KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA
A. Konsep Pendidikan
Karakter Tradisional di Indonesia
Konsep pendidikan yang asli di Indonesia itu
dapat digali dari berbagai adat-istiadat dan budaya di indonesia, ajaran
berbagai agama yang ada di Indonesia serta praktik kepemimpinan yang telah lama
diterapkan di Indonesia.
1. Konsep Pendidikan
Karakter menurut Adat dan Budaya
a) Adat Batak terkait
Pendidikan Karakter
Prinsip etika sosial Batak berlandaskan pada Dalihan
na Tolu, artinya tungku berkaki tiga. Masyarakat Batak diumpamakan sebuah
kuali dan Dahlian na Tolu adalah tungkunya. Di sini tergambar perlunya
keharmonisan dari ketiga kaki tungku tersebut yakni: Hula-hula (para
keturunan laki-laki dari satu luluhur), Boru (anak perempuan), dan Dongan
Sabutuha (semua anggota laki-laki semarga).
Dengan adanya tungku itu maka kuali
masyarakat Batak menjadi seimbang, harmonis, dan menyala api solidaritasnya.
Akar dari sistem nilai Dalihan na Tolu adalah kerendahan hati (humble).
Orang Batak harus hormat kepada Hula-hulanya
tanpa syarat, tidak peduli hula-hulanya miskin, tidak berpendidikan dan
sebagainya. Kecuali itu Dahlian na Tolu juga dikembangkan oleh keinginan
memanifestasi Olong (rasa kasih sayang).
Dengan Dahlian na Tolu, muncul dan berakarlah
demokrasi kekeluargaan dalam masyarakat Batak. Demokrasi kekeluargaan ini
dibina dengan cara musyawarah mufakat. Esensi hasil musyawarah mufakat adalah:
v Pembicaraan perseorangan
tidak diterima, pendapat umumlah yang menentukan.
v Jangan disimpan dalam
hati, baiknya dikeluarkan saja.
v Mayoritas bergembira,
jika sudah tidak ada minoritas yang mengeluh.
v Putusan yang diharapkan,
yaitu putusan yang dapat diterima oleh semua orang.
v Rasa kemanusiaan yang
adil dan beradab, sangat bergantung kepada masyarakat.
b) Adat Sunda terkait
Pendidikan Karakter
Dalam budaya Sunda, prinsip dan etika terkait
dengan pergaulan manusia dengan Tuhan, dan pergaulan dengan sesama manusia,
dilandasi oleh silih asih, silih asah, dan silih asuh. Hal
tersebut menunjukkan karakter khas dari budaya Sunda sebagai konsekuensi dari
pandangan hidup religiusnya.
Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang menekankan
kepada sapaan cinta kasih Tuhan serta merespon melalui cinta kasih kepada
sesama manusia. Dalam kata lain, silih asih merupakan kualitas interaksi
yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam tradisi
silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang suoerior
maupun manusia yang inferior.
Masyarakat silih asah dimaknai saling
bekerja sama untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan. Tradisi
ini melahirkan etos dan semangat ilmiah memupuk jiwa kuriositas dan saling
mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Hal ini
diharapkan mampu menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak bergantung
kepada masyarakat lain.
Masyarakat silih asuh memandang
kepentingan kolektif maupun kepentingan pribadi mendapat perhatian berimbang
melalui saling pantau, saling kontol, tegur sapa, dan saling memberikan
bimbingan. Budaya silih asuh mampu memperkuat ikatan emosional yang
dikembangkan dalam tradisi ini.
Karakter pokok yang harus dimiliki dan
dikembangkan oleh Urang Sunda adalah Cageur/sehat jasmani dan
ruhani, bageur/baik dalam berbicara maupun tindakan, bener/benar
dalam tujuan hidup dan langkah perbuatan, singer/muhasabah, mawas diri;
agar tidak terjerumus dalam perilaku salah dan keliru, dan pinter/cerdas
dalam pengertian tidak pernah berhenti dalam mencari dan mengembangkan ilmu.
Itulah filosofi dari kata Sunda yang memiliki makna segala sesuatu yang mengandung
unsur kebaikan dan orang Sunda meyakininya.
Ada sejumlah nilai yang menlandasi karakter
kepemimpinan dalam masyarakat Sunda. Nilai-nilai yang harus menajdi sikap
seorang pimpin tersebut antara lain adalah:
v Teu adigung
kamagungan (tidak sombong).
v Titih-rintih, tara
kajurung ku nafsu (tertib,
tidak pernah terdorong nafsu).
v Sacangreud pageuh,
sagolek pangkek, henteu ganti pileumpangan (kukuh pendirian).
v Leber wawanen (penuh keberanian) yang diimbangi dengan
kepandaian.
v Loba socana rimbil
cepilna (pandai membaca
keadaan dan mendengar keluh kesah bawahan/rakyatnya).
v Kudu boga pikir
rangkepan (waspada dan
hati-hati).
v Kudu jadi gunung
pananggeuhan (harus menjadi
andalan bagi rakyat).
Orang Sunda mementingkan pendidikan dan
pembelajaran dengan suatu kesadaran bahwa pada hakikatnya tidak ada orang yang
bodoh. Masalahnya adalah, diperlukan kesabaran dan metode yang tepat agar yang
dianggap bodoh itu dapat memahami hikmah dan pengetahuan yang diperoleh dari
pembelajaran. Hal ini tercermin dalam ungkapan berikut:
v Peso mintul mun terus
diasah tangtu bakal seukeut (pisau
yang tumpul kalau terus diasah akan taham juga).
v Cikarakae ninggang
batu laun-laun jadi legok (air
tempias menimpa batu lama-lama batunya akan berlubang).
c) Adat Jawa terkait
Pendidikan Karakter
Ki Tyasno, Ketua Umum Majelis Hukum Taman
Siswa (2007) yang menyatakan bahwa dasar filosofi karakter adalah Tri Rahayu
(tiga kesejahteraan) yang merupakan nilai-nilai luhur dan merupakan pedoman
hidup meliputi:
v Mamayu hayuning
salira (bagaimana hidup
untuk meningkatkan kualitas diri pribadi).
v Mamayu hayuning
bangsa (bagaimana berjuang
untuk negara dan bangsa).
v Mamayu hayunung
bawana (bagaimana membangun
kesejahteraan dunia).
Untuk mencapai Tri Rahayu tersebut,
manusia harus memahami, menghayati, serta melaksanakan tugas sucinya sebagai
manusia yang tercantum dalam Tri Satya Brata (tiga ikrar bertindak)
yaitu:
v Rahayuning bawana
kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan
dunia bergantung kepada manusia yang memiliki ketajaman rasa).
v Dharmaning menungsa
mahanani rahayuning nagara (tugas
utama manusia adalah menjaga keselamatan negara).
v Rahayuning manungsa
dumadi karana kamanungsane (keselamatan
manusia ditentukan pada tata perilakunya, rasa kemanusiaannya).
Ki Ageng Soerjomentaram mengutarakan bahwa
dalam menjalani hidup ini sebaiknya manusia “tidak” melakukan tiga hal. 3 hal
tersebut adalah: ngangsa-angsa (ambisius, bernafsi-nafsi), ngaya-aya (terburu-buru,
tidak teliti, cermat dan hati-hati), dan golek benere dhewe (mencari
benarnya sendiri, mau menang sendiri). Hal ini tidak sejalan dengan sifat satria
(ksatrya) Jawa. Satria Jawa dalam kehidupannya selalu berlandaskan ajaran berbudi
bawa leksana (berbudi luhur dan rendah hati, tawaddhu), dan kaprawira (keperwiraan).
Kaprawira berarti selalu berlaku perwira dalam segala sesuatu dan dia temen
(jujur), tanggap (bertindak antisipatif), tatag (teguh hati,
mampu melihat dan mengalami kondisi sapa saja), tangguh (tidak mudah kalah,
tidak mudah menyerah), dan tanggon (pilih tanding, berani menghadapi
siapa saja asal merasa benar), dan datan melik pawehing liyan (tidak
mengharapkan bantuan orang lain).
KPH H. Anglikusomo salah satu keturunan Paku
Alam menafsirkan ajaran-ajaran Paku Alam, diantaranya adalah ajaran yang
tertulis di regol (pintu gerbang) puro Pakualaman yang berbunyi wiwara
kusuma winayang reka. Wiwara artinya pintu/terbuka, kusuma berarti berbudi
luhur, winayang artinya sasmita/ilham, reka berarti pola pikir.
Sehingga makna keseluruhan adalah orang yang berbudi luhur niscaya selalu
terbuka dan bijaksana.
Sementara dalam cermin yang dipasang di pintu
gerbang Pakualam tertulis guna titi purun. Guna artinya bermanfaat,
maknanya orang yang berilmu harus memanfaatkan ilmunya untuk kesejahteraan dan
kemajuan umat manusia. Titi dimaknai jujur, lebih dan mengerti, artinya
benar-benar mengerti pokok persoalan, mengerti bidang tugasnya, mengerti betul
kewajibannya. Purun maknanya berani, mau dan mampu melakukan atau berani
untuk berperilaku baik menjauhi oerbuata jahat dan kotor, berani mengedepankan
keadilan, amar ma’ruf nahi munkar.
Sikap manusia Jawa yang lainnya adalah adhap asor atau lembah manah artinya
rendah hati, tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah hati berarti tidak
mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan (bagai ilmu padi makin menunduk
makin berisi). Orang yang adhap asor juga mampu menahan diri, jika
dicela tidak mudah marah tetapi justru akan mawas diri apa kekurangan dan
kelemahannya.
Dalam hidup bermasyarakat manusia
Jawa/Wong Jawa hendaknya selalu memiliki 3 tingkatan prinsip. Prinsip pertama, rigen,
mugen, tegen. Prinsip kedua gemi, nastiti, ngati-ati. Prinsip ketiga
gumati, mengerti, miranti.
Rigen adalah mengajarkan segala sesuatu sampai tuntas. Tegen maknanya
adalah tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja. Mugen maknanya adalah
mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya
juga mantap serta setia menjalani pekerjaannya.
Gemi maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, bersifat hemat. Nastiti
maknanya cermat memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkan
akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap
batin yang selalu waspada.
Gumati maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan
memelihara sesuatu. Mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat;
keadaan waktu dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga
perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak/salah
bicara. Mirananti maknanya memenuhi keinginan, menaati peraturan yang
berlaku mengikuti SOP/standard operating procedures, dapat membagi waktu dengan
baik dan rajin dalam bekerja.
Di samping dari ajaran leluhur, karakter
yang diingatkan oleh manusia Jawa juga sering ditemui sebagai pasemon (perumpamaan)
dalam tembang-tembang (lagu, lelagon) Jawa. Misalnya dalam tembang
gundhul-gundhul pacul:
Gundhul-gundhul pacul, gembelengan (2x)
Nyunggi-nyunggi wakul, gembelengan (2x)
Wakul glimpang segane dadi sak ratan (2x)
Makan dari lagu tersebut merupakan pepeling
(peringatan) agar jika menjadi pemimpin dalam menerima amanah (nyunggi
wakul) tidak sembrono (gembelengan), tidak seenaknya sendiri.
Akibatnya nanti seluruh tatanan dan aturan masyarakat dapat menjadi rusak,
kondisi negara tidak terkendali.
Dalam pergaulan sehari-hari,
orang Jawa suka menggunakan perlambang, perumpamaan/simbol-simbol, seperti ungkapan:
Wong Jawa nggone pasemon, orang Jawa suka menggunakan perumpamaan, kata-kata
yang terselubung. Perumpamaan tersebut sering dijumpai di masyarakat Jawa:
· Ngono ya ngono, ning
aja ngono, artinya begitu ya
begitu, tetapi jangan begitu. Suatu peringatan agar dalam bersikap, berbicara,
bertindak tidak berlebih-lebihan, karena bukan kebaikan yang akan diperoleh
tetapi justru keburukan.
· Cekelen iwake aja
buthek banyune, artinya
tangkaplah ikannya jangan keruh airnya. Nasihat agar kebijaksanaan dan
hati-hati dalam melaksanakan sesuatu, juga dalam menegakkan hukum dan keadilan.
· Curiga manjing
warangka, warangka manjing curiga, artinya keris menyatu dengan sarungnya, sarung menyatu dengan kerisnya.
Melambangkan persatuan antara pemimpin dengan bawahan/rakyatnya. Pemimpin
memahami aspirasi rakyat, rakyat mengabdi dengan ikhlas.
d) Adat Madura terkait
Pendidikan Karakter
Literatur terkait dengan karakter adat
Madura, mengungkap karakter yang terkandung dalam lagu-lagu daerah berbahasa
Madura. Di antara lagu-lagu tersebut adalah Lir Saalir, teks seoerti
ini:
Lir saalir, alir, alir, kung! Ngare’ benta
ngeba sada,
Mon motta esambi keya, lir saalir, alir,
alir, kung!
Tada’ kasta neng e ada’, ghi’ kasta e budi
keya,
Lir saalir, alir, alir, kung!
Perreng petting pote-pote, reng lalakon
petangate…
Lagu ini berbentuk pantun nasihat yang
mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam bekerja, bertindak,
bertingkah laku, berbicara, dan bersikap. Juga memberikan nasihat untuk
berpikir jernih sebelum mengambil tindakan atau membuat keputusan, karena
kesalahan dalam bertindak atau memutuskan sesuatu akan menimbulkan penyesalan
di kemudian hari.
Lagu lainnya adalah lagu Pa’ opa’ Iling yang
syair sebagimana berikut ini:
Pa’ opa’ iling, dang dang asoko randhi,
Reng towana tar ngaleleng
Ajhara ngaji babana cabbhi,
Le oleh gheddang bighi
Lagu ini semacam lagu nina bobo, dinyanyikan
oleh orangtua untuk meimang atau mengajak bermain anaknya yang masih kecil.
Lagu ini syarat makna. Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai agama Islam, masyarakat Madura mewajibkan anaknya untuk mengaji
sejak dini. Ngaji di sini bukan sekadar mengaji al-Qur’an, tetapi juga kegiatan
mencari ilmu dunia bagi bekal kehidupan di masa mendatang.
Lagu terakhir yang kita bahas adalah lagu Pajjhar
Lagghu (fajar pagi) yang syairnya sebagai berikut:
Pajjhar lagghu arena pon nyonara
Bapa’ tane se tedung pon jhagha’a
Ngala’ are’ ben landhu’ tor capenga,
A jhalanna ghi’ sarat kewajjibhan
Atatamen mabannya’ hasel bhumena,
Mama’mor nagharana tor bangsana
Bagi masyarakat Madura bekerja sebagai petani
manjadi pekerjaan utama. Walau tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja
yang giat dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam. Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bercocok
tanam. Dalam kaitan ini semua anggota keluarga memiliki peran dan melaksanakan
peran mereka secara gotong royong.
e) Adat Bugis terkait
Pendidikan Karakter
Kita mendapatkan pengetahuan tentang adat
Bugis karena petuha-petuah luhur yang dinyatakan dalam tulisan. Sistem dan
norma adat tertulis yang merupakan wujud kebudayaan tersebut disebut dengan panngaderreng.
Panngaderreng dapat dimaknai sebagai totalitas norma hidup yang meliputi
bagaimana seseorang harus bertingkahlaku terhadap sesama manusia dan terhadap
pranata sosial secara seimbang. Sistem panngaderreng terdiri dari 5
unsur pokok, yaitu: ade’. bicara, rappang, wari’, dan sara’.
Ke-5 unsur pokok panngaderreng yang
menjadi pedoman dalam langkah sehari-hari tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
Ø Ade’, teta tertib yang bersifat normatif,
Ø Bicara, aturan formal yang menyangkut peradilan
dalam arti luas,
Ø Rappang, aturan tak tertulis untuk mengokohkan
negara dengan segenap undang-undang dan hukumnya,
Ø Wari’, ketentuan dari bagian ade’ yang mengatur
batas-batas hak dan kewajiban setiap orang dalam hidup bermasyarakat, dan
Ø Sara’, berasal dari syariat agama Islam.
Semua itu diperteguh dalam satu rangkuman,
suatu ikatan yang paling mendalam, yakni siri’. Salam Basjah dalam
Parmono mengartikan Siri’ sebagai:
Ø Perasaan malu
Ø Daya dorong untuk
membinasakan siapa saja yang telah menyinggung kehormatan
Ø Daya dorong untuk
berusaha/bekerja semaksimal mungkin
2. Konsep Pendidikan
Karakter menurut Ajaran Agama
a) Landasan Karakter dalam
Agama Islam
Landasan karakter terletak pada Kitab Suci
al-Qur’an dan Hadis nabi Saw. Hadis yang dikutip pun hadis yang disepakati
sebagai hadis yang valid/sahih. Tidak dapat dipungkiri, sebenarnya banyak
hikmah dapat dipetik dari sirah/biografi para sahabat maupun para tabi’in.
berbagai karakter yang harus dimiliki oleh kaum muslimin baik menurut al-Qur’an
maupun hadis, antara lain:
v Bersilaturrahmi,
menyambung komunikasi. al-Hadis: Barang siapa ingin dilunaskan rezekinya dan
dipanjangkan umurnya hendaklah ia bersilaturrahmi (HR. Bukhari Muslim dari
Anas).
v Berkomunikasi dengan baik
dan menebar salam. al-Qur’an: Seluruh manusia kepada jalan Tuhanmu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik, dan berdebatlah (berdiskusilah) kamu dengan
mereka menurut cara yang lebih baik (QS An-Nahl: 125)
v Jujur, tidak curang,
menepati janji dan amanah (QS Tathif: 1). Berkomunikasi ddengan baik dan
santun, gemar memberi salam (QS An-Nahl: 125). Sabar dan optimis (QS Hud: 115),
berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihi, dan saling menyayangi (QS
An-Nahl: 90), Dll.
b) Landasan Karakter dalam
Agama Kristen/Katollik
Sejauh yang ditulis dalam al-Kitab: Surat
Amsal kita dapati sejumlah landasan karakter agama Kristen/Katolik tentang
hal-hal sebagai berikut:
v Prihal kebenaran,
keadilan, dan kejujuran. Pasal 1 ayat 3: …untuk menerima didikan yang
menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran. Pasal 2 ayat 9:
Maka engkau akan mengerti tentang keadilan dan kejujuran bahkan setiap jalan
yang baik.
v Menghargai nasihat
orangtua. Pasal 1 ayat 8: Hai anakku dengarkanlah didikan ayahmu dan jangan
menyia-nyiakan ajaran ibumu.
v Besifat kasih dan setia.
Pasat 3 ayat 3: Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah
itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu!. Pasa 21 ayat 21: Siapa
mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan
kehormatan. Dll
c) Landasan Karakter dalam
Agama Hindu
Landasan karakter dapat dilihat dari sejumla
surat dalam Yajurveda, Ryveda, dan Atharwaveda serta kitab suci agama Hindu
yang lain. Dalam buku itu antara lain dapat dijumpai landasi karakter:
v Suka berbuat baik.
Lakukanlah perbuatan yang baik bersama seluruh keluargamu untuk menuju
kebajikan atau dharma (Yajurveda, VII, 45).
v Berbuat jujur dan
berkata benar. Orang yang senantiasa berbuat jujur, berkata benar atau satya
memperoleh perlindungan dalam hidupnya (Rgveda, X, 37.2).
v Suka bekerja keras dan
dermawan. Wahai umat manusia, kumpulkanlah kekayaan dengan 100 tangan (bekerja
keras) dan setelah engkau memperoleh, dermakan dengan 1000 tanganmu
(Atharwaveda III, 24.5). Dll
d) Landasan Karakter dalam
Agama Buddha
Karakter pokok seorang penganut agama Buddha
adalah seperti yang terkandung dalam Dhamma-Sari yang disusun oleh Maha Pandita
Sumedha Widyadharma. Dikenal dengan Jalan Tengah atau Delapan Jalan Utama (Ariya
Atthangika Magga). Ke-8 jalan utama tersebut secara ringkas dilihat berikut
ini:
No
|
Jalan Utama
|
Artinya
|
1
|
Samma Ditthi
|
Pengertian benar, takni merealisasikan 4 Kesunyataan Mulia yang
meliputi derita/dukkha, sumber derita, terhentinya derita dan jalan
menuju terhentinya derita.
|
2
|
Samma
Sankappa
|
Pikiran benar, komitmen untuk bertumbuh di Jalan Tengah.
|
3
|
Samma Vaca
|
Ucapan benar, bicara tanpa menyakiti, dengan cara benar.
|
4
|
Samma
Kammanta
|
Perbuatan benar, seluruh perilaku yang tidak menyakiti orang lain.
|
5
|
Samma Ajiva
|
Penghidupan benar, memiliki pekerjaan yang tidak menyakiti diri sendiri
atau orang lain, secara langsung maupun tidak langsung.
|
6
|
Samma Vayama
|
Daya upaya, selalu mencoba ke arah perbaikan.
|
7
|
Samma sati
|
Perhatian benar, melihat segala sesuatu dengan benar dan dengan
kesadaran yang jernih.
|
8
|
Samma
Samadhi
|
Konsentrasi benar, mencapai pencerahan, di mana ego lenyap.
|
Pelaksanaan 8 jalan utama ini bertujuan
mengembangkan dan menyempurnakan apa yang disebut Sila (tata hidup
bersusila). Samadhi (disiplin mental), dan Panna (kebijaksanaan
luhur).
3. Konsep Pendidikan
Karakter menurut Implementasi Kepemimpinan
Aspek kepemimpinan tradisional di sini
berfokus kepada berbagai ajaran kepemimpinan yang berlandaskan agama yang
dikembangkan dalam kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, kita ketahui
bahwa urutan kerajaan yang mucul di Indoensia, di pulau Jawa khususnya, adalah
kerajaan Hindu, kerajaan Buddha, dan kerajaan Islam.
v
Tradisi Agama Hindu
Ada 2 sumber ajaran Hindu terkait keutamaan
karakter pemimpin, yang pertama adalah ajaran yang dimuat dalam Negarakertagama
karangan Empu Prapanca serta ajaran yang termaktub dalam Asta Brata. Sumber
Asta Brata yang terbesar di Jawa terutama pada lakon/cerita wayang. Lakon
wayang tersebut terkait dengan nasihat Sri Rama terhadap Gunawan Wibisana pada
saat dilantik menajdi raja Alengka menggantikan kakaknya Rahwana, serta
wejangan Begawan Padmanaba kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutharama (Mahkota
Rama).
Dari pupu-pupuh Negarakertagama disebut
ada 15 karakter yang wajib dimiliki seorang pemimpin, yakni:
1)
Wijaya, bertindak
penuh hikah dan berlaku tenang dalam menghadapi berbagai kesukaran dan
tantangan hidup.
2)
Mantriwira, berani,
pembela negara yang gagah berani.
3)
Wicaksanengnaya, bijaksana
dalam segala tindakan. Dalam arti penuh perhitungan, melakukan perenungan
sebelum berbuat sesuatu dan mengambil keputusan.
4)
Matanggwan, bertanggung
jawab dan amanah, memiliki responbilitas dan akuntabilitas yang tinggi dan
selalu menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan kepadanya.
5)
Satyabhakti aprabhu, memiliki
loyalitas dan dedikasi yang tinggi, bersifat setia kepada negara dan bangsa,
tulus ikhlas dalam mengabdi kepada bangsa dan negara.
6)
Wagmiwak, pandai
berkomunikasi, pandai berpidato dan menyakinkan orang tentang kebaikan
gagasannya, pandai bernegoisasi dan berdiplomasi mempertahankan keyakinannya.
7)
Sarjjawopasama, rendah
hati, tidak sombong, bermuka manis, ramah, tulus ikhlas, lurus, sabar, berbudi
luhur, beradab tinggi, sopan-santun.
8)
Dhirotsaha, rajin
bekerja dan sungguh-sungguh, pekerja kerasm tak mengenal lelah, teguh hati.
9)
Tan lalana, bersifat
riang gembiram humoris, jika susah tidak menampakkan kesedihannya walau
sebenarnya hatinya risau gundah-gulana karena memikirkan berbagai masalah
kenegraan dan kehidupan.
10)
Diwyacitra, demokratis,
gemar musyawarah untuk mufakat, mencari konsensus, mau mendengarkan pendapat
dan keluh kesah orang lain.
11)
Tan satrisna, tulus
ikhlas, tidak memiliki pamrih pribadi, sangat menjaga nafsu birahi.
12)
Sih samastabhuwana, menyayangi
seluruh dunia beserta isinya/rahmatan ‘lil alaamin, memelihara dan
bersahabat dengan makhluk hidup dan seluruh lingkungan.
13)
Ginong pratidna, selalu
mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang ma’ruf/amar ma’ruf nahi munkar,
tidak ada hari tanpa perbaikan.
14)
Sumantrim menjadi
karyawan yang senonoh, sempurna kelakuannya, tahu akan tugas, tidak membuang
waktu untuk segala sesuatu yang tidak berguna, tidak korupsi dan memanfaatkan
jabatam, tidak menyalahgunakan wewenang.
15)
Anayajen musuh, bersifat
kasih sayang bukan berarti lembek terhadap musuh yang akan menghancurkan negara,
tegas dan berani mengalahkan musuh, berjiwa satria.
Sedangkan dari ajaran Asta Brata (8
perilaku) yang membuat tamsil jiwa kepemimpinan berangkat dari isi alam
semesta, terjabarkan 8 karakter yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Karakter pemimpin hendaknya menyerupai:
1)
Surya, matahari.
Sifatnya adalah tidak terburu-buru berjalan sesuai dengan ketentuan rendah
hati, sabar berhati-hati. Pemimpin hendaknya mampu menjadi sumber inspirasi,
memberi gairah dan semangat kepada yang dipimpinnya, ia harus berlaku adil
seperti matahari yang menerangi semua orang.
2)
Candra, bulan. Mampu
diteladani, justru saat-saat krisis mampu menjadi bulan yang memberikan cahaya
orang-orang dalam keadaan gelap, memberi petunjuk dan arah untuk keluar dari
kemelut dan situasi genting, bilamana perlu mampu menjadi juru damai bagi yang
sedang berkonflik.
3)
Kartika, bintang.
Pemimpin harus bersifat tegas, tidak mudah tergoda, tidak gentar menghadapi
cobaan, percaya diri, terus terang, tanpa ada yang ditutupi.
4)
Bantala, bumi. Karakter
bumi adalah sabar dan dermawan. Menawarkan kesejahteraan bagi sumua makhluk.
Seorang pemimpin yang membumi selalu tegas, konsisten, istiqamah, tak
tergoyahkan, tetapi bersahaja dan rendah hati.
5)
Samudra, lautan. Dapat
menjadi tumpahan keluh kesah seluruh anak buah, tanpa membeda-bedakan posisi
dan peranannya.
6)
Maruta, samirana,
angin. Simbol demokrasi, mempu menembus semua celah tatanan masyarakat, mampu
bergaul dengan siapa saja, mau memberikan kesejukan di mana saja dan kepada
siapa saja.
7)
Dahana, agni, geni,
api. Bertindak tegas, tidak pandang bulu, sabar, ramah, hati-hati.
8)
Tirta, banyu, air.
Rendah hati, hidup dengan tujuan yang jelas, memberi inspirasi kepada semua
orang dan selalu memperjuangkan aspirasi pengikutnya.
v
Tradisi Agama Buddha
Tradisi agama ini ada elemen kepemimpinan
yang disebut dengan Dasa Raja Dhamma (sepuluh kewajiban pemimpin) yang
terdiri dari:
1)
Dana, suka menolong
orang, tidak kikir dan ramah tamah.
2)
Sila, bermoral luhur,
tidak membunuh, tidak menipu, tidak korupsi, tidak melakukan perbuatan asusila,
tidak berkata bohong, dan tidak minum-minuman keras.
3)
Pariccaga, mau
mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat/bawahannya.
4)
Ajjava, jujur dan
ebrsih, bebas dari rasa takut dan tidak mempunyai kepentingan pribadi sewaktu
menjalankan tugas, bersih dan tidak menipu rakyat.
5)
Maddava¸ramah tamah
dan sopan santun, berwatak simpatik dan selalu ramah tamah.
6)
Tapa, sederhana dan
bersahaja, menjauhkan diri dari hidup yang berlebih-lebihan.
7)
Akkodha, bebas dari
rasa benci/keinginan jahat, tidak memiliki dendam terhadap siapa pun juga.
8)
Avihimsa, tanpa
kekerasan, tidak boleh menyakiti orang lain, harus menjaga perdamaian,
mengelakkan semua hal yang mengandung unsur kekerasan.
9)
Khanti, sabar, rendah
hati, mampu memanfaatkan kesalahan orang lain, penuh pengertian.
10)
Avirodha, tidak
menentang, tidak menghalang-halangi. Hidup bersatu dengan rakyat/bawahan,
bertindak sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.
v
Tradisi Agama Islam
Dalam ajaran agama Islam tentang kepemimpinan
semua berinduk dari perilaku Nabi Muhammad Saw. sebagai pemimpin yang mendapat
gelar Al-Amin (seorang yang jujur dan dapat dipercaya). Beliau dikenal
memiliki karakter SAFT (shidiq, amanah, fathonah, dan tabligh). Itu
adalah esensi ajaran kepemimpinan Islam, sedangkan perincinya sebenarnya amat
luas. Luasnya itu seperti jawaban Aisyah r.a. tatkala ditanya seorang sahabat
tentang bagaimana karakter Rasulullah. Secara ringkau beliau menjawab, karakter
Rasulullah adalah al-Qur’an. Jawaban ringkas, tetapi maknanya amat dalam dan luas.
Secara garis besar makna-makna karakter tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Shiddiq, bermakna
kejujuran, yakni jujur di dalam ungkapan, sifat dan tindakan yang terkait
dengan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Shiddiq juga bermkna benar,
seorang pemimpin seharusnya benar dalam berbagai macam aspek, seperti
akidah/keyakinannya, perilaku dan niatnya, sehingga ia layak dan mampu menjadi uswah
hasanah (teladan yang baik) bagi para pengikutnya.
2)
Amanah, dapat
dipercaya. Seorang pemimpin harus dapat dipercaya, sehingga dengan kepercayaan
yang dimilikinya, maka ia akan membawa organisasi yang dipimpinannya menjadi
lebih baik. Amanah bagi pemimpin dimaknai sebagai sebuah kepercayaan
yang harus diemban dalam melaksanakan sesuatu tugas, sehingga ia akan
menjalaninya dengan konsekuen, konsisten/istiqamah, sepenuh hati,
bersungguh-sungguh, penuh loyalitas dan dedikasi.
3)
Fathonah, cerdas, juga
cerdik. Pemimpin harus memiliki kecerdasan yang komprehensif, tidak sekadar
cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas emosional, cerdas spiritual dan
cerdas sosial. Harus memiliki keagungan jiwa, kekokohan keyakinan, dan
ketegaran batin, sehingga ia akan sukses memimpin organisasinya. Dengan
demikian, seorang yang fathonah akan bersikap bijak dan menjunjung
tinggi kebajikan.
4)
Tabligh, menyampaikan
perintah/sesuatu amanah yang dipercayakan kepadanya, atau aturan-aturan yang
berlaku di organisasinya kepada seluruh jajaran di bawahnya. Tabligh, juga
bermakna membawa transparansi/keterbukaan di dalam organisasi yang dipimpinnya.
Seorang pempimpim yang memiliki jiwa SAFT
tersebut akan terbiasa bermusyawarah untuk mencapai mufakat, dia terbiasa
mengembangkan sikap saling berkasih sayang (tarrahum) antar-sesama
manusia. Dalam hubungan antar-manusia, ia akan melandasinya dengan 6 prinsip
pokok, yaitu: persamaan/musawah, persaudaraan/ukhuwah, cinta
kasih/mahabbah, kedamaian/salim, tolong menolong/ta’awun,
dan toleran/tasamuh.
B. Konsep Pendidikan
Karakter di Negara-negara Barat
Pendidikan karakter di negara-negara barat di
Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris khususnya amat dipengaruhi oleh konsep
pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Thomas Lickona. Apa yang amat
berguna dan dapat diambil sebagai hikmah dari model pendidikan karakter yang
dikembangkan oleh Thomas Lickona adalah bagaiamana caranya dia menggambarkan
proses perkembangan yang melibatkan pengetahuam, perasaan, dan tindakan nyata.
Dengan demikian menyediakan semacam fondasi terpadu, di mana di atasnya dapat dibangun
suatu sturktur yang terjalin dari berbagai upaya pendidikan karakter yang
koheren dan komprehensif. Hal tersebut akan memberi tahu kita tentang apa yang
seharusnya diperlukan untuk dapat mengikat anak-anak dalam suatu aktivitas yang
membuat mereka berpikir secara kritis tentang berbagai pertanyaan moral dan
etis, dan mampu mengilhami serta mendorong mereka berkomitmen untuk menjalankan
tindakan-tindakan yang berlandaskan moral dan etis, juga memberi kesempatan
seluas-luasnya untuk mengimplementasikan perilaku moralnya.
Menurut Lickona nilai-nilai penting yang
harus dikembangkan dalam pendidikan karakter antara lain meliputi nilai amanah,
dapat dipercaya, rasa hormat, sikap bertanggung jawab, berlaku adil dan jujur
baik kepada diri sendiri maupun orang lain, kepedulian, kejujuran, kebenaranm
kerajinan, berintegritas, dan kewargaan.
Pendidikan karakteri di Amerika Serikat
mengajarkan kepada para siswa agar memahami, mau berkomitmen dan berbuat dengan
saling berbagi nilai-nilai etik. Dengan kata lain mereka “paham tentang hal-hal
yang baik, ingin berperilaku baik, dan melakukan yang baik-baik.” Dalam
pendidikan karakter juga dikembangkan nilai-nilai inti dari menghormati dan
menghargai orang lain, tanggung jawab, kejujuran, keadilan, pemberian
perhatianm dan partisipasi dalam masyarakat.
C. Konsep Pendidikan
Karakter di Indonesia Saat Ini
Di Indonesia sebagai hasil Serasehan Nasional
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dilaksanakan di Jakarta tanggal 14
Januari 2010 telah dicapai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa yang dinyatakan sebagai berikut:
1.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa meruapakan bagian integral yang tak
terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
2.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara
komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pedidikan dan
kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
3.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orangtua. Oleh karena itu,
pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan ke-4 unsur
tersebut..
4.
Dalam upaya merevitalitas pendidikan budaya dan karakter bangsa
diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan
di lapangan.
Tersirat dalam keinginan peserta sarasehan
nasional tersebut agar pendidikan budaya dan karakter dapat dikelola de ngan
lebih baik diharapkan bidang kebudayaan kembali menjadi tanggung jawab
Kementerian Pendidikan Nasional seperti dahulu ada Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional telah melansir pilar pendidikan
karakter. Kesembilan pilar tersebut meliputi:
1.
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,
2.
Kemandirian dan tanggung jawab,
3.
Kejujuran/amanah dan diplomatis,
4.
Hormat dan santun,
5.
Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong-royong/kerja sama,
6.
Percaya diri dan kerja keras,
7.
Kepemimpinan dan keadilan,
8.
Baik dan rendah hati, serta
9.
Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Di samping itu pelaksanaannya juga harus memperhatikan
K4 (kesehatan, kebersihan, kerapian,dan keamanan).
Para ahli pendidikan di Indonesia umumnya
bersepakat bahwa pendidikan karakter sebaiknya dimulai sejak usia anak-anak,
karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya. Dalam implementasinya pendidikan karakter umumnya diintegrasikan
dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang
berkaitan dengan norma/nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat
terikatd dengan manajemen sekolah. Manajemen yang dimaksud adalah bagaimana
pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam
kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut
antara lain meliputi nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum,
pemebelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen
terkait lainnya.
Secara makro pengembangan karakter
dibagi menjadi 3 tahap, yaitu perencanaa, pelaksanan, dan evaluasi hasil. Pada
tahap perencanaan dikembangkan karakter yang digali dan
dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber ideologi bangsa, perundangan yang
terkait, pertimbangan teoritis: teori tentang otak, psikologi, nilai dan moral,
pendidikan, dan sosio-kultural, serta pertimbangan empiris berupa pengalaman
dan praktik terbaik dari tokoh-tokoh, kelompok kultural, pesantren, dan
lain-lain.
Pada tahap pelaksanaan/implementasi
dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada
pembentukan karakter dalam diri peserta didik. Proses ini berlangsung dalam 3
pilar pendidikan yakni di sekolah, keluarga, dan masyarakat. Di setiap pilar
pendidikan ada 2 jenis pengalaman belajar yang dibangun melalui intervensi dan
habituasi.
Dalam intervensi dikembangkan
suasana interaksi pembelajaran yang dirancang untuk mencapai tujuan pembentukan
karakter dengan penerapan pengalaman belajar terstruktur. Dalam habituasi diciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan para siswa di mana saja
membiasakan diri berperilaku sesuai nilai dan telah menajdi karakter dirinya,
karena telah diinternalisasi dan dipersonifikasi melalui proses intervensi.
Dalam ranah mikro sekolah sebagai
leading sector berupaya memanfaatkan da memberdayakan semua lingkungan belajar
yang ada untuk inisiasi, memperbaiki, menguatkan dan menyempurnakan secara
terus-menerus proses pendidikan karakter di sekolah.
Khusus mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan
Kewarganegaraan, pendidikan karakter harus menjadi fokus utama dan karakter
dikembangkan sebagai dampak pembelajaran dan juga dampak pengiring. Sementara
mata pelajaran lain, pendidikan karakter dikembangkan sebagai kegiatan yang
hanya dimiliki dampak pengiring terhadap berkembangnya karakter dalam diri
peserta didik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar