READING
ASSIGNMENT
TAFSIR BAHR
AL-MUHIT
A.
Muqaddimah
Secara etimologis, kata
tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yang bermakna menerangkan atau
menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan
(25:33) yang berbunyi sebagai berikut:
wur y7tRqè?ù't @@sVyJÎ/ wÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·Å¡øÿs? ÇÌÌÈ
Artinya : “Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.[1]
Maksudnya:
Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh
berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dari
keterangan di atas tadi, sudah jelas secara terminologis,
tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya pemahaman terhadadap Kitab Allah yang
diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan mengenai makna-makna Kitab
Allah dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui.
Mungkin ada yang menyangka bahwa yang paling mulia adalah
yang kaya harta, dari golongan konglomerat, yang cantik rupawan, yang punya
jabatan tinggi, berasal dari keturunan Arab atau bangsawan. Namun, Allah
sendiri menegaskan yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Ayat yang
patut jadi renungan saat ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya :“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13).[2]
Dalam tafsir Ath-Thobari rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, wahai manusia adalah yang
paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban
dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang
megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386).
Dengan ini, banyak dari kalangan umat Islam berbondong-bondong
untuk mempelajari Al-Qur’an. Kejadian seperti ini, mendapat reson oleh para
kalangan ulama untuk mempelajarinya kepada orang-orang yang ingin
mempelajarinya. Hal tersebut tercapai, Perkembangan ilmu pengetahuan pada
masa Dinasti Abbasiyah menuntut
pengembangan metodologi tafsir
dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih
besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan
ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang
disebut sebagai Tafsir Bi Al-Ray yang memperluas ijtihad
dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan
pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
Keberhasilan para mufassirin,
menghasilkan sebuah karya yang sampai saat ini dikenal oleh para kalangan ulama
Islam, yaitu mengarang sebuah Kitab Tafsir. Hal ini bertujuan untuk
mempermudahkan kita sebagai penerusnya, lebih memahami sejarah jauh tentang
makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. Diantaranya adalah tafsir Bahr
al-Muhit.
Buku : Laut Samudra
penafsiran
Penulis : Abu Hayyan
Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf
bin Hayyan Andalusi
Penyidik : Mohammad Jamil Sidqi
Penerbit : Rumah pemikiran
– Beirut
Edisi : 1420
Jumlah bagian : 8 Juz
è Jilid pertama : 1-672
halaman.
è Jilid kedua : 1-547
halaman.
è Jilid ketiga :
1-550 halaman.
è Jilid keempat : 1-519
halaman.
è Jilid kelima : 1-531
halaman.
è Jilid keenam : 1-475
halaman.
è Jilid ketujuh : 1-505
halaman.
è Jilid kedelapan : 1-536
halaman.
B.
Riwayat Hidup Penulis
Penulis
tafsir Bahr al-Muhit adalah Atsiruddin Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf ibn Ali
ibn Yusuf ibn Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi. Beliau lahir pada akhir
Syawal tahun 654 H di Mathkharisy dekat Granada. Ia dibesarkan di tengah
lingkungan keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kepatuhan tinggi terhadap
doktrin agama Islam. Di bawah pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal
Al-Qur’an. Setelah itu, ia menashih hafalannya kepada sejumlah ulama semisal
al-Khatib Abdulhaq ibn Ali, al-Khatib Abu Ja’far ibn ath-Thibai. Baru kemudian
mendalami ilmu qiraat kepada al-Hafiz Abu Ali ibn Abu al-Ahwash di Maliqah.
Al-Andalusi juga gemar berkelana menuntut ilmu ke berbagai tempat. Misalnya,
Andalus, Afrika, Iskandariyah, Mesir, dan Hijaz. Di berbagai tempat itu ia
berguru kepada tak kurang dari 450 ulama. Di antaranya adalah Abu al-Hasan ibn
Rabi’, ibn al-Ahwash, al-Quthb al-Asqalani, asy-Syarf ad-Dimyathi, dan
sebagainya. Dari mereka beragam disiplin ilmu dicerap. Contohnya, tafsir,
hadis, qiraat, bahasa Arab, sastra, dan sejarah. Pada akhirnya beliau wafat
pada pada 745 H.
Pengembaran
al-Andalusi di samping karena tuntutan mencari ilmu juga didorong oleh suatu
hal. Waktu itu raja berkata kepada al-Andalusi, “Sesungguhnya aku sudah tua dan
hampir wafat. Maka, aku menyarankan kepadamu agar bersedia kuajari berbagai
ilmu dengan syarat kau mesti menetap di sini.” Mendengar titah Raja tersebut,
al-Andalusi berujar, “Raja memberiku sesuatu yang baik, pakaian dan pesangon.
Aku enggan menerima semua itu. Lalu aku musafir karena takut dipaksa
menerimanya.” Begitulah, al-Andalusi kemudian terus mengembara hingga ia wafat
di Mesir pada tahun 745 H. Ia selalu dikenang sejarah karena karakternya yang
menawan. Al-Adfawi, teman seperjalannya, mengisahkan hal ini, “Ia seorang yang
adil, jujur, dan selamat akidahnya dari serangkaian bid’ah filsafat. Ia sangat
khusyu’. Sering ia menangis ketika membaca Al-Qur’an. Perawakannya berbadan
tinggi, tampan, berkulit putih kemerah-merahan, rambutnya panjang dan tertata
rapi.”
C.
Karya-karya dan Keahlian Penulis
Al-Andalusi
menghasilkan banyak karya. Misalnya, Ittihad al-Arif bima fi Al-Qur’an min
al-Gharib, at-Tadzyil wa at-Takmil fi Syarh at-Tashil, Mutawwal al-Irtisyaf,
al-Bahr al-Muhith, dan an-Nahr al-Mad. Dua kitab terakhir,
al-Bahr
al-Muhith dan an-Nahr al-Mad, merupakan kitab
tafsir yang diterbitkan dalam satu kitab.
Al-Andalusi
mulai menulis tafsir al-Bahr al-Muhith tatkala usianya
memasuki 57 tahun, tepatnya tahun 710 H. Kitab ini terdiri atas delapan jilid.
Adapun metode penulisannya dimulai dengan membahas makna lafal ayat yang
ditafsirkan kata demi kata, terutama dari aspek bahasa dan ilmu nahwu. Lalu ia
mulai menafsirkan dengan menyebutkan asbabun nuzulnya jika ada, nasakhnya,
persesuaian dan hubungan dengan ayat sebelumnya (munasabah), qiraatnya baik
yang syadz maupun
yang mutawatir,
serta menyebutkan alasannya dengan bersandar pada pendapat ulama.
Tak lupa pula ia menjelaskan aspek I’rab yang rumit dan sastra yang dalam, baik
dari segi ilmu badi’ maupun ilmu bayan.[3]
Terhadap
ayat-ayat yang mengandung masalah hukum syariat (fikih), al-Andalusi mengacu
pada pendapat imam mazhab empat, yaitu Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi.
Untuk menguatkan pendapatnya, dalil-dalil yang terserak dalam kitab-kitab fikih
juga dicantumkan.
Beliau seorang ulama
tafsir, hadits, sastrawan, sejarahwan, ahli nahwu, dan bahasa. Memberikan
pengajaran tafsir al-Mansyuriyah, mengajarkan qira’at di perguruan tinggi
al-Aqmar. Karya-karyanya yang termasyhur antara lain:
1.
Al-bahr al-Muhit
2.
Tuhfah al-Arib
3.
Gharib al-Qur’an
D.
Analisis Tafsir
Dalam
kitab tafsir Bahr al-Muhit, saya dapat menganalisis dari hasil berbagai
juznya (hasil membaca). Bahwa inti dari kitab ini adalah:
1.
Metode
penafsirannya di mulai dengan kalam tentang mufradad ayat yang di
tafsirkan secara lafadz demi lafadz. Hal tersebut membutuhkan ilmu bahasa dan
hukum-hukum nahwu. Karena tanpa ilmu Nahwu, kita sulit untuk memahami makna
yang terkandung dalam kitab ini. Namun apabila ada kalimat yang mengandung dua
makna atau beberapa makna yang disebutkan di awal sebagai judulnya. Dari
kalimat itu, dapat di lihat ada munasabah ayat dengan ayat sebelumnya
atau sesudahnya dengan menggunakan kaidah nahwu.
2.
Dijelaskan
tafsir ayat yang ada di dalam kitab tersebut, terkait dengan asbabun nuzulnya.
Itupun apabila ada azbabun nuzulnya. Dilain sisi membahas nasikh wa mansukh.
Karena pada batasan makna kata itu secara bahasa dan sebagai istilah. Kaitan
dua makna memang perlu diperhatikan, agar penggunaannya seperti dalam surah
Al-Baqarah ayat 106, tidak menyimpang dari cara orang Arab menerangkan
persoalan yang gawat di dalam agama Islam. Pada dasarnya letak perbedaaan
“penghususan” ialah sebagai yang bersifat umum dikhususkan maka yang tinggal
tetap dan tidak dapat dibatalkan dengan alasan “umum”.[4]
3. Di dalamnya juga membahas qira’at (qira’at 7, 10, dan 14) yang
diterima oleh para ulama, maupun yang syadz baik menurut ulama salaf maupun
khalaf. Karena ilmu ini
termasuk ilmu yang sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai
“cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan
Rasulullah saw. Hal ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan kita
untuk membaca, menghafal dan memahaminya. Ada
beberapa hadits secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an
dengan tujuh huruf sab’atu
ahruf. Diantaranya : [5]
آقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستز يده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف
“Jibril membacakan
(Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar
huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf”
4.
Menjelaskan i’rabnya dalam setiap ayat, dan kemudian adab
dari bhadi’ dan bayan (terdapat dalam ilmu bhalagah). Pada dasarnya kaedah nahwu dan sharaf merupakan
kreasi para ulama jauh setelah penulisan, pengumpulan, dan pelembagaan al-Qur’an dalam Mushhaf Imam. Kemunculan
ilmu ini (nahwu sharaf) dilatarbelakangi oleh semakin awamnya masyarakat
terhadap bahasa Arab fushhah, termasuk bangsa Arab sendiri, dan munculnya
degradasi terhadap bahasa Arab fushhah. Padahal, penguasaan bahasa Arab fushhah
merupakan syarat paling penting untuk menjamin kebenaran istinbath (penggalian)
hukum dan penafsiran al-Qur’an. Jika bahasa Arab fushhah rusak dan kaum
Muslim awam terhadap kaedah-kaedah bahasa Arab fushhah, niscaya akan terjadi
kesalahan dalam proses penggalian hukum dan penafsiran al-Quran. Oleh karena
itu, para ulama ahli bahasa (ahlu al-lughah) segera menyusun
kaedah-kaedah bahasa Arab, yang kemudian dituangkan dalam berbagai disiplin
ilmu, semacam ilmu nahwu sharaf, bayan, ma’aaniy, balaghah, ilmu ‘aarudl, dan
lain sebagainya. Tidak hanya itu saja,
mereka juga menyusun kamus-kamus standar bahasa Arab (lisanul ‘Arab).
Semua ini ditujukan agar kaum Muslim tidak salah dan menyimpang dalam memahami
makna-makna al-Quran.
5.
Proses
penafsirannya dari setiap ayat, mengambil pendapat fuqaha’ yang empat (imam
syafi’i, hambali, maliki, dan hanafi) dan lainnya tentang hukum-hukum syariah
yang terdapat pada ayat yang dibahasnya.
Inti
dari analisis di atas tadi. Menurut Abu Hayyan, dalam al-Bahr
al-Muhith, dia mengemukakan definisi tafsir sebagai berikut:
علم يبحث عن
كيفية النطق بألفاظ القرآن ومدلولاتها وأحكامها الإفرادية والتركيبية، ومعانيها
التى تحمل عليها حلة التركيب وتتمات لذلك.
Artinya : “Ilmu
yang membahas tentang cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Quran tentang petunjuk
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupu ketika tersusun dari
makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang
melengkapinya”.
Abu Hayyan
menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, ia menjelaskan
bahwa kata ‘ilmu adalah sejenis kata yang meliputi segala macam ilmu,
kalimat yang membahas cara mengucapkan lafal al-Qur’an adalah ilmu Qira’at.
Petunjuknya adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal-lafal itu. Dan yang
dimaksud disini adalah ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu ini. Kalimat
hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, meliputi
tasyrif (syaraf), ilmu i’rab, ilmu bayan, ilmu badi’,
kalimat makna-maknanya yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, meliputi
pengertian yang hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat
terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makna tetapi untuk membawanya ke
makna lahir itu terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa
kepada makna yang bukan makna lahir yaitu majaz, dan kalimat-kalimat hal lain
yang meliputi tentang nasekh, asba al-nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan
sebagian yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.[6]
Kedua defini diatas sama-sama menerangkan
pengertian tafsir sebagai upaya memahami kitab Allah swt, menerangkan
makna-makna serta mengambil hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Meskipun definisi
yang diungkapkan oleh Abu Hayyan sangat luas dan rinci, tetapi dari kata ilmu
yang disebutkan oleh al-Zarkasyi barangkali telah terhimpun di dalamnya
berbagai ilmu yang disampaikan oleh Abu Hayyan.
E.
Madzhab Penafsiran
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang
digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang
pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan
bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh
latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang
dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa
khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam
tafsir. Tapi pada dasarnya dalam tafsir ada pokok bahasan dalam mengenalkan
al-Qur’an, antara lain:
1.
Persoalan
wahyu pembuktian adanya serta macam-macamnya.
2.
Al-Qur’an
dan kedudukannya daalam syariat Islam.
3.
Garis-garis
besar kandungannya (dengan penekanan bahwa al-Qur’an tidak mencakup seluruh
persoalan ilmu maupun agama).
4.
Al-Qur’an
sebagai petunjuk dan mukjizat.
5.
Otentitas
al-Qur’an (tinjauan historis).
6.
Batas-batas
keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an.
7.
Sistematika
perurutan ayat dan surat-suratnya.[7]
Di dalam kitab tafsir Bahr al-Muhit, Abu Hayyan al-Andalusi,
banyak menafsirkan berbagai ayat al-Qur’an, di antaranya dalam surah
al-Fatihah. Penulis ingin memberikan contoh kecil dalam penafsiran Abu Hayyan
al-Andalusi, yaitu Basmalah. Hal ini tetrtera dalam kitabnya di Juz pertama,
halaman 27.
() بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ بَاءُ الْجَرِّ تَأْتِي لِمَعَانٍ: لِلْإِلْصَاقِ،
وَالِاسْتِعَانَةِ، وَالْقَسَمِ، وَالسَّبَبِ، وَالْحَالِ، وَالظَّرْفِيَّةِ،
وَالنَّقْلِ. فَالْإِلْصَاقُ: حَقِيقَةً مَسَحْتُ بِرَأْسِي، وَمَجَازًا مَرَرْتُ
بِزَيْدٍ. وَالِاسْتِعَانَةُ:
ذَبَحْتُ
بِالسِّكِّينِ. وَالسَّبَبُ: فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هادُوا حَرَّمْنا «1»
وَالْقَسَمُ:
بِاللَّهِ لَقَدْ قَامَ. وَالْحَالُ: جَاءَ زَيْدٌ بِثِيَابِهِ. وَالظَّرْفِيَّةُ:
زَيْدٌ بِالْبَصْرَةِ. وَالنَّقْلُ: قُمْتُ بِزَيْدٍ. وَتَأْتِي زَائِدَةً لِلتَّوْكِيدِ: شَرِبْنَ بِمَاءِ
الْبَحْرِ. وَالْبَدَلُ: فَلَيْتَ لِي بِهِمْ قَوْمًا أَيْ بَدَلَهُمْ. وَالْمُقَابَلَةُ: اشْتَرَيْتُ الْفَرَسَ بِأَلْفٍ. وَالْمُجَاوَزَةُ: تَشَقَّقُ
السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ أَيْ عَنِ الْغَمَامِ.
وَالِاسْتِعْلَاءُ:
مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ. وَكَنَّى
بَعْضُهُمْ
عَنِ الْحَالِ بِالْمُصَاحَبَةِ، وَزَادَ فِيهَا كَوْنَهَا لِلتَّعْلِيلِ.
وَكَنَّى عَنِ الِاسْتِعَانَةِ بِالسَّبَبِ، وَعَنِ الْحَالِ، بِمَعْنَى مَعَ، بِمُوَافَقَةِ مَعْنَى اللَّامِ.
وَيُقَالُ
اسْمٌ بِكَسْرِ هَمْزَةِ الْوَصْلِ وَضَمِّهَا، وَسِمٌ بِكَسْرِ السِّينِ وَضَمِّهَا، وَسُمًى كَهُدًى، وَالْبَصْرِيُّ
يَقُولُ: مَادَّتُهُ سِينٌ وَمِيمٌ وَوَاوٌ، وَالْكُوفِيُّ يَقُولُ: وَاوٌ وَسِينٌ وَمِيمٌ، وَالْأَرْجَحُ الْأَوَّلُ.
وَالِاسْتِدْلَالُ
فِي كُتُبِ النَّحْوِ: أَلْ لِلْعَهْدِ فِي شَخْصٍ أَوْ جِنْسٍ، وَلِلْحُضُورِ،
وَلِلَمْحِ الصِّفَةِ، وَلِلْغَلَبَةِ، وَمَوْصُولَةٌ. فَلِلْعَهْدِ فِي شَخْصٍ:
جَاءَ الْغُلَامُ، وَفِي جِنْسٍ: اسْقِنِي الْمَاءَ، وَلِلْحُضُورِ: خَرَجْتُ فَإِذَا
الْأَسَدُ، وَلِلَمْحٍ: الْحَارِثُ، وَلِلْغَلَبَةِ: الدَّبَرَانِ. وَزَائِدَةٌ
لَازِمَةٌ، وَغَيْرُ لَازِمَةٍ، فَاللَّازِمَةُ: كَالْآنَ، وَغَيْرُ اللَّازِمَةِ:
بَاعَدَ أُمَّ الْعَمْرِ مِنْ أَسِيرِهَا، وَهَلْ هِيَ مُرَكَّبَةٌ مِنْ
حَرْفَيْنِ أَمْ هِيَ حَرْفٌ وَاحِدٌ؟ وَإِذَا كَانَتْ مِنْ حَرْفَيْنِ، فَهَلِ
الْهَمْزَةُ زَائِدَةٌ أَمْ لَا؟ مَذَاهِبُ. وَاللَّهُ علم لَا يُطْلَقُ إِلَّا
عَلَى المعبود بحق مرتحل غَيْرِ مُشْتَقٍّ عِنْدَ الْأَكْثَرِينَ، وقيل مشتق،
ومادته
Contoh
yang saya lampirkan di atas tadi, Abu Hayyan al-Andalusi mencoba menafsirkan
Basmalah dengan arti yang bermacam-macam, diantaranya: kata Basmalah di artikan sebagai pertolongan, bersama Allah,
keadaan kita saat menjalankan aktivitas sehari-hari, dan huruf Qosham (Demi
Allah aku memohon pertolongan dan berlinduung kepada-Mu).
Bi Ism Allah Al-Rahman Al-Rahim. Dengan mengucapkan ucapan ini, kita bukan sekedar mengharapkan
“berkah”, tetapi juga menghayati maknanya, sehingga dapat melahirkan sikap dan
karya yang positif.
Kata
Bi yang diterjemahkan “dengan”, oleh para ulama dikaitkan dengan kata
“memulai”, sehingga pengucap basmalah pada hakikatnya berkata: “dengan (atau
demi) Allah saya memulai (pekerjaan ini). Kata Bi juga dikaitkan dengan
“kekuasaan” dan “pertolongan”, sehingga si pengucap menyadari bahwa pekerjaan
yang dilakukannya terlaksana atas kodrat (kekuasaan) Allah. Dengan Basmalah
si pengucap tertanam pula kekuatan, rasa percaya diri, dan optimisme karena ia
merasa memperoleh bantuan dan kekuatan Allah sumber segala kekuatan.[8]
Selain contoh di atas tadi, ada contoh lain dalam tafsir
Al-Bahr Al-Muhit (10: 116) yaitu, “Sesungguhnya Allah menjadikan kalian
sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yaitu ada yang berasal dari non Arab
dan ada yang Arab). Hal ini bertujuan supaya kalian saling mengenal satu dan
lainnya walau beda keturunan. Janganlah kalian mengklaim berasal dari keturunan
yang lain. Jangan pula kalian berbangga dengan mulianya nasab bapak atau kakek
kalian. Salinglah mengklaim siapa yang paling mulia dengan takwa.”
F.
Asas Penafsiran
Dalam
kitab tafsir Bahr al-Muhit, penulis mempunyai asas dalam menafsirkan al-Qur’an
dari ayat satu dan ayat yang selanjutnya. Adapun asas penafsirannya penulis
kitab ini adalah:
1.
Asas Penafsiran Secara Lughawi
Tafsir ini terdiri dua kata yaitu tafsir
dan lughawi. Tafsir yang akar katanya berasal dariفسر bermakna keterangan atau penjelasan.
Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل yang berarti menjelaskan
atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir adalah membuka dan
menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi berasal dari
akar kata لغي yang berarti gemar atau
menetapi sesuatu. Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang
digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan
maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat
ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tafsir lughawi adalah
tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan
kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih simpelnya tafsir lughawi adalah
menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui interpretasi semiotik dan semantik
yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal.
Oleh karena itu, seseorang yang
ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa
yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik
yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa
al-Qur’an, seorang mufassir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan
susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik
kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang
terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama
bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam
penafsirkan al-Qur’an.
Penafsiran secara lughawi yang murni
atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja,
seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya
al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll. Sedangkan Peran dan pengaruh tafsir lughawi
meliputi berbagai aspek, antara lain aspek hukum (fiqh), theology, filsafat,
sufistik dan ilmy (saintifik). Disamping itu, tafsir lughawi memiliki beberapa
keistimewaan di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami
al-Qur’an, mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi
al-Qur’an, dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi
antara lain terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan
realitas sosial dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh, dll.
2.
Asas Penafsiran Secara al-Adabi
al-Ijtima’i
Corak ini berusaha memahami
nash-nash Al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan
ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna
yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan
menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafsiran berusaha menghubungkan
nash-nash Al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem
budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari
penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan
istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan.
Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah
dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Al-Qur’an yaitu membawa
petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan
pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam
masyarakat dan pembangunan dunia. Di samping itu pula juga dengan menekankan
tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an, lalu mangaplikasikannya pada tatanan
sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan Bangsa pada umumnya,
sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Corak yang penting adalah bagaimana
misi Al-Qur’an sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia. Adapun metodenya:
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia. Adapun metodenya:
a)
Metode al-Adabi al-Ijtima’i Dari Segi Keindahan
(Balaghah) Bahasa Dan Kemu’jizatan Al-Qur’an,
Metode al-Adabi al-Ijtima’i Dari
Segi Keindahan (Balaghah) Bahasa Dan Kemu’jizatan Al-Qur’an dan berusaha
menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Qur’an, berupaya
mengungkapkan betapa Al-Qur’an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan
aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Al-Qur’an, suatu
petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya
mempertemukan antara ajaran Al-Qur’an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga
berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang
kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia
sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang
dilontarkan terhadap Al-Qur’an dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala
kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan
diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat
pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya
untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui
segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut.
b)
Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis
Tentang Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada
tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang
harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi
social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah
makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain
dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia
akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang
pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.
G.
Komentar Pribadi Mahasiswa
Al-Bahr al-Muhit yang disusun oleh Asiruddin Abu Abdillah
Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Hayyan yang terdiri atas delapan jilid. Kitab
ini dipandang sebagai referensi pertama dan terpenting yang berkaitan dengan
masalah nahwu. Kitab ini juga memaparkan perbedaan pendapat para ulama nahwu
tentang suatu masalah. Dalam kitab tafsir ini, juga dijelaskan sebab turunnya
ayat, nasikh dan mansukh, masalah qira’at, dan aspek balagahnya. Selain itu,
dikemukakan masalah hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ahkam (hukum). Di lain sisi tafsir ini membahas ilmu tentang cara mengucapkan
lafadz-lafadz al-Qur`an, konotasinya, hukum-hukumnya secara perkata atau
perkalimat, dan makna-maknanya yang dikandung oleh susunan kalimat serta
ilmu-ilmu penunjang lainnya.
Hal
ini saya dapat memberikan contohnya tentang uraian ulama ketika membahas makna Bismillah
(dengan nama Allah) atau Subhanallah (sucikanlah nama Tuhanmu yang
Mahatinggi). Banyak pula ulama manggagas bahwa “al-ism ghair al-samma”
(nama bukanlah yang dinamai). Selanjutnya banyak filosof menguraikan bahwa
tidak sedikit kata-kata yang tidak digunakan, atau tanpa sesuatu yang
ditujukannya, dan Al-Qur’an dapat melukiskan kalimat Thayyibah (kalimat
yang baik), yaitu syahadat, dengan firman-Nya, Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, (yaitu) kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu
memberi buahnya setiap waktu dengan seizin Tuhannya (QS Ibrahim [14]:
24-25).[9]
Selain
itu pakar dan ulama, sejak semula telah menggarisbawahi bahwa kalam (kalimat
yang tersesusun dari kata-kata), yang seharusnya menghasilkan manfaat, bukan
sekedar menfaat dalam arti memberi informasi atau mempunyai makna tertentu,
seperti pandangan ulama-ulama bahasa Arab, tetapi makna yang terkandungnya pun
harus bermanfaat bagi yang mendengarnya. Hal ini Al-Qur’an menamainya laghw,
dalam arti “sesuatu yang seharusnya ditiadakan (dibatalkan)”. Tafsir ini
juga menekankan sekian banyak hal, yang antara lain dapat ditemukan pada
ayat-ayat yang menggunakan kata seperti qulu (katakan) atau balligh
(sampaikan) dan lain-lainnya.
Metodologi
penulis yang sebenarnya, pada umumnya ulama tafsir al-Andalusi berpedoman teguh
dalam merajut tafsirnya pada empat metode tafsir yang masyhur dikalangan ulama
salaf, atau tafsir bil-maatsur (tafsir Qur’an dengan Qur’an, tafsir
Qur’an dengan hadits, tafsir Qur’an dengan atsar sahabat dan tafsir Qur’an
dengan atsar tabi’in), dan mereka sangat konsisten dengan metode-metode
tersebut. Disamping mereka konsisten
dengan metode tafsir bil-maatsur seperti disebutkan diatas, mereka juga punya
perhatian khusus tentang ilmu qira’at/tata-baca. Sebagaimana juga memfokuskan
tafsirnya dibidang bahasa dan juga bidang-bidang hukum. Dan yang terakhir ini
merupakan kebanyakan dan ciri khas andalusia. Demikian juga ulama-ulama tafsir
andalusia punya pandangan khusus terhadap tafsir aqli dan tafsir israiliyat dan
selalu berusaha menjauhkan tafsirnya dari israiliyat walaupun tidak sepenuhnya
luput dari pengaruh israiliyat tersebut.
Dari
berbagai inti pokok isi tafsir Bahr al-Muhit, saya sangat setuju sekali jika
seluruh tafsir benar-benar konsisten untuk menafsirkan al-Qur’an dengan
pertimbangan-pertimbangan khusus. Contoh kecilnya yaitu, masih memakai
pedoman-pedoman para 4 Imam. Karena tanpa ini, seorang mufassir kesulitan dalam
penetapan hukumnya, dan tafsir tersebut bisa-bisa tidak diterima oleh para
pambaca.
Pada
dasarnya Indonesia terpengaruh dari filsafat dan tasawuf yang bersumber dari
tokoh tafsir Andalusia. Karena pemikir Indonesia yang mayoritas mazhab syafi’i,
banyak terpengaruh dari fiqhi dan hukum-hukum bersumber dari ulama-ulama tafsir
Andalusia, yang notabene bermazhab Maliki. Nama-nama besar seperti
Al-Qur’thubi, Ibnu Athiyah, Ibnu Arabi, As-Syathibi, Qadi Eyadh dan tokoh besar
tafsir lainnya berasal dari Andalusia banyak mendominasi buku-buku fiqhi di
tanah air, sebagai sumber hukum, pentarjih, penguat, refrensi utama dan
seterusnya, cukup menjadi saksi betapa pendapat-pendapat rokoh tafsir Andalusia
berpengaruh terhadap pemikiran fiqhi dan hukum-hukum Islam di Indonesia.
Hal
apa yang saya terangkat di atas tadi sangat terbukti di lapangan, namun
terbitan-tebitan Indoensia tentang tafsir Andalusia, patut dicatat, sepanjang
pengamatan penulis menemukan sangat minim sekali terbitan-terbitan di tanah air
yang khusus menulis tentang tafsir dan tokoh Andalusia, sehingga penulis
berkesimpulan bahwa fenomena ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya kurangnya peneliti atau pakar Andalusia di tanah air, minimnya
referensi utama atau dokumen pendukung dan terputusnya perhatian pemikir dan
peneliti Indonesia mempelajari tafsir timur Islam pada umumnya, dan Indonesia
Khususnya.
Kenapa
penulis berpendapat seperti itu? Karena kalau penulis menyentil tentang
historisnya, Andalusia merupakan imperator Islam terpanjang usianya, tinggi
peradaban, padat karya, banyak cobaan dan selalu bergejolak serta indah untuk
di kenang dan bagus dijadikan objek kajian dari berbagai bidang. Selain itu
memiliki kapasitas ilmu pengetahuan yang mendalam dan peranannya sangat tinggi
dalam sejarah peradaban umat Islam. Karya-karyanya yang spektakuler baik di
bidang sains maupun agama, cukup menjadi saksi dalam kemajuannya.
Selain
itu andalusia salah satu gerbang utama perpindahan budaya dan ilmu Arab ke
benua Eropa diawal perkembangan eropa modern (renainsaince). Karena karya-karya
ilmiah besar Islam yang dihasilkan dan diterjemahkan oleh tokoh-tokoh Andalusia
yang merupakan referensi utama di masa tersebut, khususnya di Universitas di
masa itu. Sedangkan ulama tafsir Andalusia memiliki ciri khas tertentu dalam
karya tafsirnya, mereka meletakkan dasar-dasar dan metodelogi sendiri buku
tafsir yang dikarangnya. Metodenya diperkaya dengan banyaknya referensi yang
menjadi acuannya dan beristifadah kepada pendahulunya, serta mereka juga sangat
kritis dengan karya-karya tafsir terdahulu.
Ulama
tafsir Andalusia berpedoman teguh dalam merajut tafsirnya pada empat
metode: tafsir yang termasyhur
dikalangan ulama salaf, atau tafsir bil maatsur. Mereka punya pandangan khusus
terhadap tafsir aqli, tafsir israiliyat dan selalu berusaha menjauhkan
tafsirnya dari pengaruh israiliyat, walaupun tafsirnya luput dari pengaruhnya.
Al-Qaththan, Manna’, Syaikh, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama).
Al-Qattan, Al-Khalil, Manna’, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta,
Lintera Antara Nusa, 1992).
Ash-Shaabuuniy,
Ali, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998).
As-Shalih,
Subhi, Membahas Ilmu-ulmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008).
Departemen
Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro,
2003).
Ghofur,
Amin, Saiful, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta,
Insan Madani, 2007).
Shihab,
Quraish, Lentera Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Media Utama, 2008).
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan
Anggota IKAPI, 1994).
Shihab,
Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2000).
[1]
Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung, CV Pustaka
Setia, 1998), hlm, 244.
[2]
Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit
Diponegoro, 2003), hlm, 412.
[3] Saiful Amin
Ghofur, Profil
Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta, Insan Madani, 2007), hlm,
76-80.
[4] Subhi
As-Shalih, Membahas Ilmu-ulmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus,
2008), hlm, 356-371.
[5] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 195.
[6] Manna’ al-Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta,
Lintera Antara Nusa, 1992), hlm, 455.
[7] Quraish Shihab,
Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Anggota IKAPI, 1994), hlm, 153.
[8] Quraish
Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Media Utama, 2008), hlm, 19.
[9] Quraish Shihab,
Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2000), hlm, 339-355.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar