SILSILAH
KYAI HAJI MUHAMMAD SYARQAWI AL-KUDUSI
CIKAL-BAKAL
BERDIRINYA PONDOK PESANTREN
AN-NUQAYAH GULUK-GULUK SUMENEP MADURA
RIWAYAT
KERENDAHAN HATI
Pada pertengahan
abad XIX, seorang pejalan kaki merasa kehausan, tepatnya di jalan antara
Sarang-Kudus, Jawa Tengah. pejalan kaki tersebut hanya ingin melihat sebuah
sumur, dan ada seorang ibu yang menimba di sumur itu, ia pun menghampiri. Diantaranya
dari ibu itu barang seteguk air sekedar untuk membasahi tenggorokannya yang
kering. Tiba-tiba Si ibu sempat berbasa-basi sampai beliau bertanya: dari mana
dan hendak kemana pejalan kaki itu. Dengan nada keluh kesah seorang yang putus
asa, pejalan kaki itupun bercerita tentang perjalanannya.
Pejalan kaki
tersebut bernama Muhammad Syarwawi. Ia seorang kepala rumah tangga di Kudus,
seorang pemimpin di dalam keluarga miskin yang terbelakang. padahal, konon, ia
masih keturunan Sunan Kudus. Darah biru yang mengalir ditubuhnya itu, di satu
pihak, kehidupannya yang memperhatinkan baik secara intelektual maupun material
di lain pihak sangat menggelisahkan disetiap hari-harinya. Pada puncak
kegelisahannya, suatu hari ia memutuskan untuk berguru menuntut ilmu. maka
dengan sigap beliau berangkat pada sebuah pesantren di desa Serang. di situlah
beliau belajar mengaji dan mengabdikan diri pada gurunya.
Namun Syarqawi
rupanya bukan seorang yang cerdas, berbeda dengan murid-muridnya yang lainnya
di pesantren tersebut. Namun dengan keuletannya dalam menuntut ilmu selama
empat tahun di pesantren, ia hanya bisa membaca surat al-Fatihah dengan cedal. Akhirnya
ia berfikir, dengan kebabalan otaknya, ia mustahil bisa menjadi alim. Ia putus
asa, bahkan menurut suatu riwayat, ia pernah bermaksud untuk bunuh diri.
Kemudian beliau meninggalkan pesantren hendak pulang ke keluarganya dengan
harapan yang sirna.
Mendengar penuturannya,
Si ibu yang memberinya minum malah tersenyum. Perempuan bijak itu menunjuk ke
batu sumur yang berlubang bekas tetesan air. “Batu yang sekeras itu,” katanya,
“Bisa berlubang hanya karena tetesan air, apalagi otak manusia”. Tamsil tersebut
begitu menggugah, sehingga membuat beliau tidak jadi menyerah. Akhirnya beliau
kembali ke pesantren. Dan dengan rendah hati ia menunduk di hadapan takdir:
harap lengkap, tekad yang bulat dan do’a yang senantiasa tak mengenal kata
mustahil.
Di penghujung
abad XX, di sebuah desa di pedalaman Kabupaten Sumenep Madura, sebuah pesantren
di penuhi ribuan santri, dengan puluhan ustadz dan kyai. Usianya sudah melewati
satu abad. Prestasinya membanggakan, terutama dalam hal mengembangkan santri
menjadi kyai yang mumpuni. Muhammad Syarqawi yang merintisnya sejak 1887.
Biografi K.H.
Moh. Syarqawi al-Kudusi memang berakhir bahagia. Setelah kembali lagi kembali
ke pesantren Sarang dan belajar selama tujuh tahun, di sana ia melanjutkan
pendidikannya ke sebuah pesantren di Bangkalan Madura. dari Bangkalan ia
merantau ke Mekkah al-Mukarramah. Di tanah suci itu, beliau mengalami perubahan
yang nyaris radikal dalam kehidupan intelektualnya. Ia bukan hanya berguru pada
ulama-ulama terpandang, tetapi akhirnya juga menjadi bagian mereka. Pendapat-pendapatnya
dikutip di dalam kitab-kitab yang ditulis pada masa itu, antara lain kitab Syarh Sullam al-Taufiq karangan
sahabatnya, Syeikh Nawawi. Selain itu, ia mengasah spiritualitasnya dengan
sering berkhalwat ke gua Hira’.
Di tanah suci
itu pula, Syeikh Muhammad Syarqawi bertemu dengan Kyai Gemma, saudagar tua kaya
raya dari Prenduan, Sumenep Madura. Ketika Kyai Gemma akan meninggal dunia, ia
menyerahkan seluruh hartanya kepada Kyai Syarqawi. Kyai Gemma juga meminta Kyai
Syarqawi untuk menikahi istrinya, Nyai Khadijah yang masih muda belia.
Lagi-lagi Kyai Syarqawi menunduk dengan rendah hati di hadapan takdir: amanat
seorang sahabat tak dapat ditolak. Ia pun menikahi Nyai Khadijah. Kemudian membawanya
pulang ke Prenduan, Sumenep Madura.
Masyarakat
Prenduan, di tahun 1880-an itu, merupakan masyarakat pedagang yang kosmopolit.
Tetapi rata-rata mereka buta agama. Maka dengan kedatangannya Kyai Syarqawi
bersama Nyai Khadijah ibarat terbitnya purnama dari balik kegelapan. Ketika beliau
tahu bahwa kondisi masyarakat Prenduan seperti itu, maka mulailah Kyai Syarqawi
mengajar tauhid kepada para tetangga. salah satu santrinya adalah Kyai Chotib,
pendiri cikal bakal pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep Madura.
Pada masa itu, Kyai
Syarqawi sebenarnya belum total dalam mengajar. Ia masih bolak-balik dari Prenduan
ke Kudus, sebab di kota kelahiranya itu mempunyai ibu, istri, dan anak. Agar tidak
terlalu sering pulang ke Kudus dan dapat berkonsentrasi mengajar di Prenduan,
Kyai Syarqawi dinikahkan oleh Nyai Khadijah dengan Maria, santrinya yang
berasal dari dusun Patapan. Meski demikian, rupanya Kyai Syarqawi memang tak
kerasan tinggal di Prenduan. Beliau merasa pengap hidup di tengah masyarakat Prenduan
yang borjuis. Kejadian inilah beliau menunduk di hadapan takdir dengan rendah
hati: untuk menyebarkan agama Islam, lebih baik ia mencari tempat yang
bersahabat, semacam Madinah bagi Rasulullah.
Kyai Syarqawi mencari
tempat itu hampir ke seluruh pelosok Kabupaten Sumenep. Akhirnya oleh Kyai
Mudarin, santri sekaligus sahabatnya, ditunjukkan kepadanya sebuah lokasi di
desa Guluk-guluk, sekitar delapan kilometer ke arah utara desa Prenduan. Karena
merasa cocok, beliau pindah bersama istrinya. Di Guluk-guluk itu, di sebuah
dusun bernama Lubangsa, ia diberi sebuah kandang kuda oleh sahabatnya. Kyai
Syarqawi mengubah kandang kuda itu menjadi langgar tempat mengaji. Dari bilik
sederhana itu, di tengah-tengah lebat dan gelapnya belantara dan kejahatan yang
merajalela, Kyai Syarqawi memulai sebuah biografi baru: sebuah kandang ilmu
yang kelak diberi nama Annuqayah.
Riwayat Kyai
Syarqawi, seperti yang telah dituturkan di atas, adalah sebuah riwayat sederhana
yang jauh dari lengkap, tentang kerendahan hati seorang pewaris Nabi. Dengan begitu,
riwayat ini tidak berpresentasi biografi historis, kronologi dan angka-angka
tahun tak dianggap penting di sini. Yang penting adalah bagaimana kita, anak
cucu dan santri-santri Kyai Syarqawi bisa menedalani kerendahan hati beliau.
karena dengan kerendahan hati, ketekunan dan kerja keras dapat dipelihara, dan
hanya dengan ketekunan yang dilandasi kerendahan hati kita bisa mendekati
Allah, tujuan akhir kita semua hanya dengan dapat dibina, dan hanya dengan
kerukunan, manusia bisa mengkhalifahi Allah di bumi yang fana ini.
can sapah?
BalasHapustdk da yg lucu.....td cm brcnda.....
Hapusq cm mnt saran ja, g lbh, syukron.