Senin, 12 Januari 2015

PENDIDIKAN KARAKTER (Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia)



KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

A.      Konsep Pendidikan Karakter Tradisional di Indonesia
Konsep pendidikan yang asli di Indonesia itu dapat digali dari berbagai adat-istiadat dan budaya di indonesia, ajaran berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah lama diterapkan di Indonesia.
1.       Konsep Pendidikan Karakter menurut Adat dan Budaya
Masyarakat Indonesia bersifat multi-pluraris, seluruh adat dan budaya di tampilkan. Asumsi bahasa adalah produk adat dan budaya, jadi titik tolak pembahasan adalah adanya 5 bahasa yang memiliki penutur terbesar di Indonesia (dari barat ke timur): Batak, Sunda, Jawa, Madura, dan Bugis. Dalam hal ini karena bahasa Melayu merupakan akar bahasa Indonesia tentu saja tidak perlu dibahas di sini.
a)      Adat Batak terkait Pendidikan Karakter
Prinsip etika sosial Batak berlandaskan pada Dalihan na Tolu, artinya tungku berkaki tiga. Masyarakat Batak diumpamakan sebuah kuali dan Dahlian na Tolu adalah tungkunya. Di sini tergambar perlunya keharmonisan dari ketiga kaki tungku tersebut yakni: Hula-hula (para keturunan laki-laki dari satu luluhur), Boru (anak perempuan), dan Dongan Sabutuha (semua anggota laki-laki semarga).
Dengan adanya tungku itu maka kuali masyarakat Batak menjadi seimbang, harmonis, dan menyala api solidaritasnya. Akar dari sistem nilai Dalihan na Tolu adalah kerendahan hati (humble). Orang Batak  harus hormat kepada Hula-hulanya tanpa syarat, tidak peduli hula-hulanya miskin, tidak berpendidikan dan sebagainya. Kecuali itu Dahlian na Tolu juga dikembangkan oleh keinginan memanifestasi Olong (rasa kasih sayang).
Dengan Dahlian na Tolu, muncul dan berakarlah demokrasi kekeluargaan dalam masyarakat Batak. Demokrasi kekeluargaan ini dibina dengan cara musyawarah mufakat. Esensi hasil musyawarah mufakat adalah:
v  Pembicaraan perseorangan tidak diterima, pendapat umumlah yang menentukan.
v  Jangan disimpan dalam hati, baiknya dikeluarkan saja.
v  Mayoritas bergembira, jika sudah tidak ada minoritas yang mengeluh.
v  Putusan yang diharapkan, yaitu putusan yang dapat diterima oleh semua orang.
v  Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat bergantung kepada masyarakat.

b)      Adat Sunda terkait Pendidikan Karakter
Dalam budaya Sunda, prinsip dan etika terkait dengan pergaulan manusia dengan Tuhan, dan pergaulan dengan sesama manusia, dilandasi oleh silih asih, silih asah, dan silih asuh. Hal tersebut menunjukkan karakter khas dari budaya Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup religiusnya.
Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang menekankan kepada sapaan cinta kasih Tuhan serta merespon melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dalam kata lain, silih asih merupakan kualitas interaksi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam tradisi silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang suoerior maupun manusia yang inferior.
Masyarakat silih asah dimaknai saling bekerja sama untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan. Tradisi ini melahirkan etos dan semangat ilmiah memupuk jiwa kuriositas dan saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Hal ini diharapkan mampu menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak bergantung kepada masyarakat lain.
Masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun kepentingan pribadi mendapat perhatian berimbang melalui saling pantau, saling kontol, tegur sapa, dan saling memberikan bimbingan. Budaya silih asuh mampu memperkuat ikatan emosional yang dikembangkan dalam tradisi ini.
Karakter pokok yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh Urang Sunda adalah Cageur/sehat jasmani dan ruhani, bageur/baik dalam berbicara maupun tindakan, bener/benar dalam tujuan hidup dan langkah perbuatan, singer/muhasabah, mawas diri; agar tidak terjerumus dalam perilaku salah dan keliru, dan pinter/cerdas dalam pengertian tidak pernah berhenti dalam mencari dan mengembangkan ilmu. Itulah filosofi dari kata Sunda yang memiliki makna segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan dan orang Sunda meyakininya.
Ada sejumlah nilai yang menlandasi karakter kepemimpinan dalam masyarakat Sunda. Nilai-nilai yang harus menajdi sikap seorang pimpin tersebut antara lain adalah:
v  Teu adigung kamagungan (tidak sombong).
v  Titih-rintih, tara kajurung ku nafsu (tertib, tidak pernah terdorong nafsu).
v  Sacangreud pageuh, sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangan (kukuh pendirian).
v  Leber wawanen (penuh keberanian) yang diimbangi dengan kepandaian.
v  Loba socana rimbil cepilna (pandai membaca keadaan dan mendengar keluh kesah bawahan/rakyatnya).
v  Kudu boga pikir rangkepan (waspada dan hati-hati).
v  Kudu jadi gunung pananggeuhan (harus menjadi andalan bagi rakyat).

Orang Sunda mementingkan pendidikan dan pembelajaran dengan suatu kesadaran bahwa pada hakikatnya tidak ada orang yang bodoh. Masalahnya adalah, diperlukan kesabaran dan metode yang tepat agar yang dianggap bodoh itu dapat memahami hikmah dan pengetahuan yang diperoleh dari pembelajaran. Hal ini tercermin dalam ungkapan berikut:
v  Peso mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut (pisau yang tumpul kalau terus diasah akan taham juga).
v  Cikarakae ninggang batu laun-laun jadi legok (air tempias menimpa batu lama-lama batunya akan berlubang).

c)       Adat Jawa terkait Pendidikan Karakter
Ki Tyasno, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa (2007) yang menyatakan bahwa dasar filosofi karakter adalah Tri Rahayu (tiga kesejahteraan) yang merupakan nilai-nilai luhur dan merupakan pedoman hidup meliputi:
v  Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualitas diri pribadi).
v  Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan bangsa).
v  Mamayu hayunung bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia).

Untuk mencapai Tri Rahayu tersebut, manusia harus memahami, menghayati, serta melaksanakan tugas sucinya sebagai manusia yang tercantum dalam Tri Satya Brata (tiga ikrar bertindak) yaitu:
v  Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia bergantung kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa).
v  Dharmaning menungsa mahanani rahayuning nagara (tugas utama manusia adalah menjaga keselamatan negara).
v  Rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia ditentukan pada tata perilakunya, rasa kemanusiaannya).

Ki Ageng Soerjomentaram mengutarakan bahwa dalam menjalani hidup ini sebaiknya manusia “tidak” melakukan tiga hal. 3 hal tersebut adalah: ngangsa-angsa (ambisius, bernafsi-nafsi), ngaya-aya (terburu-buru, tidak teliti, cermat dan hati-hati), dan golek benere dhewe (mencari benarnya sendiri, mau menang sendiri). Hal ini tidak sejalan dengan sifat satria (ksatrya) Jawa. Satria Jawa dalam kehidupannya selalu berlandaskan ajaran berbudi bawa leksana (berbudi luhur dan rendah hati, tawaddhu), dan kaprawira (keperwiraan). Kaprawira berarti selalu berlaku perwira dalam segala sesuatu dan dia temen (jujur), tanggap (bertindak antisipatif), tatag (teguh hati, mampu melihat dan mengalami kondisi sapa saja), tangguh (tidak mudah kalah, tidak mudah menyerah), dan tanggon (pilih tanding, berani menghadapi siapa saja asal merasa benar), dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan bantuan orang lain).
KPH H. Anglikusomo salah satu keturunan Paku Alam menafsirkan ajaran-ajaran Paku Alam, diantaranya adalah ajaran yang tertulis di regol (pintu gerbang) puro Pakualaman yang berbunyi wiwara kusuma winayang reka. Wiwara artinya pintu/terbuka, kusuma berarti berbudi luhur, winayang artinya sasmita/ilham, reka berarti pola pikir. Sehingga makna keseluruhan adalah orang yang berbudi luhur niscaya selalu terbuka dan bijaksana.
Sementara dalam cermin yang dipasang di pintu gerbang Pakualam tertulis guna titi purun. Guna artinya bermanfaat, maknanya orang yang berilmu harus memanfaatkan ilmunya untuk kesejahteraan dan kemajuan umat manusia. Titi dimaknai jujur, lebih dan mengerti, artinya benar-benar mengerti pokok persoalan, mengerti bidang tugasnya, mengerti betul kewajibannya. Purun maknanya berani, mau dan mampu melakukan atau berani untuk berperilaku baik menjauhi oerbuata jahat dan kotor, berani mengedepankan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap manusia Jawa yang lainnya adalah adhap asor atau lembah manah artinya rendah hati, tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah hati berarti tidak mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan (bagai ilmu padi makin menunduk makin berisi). Orang yang adhap asor juga mampu menahan diri, jika dicela tidak mudah marah tetapi justru akan mawas diri apa kekurangan dan kelemahannya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia Jawa/Wong Jawa hendaknya selalu memiliki 3 tingkatan prinsip. Prinsip pertama, rigen, mugen, tegen. Prinsip kedua gemi, nastiti, ngati-ati. Prinsip ketiga gumati, mengerti, miranti.
Rigen adalah mengajarkan segala sesuatu sampai tuntas. Tegen maknanya adalah tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja. Mugen maknanya adalah mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya juga mantap serta setia menjalani pekerjaannya.
Gemi maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, bersifat hemat. Nastiti maknanya cermat memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkan akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap batin yang selalu waspada.
Gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan memelihara sesuatu. Mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat; keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak/salah bicara. Mirananti maknanya memenuhi keinginan, menaati peraturan yang berlaku mengikuti SOP/standard operating procedures, dapat membagi waktu dengan baik dan rajin dalam bekerja.
Di samping dari ajaran leluhur, karakter yang diingatkan oleh manusia Jawa juga sering ditemui sebagai pasemon (perumpamaan) dalam tembang-tembang (lagu, lelagon) Jawa. Misalnya dalam tembang gundhul-gundhul pacul:
Gundhul-gundhul pacul, gembelengan (2x)
Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan (2x)
Wakul glimpang segane dadi sak ratan (2x)
Makan dari lagu tersebut merupakan pepeling (peringatan) agar jika menjadi pemimpin dalam menerima amanah (nyunggi wakul) tidak sembrono (gembelengan), tidak seenaknya sendiri. Akibatnya nanti seluruh tatanan dan aturan masyarakat dapat menjadi rusak, kondisi negara tidak terkendali.
Dalam pergaulan sehari-hari, orang Jawa suka menggunakan perlambang, perumpamaan/simbol-simbol, seperti ungkapan: Wong Jawa nggone pasemon, orang Jawa suka menggunakan perumpamaan, kata-kata yang terselubung. Perumpamaan tersebut sering dijumpai di masyarakat Jawa:
·    Ngono ya ngono, ning aja ngono, artinya begitu ya begitu, tetapi jangan begitu. Suatu peringatan agar dalam bersikap, berbicara, bertindak tidak berlebih-lebihan, karena bukan kebaikan yang akan diperoleh tetapi justru keburukan.
·    Cekelen iwake aja buthek banyune, artinya tangkaplah ikannya jangan keruh airnya. Nasihat agar kebijaksanaan dan hati-hati dalam melaksanakan sesuatu, juga dalam menegakkan hukum dan keadilan.
·    Curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, artinya keris menyatu dengan sarungnya, sarung menyatu dengan kerisnya. Melambangkan persatuan antara pemimpin dengan bawahan/rakyatnya. Pemimpin memahami aspirasi rakyat, rakyat mengabdi dengan ikhlas.

d)      Adat Madura terkait Pendidikan Karakter
Literatur terkait dengan karakter adat Madura, mengungkap karakter yang terkandung dalam lagu-lagu daerah berbahasa Madura. Di antara lagu-lagu tersebut adalah Lir Saalir, teks seoerti ini:
Lir saalir, alir, alir, kung! Ngare’ benta ngeba sada,
Mon motta esambi keya, lir saalir, alir, alir, kung!
Tada’ kasta neng e ada’, ghi’ kasta e budi keya,
Lir saalir, alir, alir, kung!
Perreng petting pote-pote, reng lalakon petangate…
Lagu ini berbentuk pantun nasihat yang mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam bekerja, bertindak, bertingkah laku, berbicara, dan bersikap. Juga memberikan nasihat untuk berpikir jernih sebelum mengambil tindakan atau membuat keputusan, karena kesalahan dalam bertindak atau memutuskan sesuatu akan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.

Lagu lainnya adalah lagu Pa’ opa’ Iling yang syair sebagimana berikut ini:
Pa’ opa’ iling, dang dang asoko randhi,
Reng towana tar ngaleleng
Ajhara ngaji babana cabbhi,
Le oleh gheddang bighi
Lagu ini semacam lagu nina bobo, dinyanyikan oleh orangtua untuk meimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil. Lagu ini syarat makna. Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, masyarakat Madura mewajibkan anaknya untuk mengaji sejak dini. Ngaji di sini bukan sekadar mengaji al-Qur’an, tetapi juga kegiatan mencari ilmu dunia bagi bekal kehidupan di masa mendatang.

Lagu terakhir yang kita bahas adalah lagu Pajjhar Lagghu (fajar pagi) yang syairnya sebagai berikut:
Pajjhar lagghu arena pon nyonara
Bapa’ tane se tedung pon jhagha’a
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capenga,
A jhalanna ghi’ sarat kewajjibhan
Atatamen mabannya’ hasel bhumena,
Mama’mor nagharana tor bangsana
Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani manjadi pekerjaan utama. Walau tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bercocok tanam. Dalam kaitan ini semua anggota keluarga memiliki peran dan melaksanakan peran mereka secara gotong royong.

e)      Adat Bugis terkait Pendidikan Karakter
Kita mendapatkan pengetahuan tentang adat Bugis karena petuha-petuah luhur yang dinyatakan dalam tulisan. Sistem dan norma adat tertulis yang merupakan wujud kebudayaan tersebut disebut dengan panngaderreng. Panngaderreng dapat dimaknai sebagai totalitas norma hidup yang meliputi bagaimana seseorang harus bertingkahlaku terhadap sesama manusia dan terhadap pranata sosial secara seimbang. Sistem panngaderreng terdiri dari 5 unsur pokok, yaitu: ade’. bicara, rappang, wari’, dan sara’.
Ke-5 unsur pokok panngaderreng yang menjadi pedoman dalam langkah sehari-hari tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Ø  Ade’, teta tertib yang bersifat normatif,
Ø  Bicara, aturan formal yang menyangkut peradilan dalam arti luas,
Ø  Rappang, aturan tak tertulis untuk mengokohkan negara dengan segenap undang-undang dan hukumnya,
Ø  Wari’, ketentuan dari bagian ade’ yang mengatur batas-batas hak dan kewajiban setiap orang dalam hidup bermasyarakat, dan
Ø  Sara’, berasal dari syariat agama Islam.

Semua itu diperteguh dalam satu rangkuman, suatu ikatan yang paling mendalam, yakni siri’. Salam Basjah dalam Parmono mengartikan Siri’ sebagai:
Ø  Perasaan malu
Ø  Daya dorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung kehormatan
Ø  Daya dorong untuk berusaha/bekerja semaksimal mungkin

2.       Konsep Pendidikan Karakter menurut Ajaran Agama
a)      Landasan Karakter dalam Agama Islam
Landasan karakter terletak pada Kitab Suci al-Qur’an dan Hadis nabi Saw. Hadis yang dikutip pun hadis yang disepakati sebagai hadis yang valid/sahih. Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya banyak hikmah dapat dipetik dari sirah/biografi para sahabat maupun para tabi’in. berbagai karakter yang harus dimiliki oleh kaum muslimin baik menurut al-Qur’an maupun hadis, antara lain:
v  Bersilaturrahmi, menyambung komunikasi. al-Hadis: Barang siapa ingin dilunaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia bersilaturrahmi (HR. Bukhari Muslim dari Anas).
v  Berkomunikasi dengan baik dan menebar salam. al-Qur’an: Seluruh manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah (berdiskusilah) kamu dengan mereka menurut cara yang lebih baik (QS An-Nahl: 125)
v  Jujur, tidak curang, menepati janji dan amanah (QS Tathif: 1). Berkomunikasi ddengan baik dan santun, gemar memberi salam (QS An-Nahl: 125). Sabar dan optimis (QS Hud: 115), berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihi, dan saling menyayangi (QS An-Nahl: 90), Dll.

b)      Landasan Karakter dalam Agama Kristen/Katollik
Sejauh yang ditulis dalam al-Kitab: Surat Amsal kita dapati sejumlah landasan karakter agama Kristen/Katolik tentang hal-hal sebagai berikut:
v  Prihal kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Pasal 1 ayat 3: …untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran. Pasal 2 ayat 9: Maka engkau akan mengerti tentang keadilan dan kejujuran bahkan setiap jalan yang baik.
v  Menghargai nasihat orangtua. Pasal 1 ayat 8: Hai anakku dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.
v  Besifat kasih dan setia. Pasat 3 ayat 3: Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu!. Pasa 21 ayat 21: Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan. Dll

c)       Landasan Karakter dalam Agama Hindu
Landasan karakter dapat dilihat dari sejumla surat dalam Yajurveda, Ryveda, dan Atharwaveda serta kitab suci agama Hindu yang lain. Dalam buku itu antara lain dapat dijumpai landasi karakter:
v  Suka berbuat baik. Lakukanlah perbuatan yang baik bersama seluruh keluargamu untuk menuju kebajikan atau dharma (Yajurveda, VII, 45).
v  Berbuat jujur dan berkata benar. Orang yang senantiasa berbuat jujur, berkata benar atau satya memperoleh perlindungan dalam hidupnya (Rgveda, X, 37.2).
v  Suka bekerja keras dan dermawan. Wahai umat manusia, kumpulkanlah kekayaan dengan 100 tangan (bekerja keras) dan setelah engkau memperoleh, dermakan dengan 1000 tanganmu (Atharwaveda III, 24.5). Dll

d)      Landasan Karakter dalam Agama Buddha
Karakter pokok seorang penganut agama Buddha adalah seperti yang terkandung dalam Dhamma-Sari yang disusun oleh Maha Pandita Sumedha Widyadharma. Dikenal dengan Jalan Tengah atau Delapan Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga). Ke-8 jalan utama tersebut secara ringkas dilihat berikut ini:
No
Jalan Utama
Artinya
1
Samma Ditthi
Pengertian benar, takni merealisasikan 4 Kesunyataan Mulia yang meliputi derita/dukkha, sumber derita, terhentinya derita dan jalan menuju terhentinya derita.
2
Samma Sankappa
Pikiran benar, komitmen untuk bertumbuh di Jalan Tengah.
3
Samma Vaca
Ucapan benar, bicara tanpa menyakiti, dengan cara benar.
4
Samma Kammanta
Perbuatan benar, seluruh perilaku yang tidak menyakiti orang lain.
5
Samma Ajiva
Penghidupan benar, memiliki pekerjaan yang tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain, secara langsung maupun tidak langsung.
6
Samma Vayama
Daya upaya, selalu mencoba ke arah perbaikan.
7
Samma sati
Perhatian benar, melihat segala sesuatu dengan benar dan dengan kesadaran yang jernih.
8
Samma Samadhi
Konsentrasi benar, mencapai pencerahan, di mana ego lenyap.
Pelaksanaan 8 jalan utama ini bertujuan mengembangkan dan menyempurnakan apa yang disebut Sila (tata hidup bersusila). Samadhi (disiplin mental), dan Panna (kebijaksanaan luhur).

3.       Konsep Pendidikan Karakter menurut Implementasi Kepemimpinan
Aspek kepemimpinan tradisional di sini berfokus kepada berbagai ajaran kepemimpinan yang berlandaskan agama yang dikembangkan dalam kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, kita ketahui bahwa urutan kerajaan yang mucul di Indoensia, di pulau Jawa khususnya, adalah kerajaan Hindu, kerajaan Buddha, dan kerajaan Islam.
v  Tradisi Agama Hindu
Ada 2 sumber ajaran Hindu terkait keutamaan karakter pemimpin, yang pertama adalah ajaran yang dimuat dalam Negarakertagama karangan Empu Prapanca serta ajaran yang termaktub dalam Asta Brata. Sumber Asta Brata yang terbesar di Jawa terutama pada lakon/cerita wayang. Lakon wayang tersebut terkait dengan nasihat Sri Rama terhadap Gunawan Wibisana pada saat dilantik menajdi raja Alengka menggantikan kakaknya Rahwana, serta wejangan Begawan Padmanaba kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama (Mahkota Rama).
Dari pupu-pupuh Negarakertagama disebut ada 15 karakter yang wajib dimiliki seorang pemimpin, yakni:
1)      Wijaya, bertindak penuh hikah dan berlaku tenang dalam menghadapi berbagai kesukaran dan tantangan hidup.
2)      Mantriwira, berani, pembela negara yang gagah berani.
3)      Wicaksanengnaya, bijaksana dalam segala tindakan. Dalam arti penuh perhitungan, melakukan perenungan sebelum berbuat sesuatu dan mengambil keputusan.
4)      Matanggwan, bertanggung jawab dan amanah, memiliki responbilitas dan akuntabilitas yang tinggi dan selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan kepadanya.
5)      Satyabhakti aprabhu, memiliki loyalitas dan dedikasi yang tinggi, bersifat setia kepada negara dan bangsa, tulus ikhlas dalam mengabdi kepada bangsa dan negara.
6)      Wagmiwak, pandai berkomunikasi, pandai berpidato dan menyakinkan orang tentang kebaikan gagasannya, pandai bernegoisasi dan berdiplomasi mempertahankan keyakinannya.
7)      Sarjjawopasama, rendah hati, tidak sombong, bermuka manis, ramah, tulus ikhlas, lurus, sabar, berbudi luhur, beradab tinggi, sopan-santun.
8)      Dhirotsaha, rajin bekerja dan sungguh-sungguh, pekerja kerasm tak mengenal lelah, teguh hati.
9)      Tan lalana, bersifat riang gembiram humoris, jika susah tidak menampakkan kesedihannya walau sebenarnya hatinya risau gundah-gulana karena memikirkan berbagai masalah kenegraan dan kehidupan.
10)   Diwyacitra, demokratis, gemar musyawarah untuk mufakat, mencari konsensus, mau mendengarkan pendapat dan keluh kesah orang lain.
11)   Tan satrisna, tulus ikhlas, tidak memiliki pamrih pribadi, sangat menjaga nafsu birahi.
12)   Sih samastabhuwana, menyayangi seluruh dunia beserta isinya/rahmatan ‘lil alaamin, memelihara dan bersahabat dengan makhluk hidup dan seluruh lingkungan.
13)   Ginong pratidna, selalu mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang ma’ruf/amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada hari tanpa perbaikan.
14)   Sumantrim menjadi karyawan yang senonoh, sempurna kelakuannya, tahu akan tugas, tidak membuang waktu untuk segala sesuatu yang tidak berguna, tidak korupsi dan memanfaatkan jabatam, tidak menyalahgunakan wewenang.
15)   Anayajen musuh, bersifat kasih sayang bukan berarti lembek terhadap musuh yang akan menghancurkan negara, tegas dan berani mengalahkan musuh, berjiwa satria.

Sedangkan dari ajaran Asta Brata (8 perilaku) yang membuat tamsil jiwa kepemimpinan berangkat dari isi alam semesta, terjabarkan 8 karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karakter pemimpin hendaknya menyerupai:
1)      Surya, matahari. Sifatnya adalah tidak terburu-buru berjalan sesuai dengan ketentuan rendah hati, sabar berhati-hati. Pemimpin hendaknya mampu menjadi sumber inspirasi, memberi gairah dan semangat kepada yang dipimpinnya, ia harus berlaku adil seperti matahari yang menerangi semua orang.
2)      Candra, bulan. Mampu diteladani, justru saat-saat krisis mampu menjadi bulan yang memberikan cahaya orang-orang dalam keadaan gelap, memberi petunjuk dan arah untuk keluar dari kemelut dan situasi genting, bilamana perlu mampu menjadi juru damai bagi yang sedang berkonflik.
3)      Kartika, bintang. Pemimpin harus bersifat tegas, tidak mudah tergoda, tidak gentar menghadapi cobaan, percaya diri, terus terang, tanpa ada yang ditutupi.
4)      Bantala, bumi. Karakter bumi adalah sabar dan dermawan. Menawarkan kesejahteraan bagi sumua makhluk. Seorang pemimpin yang membumi selalu tegas, konsisten, istiqamah, tak tergoyahkan, tetapi bersahaja dan rendah hati.
5)      Samudra, lautan. Dapat menjadi tumpahan keluh kesah seluruh anak buah, tanpa membeda-bedakan posisi dan peranannya.
6)      Maruta, samirana, angin. Simbol demokrasi, mempu menembus semua celah tatanan masyarakat, mampu bergaul dengan siapa saja, mau memberikan kesejukan di mana saja dan kepada siapa saja.
7)      Dahana, agni, geni, api. Bertindak tegas, tidak pandang bulu, sabar, ramah, hati-hati.
8)      Tirta, banyu, air. Rendah hati, hidup dengan tujuan yang jelas, memberi inspirasi kepada semua orang dan selalu memperjuangkan aspirasi pengikutnya.

v  Tradisi Agama Buddha
Tradisi agama ini ada elemen kepemimpinan yang disebut dengan Dasa Raja Dhamma (sepuluh kewajiban pemimpin) yang terdiri dari:
1)      Dana, suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah.
2)      Sila, bermoral luhur, tidak membunuh, tidak menipu, tidak korupsi, tidak melakukan perbuatan asusila, tidak berkata bohong, dan tidak minum-minuman keras.
3)      Pariccaga, mau mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat/bawahannya.
4)      Ajjava, jujur dan ebrsih, bebas dari rasa takut dan tidak mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih dan tidak menipu rakyat.
5)      Maddava¸ramah tamah dan sopan santun, berwatak simpatik dan selalu ramah tamah.
6)      Tapa, sederhana dan bersahaja, menjauhkan diri dari hidup yang berlebih-lebihan.
7)      Akkodha, bebas dari rasa benci/keinginan jahat, tidak memiliki dendam terhadap siapa pun juga.
8)      Avihimsa, tanpa kekerasan, tidak boleh menyakiti orang lain, harus menjaga perdamaian, mengelakkan semua hal yang mengandung unsur kekerasan.
9)      Khanti, sabar, rendah hati, mampu memanfaatkan kesalahan orang lain, penuh pengertian.
10)   Avirodha, tidak menentang, tidak menghalang-halangi. Hidup bersatu dengan rakyat/bawahan, bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.

v  Tradisi Agama Islam
Dalam ajaran agama Islam tentang kepemimpinan semua berinduk dari perilaku Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin yang mendapat gelar Al-Amin (seorang yang jujur dan dapat dipercaya). Beliau dikenal memiliki karakter SAFT (shidiq, amanah, fathonah, dan tabligh). Itu adalah esensi ajaran kepemimpinan Islam, sedangkan perincinya sebenarnya amat luas. Luasnya itu seperti jawaban Aisyah r.a. tatkala ditanya seorang sahabat tentang bagaimana karakter Rasulullah. Secara ringkau beliau menjawab, karakter Rasulullah adalah al-Qur’an. Jawaban ringkas, tetapi maknanya amat dalam dan luas. Secara garis besar makna-makna karakter tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Shiddiq, bermakna kejujuran, yakni jujur di dalam ungkapan, sifat dan tindakan yang terkait dengan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Shiddiq juga bermkna benar, seorang pemimpin seharusnya benar dalam berbagai macam aspek, seperti akidah/keyakinannya, perilaku dan niatnya, sehingga ia layak dan mampu menjadi uswah hasanah (teladan yang baik) bagi para pengikutnya.
2)      Amanah, dapat dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat dipercaya, sehingga dengan kepercayaan yang dimilikinya, maka ia akan membawa organisasi yang dipimpinannya menjadi lebih baik. Amanah bagi pemimpin dimaknai sebagai sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam melaksanakan sesuatu tugas, sehingga ia akan menjalaninya dengan konsekuen, konsisten/istiqamah, sepenuh hati, bersungguh-sungguh, penuh loyalitas dan dedikasi.
3)      Fathonah, cerdas, juga cerdik. Pemimpin harus memiliki kecerdasan yang komprehensif, tidak sekadar cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas emosional, cerdas spiritual dan cerdas sosial. Harus memiliki keagungan jiwa, kekokohan keyakinan, dan ketegaran batin, sehingga ia akan sukses memimpin organisasinya. Dengan demikian, seorang yang fathonah akan bersikap bijak dan menjunjung tinggi kebajikan.
4)      Tabligh, menyampaikan perintah/sesuatu amanah yang dipercayakan kepadanya, atau aturan-aturan yang berlaku di organisasinya kepada seluruh jajaran di bawahnya. Tabligh, juga bermakna membawa transparansi/keterbukaan di dalam organisasi yang dipimpinnya.

Seorang pempimpim yang memiliki jiwa SAFT tersebut akan terbiasa bermusyawarah untuk mencapai mufakat, dia terbiasa mengembangkan sikap saling berkasih sayang (tarrahum) antar-sesama manusia. Dalam hubungan antar-manusia, ia akan melandasinya dengan 6 prinsip pokok, yaitu: persamaan/musawah, persaudaraan/ukhuwah, cinta kasih/mahabbah, kedamaian/salim, tolong menolong/ta’awun, dan toleran/tasamuh.

B.      Konsep Pendidikan Karakter di Negara-negara Barat
Pendidikan karakter di negara-negara barat di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris khususnya amat dipengaruhi oleh konsep pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Thomas Lickona. Apa yang amat berguna dan dapat diambil sebagai hikmah dari model pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Thomas Lickona adalah bagaiamana caranya dia menggambarkan proses perkembangan yang melibatkan pengetahuam, perasaan, dan tindakan nyata. Dengan demikian menyediakan semacam fondasi terpadu, di mana di atasnya dapat dibangun suatu sturktur yang terjalin dari berbagai upaya pendidikan karakter yang koheren dan komprehensif. Hal tersebut akan memberi tahu kita tentang apa yang seharusnya diperlukan untuk dapat mengikat anak-anak dalam suatu aktivitas yang membuat mereka berpikir secara kritis tentang berbagai pertanyaan moral dan etis, dan mampu mengilhami serta mendorong mereka berkomitmen untuk menjalankan tindakan-tindakan yang berlandaskan moral dan etis, juga memberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengimplementasikan perilaku moralnya.
Menurut Lickona nilai-nilai penting yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter antara lain meliputi nilai amanah, dapat dipercaya, rasa hormat, sikap bertanggung jawab, berlaku adil dan jujur baik kepada diri sendiri maupun orang lain, kepedulian, kejujuran, kebenaranm kerajinan, berintegritas, dan kewargaan.
Pendidikan karakteri di Amerika Serikat mengajarkan kepada para siswa agar memahami, mau berkomitmen dan berbuat dengan saling berbagi nilai-nilai etik. Dengan kata lain mereka “paham tentang hal-hal yang baik, ingin berperilaku baik, dan melakukan yang baik-baik.” Dalam pendidikan karakter juga dikembangkan nilai-nilai inti dari menghormati dan menghargai orang lain, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, pemberian perhatianm dan partisipasi dalam masyarakat.

C.      Konsep Pendidikan Karakter di Indonesia Saat Ini
Di Indonesia sebagai hasil Serasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 14 Januari 2010 telah dicapai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dinyatakan sebagai berikut:
1.       Pendidikan budaya dan karakter bangsa meruapakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
2.       Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pedidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
3.       Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orangtua. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan ke-4 unsur tersebut..
4.       Dalam upaya merevitalitas pendidikan budaya dan karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Tersirat dalam keinginan peserta sarasehan nasional tersebut agar pendidikan budaya dan karakter dapat dikelola de ngan lebih baik diharapkan bidang kebudayaan kembali menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Nasional seperti dahulu ada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional telah melansir pilar pendidikan karakter. Kesembilan pilar tersebut meliputi:
1.       Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
2.       Kemandirian dan tanggung jawab,
3.       Kejujuran/amanah dan diplomatis,
4.       Hormat dan santun,
5.       Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerja sama,
6.       Percaya diri dan kerja keras,
7.       Kepemimpinan dan keadilan,
8.       Baik dan rendah hati, serta
9.       Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Di samping itu pelaksanaannya juga harus memperhatikan K4 (kesehatan, kebersihan, kerapian,dan keamanan).
Para ahli pendidikan di Indonesia umumnya bersepakat bahwa pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak, karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Dalam implementasinya pendidikan karakter umumnya diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma/nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terikatd dengan manajemen sekolah. Manajemen yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pemebelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Secara makro pengembangan karakter dibagi menjadi 3 tahap, yaitu perencanaa, pelaksanan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan karakter yang digali dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber ideologi bangsa, perundangan yang terkait, pertimbangan teoritis: teori tentang otak, psikologi, nilai dan moral, pendidikan, dan sosio-kultural, serta pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktik terbaik dari tokoh-tokoh, kelompok kultural, pesantren, dan lain-lain.
Pada tahap pelaksanaan/implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung dalam 3 pilar pendidikan yakni di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Di setiap pilar pendidikan ada 2 jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui intervensi dan habituasi.
Dalam intervensi dikembangkan suasana interaksi pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan karakter dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur. Dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan para siswa di mana saja membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan telah menajdi karakter dirinya, karena telah diinternalisasi dan dipersonifikasi melalui proses intervensi.
Dalam ranah mikro sekolah sebagai leading sector berupaya memanfaatkan da memberdayakan semua lingkungan belajar yang ada untuk inisiasi, memperbaiki, menguatkan dan menyempurnakan secara terus-menerus proses pendidikan karakter di sekolah.
Khusus mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama dan karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring. Sementara mata pelajaran lain, pendidikan karakter dikembangkan sebagai kegiatan yang hanya dimiliki dampak pengiring terhadap berkembangnya karakter dalam diri peserta didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar