Peran wali songo dalam menyebarkan Islam dan
memperkenalkan tasawuf di pulau Jawa memang sulit dipungkiri. Akan tetapi,
upaya untuk menyusun kembali awal sejarah Islam di Jawa, sebelum tahun 1600,
yaitu periode ketika wali songo memiliki peran sangat signifikan di bidang
politik maupun agama. Kisah seputar kiprah wali songo sebagian besar bersumber
dari cerita, legenda, bahkan mitos, yang uniknya sangat dipercayai oleh
masyarakat sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Keunggulan tradisi semi-legenda suci yang berkembang
kisah para wali songo, yang dikaitkan dengan makam-makam yang dipuja sebagai
tempat keramat. Itu berarti, pengaruh wali songo jauh melampaui zaman ketika
mereka hidup. Kisah wali songo hingga kini masih dituturkan orang dari generasi
ke generasi, dan berkah wali songo masih diharapkan oleh setiap orang yang
berziarah ke makam-makam para wali.
Keunggulan tradisi semi-legenda suci tersebut
memberi peran utama bagi para wali sebagai penyebar Islam sepanjang pantai
utara hingga pantai pesisir Jawa, dari Gresik ke Demak, selanjutnya Cirebon ke
Banten, melalui paduan kekuatan batin, kekuatan-kekuatan gaib, bahkan
peperangan. Kesaktian dan pengalaman luar biasa dalam menaklukan lawan maupun
alam, menjadi daya tarik tersendiri yang mengukuhkan legitimasi para wali
sebagai pemegang simbol agama dan kekuasaan.
Keberhasilan syiar para wali songo di tanah Jawa
dalam memperkenalkan tasawuf, melahirkan suatu prinsip yang diyakini oleh
masyarakat Jawa sebagai falsafah hidupnya. Prinsip pertama, rigen, mugen,
tegen. Prinsip kedua gemi, nastiti, ngati-ati. Prinsip ketiga gumati,
mengerti, miranti.
1.
Rigen adalah mengajarkan segala sesuatu sampai tuntas. Tegen maknanya
adalah tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja. Mugen maknanya adalah
mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya
juga mantap serta setia menjalani pekerjaannya.
2.
Gemi maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, bersifat hemat. Nastiti
maknanya cermat memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkan
akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap
batin yang selalu waspada.
3.
Gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan
memelihara sesuatu. Mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat;
keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga
perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak atau
salah bicara. Mirananti maknanya memenuhi keinginan, menaati peraturan
yang berlaku mengikuti SOP (Standard
Operating Procedures), dapat membagi waktu dengan baik dan rajin dalam
bekerja.
Dengan memadukan budaya
lokal dengan ajaran Islam, wali songo dapat memperkenalkan ilmu tasawuf dan
mengislamkan masyarakat Jawa. Sehingga Islam pada saat ini merupakan jantung
masyarakat Jawa. Islam menjadi titik sentral di mana seluruh aktivitas
masyarakat Jawa baik memulai dan mengakhiri aktivitasnya sehari-hari. Islam
bagi masyarakat Jawa merupakan hitam-putihnya warna kehidupan mereka dalam
berbagai aspek. Beragama Islam bagi mereka berarti kesetiaan untuk taat dan
patuh terhadap ajaran Islam serta berusaha merealisasikan dalam kehidupan
nyata.
Tingginya apresiasi
masyarakat Jawa dalam beragama, setidaknya bisa dilihat dari betapa antusiasnya
mereka memakmurkan masjid, mushalla, dan langgar yang bertebaran di seluruh
penjuru pulau Jawa khususnya pulau Madura. Kenyataan ini mengindikasikan betapa
agama Islam telah mengakar kuat di hati masyarakat Jawa. Tidak itu saja, spirit
beragama telah mewarnai bahkan mengubah pola pikir, pola tindak, dan pola sikap
masyarakat. Tentu, dari waktu ke waktu kenyataan positif dalam beragama ini
harus dibarengi dengan peningkatan kualitas beragama itu sendiri, tidak saja
pada ranah pemahaman keagamaan, terlebih pada realisasi ajaran-ajaran agama.
Corak religious
masyarakat Jawa terlihat dalam pola arsitektur, tata letak pemukiman, serta
berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Hampir di semua rumah masyarakat Jawa
khususnya Madura, ada sebuah langgar. Kehidupan sehari-hari juga ditandai
dengan berbagai ritual keagamaan. Kegiatan seperti selamatan dan peringatan
hari-hari besar Islam dilaksanakan secara meriah sepanjang tahun dan diikuti
oleh semua lapisan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan tentang dasar-dasar
agama diajarkan kepada anak-anak sejak masa-masa paling awal dalam hidup
mereka. Bahkan setiap bagian dari siklus kehidupan (kelahiran, perkawinan, dan
kematian) diperingati dengan upacara-upacara yang bersifat religious.
Perhatian kepada
ritual-ritual keagamaan juga tampak dalam hasrat dan animo masyarakat yang
sangat besar untuk melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji. Biaya
yang relatif besar tidak menjadi penghalang. Meski keadaan ekonomi masyarakat
Jawa dan Madura relatif kurang maju dibanding masyarakat beberapa daerah lainnya,
namun jumlah jamaah haji asal Jawa justru terbesar di Indonesia. Bagi
masyarakat Jawa khususnya Madura, ibadah haji memang bukan persitiwa semata.
Menunaikan ibadah haji bisa mengangkat status sosial. Dan ada semacam
kepercayaan bahwa haji justru akan membuat usaha perekonomian mereka semakin
berkembang, meningkat, dan dilimpahi berkah. Karena itu, bisa dipahami bahwa
banyak orang terus berusaha melaksanakan ibadah haji berulang kali.
Sekali lagi, kyai
sebagai pengganti wali songo atau sebagai penerus wali songo, memegang peran
sangat penting dalam setiap kegiatan tersebut. Ajaran yang pernah diwariskan
oleh wali songo kepada masyarakat Jawa, sampai detik ini masih diterapkan oleh
para tokoh agama di berbagai pulau Jawa. Karena Kyai dipandang pemimpin
masyarakat yang bersifat polimorfik, berpengaruh penting dalam beberapa bidang.
Kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas kharismatik, sehingga
nasihat dan keputusan mereka cenderung disepakati dan ditaati oleh masyarakat
luas. Dengan demikian, salah satu bukti bahwa dakwah dan tasawuf yang
diperkenalkan oleh wali songo di tanah Jawa memberikan internalisasi
nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat yang berlangsung secara natural
dan wajar. Contohnya adalah persoalan akidah, seperti halnya di daerah-daerah
lain di Indonesia, masyarakat Jawa khususnya Madura menganut paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (al-Asy’ariyah),
bukan Qadariyah dan bukan pula Jabariyah. Paham tersebut memiliki dampak nyata
bagi etos kerja masyarakat Jawa. Mereka berkeyakinan bahwa ikhtiar harus dibarengi dengan tawakal
dan munajat kepada Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar