Senin, 12 Januari 2015

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN AUD (Perkembangan Moral dan Agama Anak Usia 4-6 Tahun)



PERKEMBANGAN MORAL DAN AGAMA PADA ANAK USIA 4-6 TAHUN

A.    Perkembangan moral dan agama pada anak usia 4-6 tahun.
1.      Batas perkembangan moral.
Istilah moral atau moralitas mengacu pada suatu kumpulan aturan dasar yang berlaku secara umum mengenai benar dan salah. Yang dimaksud moral adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar.
Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu adalah keluarga, sekolah, dan hubungan-hubungan sosial sehingga tugas orang dewasa dalam membantu perkembangan moral  adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang ada di kebudayaan pada anak dan mengembangkan pemahaman agama atau kepercayaan terhadap anak.
Tujuan utama dari pendidikan moral adalah untuk mengembangkan kesadaran akan benar dan salah, atau lebih dikenal dengan hati nurani. Idealnya, individu belajar mengerjakan hal yang baik, bukan karena takut akan akibat atau konsekuensinya apabila ia melanggar aturan, tetapi karena ada aturan dari dalam diri yang ia pelajari dari keluarga dan budaya.
2.      Pendekatan studi terhadap perkembangan moral (sosialisasi, kognisi, dan emosi).
a)      Sosialisasi
Para ahli menitikberatkan pendekatan sosialisasi pada perkembangan moral beranggapan bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Perkembangan moral adalah suatu proses internalisasi, di mana anak secara bertahap mengadopsi dan memahami aturan-aturan dan nilai dalam masyarakat yang dianggap sebagai tingkah laku yang dapat diterima.
Internalisasi terjadi karena sosialisasi yang dialami, orang tua dan anggota masyarakat berperan sebagai model atas tingkah laku yang sesuai, memberi penghargaan atas perilaku anak yang sesuai dengan norma dan menghukum atas perilaku yang membahayakan atau tidak dapat diterima.
b)      Kognisi
Anak dan remaja tidak selalu menggunakan standar-standar aturan orang dewasa. Individu yang lebih muda membutuhkan fleksibilitas yang dapat dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan, dimana mereka menerapkan berbagai standar moral dalam berbagai kesempatan.
Para ahli menekankan pada pendekatan kognisi lebih banyak menekankan tanggung jawab dalam perkembangan moral pada diri anak itu sendiri, bukan pada orang dewasa di sekitar anak. Melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebanyanya, anak membuat kepercayaan moral dan ilai mereka sendiri.
c)      Emosi
Para ahli mendasari pendekatan ini adalah anak cenderung bertingkah laku sesuai dengan norma, terutama untuk menghilangkan rasa cemas yang timbul. Ada emosi yang menimbulkan rasa nyaman, seperti rasa sayang, kedekatan, simpati dan empati. Emosi-emosi inilah yang membantu anak untuk bertingkah laku sesuai aturan.
Pendekatan kognisi dan emosi secara bersamaan dalam menjelaskan perkembangan dan perilaku moral bahwa anak memiliki dasar moral melalui keluarga, masyarakat, dan budayanya.
3.      Perkembangan moral dan perkembangan agama.
a)      Perkembangan moral
Antara 4 sampai 6 tahun, anak mulai memahami aturan, namun dalam cara yang sederhana. Mereka beranggapan bahwa aturan bersifat tidak fleksibel, tidak dapat diubah, dan dibuat oleh figur otoritas. Bahkan menurut anak-anak, aturan dalam bermain kelereng dibuat oleh Tuhan. Setiap pelanggaran pasti menghasilkan hukuman, tanpa melihat alasannya.
Untuk dapat bertingkah laku sesuai etika, anak membutuhkan kemampuan khusus untuk berempati terhadap perasaan orang lain, untuk mengantisipasi pernghargaan atau hukuman yang akan ia terima, dan untuk menunda pemuasan keinginan atau perasaannya sendiri. Kohlberg mengelompokkan tahapan-tahapan dalam teorinya menjadi 3 tingkatan moral:


·         Prakonvesional
Penalaran prakonvensional adalah bentuk penalran moral yang paling awal dan paling muda, di mana individu belum mengadopsi atau menginternalisasi kesepakatan masyarakat mengenai benar dan salah. Penilaian individu dalam tingkat prakonvensional mengenai perilaku sesuai aturan ditentukan oleh konsekuensi dari perilaku tersebut. Sesuatu yang ’baik’ adalah perilaku yang konsekuensinya berupa pujian atau hadiah. Sedangkan yang ‘buruk atau ‘salah’ adalah perilaku yang konsekuensinya adalah hukuman.
·         Konvensional
Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau menolong orang lain dan diterima oleh mereka. Tingkah laku sering kali  dinilai berdasarkan niatnya. Ini adalah orientasi berdasarkan otoritas, aturan pasti, dan pemeliharaan atas aturan sosial.
·         Postkonvensional
Perilaku yang benar cenderung didefinisikan sebagai hak umum dan hukum individu, yang sudah diuji dan disetujui oleh masyarakat. Perilaku yang benar didefinisikan sebagai sebuah hati nurani berdasarkan prinsip etik diri yang dipilih.
b)     Perkembangan agama
Pada anak usia dini perkembangan agama identik dengan pemahamannya akan Tuhan, yaitu bagaimana mereka memahami keberadaan Tuhannya. Kita sebagai pengajar dapat memahami dan menyesuaikan metode pengajaran terhadap agama dengan tingkat pemahaman anak. Secara umum, bayangan anak terhadap Tuhan berubah mulai dari yang bersifat fisik, misalnya berbadan besar, menjadi yang sifatnya semi-fisik sampai akhirnya abstrak.
Para ahli membagi perkembangan akan pemahaman konsep Tuhan dalam tahapan-tahapan sebagai berikut:
a)      Tahap 1
Berlangsung dalam 2 tahun pertama kehidupan. Pada masa ini, pemahaman anak akan Tuhan masih belum jelas, sering kali diasosiasikan dengan orang tuanya. Mereka cenderung menunjukkan adanya suatu objek sebagai bentuk pemahaman akan Tuhan. Misalnya, rumah ibadah atau perlengkapan ibdaha. Pada masa ini, doa merupakan pengikat antara dirinya, orang tua, dan Tuhan. Meskiun kebanyakan pemahaman anak akan doa adalah suatu ritual sebelum mereka tidur di malam hari.
b)      Tahap 2
Berlangsung pada 10 tahun pertama kehidupan. Ketika anak berusia sekitar 3 tahun, mereka muali bertanya pada orang tuan mengenai hubungan sebab akibat, “Apa ini, Bu? Siapa yang membuatnya? Kenapa? Dari mana asalnya?”, dan orang tua biasanya akan menjawab, “Tuhan yang membuatnya”. Lalu oleh anak, Tuhan dianggap sebagai Pencipta, Maha Pencipta.
Dalam masa pembentukan konsep Tuhan, anak sering memikirkan Tuhan, awalnya dalam bentuk fisik, karena mereka sulit untuk menggambarkannya dalam bentuk nonfisik. Menurut anak-anak, Tuhan memiliki karakter yang menyenangkan. Tuhan selalu tersenyum dan bermain dengan binatang. Selain itu, anak-anak memiliki pendapat terdiri atas pandangan terhadap Tuhan. Jika mereka ditanya alasan mereka percaya bahwa Tuhan itu ada, mereka menjawab “karena Ia menciptakan saya”. Ketika ditanya mengapa menurut mereka Tuhan itu baik “karena Tuhan mengabulkan keinginan-keinginan saya”.
4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral.
a.      Penggunaan alasan.
Orang dewasa (gur, orang tua) membantu perkembangan moral anak ketika mereka melihat bahwa anak berusaha untuk menyakiti dan menekan orang lain dengan perilakunya. Sebagai contoh: “Istana balok yang baru saja kamu ejek, mungkin tidak sebagaus milikmu. Akan tetapitetapi, Ibu tahu bahwa Amir mengerjakannya dengan susah payah dan membutuhkan waktu lama, dan ia cukup bangga akan hasil kerjanya”
b.      Interaksi dengan sebaya.
Anak dapat mempelajari banyak hal mengenai moralitas dalam interaksinya dengan sebaya. Ini terlihat dalam aktivitas kelompok bermain di mana ada isu yang berkaitan dengan kerjasama, berbagi, dan perundingan. Konflik antarsaudara dan teman bermain sering kali timbul sebagai hasil ancaman fisik, ketidakpedulian dengan perasaan orang lain.


c.       Contoh tingkah laku moral dan perilaku sosial.
Anak terlihat lebih mudah menampilkan perilaku moral dan prososial ketika mereka melihat orang lain yang berperilaku sesuai moral. Misalnya, apabila orang tua bersikap ramah dan menunjukkanperhatian pada orang lain, anaknya pun cenderung bersikap sama.
Telivisi berfungsi sebagai model prososial dan antisosial bagi anak. Ketika anak menonton telivisi yang menekankan peilaku prososial, ketika mereka menyaksikan kekerasan dalam televisi, mereka pun menampilkan perilaku kekerasan.
d.      Isu-isu dan dilema moral.
Anak mengembagkan moral ketika mereka dihadapkan pada dilema moral tidak dapat mereka atasi sesuai dengan moral mereka. Oleh karenanya, dibutuhkan penalaran dan pemahaman sampai akhirnya mereka mendapatkan kemampuan untuk bertingkah laku sesuai dengan perkembangan moral yang lebih tinggi.

B.     Karakteristik dan kompetensi anak usia 4-6 tahun.
1.      Karakteristik perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
a.      Anak mulai menggunakan standar internal untuk mengevaluasi tingkah laku yang sangat dini.
Anak dapat membedakan apa yang ‘bagus’ dan ‘buruk’, yang ‘baik’ dan ‘nakal’, berdasarkan standar yang sudah ada dalam diri mereka. Aturan/standar ini didapatkan dari reaksi masyarakat atas perilaku yang mereka lakukan. Pada usia ini, diharapkan anak dapat menerapkan aturan-aturan yang selama ini diajarkan oleh orang dewasa, baik orang tua, pengasuh, maupun guru. Misalnya, Ani sudah mengetahui bahwa merebut mainan milik teman adalah perbuatan yang salah sehingga ketika ia melihat Budimengambil mobil-mobilan milik Tono, Ani melaporkan hal tersebut kepada ibu guru.
b.      Anak mulai membedakan antara transgresi moral dan transgresi konvensional.
Maksud dari transgresi moral adalah aksi-aksi yang menyebabkan kerusakan atau bahaya yang mengancam kebutuhan dan hak orang lain. Contohnya, perilaku Budi yang mengambil mainan mobil milik Tono termasuk dalam transgresi, di mana Budi telah merampas hak Tono atas mainan mobilnya. Perilakun Budi tentu saja merugikan Tono.
Sedangkan transgresi konvensional, yaitu aksi-aksi yang melanggar aturan umum masyarakat, biasanya tidak tertulis, mengenai tingkah laku yang diterima oleh masyarakat, misalnya etika. Sejak kecil anak diajarkan untuk bertingkah laku sopan. Perilaku ‘sopan’ menurut masyarakat umum, seperti mengetuk pintu sebelum memasuki ruangan, tidak berbicara ketika sedang menguyah makanan.
c.       Pemahaman anak mengenai keadilan berlangsung selama masa anak awal.
Kemampuan anak untuk berbagi dengan orang lain tergantung pada kepercayaan anak mengenai apa yang mendasari rasa keadilan dari suatu komoditas, seperti makanan, mainan. Pada usia dini, kepercayaan anak mengenai apa yang adil didasari pada kebuthan dan keinginan mereka sendiri, misalnya adil memberi orang lain 3 butir permen, sedangkan untuk dirinya sekantong penuh.
d.      Emosi yang berkaitan dengan perilaku moral yang berkembang di masa usia dini.
Emosi memilki kaitan dengan perilaku moral. Misalnya, rasa malu, dan rasa salah. Emosi ini berkembang ketika anak percaya bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sebaliknya, empati menggerakkan perilaku moral dan prososial tanpa ada perasaan bersalah yang terlihat.
Emosi memperkuat pemahaman anak mengenai aturan benar dan salah. Apabila ia melakukan kesalahan maka emosi yang muncul adalah perasaan bersalah dan malu. Sebaliknya, apabila ia melakukan sesuatuhal yang baik/benar maka emosi yang berkembang pada anak adalah perasaan bangga.
e.       Secara bertahap anak mulai memperhatikan variabel-variabel kesempatan dalam evaluasi perilaku mereka.
Pada awalnya anak terpaku pada jumlah atau materi yang nyata dalam mempertimbangkan apakah perilaku mereka benar atau salah, secara bertahap mereka mulai memasukkan variabel-variabel lain, seperti kesempatan untuk berbuat salah atau benar. Secara umum, anak mulai dapat bernalar secxara fleksibel dan abstrak mengenai isu moral sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Misalnya, ketika anak dihadapkan pada persoalan Budi menjauhkan gelas yang berada di balik pintu, dalam menentukan benar atau salah tindakan Budi, anak tidak lagi terpaku pada kenyataan bahwa Budi menjatuhkan dan memecahkan gelas. Tetapi, anak mulai dapat berpikir bahwa ada faktor lain, yaitu ketidaktahuan  Budi bahwa di balik pintu terdapat gelas sehingga ketika Budi membuka pintu dan pintu menyenggola gelas hingga pecah, perilakunya masih dapat diterima karena Budi tidak tahu bahwa ada gelas di balik pintu.
2.      Kompetensi perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
Berikut ini pejelasn mengenai kemampuan-kemampuan dalam perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
a)      Mulai mengembangkan kesadaran akan keadaan mental dan emosi orang lain.
b)      Memliki kemampuan yang minimal untuk memahami pandangan orang lain dengan menunjukkan perilaku empati atas kesulitan orang lain.
c)      Terlalu memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri dibandingkan kebutuhan orang lain.
d)     memiliki pengetahuan yang minim atau bahkan tidak memiliki sama sekali atas keberadaan institusi sosial.
e)      Mengembangkan kesadaran bahwa ada perilaku yang salah, tetapi meiliki kecenderungan untuk emndefinisikan tingkah laku ‘benar’ atau ‘salah’ berdasarkan konsekuensi terhadap dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar