Jumat, 16 Juni 2017

KILAS PANDANG SYIAR ISLAM DI JAWA



Peran wali songo dalam menyebarkan Islam dan memperkenalkan tasawuf di pulau Jawa memang sulit dipungkiri. Akan tetapi, upaya untuk menyusun kembali awal sejarah Islam di Jawa, sebelum tahun 1600, yaitu periode ketika wali songo memiliki peran sangat signifikan di bidang politik maupun agama. Kisah seputar kiprah wali songo sebagian besar bersumber dari cerita, legenda, bahkan mitos, yang uniknya sangat dipercayai oleh masyarakat sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Keunggulan tradisi semi-legenda suci yang berkembang kisah para wali songo, yang dikaitkan dengan makam-makam yang dipuja sebagai tempat keramat. Itu berarti, pengaruh wali songo jauh melampaui zaman ketika mereka hidup. Kisah wali songo hingga kini masih dituturkan orang dari generasi ke generasi, dan berkah wali songo masih diharapkan oleh setiap orang yang berziarah ke makam-makam para wali.
Keunggulan tradisi semi-legenda suci tersebut memberi peran utama bagi para wali sebagai penyebar Islam sepanjang pantai utara hingga pantai pesisir Jawa, dari Gresik ke Demak, selanjutnya Cirebon ke Banten, melalui paduan kekuatan batin, kekuatan-kekuatan gaib, bahkan peperangan. Kesaktian dan pengalaman luar biasa dalam menaklukan lawan maupun alam, menjadi daya tarik tersendiri yang mengukuhkan legitimasi para wali sebagai pemegang simbol agama dan kekuasaan.
Keberhasilan syiar para wali songo di tanah Jawa dalam memperkenalkan tasawuf, melahirkan suatu prinsip yang diyakini oleh masyarakat Jawa sebagai falsafah hidupnya. Prinsip pertama, rigen, mugen, tegen. Prinsip kedua gemi, nastiti, ngati-ati. Prinsip ketiga gumati, mengerti, miranti.
1.      Rigen adalah mengajarkan segala sesuatu sampai tuntas. Tegen maknanya adalah tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja. Mugen maknanya adalah mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya juga mantap serta setia menjalani pekerjaannya.
2.      Gemi maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, bersifat hemat. Nastiti maknanya cermat memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkan akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap batin yang selalu waspada.
3.      Gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan memelihara sesuatu. Mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat; keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak atau salah bicara. Mirananti maknanya memenuhi keinginan, menaati peraturan yang berlaku mengikuti SOP (Standard Operating Procedures), dapat membagi waktu dengan baik dan rajin dalam bekerja.
 Dengan memadukan budaya lokal dengan ajaran Islam, wali songo dapat memperkenalkan ilmu tasawuf dan mengislamkan masyarakat Jawa. Sehingga Islam pada saat ini merupakan jantung masyarakat Jawa. Islam menjadi titik sentral di mana seluruh aktivitas masyarakat Jawa baik memulai dan mengakhiri aktivitasnya sehari-hari. Islam bagi masyarakat Jawa merupakan hitam-putihnya warna kehidupan mereka dalam berbagai aspek. Beragama Islam bagi mereka berarti kesetiaan untuk taat dan patuh terhadap ajaran Islam serta berusaha merealisasikan dalam kehidupan nyata.
Tingginya apresiasi masyarakat Jawa dalam beragama, setidaknya bisa dilihat dari betapa antusiasnya mereka memakmurkan masjid, mushalla, dan langgar yang bertebaran di seluruh penjuru pulau Jawa khususnya pulau Madura. Kenyataan ini mengindikasikan betapa agama Islam telah mengakar kuat di hati masyarakat Jawa. Tidak itu saja, spirit beragama telah mewarnai bahkan mengubah pola pikir, pola tindak, dan pola sikap masyarakat. Tentu, dari waktu ke waktu kenyataan positif dalam beragama ini harus dibarengi dengan peningkatan kualitas beragama itu sendiri, tidak saja pada ranah pemahaman keagamaan, terlebih pada realisasi ajaran-ajaran agama.
Corak religious masyarakat Jawa terlihat dalam pola arsitektur, tata letak pemukiman, serta berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Hampir di semua rumah masyarakat Jawa khususnya Madura, ada sebuah langgar. Kehidupan sehari-hari juga ditandai dengan berbagai ritual keagamaan. Kegiatan seperti selamatan dan peringatan hari-hari besar Islam dilaksanakan secara meriah sepanjang tahun dan diikuti oleh semua lapisan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan tentang dasar-dasar agama diajarkan kepada anak-anak sejak masa-masa paling awal dalam hidup mereka. Bahkan setiap bagian dari siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan, dan kematian) diperingati dengan upacara-upacara yang bersifat religious.
Perhatian kepada ritual-ritual keagamaan juga tampak dalam hasrat dan animo masyarakat yang sangat besar untuk melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji. Biaya yang relatif besar tidak menjadi penghalang. Meski keadaan ekonomi masyarakat Jawa dan Madura relatif kurang maju dibanding masyarakat beberapa daerah lainnya, namun jumlah jamaah haji asal Jawa justru terbesar di Indonesia. Bagi masyarakat Jawa khususnya Madura, ibadah haji memang bukan persitiwa semata. Menunaikan ibadah haji bisa mengangkat status sosial. Dan ada semacam kepercayaan bahwa haji justru akan membuat usaha perekonomian mereka semakin berkembang, meningkat, dan dilimpahi berkah. Karena itu, bisa dipahami bahwa banyak orang terus berusaha melaksanakan ibadah haji berulang kali.
Sekali lagi, kyai sebagai pengganti wali songo atau sebagai penerus wali songo, memegang peran sangat penting dalam setiap kegiatan tersebut. Ajaran yang pernah diwariskan oleh wali songo kepada masyarakat Jawa, sampai detik ini masih diterapkan oleh para tokoh agama di berbagai pulau Jawa. Karena Kyai dipandang pemimpin masyarakat yang bersifat polimorfik, berpengaruh penting dalam beberapa bidang. Kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatik, sehingga nasihat dan keputusan mereka cenderung disepakati dan ditaati oleh masyarakat luas. Dengan demikian, salah satu bukti bahwa dakwah dan tasawuf yang diperkenalkan oleh wali songo di tanah Jawa memberikan internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat yang berlangsung secara natural dan wajar. Contohnya adalah persoalan akidah, seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, masyarakat Jawa khususnya Madura menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (al-Asy’ariyah), bukan Qadariyah dan bukan pula Jabariyah. Paham tersebut memiliki dampak nyata bagi etos kerja masyarakat Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa ikhtiar harus dibarengi dengan tawakal dan munajat kepada Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar