Senin, 02 Juli 2012

TEORI BELAJAR


  TEORI BELAJAR HUMANISTIK

A.    PENDAHULUAN
Belajar bukan hanya menghafal dan bukan pula mengingat, tetapi belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri siswa. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukan dalam berbagai bentuk, seperti perubahan pengetahuanya, sikap dan tingkah laku ketrampilan, kecakapanya, kemampuannya, daya reaksinya dan daya penerimaanya. Jadi belajar adalah suatu proses yang aktif, proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada pada siswa. Belajar merupakan suatu proses yang diarahkan pada suatu tujuan, proses berbuat melalui situasi yang ada pada siswa.
Dalam suatu pembelajaran juga perlu didukung oleh adanya suatu teori dan belajar, secara umum teori belajar di kelompokan dalam empat kelompok atau aliran meliputi: (1) Teori Belajar Behavioristik (2) Teori Belajar Kognitif (3) Teori Belajar Humanistik (4) Teori Belajar Sibernik.
Untuk memahami lebih lanjut maka dalam makalah ini akan membahas mengenai Teori Belajar Humanistik.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, proses belajar harus ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu teori humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik sangat mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan.[1]
Aliran humanistik juga memandang bahwa belajar bukan sekedar pengembangan kualitas kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan seluruh domain atau bagian yang ada. Domain-domain tersebut meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotorik. Dengan kata lain pendekatan humanistik dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. Sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain kognitif saja, tetapi juga bagaimana siswa agar menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh perhatian terhadap lingkungannya, mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual.[2]
Prinsip lain dalam pembelajaran humanistic adalah bahwa proses pembelajaran harus mengajarkan siswa bagaimana belajar dan menilai kegunaan belajar itu bagi dirinya sendiri.[3]
Berbeda dengan behafiorisme yang melihat motivasi manusia sebagai suatu usaha untuk memenuhi kebutuhan fisiologis manusia, humanistic melihat prilaku manusia sebagai campuran antara motivasi yang lebih rendah atau lebih tinggi. Hal ini memunculkan salah satu ciri utama pendekatan humanistic, yaitu bahwa yang dilihat adalah prilaku manusia, bukan spesies lain. Akan sangat jelas berbeda antara motifasi manusia dengan motivasi yang dimiliki oleh hewan.[4]
Faktor motivasi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan dari pihak si belajar, maka tidak akan terjadi asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimilikinya. Teori humanistic berpendapat bahwa teori belajar apapun dapat dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.[5] Hal ini yang menjadikan teori humanistik bersifat sangat eklektik.[6]
2.      Tokoh Penganut Aliran Humanistik
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, diantaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”nya, Honey dan Mumford dengan “Pembagian tentang Macam-macam Siswa”, Hubermas dengan “Tiga Macam Tipe Belajar”nya, serta Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”nya. Pandangan masing-masing tokoh terhadap belajar dideskripsikan  sebagai berikut:
a)      Pandangan Kolb terhadap belajar
Kolb membagi tahapan belajar menjadi 4 tahap, yaitu sebagai berikut:
1.      Tahap pengalaman kongkret
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Diapun belum mengerti bagaimana dan mengapasuatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama dalam proses belajar.[7]
2.      Pengalaman aktif dan reflektif
Pada tahap kedua ini, siswa tersebut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.[8]
3.      Konseptualisasi
Pada tahap ini, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau “teori” tentang suatu hal pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.[9]
4.      Eksperimentasi aktif
Pada tahap akhir (Eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami asal-usul sebuah rumus, tetapi ia juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktik peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya sering kali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.[10]
b)      Pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar
Berdasarkan teori kolb ini Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat tipe siswa, yakni:
1.      Tipe siswa aktifis
Ciri siswa bertipe aktifis adalah suka melibatkan diri untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru. Cenderung berfikiran terbuka dan mudah untuk diajak berdialog. Namun, siswa seperti ini  biasanya kurang skeptic terhadap sesuatu. Ini terkadang identik dengan sifat mudah percaya. Dalam proses belajar, mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang untuk menemukan hal-hal baru, seperti brainstorming atau problem solving. Akan tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.[11]
2.      Tipe siswa reflector
Mereka yang termassuk dalam kelompok reflector mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan siswa yang bertipe aktifis. Dalam melakukan suatu tundakan, orang-orang tipe reflector sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif.[12]
3.      Tipe siswa teoritis
Lain halnya dengan orang-orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptic dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.[13]
4.      Tipe siswa pragmatis
Siswa yang bertipe pragmatis, memiliki sifat-sifat yang praktis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebaagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu bisa bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, akan tetapi jika semua itu tidak dapat dipraktekkan maka tidak aka nada gunanya. Bagi mereka, sesuatu itu baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.[14]
c)      Pandangan Habermas terhadap belajar
Ahli psikologi lain adalah Habermas yang memandang bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan atau dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Belajar teknis (Technical Learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan keterampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan dapat mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain amat dipentingkan dalam belajar teknis.[15]
2.      Belajar praktis (Practical Learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya interaksi yang harmonis antar sesame manusia. Untuk itu bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antropologi dan semacamnya, amat diperlukan. Dan meraka juga menganggap bahwa pemahaman dan keterampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia pada umumnya. Oleh sebab itu, interaksi yang benar antara individu dengan lingkungan alamnya hanya akan tampak dengan kaitan atau relevansinya dengan kepentingan manusia.[16]
3.      Belajar emansipatoris (Emancipatoris Learning)
Dalam belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan demikian, maka untuk mendukung terjadinya transformasi cultural tersebut dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukungnya. Untuk itu, ilmu-ilmu yang berhubungan dengan budaya dan bahasa amat diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi cultural inilah yang oleh Habermas dianggap sebagai tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformassi cultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.[17]
d)     Pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap belajar
Bloom dan Krathwohl lebih menekankan perhatiannya pada apa yang pasti dikuasai oleh siswa, setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah telah berhasil memberikan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tatanan praktis, taksonomi Bloom ini telah membantu para pendidik untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang akan dicapai, dengan rumusan yang mudah dipahami. Berpijak pada taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan dapat merancang program-program pembelajarannya. taksonomi Bloom ini telah banyak dikenal dan paling popular di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Domain kognitif, terdiri atas enam tingkatan, yaitu:
a.       Pengetahuan (mengingat, menghafal)
b.      Pemahaman (menginterpretasikan)
c.       Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
d.      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
e.       Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
f.       Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode, dsb.)
2)      Domain psikomotor, terdiri atas lima tingkatan, yaitu:
a.       Peniruan (menirukan gerak)
b.      Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
c.       Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
d.      Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
e.       Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)
3)      Domain afektif, terdiri atas lima tingkatan, yaitu:
a.       Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
b.      Merespon (aktif berpartisipasi)
c.       Penghargaan 9menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu)
d.      Pengorganisasian(menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayainya)
e.       Pengalaman (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)[18]

3.      Kelebihan Teori Humanistik
Kelebihan teori humanistik dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena social.
2)      Indicator keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang, berinisiatif dalam belajar, dan terjadi perubahan dalam pikir, prilaku serta sikap atas kemauan sendiri.
3)      Siswa diharapkan mampu menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku.[19]
4)      Dalam pembelajaran pada teori ini, siswa dituntut untuk berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
5)      Selain itu Teori humanistik mempunyai pengaruh yang signifikan pada ilmu psikologi dan budaya populer.

4.      Kekurangan Teori Humanistik
Adapun kekurangan teori humanistik, yaitu:
a)      Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam proses belajar.
b)      Siswa yang tidak aktif dan malas belajar akan merugikan diri sendiri dalam proses belajar.[20]

C.    PENUTUP
Menurut teori humanistik tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahamilingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, siswa telah mampu mencapai aktualisasi diri secara optimal. Teori humanistik cenderung bersifat eklektik, maksudnya teori ini dapat memanfaatkan teori apa saja asal tujuannya tercapai.
Beberapa tokoh penganut aliran humanistik diantaranya adalah:
1.      Kolb yang terkenal dengan Belajar Empat Tahap, yaitu: pengalaman konkrit, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi dan eksperimentasi aktif.
2.      Honey dan Mumford yang membuat penggolongan siswa. Menurut mereka, ada empat tipe siswa, yakni:Tipe siswa aktifis, Tipe siswa reflector, Tipe siswa teoritis dan Tipe siswa pragmatis.
3.      Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu:Belajar teknis (Technical Learning), Belajar praktis (Practical Learning), dan Belajar emansipatoris (Emancipatoris Learning)
4.      Bloom dan Krathwohl tiga kawasan tujuan belajar yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut adalah sebagai berikut: Domain kognitif, Domain psikomotor, dan Domain afektif.
Kelebihan teori humanistik dapat dijelaskan sebagai berikut: Teori ini cocok untuk diterapkan dalam materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena social. Indicator keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang, berinisiatif dalam belajar, dan terjadi perubahan dalam pikir, prilaku serta sikap atas kemauan sendiri. Siswa diharapkan mampu menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin, atau etika yang berlaku. Dalam pembelajaran pada teori ini, siswa dituntut untuk berusaha agar lambat laun mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Adapun kekurangan teori humanistik, yaitu Peserta didik kesulitan dalam mengenal diri dan potensi-potensi yang ada pada diri mereka. Dan siswa yang tidak mampu memahami potensi dirinya akan ketinggalan dengan proses belajar.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Bidiningsih, Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2010.
Thobroni, M  dan Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional, Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011.
Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010.




[1] Asri Bidiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), 68.
[2] Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,2010), 142.
[4] M. Thoroni dan Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional, (Jogjakarta: Ar-ruzz Media, 2011), 158.
[5] Asri Bidiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 68.
[7] Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2010), 15.
[12] Asri Bidiningsih, Belajar dan Pembelajaran, 72.
[19] M. Thoroni dan Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran: Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran dalam Pembangunan Nasional), 176.
[20] http://www.perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/teori-belajar-humanistik.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar