AKSIOLOGI
ILMU PENGETAHUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam
rangka mengetahui dan memahami filsafat dan pengetahuan baik secara eksplisit
maupun inplicit, terlebih dahulu harus mengetahui dan memahami definisi dari filsafat dan ilmu
pengetahuan, namun pengertian dari keduanya sudah banyak dijelaskan oleh
pemakalah sebelumnya. Dalam hal ini
tentunya filsafat ilmu ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering
muncul terkait dengan hakikat ilmu itu
sendiri, di antara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: Objek apa yang
menjadi kajian ilmu?, Bagaiman cara untuk
memperoleh ilmu? Dan untuk apa ilmu itu digunakan?
Dalam
makalah ini sedikit akan dibahas dan dipaparkan tentang aksiologi ilmu pengetahuan, bagaimana
kaitannya dengan nilai moral atau etika dan kaitannya dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan.
- PENGERTIAN AKSIOLOGI
Aksiologi
adalah cabang filsafat yang menyelididiki tentang nilai /martabat dan tindakan
manusia.[4]
Aksiologi ini merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios
yang berarti sesuai atau wajar, sedangkan logos berarti ilmu.
Aksiolog juga disebut dengan teori nilai.[5]
Artinya bahwa aksiologi ini adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian
terhadap baik dan buruk (good and bad ), benar dan salah ( right
and wrong ), serta tentang cara dan tujuan ( meam and end ).[6]Menurut
John Sinclair,dalam lingkup kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau
suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. [7]
Kalau menurut Richard Bender bahwa suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang
memberikan kepuasan batin dan memiliki nilai manfa’at dalam kehidupan.[8]
Sedangkan arti aksiologi yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri dalam
bukunya adalah diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan
dari pengetahuan yang diperoleh.[9]Dalam
hal ini secara moral dapat dilihat apakah nilai dan kegunaan ilmu itu berguna
untuk peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak.[10]
Dari
paparan diatas tadi dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai. Nilai yang dimaksud disini adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk
melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.[11]
Kalau epistemologi bertujuan untuk mendapatkan kebenaran secara
teoritis-rasional, maka aksiologi lebih menekankan pada masalah kebaikan dan
estetika terkait erat dengan masalah keindahan.[12]
Yang menjadi pertanyaan dalam aksiologi adalah, untuk apa ilmu itu
dipergunakan. Apakah ilmu itu harus digunakan kepada kemaslahatan manusia saja atau untuk
kemaslahatan alam secara umum? Atau apakah ilmu itu bebas dari nilai?.[13]
Hal-hal seperti inilah yang termasuk dalam pembahasan teori nilai atau aksiologi
ilmu pengetahuan.
- MACAM-MACAM AKSIOLOGI
Beberapa
kelompok ilmuan ada yang berpendapat bahwa teori nilai ( aksiologi ) itu dibagi
menjadi dua macam. Ada
yang mengatakan bahwa aksiologi melahirkan etika dan estetika.[14]
Menurut Bramel, aksiologi itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pertama,
moral conduct atau yang disebut dengan tindakan moral, bidang inilah yang kemudian melahirkan disiplin khusus, yaitu etika. Kedua,
esthetic expression atau yang disebut dengan ekspresi keindahan. Bidang inilah yang kemudian
melahirkan keindahan. Ketiga,
sosio-political life, atau yang disebut dengan kehidupan sosial politik, bidang inilah yang
kemudian melahirkan filsafat
sosio-politik.[15]
Suparlan Suhartono berpendapat bahwa ada tiga
jenis nilai yang dijadikan pokok bahasan
dalam aksiologi, pertama adalah nilai keindahan yang pada akhirnya dibahas
secara khusus dalam filsafat estetika, kedua adalah nilai kebenaran yang kemudian
dibahas secara khusus dalam filsafat epistemologi dan yang ketiga adalah nilai
kebaikan yang kemudian dibahas secara khusus dalam filsafat etika.[16]
Adapun Kant mengatakan, bahwa aksiologi itu berhubungan dengan tiga aspek,
pertama aspek moral,kedua aspek estetik
dan ketiga aspek religius.[17]
Beberapa pendapat yang telah dikemukakan
diatas memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembahasan dalam aksiologi paling tidak mencakup tiga hal, yaitu: pertama , moral atau
etika baik pembahasan itu menurut manusia maupun menurut agama. Kedua,
keindahan atau estetika, dan yang ketiga adalah, tentang hubungannya
dengan kehidupan sosial.
- NILAI DALAM AKSIOLOGI
Sebagaimana yang
telah dipaparkan diatas bahwa didalam aksiologi ada dua komponen yang sangat
mendasar, yaitu: Etika ( moralitas ) dan estetika ( keindahan ).
- Secara etimologis, etika berasal dari kata Yunani ethos yaitu watak, adapun moral berasal dari kata Latin mos, berbentuk tunggal, adapun bentuk bentuk jamaknya adalah mores yang berarti kebiasaan. Dalam bahasa Indonesia kata etika atau moral diartikan dengan kesusilaan.[18]
Etika adalah
merupakan cabang dari filsafat aksiologi yang pembahasannya lebih fokus
terhadap masalah-masalah moral, sehingga etika ini banyak mengkaji tentang
prilaku, norma dan adat istiadat yang berlaku dalam komonitas masyarakat
tertentu. Ada
yang mengatakan bahwa etika adalah
merupakan salah satu cabang filsafat tertua, sebab ini sudah menjadi
pembahasan-pembahasan yang sangat menarik sejak masa Sokrates dan dan para kaum
Shopis.[19]
Didalam buku Etika Dasar yang
ditulis oleh Franz Magnis Suseno yang dikutip oleh Tim penyusun MKD IAIN Sunan
Ampel dikatan, bahwa “etika itu diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis
dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral, sehingga yang
menjadi tema sentral dan selalu diperbincangkan dalam etika adalah predikat-predikat
nilai “betul” dan “salah” dalam arti susila (moral ) dan tidak susila (immoral
)”.[20]
Makna etika
dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti
ungkapan “saya pernah belajar etika”. Arti kedua, merupakan suatu
predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau
manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan “ia bersifat etis atau ia seorang
yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila.[21]
Objek material
etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang dilakukan
secara sadar dan bebas. Objek formal etika adalah kebaikan dan keburukan atau
bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Dengan demikian
perbuatan yang dilakukan secara tidak sadar tidak dapat dikenai penilaian
bermoral atau tidak bermoral.[22]
Namun sebenarnya
masih ada perdebatan diantara para ilmuwan, apakah ilmu itu berkaitan dengan
nilai moral atau bebas nilai. Permasalahan ini telah ada sejak saat pertumbuhan
ilmu, ketika Copernicus mengemukakan teori “bumi yang berputar mengelilingi
matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang diajarkan agama, maka timbullah
interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di
pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada
pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar
bidang keilmuan, diantaranya agama. Timbullah konflik yang bersumber pada
penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo,
yang oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataanya bahwa bumi
berputar mengelilingi matahari.
Pengadilan
inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses
perkembangan berpikir di Eropa. Dalam kurun ini, para ilmuwan berjuang untuk
menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan
“ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan
kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya bebas dalam melakukan
penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.[23]
Setelah ilmu
mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatik,
ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun
konkret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi
manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang
mengakibatkan proses dehumanisasi, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral? Apabila teknologi itu
menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat.[24]
Dihadapkan dengan
masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para
ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat, yaitu:
- Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang yang menggunakannya, apakah untuk tujuan baik atau tujuan buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada era Galileo.
- Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaanya, bahkan obyek penelitian, maka kegiatan keilmuan haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Pada dasarnya golongan ini berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia.[25]
- Estetika
Estetika adalah merupakan cabang dari filsafat yang menyelidiki tetang
nilai dalam seni dan karya seni.[26]Secara
etimologis, estetika diambil dari bahasa Yunani,
aisthetike yang berarti segala sesuatu yang diserap oleh indera.
Filsafat estetika membahas tentang refleks kritis yang dirasakan oleh indera
dan memberi penilaian terhadap sesuatu, indah atau tidak indah.[27] Estetika juga disebut dengan
filsafat keindahan (philosophy of beauty).[28]
Estetika
dicetuskan pertama kali oleh Alexander Gottlieb Baumgarten yang mengungkapkan
bahwa estetika adalah merupakan cabang ilmu yang dimaknai oleh perasaan.
Estetika adalah cabang ilmu dari filsafat Aksiologi, yaitu filsafat nilai. Estetika memberikan batasan mengenai hakikat
keindahan atau nilai keindahan. Kaum materialis cenderung
mengatakan bahwa nilai berhubungan dengan sifat-sifat subjektif, sedangkan kaum
idealis berpendapat bahwa nilai bersifat objektif.[29]
Menurut
kaum materialis bahwa yang namanya nilai keindahan itu merupakan reaksi-reaksi
subjektif. Hal ini sesuai dengan sebuah ungkapan bahwa “Masalah selera tidaklah perlu diperdebatkan
atau dipertentangkan”. Jika sebagian orang mengaggap lukisan abstrak itu aneh, maka
sebagian yang lain pasti menganggap lukisan abstrak itu indah. Karena reaksi itu muncul dari dalam diri manusia berdasarkan selera.[30]
Penilaian terhadap keindahan di setiap zaman akan selalu
berbeda, sebagai contoh misalnya, pada zaman romantisme di Prancis keindahan berarti kemampuan untuk menyampaikan sebuah keagungan, lain
halnya pada zaman realisme keindahan mempunyai makna kemampuan untuk
menyampaikan sesuatu apa adanya. Sedangkan di Belanda pada era de Stijl
keindahan mempunyai arti kemampuan mengomposisikan warna dan ruang juga
kemampuan mengabstraksi benda.[31]
Pembahasan estetika akan berhubungan dengan nilai-nilai
sensoris yang dikaitkan dengan sentimen dan rasa. Sehingga nantinya estetika
juga berkaitan dengan seni. Estetika merupakan nilai-nilai yang berkaitan dengan
kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan dengan seni. Hasil-hasil
ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang dapat dikelompokkan sebagai
rekayasa, pola, bentuk dsb. [32]
- HUBUNGAN AKSIOLOGI DENGAN KEHIDUPAN MASYARAKAT.
Aksiologi
dalam kaitannya dengan kehidupan sosial adalah bahwa seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang terpikul di pundaknya, bukan saja karena dia adalah
warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung dengan masyarakat, namun yang lebih penting adalah karena dia
mempunyai fungsi tetentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.[33]
Jadi, fungsi dari seorang ilmuwan itu tidak hanya melakukan penelaahan keilmuan secara individual saja, namun juga
ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan tersebut sampai dan dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat banyak. Sebagai contoh, misalnya mengenai
keselamatan atau keberhasilan diadakannya sistem pembangkit listrik tenaga
nuklir. Masyarakat terkadang tidak tahu seberapa jauh pengamanan telah
dilakukan? Bahaya apa yang mungkin menimpa? Tindakan penyelamatan apa yang
perlu dilakukan? dan seterusnya.[34]
Menghadapi problem seperti ini peranan ilmuwan sangat diperlukan, sebab dialah yang mempunyai pengetahuan yang cukup
untuk dapat menempatkan masalah tersebut
pada proporsinya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk
menyampaikan hal itu kepada masyarakat dalam bahasa yang dapat mereka cerna.[35]
- PENUTUP
Dari
makalah yang sangat sederhana ini, penulis dapat memberikan kesimpulan-kesimpulan, diantaranya bahwa:
1.
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios dan logos.
Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Jadi
axiologi berarti teori tentang nilai atau aksiologi diartikan sebagai
teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
2.
Didalam aksiologi ada tiga pokok macam bahasan, yaitu :pertama
, moral atau etika baik pembahasan itu menurut manusia maupun menurut agama. Kedua,
keindahan atau estetika, dan yang ketiga adalah, bagaimana hubungannya
dengan kehidupan sosial.
3.
Nilai yang sangat mendasar dalam aksiologi, yaitu: Etika
( moralitas ) dan estetika ( keindahan ).
4.
Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang
terpikul di pundaknya, jadi fungsinya selaku ilmuwan tidak berhenti pada
penelaahan keilmuan secara individual saja, namun ia juga harus ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
- DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Ahira, Anne, “Makna Filsafat
Estetika”, dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html
Bakhtiar, Amsal, Filsafat
Ilmu, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2010.
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1997.
Mustansyir, Rizal dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008.
Rahardjo,
Mudjia, dkk, Filsafat Ilmu, Malang:
UIN-Malang Press, 2009.
Salam, Burhanuddin, Logika Materiil: Filsafat Ilmu
Pengetahuan, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Sapoetra, Hardja, “Aksiologi
(Etika dan Estetika) Filsafat Pendidikan”, dalam http://hardjasapoetra.wordpress.com/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta:
Ar-Ruzz, 2006.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
A Partanto ,Pius. al-Barry
,M. Dahlan. Kamus Ilmiah
Populer, Arkola
Surabaya,1994
[1] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011),hal 92
[2] Ibid, 92
[3] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), 69.
[4] Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Arkola
Surabaya,1994
[5] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011),hal 92
[6] Ibid 93
[7] Ibid,92
[8] Ibid,92
[9] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. 234.
[10] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. 79.
[11] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), 165.
[12]Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar
Filsafat (Surabaya : IAIN SA Press,2011) ,92
[13] Mudjia Rahardjo, dkk, Filsafat Ilmu
( Malang: UIN-Malang Press, 2009), 32.
[14] Mohammad Adib, Filsafat Ilmu. 79.
[15] Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat
Pendidikan (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), 106.
[16] Suparlan Suhartono, Filsafat
Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006), 137.
[17] Rizal Mustansyir, Filsafat Ilmu.
27.
[18] Ibid. 29.
[19] Tim Penyusun MKD IAIN SA,Pengantar Filsafat
(Surabaya : IAIN SA Press,2011) ,94.
[20] Ibid. 95.
[21] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
165.
[23] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu.
233.
[24] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu.
169.
[25] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu.
235.
[26] Pius A Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Arkola Surabaya,1994,hlm 161,
[27] Anne Ahira, “Makna Filsafat Estetika”,
dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html
(24
Nopember 2010)
[29] Anne Ahira, “Makna Filsafat Estetika”, dalam http://www.anneahira.com/filsafat-estetika.html (24
Nopember 2010)
[30] Ibid.
[31] Ibid.
[32] Hardja Sapoetra, “Aksiologi (Etika dan Estetika) Filsafat
Pendidikan”, dalam http://hardjasapoetra.wordpress.com/aksiologi-etika-dan-estetika-filsafat (24
Nopember 2010)
[33] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu.237.
[34] Ibid. 239.
[35] Ibid.