Senin, 06 Agustus 2012

RIVIEW KITAB TAFSIR BAHR AL-MUHIT


READING ASSIGNMENT
TAFSIR BAHR AL-MUHIT

A.    Muqaddimah
Secara etimologis, kata tafsir berasal dari bahasa Arab, fassara, yang bermakna menerangkan atau menjelaskan. Kata tafsir disebutkan secara eksplisit di dalam surat al-Furqan (25:33) yang berbunyi sebagai berikut:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ  
Artinya : “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”.[1]
Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dari keterangan di atas tadi, sudah jelas secara terminologis, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya pemahaman terhadadap Kitab Allah yang diturunkan kepada Rasulullah saw, penjelasan  mengenai makna-makna Kitab Allah dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya diketahui.
Mungkin ada yang menyangka bahwa yang paling mulia adalah yang kaya harta, dari golongan konglomerat, yang cantik rupawan, yang punya jabatan tinggi, berasal dari keturunan Arab atau bangsawan. Namun, Allah sendiri menegaskan yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Ayat yang patut jadi renungan saat ini adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya :“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat: 13).[2]
Dalam tafsir Ath-Thobari rahimahullah berkata, “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, wahai manusia adalah yang paling tinggi takwanya pada Allah, yaitu dengan menunaikan berbagai kewajiban dan menjauhi maksiat. Bukanlah yang paling mulia dilihat dari rumahnya yang megah atau berasal dari keturunan yang mulia.” (Tafsir Ath Thobari, 21:386).
Dengan ini, banyak dari kalangan umat Islam berbondong-bondong untuk mempelajari Al-Qur’an. Kejadian seperti ini, mendapat reson oleh para kalangan ulama untuk mempelajarinya kepada orang-orang yang ingin mempelajarinya. Hal tersebut tercapai, Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Dinasti Abbasiyah menuntut pengembangan metodologi tafsir dengan memasukan unsur ijtihad yang lebih besar. Mekipun begitu mereka tetap berpegangan pada Tafsir bi al-Matsur dan metode lama dengan pengembangan ijtihad berdasarkan perkembangan masa tersebut. Hal ini melahirkan apa yang disebut sebagai Tafsir Bi Al-Ray yang memperluas ijtihad dibandingkan masa sebelumnya. Lebih lanjut perkembangan ajaran tasawuf melahirkan pula sebuah tafsir yang biasa disebut sebagai tafsir isyarah.
Keberhasilan para mufassirin, menghasilkan sebuah karya yang sampai saat ini dikenal oleh para kalangan ulama Islam, yaitu mengarang sebuah Kitab Tafsir. Hal ini bertujuan untuk mempermudahkan kita sebagai penerusnya, lebih memahami sejarah jauh tentang makna-makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. Diantaranya adalah tafsir Bahr al-Muhit.
Buku                    : Laut Samudra penafsiran
Penulis                 : Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan Andalusi
Penyidik​​               : Mohammad Jamil Sidqi
Penerbit                : Rumah pemikiran – Beirut
Edisi                     : 1420
Jumlah bagian      : 8 Juz
è  Jilid pertama         : 1-672 halaman.
è  Jilid kedua            : 1-547 halaman.
è  Jilid ketiga            : 1-550 halaman.
è  Jilid keempat        : 1-519 halaman.
è  Jilid kelima           : 1-531 halaman.
è  Jilid keenam         : 1-475 halaman.
è  Jilid ketujuh          : 1-505 halaman.
è  Jilid kedelapan      : 1-536 halaman.

B.     Riwayat Hidup Penulis
Penulis tafsir Bahr al-Muhit adalah Atsiruddin Abu Hayyan Muhammad ibn Yusuf ibn Ali ibn Yusuf  ibn Hayyan al-Andalusi al-Gharnathi. Beliau lahir pada akhir Syawal tahun 654 H di Mathkharisy dekat Granada. Ia dibesarkan di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat yang hidup dalam kepatuhan tinggi terhadap doktrin agama Islam. Di bawah pengawasan ayahnya, al-Andalusi mulai menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, ia menashih hafalannya kepada sejumlah ulama semisal al-Khatib Abdulhaq ibn Ali, al-Khatib Abu Ja’far ibn ath-Thibai. Baru kemudian mendalami ilmu qiraat kepada al-Hafiz Abu Ali ibn Abu al-Ahwash di Maliqah. Al-Andalusi juga gemar berkelana menuntut ilmu ke berbagai tempat. Misalnya, Andalus, Afrika, Iskandariyah, Mesir, dan Hijaz. Di berbagai tempat itu ia berguru kepada tak kurang dari 450 ulama. Di antaranya adalah Abu al-Hasan ibn Rabi’, ibn al-Ahwash, al-Quthb al-Asqalani, asy-Syarf ad-Dimyathi, dan sebagainya. Dari mereka beragam disiplin ilmu dicerap. Contohnya, tafsir, hadis, qiraat, bahasa Arab, sastra, dan sejarah. Pada akhirnya beliau wafat pada pada 745 H.
Pengembaran al-Andalusi di samping karena tuntutan mencari ilmu juga didorong oleh suatu hal. Waktu itu raja berkata kepada al-Andalusi, “Sesungguhnya aku sudah tua dan hampir wafat. Maka, aku menyarankan kepadamu agar bersedia kuajari berbagai ilmu dengan syarat kau mesti menetap di sini.” Mendengar titah Raja tersebut, al-Andalusi berujar, “Raja memberiku sesuatu yang baik, pakaian dan pesangon. Aku enggan menerima semua itu. Lalu aku musafir karena takut dipaksa menerimanya.” Begitulah, al-Andalusi kemudian terus mengembara hingga ia wafat di Mesir pada tahun 745 H. Ia selalu dikenang sejarah karena karakternya yang menawan. Al-Adfawi, teman seperjalannya, mengisahkan hal ini, “Ia seorang yang adil, jujur, dan selamat akidahnya dari serangkaian bid’ah filsafat. Ia sangat khusyu’. Sering ia menangis ketika membaca Al-Qur’an. Perawakannya berbadan tinggi, tampan, berkulit putih kemerah-merahan, rambutnya panjang dan tertata rapi.”

C.    Karya-karya dan Keahlian Penulis
Al-Andalusi menghasilkan banyak karya. Misalnya, Ittihad al-Arif bima fi Al-Qur’an min al-Gharib, at-Tadzyil wa at-Takmil fi Syarh at-Tashil, Mutawwal al-Irtisyaf, al-Bahr al-Muhith, dan an-Nahr al-Mad. Dua kitab terakhir, al-Bahr al-Muhith dan an-Nahr al-Mad, merupakan kitab tafsir yang diterbitkan dalam satu kitab.
Al-Andalusi mulai menulis tafsir al-Bahr al-Muhith tatkala usianya memasuki 57 tahun, tepatnya tahun 710 H. Kitab ini terdiri atas delapan jilid. Adapun metode penulisannya dimulai dengan membahas makna lafal ayat yang ditafsirkan kata demi kata, terutama dari aspek bahasa dan ilmu nahwu. Lalu ia mulai menafsirkan dengan menyebutkan asbabun nuzulnya jika ada, nasakhnya, persesuaian dan hubungan dengan ayat sebelumnya (munasabah), qiraatnya baik yang syadz maupun yang mutawatir, serta menyebutkan alasannya dengan bersandar pada pendapat ulama. Tak lupa pula ia menjelaskan aspek I’rab yang rumit dan sastra yang dalam, baik dari segi ilmu badi’ maupun ilmu bayan.[3]
Terhadap ayat-ayat yang mengandung masalah hukum syariat (fikih), al-Andalusi mengacu pada pendapat imam mazhab empat, yaitu Syafii, Maliki, Hanbali, dan Hanafi. Untuk menguatkan pendapatnya, dalil-dalil yang terserak dalam kitab-kitab fikih juga dicantumkan.
Beliau seorang ulama tafsir, hadits, sastrawan, sejarahwan, ahli nahwu, dan bahasa. Memberikan pengajaran tafsir al-Mansyuriyah, mengajarkan qira’at di perguruan tinggi al-Aqmar. Karya-karyanya yang termasyhur antara lain:
1.      Al-bahr al-Muhit
2.      Tuhfah al-Arib
3.      Gharib al-Qur’an

D.    Analisis Tafsir
Dalam kitab tafsir Bahr al-Muhit, saya dapat menganalisis dari hasil berbagai juznya (hasil membaca). Bahwa inti dari kitab ini adalah:
1.      Metode penafsirannya di mulai dengan kalam tentang mufradad ayat yang di tafsirkan secara lafadz demi lafadz. Hal tersebut membutuhkan ilmu bahasa dan hukum-hukum nahwu. Karena tanpa ilmu Nahwu, kita sulit untuk memahami makna yang terkandung dalam kitab ini. Namun apabila ada kalimat yang mengandung dua makna atau beberapa makna yang disebutkan di awal sebagai judulnya. Dari kalimat itu, dapat di lihat ada munasabah ayat dengan ayat sebelumnya atau sesudahnya dengan menggunakan kaidah nahwu.
2.      Dijelaskan tafsir ayat yang ada di dalam kitab tersebut, terkait dengan asbabun nuzulnya. Itupun apabila ada azbabun nuzulnya. Dilain sisi membahas nasikh wa mansukh. Karena pada batasan makna kata itu secara bahasa dan sebagai istilah. Kaitan dua makna memang perlu diperhatikan, agar penggunaannya seperti dalam surah Al-Baqarah ayat 106, tidak menyimpang dari cara orang Arab menerangkan persoalan yang gawat di dalam agama Islam. Pada dasarnya letak perbedaaan “penghususan” ialah sebagai yang bersifat umum dikhususkan maka yang tinggal tetap dan tidak dapat dibatalkan dengan alasan “umum”.[4]
3.      Di dalamnya juga membahas qira’at (qira’at 7, 10, dan 14) yang diterima oleh para ulama, maupun yang syadz baik menurut ulama salaf maupun khalaf. Karena ilmu ini termasuk ilmu yang sangat berjasa dalam menggali, menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai dengan yang telah diajarkan Rasulullah saw. Hal ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan kita untuk membaca, menghafal dan memahaminya. Ada beberapa hadits secara mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf sab’atu ahruf. Diantaranya : [5]
آقرأني جبريل على حرف فراجعته فلم أزل أستز يده ويزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف
“Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, Ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf”
4.      Menjelaskan  i’rabnya dalam setiap ayat, dan kemudian adab dari bhadi’ dan bayan (terdapat dalam ilmu bhalagah).  Pada dasarnya kaedah nahwu dan sharaf merupakan kreasi para ulama jauh setelah penulisan, pengumpulan, dan pelembagaan al-Qur’an dalam Mushhaf Imam. Kemunculan ilmu ini (nahwu sharaf) dilatarbelakangi oleh semakin awamnya masyarakat terhadap bahasa Arab fushhah, termasuk bangsa Arab sendiri, dan munculnya degradasi terhadap bahasa Arab fushhah. Padahal, penguasaan bahasa Arab fushhah merupakan syarat paling penting untuk menjamin kebenaran istinbath (penggalian) hukum dan penafsiran al-Qur’an. Jika bahasa Arab fushhah rusak dan kaum Muslim awam terhadap kaedah-kaedah bahasa Arab fushhah, niscaya akan terjadi kesalahan dalam proses penggalian hukum dan penafsiran al-Quran. Oleh karena itu, para ulama ahli bahasa (ahlu al-lughah) segera menyusun kaedah-kaedah bahasa Arab, yang kemudian dituangkan dalam berbagai disiplin ilmu, semacam ilmu nahwu sharaf, bayan, ma’aaniy, balaghah, ilmu ‘aarudl, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu saja, mereka juga menyusun kamus-kamus standar bahasa Arab (lisanul ‘Arab). Semua ini ditujukan agar kaum Muslim tidak salah dan menyimpang dalam memahami makna-makna al-Quran.
5.      Proses penafsirannya dari setiap ayat, mengambil pendapat fuqaha’ yang empat (imam syafi’i, hambali, maliki, dan hanafi) dan lainnya tentang hukum-hukum syariah yang terdapat pada ayat yang dibahasnya.
Inti dari analisis di atas tadi. Menurut Abu Hayyan, dalam al-Bahr al-Muhith, dia mengemukakan definisi tafsir sebagai berikut:
علم يبحث عن كيفية النطق بألفاظ القرآن ومدلولاتها وأحكامها الإفرادية والتركيبية، ومعانيها التى تحمل عليها حلة التركيب وتتمات لذلك.
Artinya : “Ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafaz-lafaz al-Quran tentang petunjuk hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupu ketika tersusun dari makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya”.
Abu Hayyan menjelaskan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi tersebut, ia menjelaskan bahwa kata ‘ilmu adalah sejenis kata yang meliputi segala macam ilmu, kalimat yang membahas cara mengucapkan lafal al-Qur’an adalah ilmu Qira’at. Petunjuknya adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafal-lafal itu. Dan yang dimaksud disini adalah ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu ini. Kalimat hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun, meliputi tasyrif (syaraf), ilmu i’rab, ilmu bayan, ilmu badi’, kalimat makna-maknanya yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, meliputi pengertian yang hakiki dan majazi, sebab suatu susunan kalimat terkadang menurut lahirnya menghendaki suatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang sehingga tarkib tersebut mesti dibawa kepada makna yang bukan makna lahir yaitu majaz, dan kalimat-kalimat hal lain yang meliputi tentang nasekh, asba al-nuzul, kisah-kisah yang dapat menjelaskan sebagian yang kurang jelas dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.[6]
Kedua defini diatas sama-sama menerangkan pengertian tafsir sebagai upaya memahami kitab Allah swt, menerangkan makna-makna serta mengambil hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya. Meskipun definisi yang diungkapkan oleh Abu Hayyan sangat luas dan rinci, tetapi dari kata ilmu yang disebutkan oleh al-Zarkasyi barangkali telah terhimpun di dalamnya berbagai ilmu yang disampaikan oleh Abu Hayyan.

E.     Madzhab Penafsiran
Penafsiran al-Qur’an, bentuk ataupun metode tafsir yang digunakan seorang tafsir akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengetahuannya. Sehingga hasil dari penafsirannya itu sangat kental dengan bidang yang ia kuasai. Kecondongan ataupun karekteristik yang dipengaruhi oleh latar belakang mufassir dikenal dengan istilah corak (laun). Kata “laun” yang dalam arti dasarnya adalah warna, dipakai dalam bidang tafsir sebagai nuansa khusus atau karakter khusus yang yang memberikan pengaruh tersendiri dalam tafsir. Tapi pada dasarnya dalam tafsir ada pokok bahasan dalam mengenalkan al-Qur’an, antara lain:
1.      Persoalan wahyu pembuktian adanya serta macam-macamnya.
2.      Al-Qur’an dan kedudukannya daalam syariat Islam.
3.      Garis-garis besar kandungannya (dengan penekanan bahwa al-Qur’an tidak mencakup seluruh persoalan ilmu maupun agama).
4.      Al-Qur’an sebagai petunjuk dan mukjizat.
5.      Otentitas al-Qur’an (tinjauan historis).
6.      Batas-batas keterlibatan peranan Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an.
7.      Sistematika perurutan ayat dan surat-suratnya.[7]
Di dalam kitab tafsir Bahr al-Muhit, Abu Hayyan al-Andalusi, banyak menafsirkan berbagai ayat al-Qur’an, di antaranya dalam surah al-Fatihah. Penulis ingin memberikan contoh kecil dalam penafsiran Abu Hayyan al-Andalusi, yaitu Basmalah. Hal ini tetrtera dalam kitabnya di Juz pertama, halaman 27.  
() بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ بَاءُ الْجَرِّ تَأْتِي لِمَعَانٍ: لِلْإِلْصَاقِ، وَالِاسْتِعَانَةِ، وَالْقَسَمِ، وَالسَّبَبِ، وَالْحَالِ، وَالظَّرْفِيَّةِ، وَالنَّقْلِ. فَالْإِلْصَاقُ: حَقِيقَةً مَسَحْتُ بِرَأْسِي، وَمَجَازًا مَرَرْتُ بِزَيْدٍ. وَالِاسْتِعَانَةُ: ذَبَحْتُ بِالسِّكِّينِ. وَالسَّبَبُ: فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هادُوا حَرَّمْنا «1»
وَالْقَسَمُ: بِاللَّهِ لَقَدْ قَامَ. وَالْحَالُ: جَاءَ زَيْدٌ بِثِيَابِهِ. وَالظَّرْفِيَّةُ: زَيْدٌ بِالْبَصْرَةِ. وَالنَّقْلُ: قُمْتُ بِزَيْدٍ. وَتَأْتِي زَائِدَةً لِلتَّوْكِيدِ: شَرِبْنَ بِمَاءِ الْبَحْرِ. وَالْبَدَلُ: فَلَيْتَ لِي بِهِمْ قَوْمًا أَيْ بَدَلَهُمْ. وَالْمُقَابَلَةُ: اشْتَرَيْتُ الْفَرَسَ بِأَلْفٍ. وَالْمُجَاوَزَةُ: تَشَقَّقُ السَّمَاءُ بِالْغَمَامِ أَيْ عَنِ الْغَمَامِ. وَالِاسْتِعْلَاءُ: مَنْ إِنْ تَأْمَنْهُ بِقِنْطَارٍ. وَكَنَّى بَعْضُهُمْ عَنِ الْحَالِ بِالْمُصَاحَبَةِ، وَزَادَ فِيهَا كَوْنَهَا لِلتَّعْلِيلِ. وَكَنَّى عَنِ الِاسْتِعَانَةِ بِالسَّبَبِ، وَعَنِ الْحَالِ، بِمَعْنَى مَعَ، بِمُوَافَقَةِ مَعْنَى اللَّامِ.
وَيُقَالُ اسْمٌ بِكَسْرِ هَمْزَةِ الْوَصْلِ وَضَمِّهَا، وَسِمٌ بِكَسْرِ السِّينِ وَضَمِّهَا، وَسُمًى كَهُدًى، وَالْبَصْرِيُّ يَقُولُ: مَادَّتُهُ سِينٌ وَمِيمٌ وَوَاوٌ، وَالْكُوفِيُّ يَقُولُ: وَاوٌ وَسِينٌ وَمِيمٌ، وَالْأَرْجَحُ الْأَوَّلُ.
وَالِاسْتِدْلَالُ فِي كُتُبِ النَّحْوِ: أَلْ لِلْعَهْدِ فِي شَخْصٍ أَوْ جِنْسٍ، وَلِلْحُضُورِ، وَلِلَمْحِ الصِّفَةِ، وَلِلْغَلَبَةِ، وَمَوْصُولَةٌ. فَلِلْعَهْدِ فِي شَخْصٍ: جَاءَ الْغُلَامُ، وَفِي جِنْسٍ: اسْقِنِي الْمَاءَ، وَلِلْحُضُورِ: خَرَجْتُ فَإِذَا الْأَسَدُ، وَلِلَمْحٍ: الْحَارِثُ، وَلِلْغَلَبَةِ: الدَّبَرَانِ. وَزَائِدَةٌ لَازِمَةٌ، وَغَيْرُ لَازِمَةٍ، فَاللَّازِمَةُ: كَالْآنَ، وَغَيْرُ اللَّازِمَةِ: بَاعَدَ أُمَّ الْعَمْرِ مِنْ أَسِيرِهَا، وَهَلْ هِيَ مُرَكَّبَةٌ مِنْ حَرْفَيْنِ أَمْ هِيَ حَرْفٌ وَاحِدٌ؟ وَإِذَا كَانَتْ مِنْ حَرْفَيْنِ، فَهَلِ الْهَمْزَةُ زَائِدَةٌ أَمْ لَا؟ مَذَاهِبُ. وَاللَّهُ علم لَا يُطْلَقُ إِلَّا عَلَى المعبود بحق مرتحل غَيْرِ مُشْتَقٍّ عِنْدَ الْأَكْثَرِينَ، وقيل مشتق، ومادته
Contoh yang saya lampirkan di atas tadi, Abu Hayyan al-Andalusi mencoba menafsirkan Basmalah dengan arti yang bermacam-macam, diantaranya: kata Basmalah di  artikan sebagai pertolongan, bersama Allah, keadaan kita saat menjalankan aktivitas sehari-hari, dan huruf Qosham (Demi Allah aku memohon pertolongan dan berlinduung kepada-Mu).
Bi Ism Allah Al-Rahman Al-Rahim. Dengan mengucapkan ucapan ini, kita bukan sekedar mengharapkan “berkah”, tetapi juga menghayati maknanya, sehingga dapat melahirkan sikap dan karya yang positif.
Kata Bi yang diterjemahkan “dengan”, oleh para ulama dikaitkan dengan kata “memulai”, sehingga pengucap basmalah pada hakikatnya berkata: “dengan (atau demi) Allah saya memulai (pekerjaan ini). Kata Bi juga dikaitkan dengan “kekuasaan” dan “pertolongan”, sehingga si pengucap menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya terlaksana atas kodrat (kekuasaan) Allah. Dengan Basmalah si pengucap tertanam pula kekuatan, rasa percaya diri, dan optimisme karena ia merasa memperoleh bantuan dan kekuatan Allah sumber segala kekuatan.[8]
Selain contoh di atas tadi, ada contoh lain dalam tafsir Al-Bahr Al-Muhit (10: 116) yaitu, “Sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagaimana yang disebutkan dalam ayat (yaitu ada yang berasal dari non Arab dan ada yang Arab). Hal ini bertujuan supaya kalian saling mengenal satu dan lainnya walau beda keturunan. Janganlah kalian mengklaim berasal dari keturunan yang lain. Jangan pula kalian berbangga dengan mulianya nasab bapak atau kakek kalian. Salinglah mengklaim siapa yang paling mulia dengan takwa.”

F.     Asas Penafsiran
Dalam kitab tafsir Bahr al-Muhit, penulis mempunyai asas dalam menafsirkan al-Qur’an dari ayat satu dan ayat yang selanjutnya. Adapun asas penafsirannya penulis kitab ini adalah:
1.      Asas Penafsiran Secara Lughawi
Tafsir ini terdiri dua kata yaitu tafsir dan lughawi. Tafsir yang akar katanya berasal dariفسر  bermakna keterangan atau penjelasan. Kemudian lafal tersebut diikutkan wazan فعل  yang berarti menjelaskan atau menampakkan sesuatu. Dengan demikian, tafsir adalah membuka dan menjelaskan pemahaman kata-kata dalam al-Qur’an. Sedangkan lughawi berasal dari akar kata لغي  yang berarti gemar atau menetapi sesuatu. Manusia yang gemar dan menetapi atau menekuni kata-kata yang digunakannya, maka kata-kata itu disebut lughah. Dengan demikian, yang dimaksud dengan lughawi adalah kata-kata yang digunakan, baik secara lisan maupun tulisan.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa yang dimaksud dengan tafsir lughawi adalah tafsir yang mencoba menjelaskan makna-makna al-Qur’an dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan. atau lebih simpelnya tafsir lughawi adalah menjelaskan al-Qur’an al-karim melalui interpretasi semiotik dan  semantik yang meliputi etimologis, morfologis, leksikal, gramatikal dan retorikal.
Oleh karena itu, seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an dengan pendekatan bahasa harus mengetahui bahasa yang digunakan al-Qur’an yaitu bahasa arab dengan segala seluk-beluknya, baik yang terkait dengan nahwu, balaghah dan sastranya. Dengan mengetahui bahasa al-Qur’an, seorang mufassir akan mudah untuk melacak dan mengetahui makna dan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an sehingga akan mampu mengungkap makna di balik kalimat tersebut. Bahkan Ahmad Syurbasyi menempatkan ilmu bahasa dan yang terkait (nahwu, sharaf, etimologi, balaghah dan qira’at) sebagai syarat utama bagi seorang mufassir. Di sinilah, urgensi bahasa akan sangat tampak dalam penafsirkan al-Qur’an.
Penafsiran secara lughawi yang murni atau lebih banyak membahas hal-hal yang terkait dengan aspek bahasa saja, seperti tafsir Ma’an al-Qur’an karya al-Farra’, Tafsir al-Jalalain karya al-Suyuthi dan al-Mahally. Dll. Sedangkan Peran dan pengaruh tafsir lughawi meliputi berbagai aspek, antara lain aspek hukum (fiqh), theology, filsafat, sufistik dan ilmy (saintifik). Disamping itu, tafsir lughawi memiliki beberapa keistimewaan di antaranya linguistik sebagai pengantar dalam memahami al-Qur’an, mengungkap berbagai konsep seperti etika, seni dan imajinasi al-Qur’an, dll. Akan tetapi tafsir lughawi juga tidak lepas dari limitasi antara lain terjebak dalam tafsir harfiyah yang bertele-tele, mengabaikan realitas sosial dan asbab al-nuzul serta nasikh-mansukh, dll.
2.      Asas Penafsiran Secara al-Adabi al-Ijtima’i
Corak ini berusaha memahami nash-nash Al-Qur’an dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan Al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh Al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada langkah berikutnya, penafsiran berusaha menghubungkan nash-nash Al-Qur’an yang tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.
Pembahasan tafsir ini sepi dari penggunaan istilah-istilah ilmu dan teknologi, dan tidak akan menggunakan istilah-istilah tersebut kecuali jika dirasa perlu dan hanya sebatas kebutuhan. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dan tujuan-tujuan Al-Qur’an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian menggabungkannya dengan pengertian-pengertian ayat tersebut dengan hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Di samping itu pula juga dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur’an, lalu mangaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan Bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
Corak yang penting adalah bagaimana misi Al-Qur’an sampai pada pembaca.
Dalam penafsirannya, teks-teks Alquran dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat, tradisi sosial dan system peradaban, sehingga dapat fungsional dalam memecahkan persoalan. Dengan demikian mufassir berusaha mendiagnosa persoalan-persoalan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, untuk kemudian mencarikan jalan keluar berdasarkan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, sehingga dirasakan bahwa ia selalu sejalan dengan dengan perkembangan zaman dan manusia. Adapun metodenya:
a)      Metode al-Adabi al-Ijtima’i Dari Segi Keindahan (Balaghah) Bahasa Dan Kemu’jizatan Al-Qur’an,
Metode al-Adabi al-Ijtima’i Dari Segi Keindahan (Balaghah) Bahasa Dan Kemu’jizatan Al-Qur’an dan berusaha menjelaskan makna atau maksud yang dituju oleh Al-Qur’an, berupaya mengungkapkan betapa Al-Qur’an itu mengandung hukum-hukum alam raya dan aturan-aturan kemasyarakatan, melalui petunjuk dan ajaran Al-Qur’an, suatu petunjuk yang berorientasi kepada kebaikan dunia dan akhirat, serta berupaya mempertemukan antara ajaran Al-Qur’an dan teori-teori ilmiah yang benar. Juga berusaha menjelaskan kepada umat bahwa Al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, berupaya melenyapkan segala kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap Al-Qur’an dengan argument yang kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, karena memang kebatilan itu pasti lenyap.
Semua hal di atas dikemukakan dan diuraikan dengan gaya bahasa yang sangat indah, menarik memikat, dan membuat pembaca terpesona serta merasuk kedalam kalbunya, sehingga tergugahlah hatinya untuk memperhatikan Kitabullah dan timbul minat serta gairah untuk mengetahui segala makna dan rahasia Alquran al-Karim tersebut.
b)      Metode tafsir Al-Adabi Al-Ijtima’i Dalam Analisis Tentang Unsur-unsur Terbentuknya Masyarakat.
Unsur yang membentuk masyarakat ada tiga yakni: Manusia, alam dan hubungan/interaksi social. Unsur ketiga yang harus kita kaji untuk menemukan di manakah letak posisi manusia dalam interaksi social, sesuai dengan konsepsi yang dikehendaki oleh Alquran. Manusia adalah makhluk sosial yang memiliki ketergantungan (interdependensi) satu sama lain dalam kehidupannya. Bertolak dari kebutuhan sosiologisnya itu, seluruh manusia akan memiliki kecenderungan yang sama, yaitu membentuk kesatuan sosial, yang pada akhirnya melahirkan sebuah Negara.

G.    Komentar Pribadi Mahasiswa
Al-Bahr al-Muhit yang disusun oleh Asiruddin Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf bin Ali bin Hayyan yang terdiri atas delapan jilid. Kitab ini dipandang sebagai referensi pertama dan terpenting yang berkaitan dengan masalah nahwu. Kitab ini juga memaparkan perbedaan pendapat para ulama nahwu tentang suatu masalah. Dalam kitab tafsir ini, juga dijelaskan sebab turunnya ayat, nasikh dan mansukh, masalah qira’at, dan aspek balagahnya. Selain itu, dikemukakan masalah hukum yang terkandung dalam ayat-ayat ahkam (hukum). Di lain sisi tafsir ini membahas ilmu tentang cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur`an, konotasinya, hukum-hukumnya secara perkata atau perkalimat, dan makna-maknanya yang dikandung oleh susunan kalimat serta ilmu-ilmu penunjang lainnya.
Hal ini saya dapat memberikan contohnya tentang uraian ulama ketika membahas makna Bismillah (dengan nama Allah) atau Subhanallah (sucikanlah nama Tuhanmu yang Mahatinggi). Banyak pula ulama manggagas bahwa “al-ism ghair al-samma” (nama bukanlah yang dinamai). Selanjutnya banyak filosof menguraikan bahwa tidak sedikit kata-kata yang tidak digunakan, atau tanpa sesuatu yang ditujukannya, dan Al-Qur’an dapat melukiskan kalimat Thayyibah (kalimat yang baik), yaitu syahadat, dengan firman-Nya, Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan, (yaitu) kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberi buahnya setiap waktu dengan seizin Tuhannya (QS Ibrahim [14]: 24-25).[9]
Selain itu pakar dan ulama, sejak semula telah menggarisbawahi bahwa kalam (kalimat yang tersesusun dari kata-kata), yang seharusnya menghasilkan manfaat, bukan sekedar menfaat dalam arti memberi informasi atau mempunyai makna tertentu, seperti pandangan ulama-ulama bahasa Arab, tetapi makna yang terkandungnya pun harus bermanfaat bagi yang mendengarnya. Hal ini Al-Qur’an menamainya laghw, dalam arti “sesuatu yang seharusnya ditiadakan (dibatalkan)”. Tafsir ini juga menekankan sekian banyak hal, yang antara lain dapat ditemukan pada ayat-ayat yang menggunakan kata seperti qulu (katakan) atau balligh (sampaikan) dan lain-lainnya.
Metodologi penulis yang sebenarnya, pada umumnya ulama tafsir al-Andalusi berpedoman teguh dalam merajut tafsirnya pada empat metode tafsir yang masyhur dikalangan ulama salaf, atau tafsir bil-maatsur (tafsir Qur’an dengan Qur’an, tafsir Qur’an dengan hadits, tafsir Qur’an dengan atsar sahabat dan tafsir Qur’an dengan atsar tabi’in), dan mereka sangat konsisten dengan metode-metode tersebut.  Disamping mereka konsisten dengan metode tafsir bil-maatsur seperti disebutkan diatas, mereka juga punya perhatian khusus tentang ilmu qira’at/tata-baca. Sebagaimana juga memfokuskan tafsirnya dibidang bahasa dan juga bidang-bidang hukum. Dan yang terakhir ini merupakan kebanyakan dan ciri khas andalusia. Demikian juga ulama-ulama tafsir andalusia punya pandangan khusus terhadap tafsir aqli dan tafsir israiliyat dan selalu berusaha menjauhkan tafsirnya dari israiliyat walaupun tidak sepenuhnya luput dari pengaruh israiliyat tersebut.
Dari berbagai inti pokok isi tafsir Bahr al-Muhit, saya sangat setuju sekali jika seluruh tafsir benar-benar konsisten untuk menafsirkan al-Qur’an dengan pertimbangan-pertimbangan khusus. Contoh kecilnya yaitu, masih memakai pedoman-pedoman para 4 Imam. Karena tanpa ini, seorang mufassir kesulitan dalam penetapan hukumnya, dan tafsir tersebut bisa-bisa tidak diterima oleh para pambaca.
Pada dasarnya Indonesia terpengaruh dari filsafat dan tasawuf yang bersumber dari tokoh tafsir Andalusia. Karena pemikir Indonesia yang mayoritas mazhab syafi’i, banyak terpengaruh dari fiqhi dan hukum-hukum bersumber dari ulama-ulama tafsir Andalusia, yang notabene bermazhab Maliki. Nama-nama besar seperti Al-Qur’thubi, Ibnu Athiyah, Ibnu Arabi, As-Syathibi, Qadi Eyadh dan tokoh besar tafsir lainnya berasal dari Andalusia banyak mendominasi buku-buku fiqhi di tanah air, sebagai sumber hukum, pentarjih, penguat, refrensi utama dan seterusnya, cukup menjadi saksi betapa pendapat-pendapat rokoh tafsir Andalusia berpengaruh terhadap pemikiran fiqhi dan hukum-hukum Islam di Indonesia.
Hal apa yang saya terangkat di atas tadi sangat terbukti di lapangan, namun terbitan-tebitan Indoensia tentang tafsir Andalusia, patut dicatat, sepanjang pengamatan penulis menemukan sangat minim sekali terbitan-terbitan di tanah air yang khusus menulis tentang tafsir dan tokoh Andalusia, sehingga penulis berkesimpulan bahwa fenomena ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kurangnya peneliti atau pakar Andalusia di tanah air, minimnya referensi utama atau dokumen pendukung dan terputusnya perhatian pemikir dan peneliti Indonesia mempelajari tafsir timur Islam pada umumnya, dan Indonesia Khususnya.
Kenapa penulis berpendapat seperti itu? Karena kalau penulis menyentil tentang historisnya, Andalusia merupakan imperator Islam terpanjang usianya, tinggi peradaban, padat karya, banyak cobaan dan selalu bergejolak serta indah untuk di kenang dan bagus dijadikan objek kajian dari berbagai bidang. Selain itu memiliki kapasitas ilmu pengetahuan yang mendalam dan peranannya sangat tinggi dalam sejarah peradaban umat Islam. Karya-karyanya yang spektakuler baik di bidang sains maupun agama, cukup menjadi saksi dalam kemajuannya.
Selain itu andalusia salah satu gerbang utama perpindahan budaya dan ilmu Arab ke benua Eropa diawal perkembangan eropa modern (renainsaince). Karena karya-karya ilmiah besar Islam yang dihasilkan dan diterjemahkan oleh tokoh-tokoh Andalusia yang merupakan referensi utama di masa tersebut, khususnya di Universitas di masa itu. Sedangkan ulama tafsir Andalusia memiliki ciri khas tertentu dalam karya tafsirnya, mereka meletakkan dasar-dasar dan metodelogi sendiri buku tafsir yang dikarangnya. Metodenya diperkaya dengan banyaknya referensi yang menjadi acuannya dan beristifadah kepada pendahulunya, serta mereka juga sangat kritis dengan karya-karya tafsir terdahulu.
Ulama tafsir Andalusia berpedoman teguh dalam merajut tafsirnya pada empat metode:  tafsir yang termasyhur dikalangan ulama salaf, atau tafsir bil maatsur. Mereka punya pandangan khusus terhadap tafsir aqli, tafsir israiliyat dan selalu berusaha menjauhkan tafsirnya dari pengaruh israiliyat, walaupun tafsirnya luput dari pengaruhnya.

H.    Daftar Pustaka
Al-Qaththan, Manna’, Syaikh, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama).
Al-Qattan, Al-Khalil, Manna’, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an,  (Jakarta, Lintera Antara Nusa, 1992).
Ash-Shaabuuniy, Ali, Muhammad, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998).
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ulmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008).
Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro, 2003).
Ghofur, Amin, Saiful, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta, Insan Madani, 2007).
Shihab, Quraish, Lentera Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Media Utama, 2008).
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Anggota IKAPI, 1994).
Shihab, Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2000).



[1] Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy, Studi Ilmu Al-Qur’an, (Bandung, CV Pustaka Setia, 1998), hlm, 244.
[2] Departemen Negara RI Al-‘Aliyy, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (CV Penerbit Diponegoro, 2003), hlm, 412.
[3] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an, (Yogyakarta, Insan Madani, 2007), hlm, 76-80.
[4] Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ulmu Al-Qur’an, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 2008), hlm, 356-371.
[5] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Pustaka Al-Kautsar Penerbit Buku Islam Utama), hlm, 195.
[6] Manna’ al-Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an,  (Jakarta, Lintera Antara Nusa, 1992), hlm, 455.
[7] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Anggota IKAPI, 1994), hlm, 153.
[8] Quraish Shihab, Lentera Al-Qur’an, (Bandung, Mizan Media Utama, 2008), hlm, 19.
[9] Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung, PT Mizan Pustaka, 2000), hlm, 339-355.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar