PERKEMBANGAN
MORAL DAN AGAMA PADA ANAK USIA 4-6 TAHUN
A.
Perkembangan
moral dan agama pada anak usia 4-6 tahun.
1.
Batas
perkembangan moral.
Istilah moral atau moralitas mengacu pada suatu kumpulan aturan
dasar yang berlaku secara umum mengenai benar dan salah. Yang dimaksud moral
adalah bagian dari proses pembelajaran anak atas aturan-aturan dasar.
Lingkungan utama yang mempengaruhi perkembangan moral individu
adalah keluarga, sekolah, dan hubungan-hubungan sosial sehingga tugas orang
dewasa dalam membantu perkembangan moral
adalah mengalihtugaskan dan memberikan pengertian atas peraturan yang
ada di kebudayaan pada anak dan mengembangkan pemahaman agama atau kepercayaan
terhadap anak.
2.
Pendekatan
studi terhadap perkembangan moral (sosialisasi, kognisi, dan emosi).
a)
Sosialisasi
Para
ahli menitikberatkan pendekatan sosialisasi pada perkembangan moral beranggapan
bahwa faktor lingkungan memegang peranan penting dalam perkembangan moral.
Perkembangan moral adalah suatu proses internalisasi, di mana anak secara
bertahap mengadopsi dan memahami aturan-aturan dan nilai dalam masyarakat yang
dianggap sebagai tingkah laku yang dapat diterima.
Internalisasi
terjadi karena sosialisasi yang dialami, orang tua dan anggota masyarakat berperan
sebagai model atas tingkah laku yang sesuai, memberi penghargaan atas perilaku
anak yang sesuai dengan norma dan menghukum atas perilaku yang membahayakan
atau tidak dapat diterima.
b)
Kognisi
Anak
dan remaja tidak selalu menggunakan standar-standar aturan orang dewasa.
Individu yang lebih muda membutuhkan fleksibilitas yang dapat dipertimbangkan
dalam proses pengambilan keputusan, dimana mereka menerapkan berbagai standar
moral dalam berbagai kesempatan.
Para
ahli menekankan pada pendekatan kognisi lebih banyak menekankan tanggung jawab
dalam perkembangan moral pada diri anak itu sendiri, bukan pada orang dewasa di
sekitar anak. Melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sebanyanya, anak
membuat kepercayaan moral dan ilai mereka sendiri.
c)
Emosi
Para
ahli mendasari pendekatan ini adalah anak cenderung bertingkah laku sesuai
dengan norma, terutama untuk menghilangkan rasa cemas yang timbul. Ada emosi
yang menimbulkan rasa nyaman, seperti rasa sayang, kedekatan, simpati dan
empati. Emosi-emosi inilah yang membantu anak untuk bertingkah laku sesuai
aturan.
Pendekatan
kognisi dan emosi secara bersamaan dalam menjelaskan perkembangan dan perilaku
moral bahwa anak memiliki dasar moral melalui keluarga, masyarakat, dan
budayanya.
3.
Perkembangan
moral dan perkembangan agama.
a)
Perkembangan
moral
Antara
4 sampai 6 tahun, anak mulai memahami aturan, namun dalam cara yang sederhana.
Mereka beranggapan bahwa aturan bersifat tidak fleksibel, tidak dapat diubah,
dan dibuat oleh figur otoritas. Bahkan menurut anak-anak, aturan dalam bermain
kelereng dibuat oleh Tuhan. Setiap pelanggaran pasti menghasilkan hukuman,
tanpa melihat alasannya.
Untuk
dapat bertingkah laku sesuai etika, anak membutuhkan kemampuan khusus untuk
berempati terhadap perasaan orang lain, untuk mengantisipasi pernghargaan atau
hukuman yang akan ia terima, dan untuk menunda pemuasan keinginan atau
perasaannya sendiri. Kohlberg mengelompokkan tahapan-tahapan dalam teorinya
menjadi 3 tingkatan moral:
·
Prakonvesional
Penalaran
prakonvensional adalah bentuk penalran moral yang paling awal dan paling muda,
di mana individu belum mengadopsi atau menginternalisasi kesepakatan masyarakat
mengenai benar dan salah. Penilaian individu dalam tingkat prakonvensional
mengenai perilaku sesuai aturan ditentukan oleh konsekuensi dari perilaku
tersebut. Sesuatu yang ’baik’ adalah perilaku yang konsekuensinya berupa pujian
atau hadiah. Sedangkan yang ‘buruk atau ‘salah’ adalah perilaku yang
konsekuensinya adalah hukuman.
·
Konvensional
Perilaku
yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau menolong orang lain dan
diterima oleh mereka. Tingkah laku sering kali
dinilai berdasarkan niatnya. Ini adalah orientasi berdasarkan otoritas,
aturan pasti, dan pemeliharaan atas aturan sosial.
·
Postkonvensional
Perilaku
yang benar cenderung didefinisikan sebagai hak umum dan hukum individu, yang
sudah diuji dan disetujui oleh masyarakat. Perilaku yang benar didefinisikan
sebagai sebuah hati nurani berdasarkan prinsip etik diri yang dipilih.
b)
Perkembangan
agama
Pada
anak usia dini perkembangan agama identik dengan pemahamannya akan Tuhan, yaitu
bagaimana mereka memahami keberadaan Tuhannya. Kita sebagai pengajar dapat
memahami dan menyesuaikan metode pengajaran terhadap agama dengan tingkat
pemahaman anak. Secara umum, bayangan anak terhadap Tuhan berubah mulai dari
yang bersifat fisik, misalnya berbadan besar, menjadi yang sifatnya semi-fisik
sampai akhirnya abstrak.
Para
ahli membagi perkembangan akan pemahaman konsep Tuhan dalam tahapan-tahapan sebagai
berikut:
a)
Tahap 1
Berlangsung
dalam 2 tahun pertama kehidupan. Pada masa ini, pemahaman anak akan Tuhan masih
belum jelas, sering kali diasosiasikan dengan orang tuanya. Mereka cenderung
menunjukkan adanya suatu objek sebagai bentuk pemahaman akan Tuhan. Misalnya,
rumah ibadah atau perlengkapan ibdaha. Pada masa ini, doa merupakan pengikat
antara dirinya, orang tua, dan Tuhan. Meskiun kebanyakan pemahaman anak akan
doa adalah suatu ritual sebelum mereka tidur di malam hari.
b)
Tahap 2
Berlangsung
pada 10 tahun pertama kehidupan. Ketika anak berusia sekitar 3 tahun, mereka
muali bertanya pada orang tuan mengenai hubungan sebab akibat, “Apa ini, Bu?
Siapa yang membuatnya? Kenapa? Dari mana asalnya?”, dan orang tua biasanya akan
menjawab, “Tuhan yang membuatnya”. Lalu oleh anak, Tuhan dianggap sebagai
Pencipta, Maha Pencipta.
Dalam
masa pembentukan konsep Tuhan, anak sering memikirkan Tuhan, awalnya dalam
bentuk fisik, karena mereka sulit untuk menggambarkannya dalam bentuk nonfisik.
Menurut anak-anak, Tuhan memiliki karakter yang menyenangkan. Tuhan selalu
tersenyum dan bermain dengan binatang. Selain itu, anak-anak memiliki pendapat
terdiri atas pandangan terhadap Tuhan. Jika mereka ditanya alasan mereka
percaya bahwa Tuhan itu ada, mereka menjawab “karena Ia menciptakan saya”.
Ketika ditanya mengapa menurut mereka Tuhan itu baik “karena Tuhan mengabulkan
keinginan-keinginan saya”.
4.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi perkembangan moral.
a.
Penggunaan
alasan.
Orang
dewasa (gur, orang tua) membantu perkembangan moral anak ketika mereka melihat
bahwa anak berusaha untuk menyakiti dan menekan orang lain dengan perilakunya.
Sebagai contoh: “Istana balok yang baru saja kamu ejek, mungkin tidak sebagaus
milikmu. Akan tetapitetapi, Ibu tahu bahwa Amir mengerjakannya dengan susah
payah dan membutuhkan waktu lama, dan ia cukup bangga akan hasil kerjanya”
b.
Interaksi
dengan sebaya.
Anak
dapat mempelajari banyak hal mengenai moralitas dalam interaksinya dengan
sebaya. Ini terlihat dalam aktivitas kelompok bermain di mana ada isu yang
berkaitan dengan kerjasama, berbagi, dan perundingan. Konflik antarsaudara dan
teman bermain sering kali timbul sebagai hasil ancaman fisik, ketidakpedulian
dengan perasaan orang lain.
c.
Contoh
tingkah laku moral dan perilaku sosial.
Anak
terlihat lebih mudah menampilkan perilaku moral dan prososial ketika mereka
melihat orang lain yang berperilaku sesuai moral. Misalnya, apabila orang tua
bersikap ramah dan menunjukkanperhatian pada orang lain, anaknya pun cenderung
bersikap sama.
Telivisi
berfungsi sebagai model prososial dan antisosial bagi anak. Ketika anak
menonton telivisi yang menekankan peilaku prososial, ketika mereka menyaksikan
kekerasan dalam televisi, mereka pun menampilkan perilaku kekerasan.
d.
Isu-isu
dan dilema moral.
Anak
mengembagkan moral ketika mereka dihadapkan pada dilema moral tidak dapat
mereka atasi sesuai dengan moral mereka. Oleh karenanya, dibutuhkan penalaran
dan pemahaman sampai akhirnya mereka mendapatkan kemampuan untuk bertingkah
laku sesuai dengan perkembangan moral yang lebih tinggi.
B.
Karakteristik
dan kompetensi anak usia 4-6 tahun.
1.
Karakteristik
perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
a.
Anak
mulai menggunakan standar internal untuk mengevaluasi tingkah laku yang sangat
dini.
Anak
dapat membedakan apa yang ‘bagus’ dan ‘buruk’, yang ‘baik’ dan ‘nakal’, berdasarkan
standar yang sudah ada dalam diri mereka. Aturan/standar ini didapatkan dari
reaksi masyarakat atas perilaku yang mereka lakukan. Pada usia ini, diharapkan
anak dapat menerapkan aturan-aturan yang selama ini diajarkan oleh orang
dewasa, baik orang tua, pengasuh, maupun guru. Misalnya, Ani sudah mengetahui
bahwa merebut mainan milik teman adalah perbuatan yang salah sehingga ketika ia
melihat Budimengambil mobil-mobilan milik Tono, Ani melaporkan hal tersebut
kepada ibu guru.
b.
Anak
mulai membedakan antara transgresi moral dan transgresi konvensional.
Maksud
dari transgresi moral adalah aksi-aksi yang menyebabkan kerusakan atau bahaya
yang mengancam kebutuhan dan hak orang lain. Contohnya, perilaku Budi yang
mengambil mainan mobil milik Tono termasuk dalam transgresi, di mana Budi telah
merampas hak Tono atas mainan mobilnya. Perilakun Budi tentu saja merugikan
Tono.
Sedangkan
transgresi konvensional, yaitu aksi-aksi yang melanggar aturan umum masyarakat,
biasanya tidak tertulis, mengenai tingkah laku yang diterima oleh masyarakat,
misalnya etika. Sejak kecil anak diajarkan untuk bertingkah laku sopan.
Perilaku ‘sopan’ menurut masyarakat umum, seperti mengetuk pintu sebelum
memasuki ruangan, tidak berbicara ketika sedang menguyah makanan.
c.
Pemahaman
anak mengenai keadilan berlangsung selama masa anak awal.
Kemampuan
anak untuk berbagi dengan orang lain tergantung pada kepercayaan anak mengenai
apa yang mendasari rasa keadilan dari suatu komoditas, seperti makanan, mainan.
Pada usia dini, kepercayaan anak mengenai apa yang adil didasari pada kebuthan
dan keinginan mereka sendiri, misalnya adil memberi orang lain 3 butir permen,
sedangkan untuk dirinya sekantong penuh.
d.
Emosi
yang berkaitan dengan perilaku moral yang berkembang di masa usia dini.
Emosi
memilki kaitan dengan perilaku moral. Misalnya, rasa malu, dan rasa salah.
Emosi ini berkembang ketika anak percaya bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Sebaliknya, empati menggerakkan perilaku moral dan prososial tanpa ada perasaan
bersalah yang terlihat.
Emosi
memperkuat pemahaman anak mengenai aturan benar dan salah. Apabila ia melakukan
kesalahan maka emosi yang muncul adalah perasaan bersalah dan malu. Sebaliknya,
apabila ia melakukan sesuatuhal yang baik/benar maka emosi yang berkembang pada
anak adalah perasaan bangga.
e.
Secara
bertahap anak mulai memperhatikan variabel-variabel kesempatan dalam evaluasi
perilaku mereka.
Pada
awalnya anak terpaku pada jumlah atau materi yang nyata dalam mempertimbangkan
apakah perilaku mereka benar atau salah, secara bertahap mereka mulai
memasukkan variabel-variabel lain, seperti kesempatan untuk berbuat salah atau
benar. Secara umum, anak mulai dapat bernalar secxara fleksibel dan abstrak
mengenai isu moral sejalan dengan perkembangan usia mereka.
Misalnya,
ketika anak dihadapkan pada persoalan Budi menjauhkan gelas yang berada di
balik pintu, dalam menentukan benar atau salah tindakan Budi, anak tidak lagi
terpaku pada kenyataan bahwa Budi menjatuhkan dan memecahkan gelas. Tetapi,
anak mulai dapat berpikir bahwa ada faktor lain, yaitu ketidaktahuan Budi bahwa di balik pintu terdapat gelas
sehingga ketika Budi membuka pintu dan pintu menyenggola gelas hingga pecah,
perilakunya masih dapat diterima karena Budi tidak tahu bahwa ada gelas di
balik pintu.
2.
Kompetensi
perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
Berikut ini pejelasn mengenai kemampuan-kemampuan dalam
perkembangan moral anak usia 4-6 tahun.
a)
Mulai
mengembangkan kesadaran akan keadaan mental dan emosi orang lain.
b)
Memliki
kemampuan yang minimal untuk memahami pandangan orang lain dengan menunjukkan
perilaku empati atas kesulitan orang lain.
c)
Terlalu
memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri dibandingkan kebutuhan orang lain.
d)
memiliki
pengetahuan yang minim atau bahkan tidak memiliki sama sekali atas keberadaan
institusi sosial.
e)
Mengembangkan
kesadaran bahwa ada perilaku yang salah, tetapi meiliki kecenderungan untuk
emndefinisikan tingkah laku ‘benar’ atau ‘salah’ berdasarkan konsekuensi
terhadap dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar