Jumat, 31 Agustus 2012

BANI SYARQAWI AL-KUDUSI


SILSILAH KYAI HAJI MUHAMMAD SYARQAWI AL-KUDUSI
CIKAL-BAKAL BERDIRINYA PONDOK PESANTREN
 AN-NUQAYAH GULUK-GULUK SUMENEP MADURA

RIWAYAT KERENDAHAN HATI

Pada pertengahan abad XIX, seorang pejalan kaki merasa kehausan, tepatnya di jalan antara Sarang-Kudus, Jawa Tengah. pejalan kaki tersebut hanya ingin melihat sebuah sumur, dan ada seorang ibu yang menimba di sumur itu, ia pun menghampiri. Diantaranya dari ibu itu barang seteguk air sekedar untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Tiba-tiba Si ibu sempat berbasa-basi sampai beliau bertanya: dari mana dan hendak kemana pejalan kaki itu. Dengan nada keluh kesah seorang yang putus asa, pejalan kaki itupun bercerita tentang perjalanannya.
Pejalan kaki tersebut bernama Muhammad Syarwawi. Ia seorang kepala rumah tangga di Kudus, seorang pemimpin di dalam keluarga miskin yang terbelakang. padahal, konon, ia masih keturunan Sunan Kudus. Darah biru yang mengalir ditubuhnya itu, di satu pihak, kehidupannya yang memperhatinkan baik secara intelektual maupun material di lain pihak sangat menggelisahkan disetiap hari-harinya. Pada puncak kegelisahannya, suatu hari ia memutuskan untuk berguru menuntut ilmu. maka dengan sigap beliau berangkat pada sebuah pesantren di desa Serang. di situlah beliau belajar mengaji dan mengabdikan diri pada gurunya.
Namun Syarqawi rupanya bukan seorang yang cerdas, berbeda dengan murid-muridnya yang lainnya di pesantren tersebut. Namun dengan keuletannya dalam menuntut ilmu selama empat tahun di pesantren, ia hanya bisa membaca surat al-Fatihah dengan cedal. Akhirnya ia berfikir, dengan kebabalan otaknya, ia mustahil bisa menjadi alim. Ia putus asa, bahkan menurut suatu riwayat, ia pernah bermaksud untuk bunuh diri. Kemudian beliau meninggalkan pesantren hendak pulang ke keluarganya dengan harapan yang sirna.
Mendengar penuturannya, Si ibu yang memberinya minum malah tersenyum. Perempuan bijak itu menunjuk ke batu sumur yang berlubang bekas tetesan air. “Batu yang sekeras itu,” katanya, “Bisa berlubang hanya karena tetesan air, apalagi otak manusia”. Tamsil tersebut begitu menggugah, sehingga membuat beliau tidak jadi menyerah. Akhirnya beliau kembali ke pesantren. Dan dengan rendah hati ia menunduk di hadapan takdir: harap lengkap, tekad yang bulat dan do’a yang senantiasa tak mengenal kata mustahil.
Di penghujung abad XX, di sebuah desa di pedalaman Kabupaten Sumenep Madura, sebuah pesantren di penuhi ribuan santri, dengan puluhan ustadz dan kyai. Usianya sudah melewati satu abad. Prestasinya membanggakan, terutama dalam hal mengembangkan santri menjadi kyai yang mumpuni. Muhammad Syarqawi yang merintisnya sejak 1887.
Biografi K.H. Moh. Syarqawi al-Kudusi memang berakhir bahagia. Setelah kembali lagi kembali ke pesantren Sarang dan belajar selama tujuh tahun, di sana ia melanjutkan pendidikannya ke sebuah pesantren di Bangkalan Madura. dari Bangkalan ia merantau ke Mekkah al-Mukarramah. Di tanah suci itu, beliau mengalami perubahan yang nyaris radikal dalam kehidupan intelektualnya. Ia bukan hanya berguru pada ulama-ulama terpandang, tetapi akhirnya juga menjadi bagian mereka. Pendapat-pendapatnya dikutip di dalam kitab-kitab yang ditulis pada masa itu, antara lain kitab Syarh Sullam al-Taufiq karangan sahabatnya, Syeikh Nawawi. Selain itu, ia mengasah spiritualitasnya dengan sering berkhalwat ke gua Hira’.
Di tanah suci itu pula, Syeikh Muhammad Syarqawi bertemu dengan Kyai Gemma, saudagar tua kaya raya dari Prenduan, Sumenep Madura. Ketika Kyai Gemma akan meninggal dunia, ia menyerahkan seluruh hartanya kepada Kyai Syarqawi. Kyai Gemma juga meminta Kyai Syarqawi untuk menikahi istrinya, Nyai Khadijah yang masih muda belia. Lagi-lagi Kyai Syarqawi menunduk dengan rendah hati di hadapan takdir: amanat seorang sahabat tak dapat ditolak. Ia pun menikahi Nyai Khadijah. Kemudian membawanya pulang ke Prenduan, Sumenep Madura.
Masyarakat Prenduan, di tahun 1880-an itu, merupakan masyarakat pedagang yang kosmopolit. Tetapi rata-rata mereka buta agama. Maka dengan kedatangannya Kyai Syarqawi bersama Nyai Khadijah ibarat terbitnya purnama dari balik kegelapan. Ketika beliau tahu bahwa kondisi masyarakat Prenduan seperti itu, maka mulailah Kyai Syarqawi mengajar tauhid kepada para tetangga. salah satu santrinya adalah Kyai Chotib, pendiri cikal bakal pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep Madura.
Pada masa itu, Kyai Syarqawi sebenarnya belum total dalam mengajar. Ia masih bolak-balik dari Prenduan ke Kudus, sebab di kota kelahiranya itu mempunyai ibu, istri, dan anak. Agar tidak terlalu sering pulang ke Kudus dan dapat berkonsentrasi mengajar di Prenduan, Kyai Syarqawi dinikahkan oleh Nyai Khadijah dengan Maria, santrinya yang berasal dari dusun Patapan. Meski demikian, rupanya Kyai Syarqawi memang tak kerasan tinggal di Prenduan. Beliau merasa pengap hidup di tengah masyarakat Prenduan yang borjuis. Kejadian inilah beliau menunduk di hadapan takdir dengan rendah hati: untuk menyebarkan agama Islam, lebih baik ia mencari tempat yang bersahabat, semacam Madinah bagi Rasulullah.
Kyai Syarqawi mencari tempat itu hampir ke seluruh pelosok Kabupaten Sumenep. Akhirnya oleh Kyai Mudarin, santri sekaligus sahabatnya, ditunjukkan kepadanya sebuah lokasi di desa Guluk-guluk, sekitar delapan kilometer ke arah utara desa Prenduan. Karena merasa cocok, beliau pindah bersama istrinya. Di Guluk-guluk itu, di sebuah dusun bernama Lubangsa, ia diberi sebuah kandang kuda oleh sahabatnya. Kyai Syarqawi mengubah kandang kuda itu menjadi langgar tempat mengaji. Dari bilik sederhana itu, di tengah-tengah lebat dan gelapnya belantara dan kejahatan yang merajalela, Kyai Syarqawi memulai sebuah biografi baru: sebuah kandang ilmu yang kelak diberi nama Annuqayah.
Riwayat Kyai Syarqawi, seperti yang telah dituturkan di atas, adalah sebuah riwayat sederhana yang jauh dari lengkap, tentang kerendahan hati seorang pewaris Nabi. Dengan begitu, riwayat ini tidak berpresentasi biografi historis, kronologi dan angka-angka tahun tak dianggap penting di sini. Yang penting adalah bagaimana kita, anak cucu dan santri-santri Kyai Syarqawi bisa menedalani kerendahan hati beliau. karena dengan kerendahan hati, ketekunan dan kerja keras dapat dipelihara, dan hanya dengan ketekunan yang dilandasi kerendahan hati kita bisa mendekati Allah, tujuan akhir kita semua hanya dengan dapat dibina, dan hanya dengan kerukunan, manusia bisa mengkhalifahi Allah di bumi yang fana ini.

2 komentar: