan
secara lisan
5.
Didalam sistem
qariat, lebih mengedepankan fikiran umum ulama ahli qira’at, agar memahami
nash-nash al-Qur’an berdasarkan sumber riwayat yang mutawatir.
6.
Hadits yang
menegaskan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam “tujuh huruf”, maka kita bisa
mempelajarinya dalam setiap qira’at yang secara mutawatir mengandung salah satu
diantara “tujuh huruf”. Dengan ini, acuannya pada nash yang paling benar, bukan
kepada yang paling cocok dengan bahasa Arab.
7.
Secara kognisi
dan psikomotorik umat Islam terhadap nagham tidak selazim ilmu tajwid. Kata
nagham secara etimologi paralel dengan kata ghina yang bermakna lagu atau
irama. Secara terminologi nagham dimaknai sebagai membaca Al-Qur’an dengan
irama (seni) atau suara yang indah dan merdu atau melagukan Al Quran secara
baik dan benar tanpa melanggar aturan-aturan bacaan.
Abu Abdullah Az-Zanjani, Allamah M.H.
Thabathaba’i, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, PT Mizan Pustaka.
Ali
Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung CV Pustaka
Setia, 1998).
Al-Barry, M. Dahlan, dan A Partanto, Pius,
Kamus Ilmiah Populer, (Arloka Surabaya).
As-Shahih,
Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta, Tim Pustaka Firdaus,
1990).
Al-Qaththan,
Manna’, Syaikh, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar).
Aziz, Ali, Pengetahuan Dasar Al-Qur’an, (Surabya,
Imtiyaz Surabaya, 2011).
Belajar
Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://abrahkreatif.blogspot.com/2010/01/kesamaan-antara-seni-musik-dan-seni.html,
diterbitkan pada 11 Februari 2011.
Belajar
Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://klikanwar.blogspot.com/2011/01/belajar-irama-seni-baca-al-quran-dengan.html,
diterbitkan pada 11 Februari 2011.
Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro, 2003).
Ichwan,
Nor, Mohammad, Stufi Ilmu-ilmu Al-Qaur’an, (Semarang, Rasail Media
Group, 2008).
Marzuki,
Kamaluddin, Rosda Karya, Ulum Al-Qur’an, (Bandung 1413).
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi
Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press, Juli 2011).
Tim Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Pengantar Stufi Islam, (Surabaya, IAIN Sunan Ampel
Press, 2005).
Sekilas
Tentang Nagham (Irama) Al-Qur’an dan Historisnya http://kolongdapur.blogspot.com/2008/10/sekilas-tentang-nagham-irama-al-quran.html, diterbitkan pada Februari 2008.
[1]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka
Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 195.
[2]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia, 1998), hlm, 355.
[3] Kamaluddin
Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1
Muharram 1413), hlm, 39.
[4]
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka
Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 196-200.
[5] Ibid., hlm, 198.
[6]
Kamaluddin Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an,(Bandung, Rosda Karya
Bandung, 1 Muharram 1413), hlm, 43.
[7] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar
Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 201.
[8] Ibid., hlm,
201.
[9] Ibid, hlm, 367.
[11] Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an,
(Semarang, Rasail Media Group, 2008), hlm, 201.
[12] Ibid., hlm,
201-202.
[13] MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi
Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press Juli 2011), hlm, 203.
[14] Syaikh Manna’
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar
Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 211.
[15]
Syaikh
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar
Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 211.
[16]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia 1998), hlm, 374-375.
[17] Allamah
dan Abu Abdullah Az-Zanjani, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, (PT Mizan
Pustaka), hlm: 225.
[18]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Pustaka Firdaus
Jakarta, 1990), hlm, 349.
[19]
Ibid., hlm, 350.
[20]
Ibid., hlm, 350-351.
[21]
Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an, (Jakarta, Pustaka Firdaus
Jakarta 1990), hlm, 352.
[22]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media
Group, 2008), hlm, 213.
[23]
MKD IAIN Sunan Ampel
Surabaya, Studi Al-Qur’an, (Surabaya, IAIN Press, Juli 2011), hlm, 205.
[24] Kamaluddin
Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1
Muharram 1413), hlm, 108.
[25] Kamaluddin
Marzuki, Pengantar Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Rosda Karya Bandung, 1
Muharram 1413), hlm, 108-109.
[26]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia, 1998,), hlm, 378.
[27]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia, 1998), hlm, 380.
[28]
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media
Group, 2008), hlm, 220.
[29]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia, 1998), hlm, 381.
[30] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group,
2008), hlm, 222.
[31]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka
Setia, 1998), hlm, 382.
[32] Muhammad
Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia,
1998), hlm, 383.
[34] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group,
2008), hlm, 223.
[35] Muhammad
Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia,
1998), hlm, 384.
[36] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group,
2008), hlm, 224.
[37] Mohammad
Nor Ichwan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an, (Semarang, Rasail Media Group,
2008), hlm, 225.
[38] Muhammad
Ali Ash-Shaabuuny, Studi Ilmu Al-Qur'an, (Bandunng, CV Pustaka Setia,
1998), hlm, 385.
[39] Tim Penyusun:
Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, (Surabaya,
IAIN Sunan Ampel Press, 2005), hlm, 34-35.
[40] KH. Moh. Ali Aziz, M.Ag, Pengetahuan
Dasar Al-Qur’an, (Surabaya, Imtiyaz Surabaya, 2011), hlm, 170.
[41] Belajar
Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://klikanwar.blogspot.com/2011/01/belajar-irama-seni-baca-al-quran-dengan.html, diterbitkan
pada 11 Februari 2011.
[42] Belajar
Irama Seni Baca Al-Qur’an Dengan Metode Tahajji, http://abrahkreatif.blogspot.com/2010/01/kesamaan-antara-seni-musik-dan-seni.html, diterbitkan
pada 11 Februari 2011.
[44]
Sekilas
Tentang Nagham (Irama) Al-Qur’an dan Historisnya, http://kolongdapur. blogspot.com/2008/10/sekilas-tentang-nagham-irama-al-quran.html, diterbitkan pada Februari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar