PERAN TAREKAT
TIJANIYAH
TERHADAP PENGIKUTNYA
DI DESA PRENDUAN SUMENEP MADURA
A.
Pendahuluan
Salah
satu ciri mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu-Indonesia adalah nuansa
mistik yang begitu kuat di kalangan Muslim. Karena Islamisasi Indonesia dimulai
ketika tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Dengan ini,
muncullah ikatan ketarekatan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan sufi
orders, secara relatif meupakan klimaks dari perkembangan pengamalan dan
praktek ajaran tasawuf. Namun pada abad ke-13, tarekat sedang ada di puncak
kejayaannya.

Para
ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan menggambarkan langkah-langkah yang
membawa kepada ke hadirat Tuhan sebagai “jalan”, karena konsep syariat,
tarekat, dan hakikat mempunyai keterkaitan satu sama lain. Yang mana tarekat
mempunyai arti jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan
ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan
tabi\in, turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai. Secara khusus
tarekat mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah,
dzikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi
dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini.
Pada
abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat adalah sebuah metode psikologi moral untuk
bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Sesudah
abad ke-11 M, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tatacara latihan
spiritual tertentu bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan
Muslim. Setelah itu, banyaklah bermunculan tarekat-tarekat yang meperluas
ajarannya ke berbagai umat dunia.
Munculnya
ikatan-ikatan ketarekatan ini telah menyebabkan perubahan besar dalam
pengamalan tasawuf. Tasawuf yang semula merupakan gerakan individual dan hanya
bisa dinikmati oleh kalangan elite keruhanian, berubah menjadi gerakan massal
dari kaum Muslimin.
Posisi
Pulau Madura yang di ujung utara Jawa Timur memang sangat dikenal sebagai basis
kekuatan pesantren. Keberadaan pesantren di wilayah yang terdiri dari empat
kebupaten ini sangat dominan dalam membentuk warna masyarakat yang “Islami”.
Kita jangan heran jika melihat konstruksi sosial Madura sangat homogen kultur
santri, dan kultur Keislaman yang berupa tarekat. Islamisasi Madura yang
dikomunikasikan oleh para kiai kepada penduduk setempat kini telah mencapai
keberhasilan yang luar biasa hingga ke pelosok desa. Bahkan dengan berbagai
ajarab tarekat dalam setiap pesantren dan desa, perkembangan Islamisasi dapat
kita saksikan saat ini, mulai dari identitas fisik hingga tata perilaku
masyarakat setempat.
Pertanyaan
yang kemudian muncul, bagaimana peran Tarekat Tijaniyah terhadap masyarakt desa
Prenduan Sumenep khususnya demi kepentingan masyarakat agar lebih mendekatkan
diri lagi kepada Allah. Nah peran tarekat ini, sangat penting bagi masyarakat
desa Prenduan khususnya, karena sosok kiai sesepuh dalam tarekat tersebut,
dapat dijadikan figur yang baik bagi masyarakatnya. Bahkan, apa yang
dikatakannya bisa di ikutinya tanpa ada suruhan dari pemimpin tarekatnya.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah dalam tulisan ini adalah:
1.
Adakah
pengertian tentang arti tarekat Tijaniyah?
2.
Sejarah
berdirinya tarekat Tijaniyah di Desa Prenduan?
3.
Seperti apa
ritual-ritual dalam tarekat Tijaniyah?
C.
Kerangka Teori
Sejarah
merupakan konstruk dari bangunan yang disusun oleh manusia di masa lampau.
Sejarah bekerja atas dokumen, dan tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarah.
Begitulah realita sejarah. Oleh karena itu, tidak setiap peristiwa di masa
lampau bisa dikatakan sebagai sejarah dalam artian yang sesungguhnya, tetapi
ketersediaan dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai sebuah kajian (actually
event) di masa silam. Teori digunakan sebagai key for understanging
atau kunci mengerti. Dalam sejarah, kajian mengenai metodelogi adalah wajib
hukumnya dan suatu keharusan yang tidak dihindari. Setiap teori yang digunakan
oleh seorang sejarawan akan memformulasikan dirinya menjadi sebuah apporoachment
atau pendekatan. Maksudnya Dalam penelitian ini, merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan kesejarahan (Historycal Approach).
Adapun tehnik analisa sebagai alat analisis menggunakan tehnik analisis
deskriptif, yakni menganalisa semua hasil eksplorasi pembahasan. Optimalisasi
pendekatan inilah yang harus dikejar dan dikuasai oleh seorang sejarawan.
Dalam
ilmu pengetahun, terdapat dua macam paradigma, ilmiah dan alamiah. Paradigma
ilmiah bersumber dari pandangan positivisme, sedangkan paradigma alamiah
bersumber pada pandangan fenomenologis.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan teori positivisme
sesuai dengan alasan yang dikemukakan di atas.
Paradigma
positivistik, disebut juga dengan paradigma fakta sosial. Dalam paradigma ini,
fenomena sosial dipahami sebagaimana fenomena alam, cara kerja ilmu sosial
menggunakan metode ilmu alam atau disebut fisika sosial. Dalam mengkaji
fenomena sosial, digunakan pendekatan August Comte. Fenomena sosial dipahami
dari perspektif luar (other perspective) berdasarkan teori-teori yang
ada. Penelitian dengan menggunakan paradigma positivistik ini biasanya
bertujuan untuk menjelaskan (explanation) mengapa suatu peristiwa
terjadi, bagaimana frekuensinya (intensitasnya) proses kejadiannya, hubungan
antar variabel, rekaman perkembangan, deskripsi, bentuk dan polanya.
D.
Pemaparan
Materi
Sejarah
bahasa tarekat berasal dari bahasa Arab tariqah yang berarti al-Khat
fi al-Syai’ (garis sesuatu), al-Shirah (jalan). Tarekat juga berarti
jalan atau cara tertentu untuk mencapai tingkatan-tingkatan dalam (maqamat)
rangka mendekatkan diri kepada Allah. Melalui cara ini seorang penganut ajaran
tarekat (sufi) dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata (fana fi
al-Haq). Dengan demikian tarekat berarti melakukan olah batin, dengan
latihan-latihan spiritual (riyadloh) dan perjuangan yang sungguh-sungguh
(mujahadah) di bidang olah kerohanian.
Pengertian
tarekat sebelum abad VI H hanya dapat diartikan sebagai suatu aliran dalam
suatu ajaran tasawuf, misalnya dikenal dengan aliran tasawuf Abu Yazid
al-Bustami yang disebut tariqah al-Tayfuriyyah, aliran tasawuf al-Junayd
al-Baghdadi yang disebut dengan tariqah al-Junaydiyah, aliran tasawuf
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Salim al-Saghir yang disebut tariqah
al-Salimiyah dan aliran tasawuf al-Ghazali yang disebut tariqah
al-Ghaziliyyah, tetapi pengertian tersebut tidak dapat disamakan dengan
pengertian tarekat setelah timbulnya aliran tarekat pada abad-abad
perkembangannya, yang diawali dengan abad VI H.
Awal permulaannya tarekat dengan ajaran-ajarannya dilalui oleh sufi
secara individual. Akan tetapi seiring dengan perjalanannya waktu yang terus
berputar tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun secara
kolektif. Kemudian dalam perjalanan yang lebih lanjut kumpulan-kumpulan orang
ini mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan
peraturan-peraturan sendiri-sendiri. Diantaranya tarekat dalam sejarah adalah
tarekat Qadiriyah di Baghdad Iraq. Tarekat ini dinisbahkan
(dihubungkan) dengan nama pendirinya yaitu Muhyidin Abdul Qadir Ibn Abi Shalih
Janki Daousti (W. 1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa’iyah di
Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (W. 1182 M), tarekat Sadzaliyah
di Maroko yang didirikan oleh Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Sadzily (W.
1228 M). di Mesir berdiri tarekat Badawiyyah atau Ahmadiyah yang
didirikan oleh Syekh Ahmad Badawi (W. 1276 M). sementara di Asia Tengah berdiri
tarekat al-Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin
Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandi (W. 1317 M). selain itu Bektasyiah di
Turki, al-Khalwatiyyah di Persia, al-Syanusiyyah di Libya, al-Syatariyyah
di India, al-Tijjaniyah di Afrika Utara.
Adapun tata cara pelaksanaan tarekat antara lain:
Ø Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta
menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi
hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah
ditetapkan Allah.
Ø Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak
dan irama tertentu.
Ø Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu
diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabbana.
Ø Menari, yatiu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan
bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
Ø Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir
yang tertentu.
1.
Pengertian
Tarekat Tijaniyah
Syaikh Ahmad bin Muhammad Al Tijani ini, ulasan
secara singkat adalah sebagai berikut: At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150
H/1737M di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah
dapat menghafal al-Qur'an dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain,
sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176,
dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali
ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya
ke Tilimsan selama lima tahun.
Sedangkan Tarekat
Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani
pada tahun (1737-1815), dan beliau di kenal sebagai salah seorang tokoh dari
gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya
terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman
secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk
menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik
dan benar dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, terlebih dahulu harus
difahami tentang dua hal yang melandasi ajaran tasawufnya. Lantaran penilaian dan pengertian yang didapat merupakan pengantar
untuk mengetahui dasar-dasar ajaran tasawufnya dengan benar. Dua hal dimaksud
adalah :
Ø
Tentang
landasan bangunan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Dasar-dasar
tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf,
yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad
al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf, dimaksud dalam ajaran thariqatnya.
Pengkajian
menyangkut tasawuf falsafi, bukan sesuatu hal yang sederhana, sebab pengkajian
ini sudah masuk dalam wilayah pemikiran; dan kaum thariqat, terlebih ummat
Islam pada umumnya yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki wilayah
ini sangat terbatas. Keterbatasn ini, ditunjukan dalam sejarah pekembangan
pemikiran Islam khusunya bidang tasawuf, banyak ummat Islam, menilai, bahwa
tasawuf falsafi dianggap sebagai pemikiran yang menyimpang dari ajaran syari’at
Islam.
Dasar-dasar
tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam
Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm.
Dua hal ini telah dibahas oleh sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn
al-Farid dan ibn Arabi. Tentang pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani
mengembangkan dalam amalan shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih
dan shalawat jauhrat al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini
disamping kontropersial, ia juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan
apabila Syekh Ahmad al Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang,
termasuk muridnya yang ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan
thariqatnya. Untuk itu Syekh Ahmad al-Tijani menegaskan :
إِذَا
سَمِعْهتُمْ عَنِّى شَيْأً فَزِنُوْهُ بِمِيْزَانِ الشَّرْعِ فَمَا وَافَقَ
فَخُذُوْهُ وَمَاخَالَفَ فَاتْرُكُوْهُ
Artinya : “Apabila kamu mendengar
apa saja dariku, maka timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia
cocok, kerjakanlah dan apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”.
Ø Tentang Rumusan Ajaran Tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani.
Landasan
tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan
tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya:
a)
Tentang
definisi tasawuf menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah:
إِمْتِثَالُ اْلاَوَامِرِ وَاجْتِنَابُ النَّوَاهِى فِى الظَّاهِرِ
وَالْبَاطِنِ مِنْ حَيْثُ يَرْضَ لاَمِنْ حَيْثُ تَرْضَ
Artinya : “Patuh mengamalkan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai
dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”.
Melalui
rumusan definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada
dasarnya, ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh,
sebagai sarana menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam
tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah
batin, adalah sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab
pada bagian lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut
dalam qalbu para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sebagai
wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at, ia
mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti ajarannya adalah
memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam mengomentari
landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam
ahzab wa awrad, mengatakan:
والاصل الذى اسّس شيخنارصى الله المحا فظة على الشريعة علماوعملا.
Artinya: “Landasan pokok Thariqat
Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia,
baik ilmiyah maupun alamiyah”
Sedangkan
KH. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok Thariqat tijaniyah adalah
memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan dengan amaliah kalbu
seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha (rendah hati).
b)
Tentang
penegasan ajaran tasawufnya
Sebagai
wujud penekanan keterikatan ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani
menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan
sunnah. Lebih tegas ia menyatakan:
وَلَنَا قَاعِدَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهَا تُنْبِئُ جَمِيْعَ اْلأُصُوْلِ
اَنَّهُ لاَحُكْمَ اِلاَِّللهِ وَرَسُوْلِهِ وَلاَعِبْرَةَ فِى الحُكْمِ اِلاَّ
بِقَوْلِ الله ِوقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Artinya: “Kami hanya mempunyai
satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya
tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam
hukum kecuali firman Allah swt, dan sabda Rasul-Nya.
Penekanan
Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan ajarannya
terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah).
2.
Riwayat Hidup
Al-Tijani
Tarekat
Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad Al-Tijani, bin Muhammad bin
Muhtar bin Ahmad, bin Muhammad, bin Salim, bin Ahmad yang bergelar Al-Alwaany,
bin Ahmad, bin Aly, bin Abdullah, bin Abbas, bin Ahd. Jabbar, bin Idris, bin
Ishaq, bin Aly Zainal-Abidin, bin Ahmad, bin Muhammad An-Nafsu Az-Zakiyah, bin
Abdullah, bin Hasan Almutsanna, bin Al-Hasan Alsibthi, bin Aly bin Abi Thalib
dari Saiyidah Fathimah Az-Zahra’ putri kesayangan Saiyidul Wujud Nabi Muhammad
Saw. Jadi beliau adalah dzurriyatul Rasul, bangsa Saiyid/habib dari keturunan
Saiyidina Hasan Assibthy (Alhasaniy).( Fauzan Fathullah; 1985.: 52 ).
Beliau dilahirakan pada tahun 1150 H/1737 M
di ‘Ain Madi dibagian selatanAljazair. sedang nama Tijani adalah dari Tijanah
dari keluarga ibunya. Dia berafiliasi dengan banyak ordo dan seorang muqaddam Khalwatiyyah dalam ajaran
tentang suksesi mistik. Dan dari tarekat Syadziliyyah untuk kebanyakan
ajaran-ajarannya. Bahkan tarekat Muhammadiyah digunakan untuk mengesahkan
ekslusivism Tijaniyah.
Al-Tijani
anak dari Muhammad bin Mukhtar, Ia seorang pemimpin agama Islam yang terkenal
‘alim, terkenal wara’ dalam segala hal ihwalnya selalu berpegang teguh kepada
Sunnah Rasulullah Saw dan ibunya seorang perempuan solihah yang muthi’ah/taat
kepada suaminya. Ia bernama Saiyidah ‘Aisyah binti Abdullah bin Al-Samsy Attijany.
Di samping dia membantu, mendorong dan memberi semangat suaminya dalam
melaksanakan cita-cita agama juga seorang ibu rumah tangga yang tekun
melaksanakan ibadah zikir, membaca shalawat dan banyak mengerjakan
sholatul-lail. Kedua orang tuanya
wafat bersama terserang penyakit tha’un pada tahun 1166 H.
Sejak
kecil sudah tampak tanda-tanda keistimewaan dan keluarbiasaannya yang
menunjukkan dia akan menjadi orang besar. Untuk menjaga agar jiwanya tenang dan
selamat dari godaan-godaan syaithan, karena diasuh oleh kedua orang tuanya
dalam rumah tangga yang ber-syiarkan agama Islam, baik tentang ubudiyah,
akhlaqul-karimah ilmu dan lain sebagainya. Kedua orang tuanya, beliau dikawinkan setelah menginjak usia
baligh. Ahmad Tijani menikahi wanita Perancis itu pada tahun 1870 M dialah
orang muslim pertama di Aljazair yang menikahi wanita non-muslimah.
Ia
mulai belajar kepada orang tuanya dan juga kepada beberapa orang guru lain di
daerah kelahirannya. Ia hafal Alquran dengan
mantap dan amat baik sekali dalam
qiraat Nafi’. Setelah hafal Alquran beliau tekun menuntut ilmu,baik ilmu ushul,
ilmu furu’ dan ilmu adab. Ketika ayahnya meninggal dunia ia sudah berumur enam
belas tahun. Dan sejak itu ia mulai meneruskan pelajaran di luar daerah, yaitu
kedaerah Abyad pada tahun 1176 H untuk beberapa tahun dan kemudian kembali
kedaerah kelahirannya. Mulai tahun 1181 ia meneruskan pelajarannya ke Telemsan hingga tahun 1186. Kemudian
melanjutkan lagi perjalananya ke hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan
meneruskan pelajarannya di Mekkah dan Madinah. Dengan kecerdasan otaknya dan
ketajaman akal pikirannya, maka dalam masa yang begitu pendek beliau telah
menguasai dengan sangat mahir sekali bermacam-macam cabang ilmu sehingga dalam
usia yang masih muda beliau sudah terkenal kealimannya, sudah mengajar dan
memberi fatwa yaitu sebelum berusia 20 tahun.
Dalam
pengembaraannya itu, ia mengkaji ilmu-ilmu keislaman termasuk di dalamnya tasawuf dan
tarekat Beliau mempelajari dan mengamalkan tasawuf, mempelajari ilmu asrar dan
kewalian. Dan pada tahun 1171 H. ia pergi berziarah dan mencari guru tasawuf
sampai di Faas dan gunung Zabib. Di sini beliau berjumpa seorang Waly kasyaf
yang bernama Muhammad bin Hasan Al-Waanajaly, ia berkata انك تدرك مقام
الشاذلى (kamu akan memperoleh kedudukan Imam Al-Syadzily)
dan memberitahukan akhir kedudukan dan menyuruhnya kembali ke ‘Ainu Maadly.
Begitu pula, tarekat yang beliau masuki dan mengamalkannya seperti Qadiriyah, Taibiyah,
Khalwatiyah, Sammaniyah dan lain-lain. Ia belajar langsung kepada Syekh Samman
untuk tarekat Sammaniyah dan mendapat berbagai rahasia keruhanian.
Setelah
bermukim di Mekkah dan Madinah, ia meneruskan pengembaraannya mencari ilmu ke
Kairo dan menetap di sini untuk beberapa masa. Menurut riwayat, ketika ia
berjalan-jalan di Kairo itu, ia berjumpa dengan seorang syeikh yang baru
dikenalnya dan dalam perbincangan yang panjang ia mendapat saran dari syeikh
ini untuk kembali ke negerinya untuk mendirikan tarekatnya sendiri. Atas saran syeikh itu, ia kembali ke
Fes dan kemudian ia mengunjungi Telemsan.
Dalam pencarian hakikat, Al-Tijani mengadakan khalwat khusus dengan amal
intensif di Bu Samgun daerah oase di selatan Geryville di Aljazair. Di tempat
khalwatnya inilah akhirnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan
mengajarinya beberapa wirid, istighfar dan salawat. Pada pertemuan ini
Rasulullah memberi izin kepadanya
untuk mendirikan tarekatnya sendiri dan menyebarkannya kepada masyarakat.
Rasulullah berkata kepadanya “Engkau tidaklah berutang budi kepada syekh
tarekat mana pun, karena akulah pembimbingmu dalam tarekat”. Kemudian dari Aljazair, ia pindah ke
Maroko pada tahun 1213H/1798 M dan menetap di kota Fes sambil membangun pusat
tarekatnya dan ia tetap di sini sampai meninggal dunia pada 17 Syawal 1230 H
atau 22 September 1815 M. pada usia 80 tahun.
Selama
hidupnya, Al-Tijani mengkhususkan perhatian pada tasawuf dan pengembangan
tarekatnya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, berkali-kali ia diajak
oleh penguasa untuk bergabung dalam politik namun ia menolak. Meskipun demikian,
pihak penguasa Maulay Sulaiman tetap mencintainya dan memberi berbagai hak
istimewa kepadanya. Al-Tijani tidak meninggalkan karya tulis. Beberapa
murid-muridnya yang menulis, baik berkenaan dengan kehidupan al-Tijani maupun
ajaran-ajaran tarekatnya. Hal itu dapat dilihat dalam Jawahir al-Ma’any Wa Bulugh al-Amany Fi Faidhi
Sayyidy Abi Abbas al-Tijany. Muridnya
yang lain menulis tentang beberapa ajaran tarekatnya dalam Kasyfu al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a al-Tijani
min al-Ahzab.
Sebagaimana
telah diterangkan di atas, tarekat Tijaniyah berasal dari Rasulullah langsung diberikan kepada Al-Tijani,
karena itu silsilah tarekatnya
berawal dari Rasulullah kemudian kepada Al-Tijani dan terus kepada keturunan
Al-Tijani sendiri dan kepada keturunan Ali bin Isa.
3.
Sejarah Masuknya Tarekat Tijaniyah Ke Indonesia
Ada 2 fenomena yang mengawali gerakan
tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu pertama, kehadiran Syaikh Ali bin
Abdullah at-Thayyib, dan kedua, adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di
Pesantren Buntet Cirebon. Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia
pada awal abad ke-20 (antara 1918 dan 1921 M). Cirebon merupakan tempat pertama
yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah. Perkembangan tarekat Tijaniyah di
Cirebon mulanya ber pusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon.
Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas
sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh
Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya. Atas perintah KH Abbas pada
1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin tarekat Tijaniyah dan
bermukim disana selama 3 tahun. Pada bulan Muharram 1346 H / Juli 1927 M. KH
Anas kembali pulang ke Cirebon. Kemudian, pada bulan Rajab 1346 H / Desember
1927, atas izin KH Abbas kakaknya, KH Anas menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH
Anas-lah yang merintis dan memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H
Anas mengambil talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula
menganut tarekat Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada
tarekat Tijaniyah dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah
at-Thayyib yang juga mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.
Muktamar
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke 3 tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa tarekat
Tijaniyah adalah Muktabarah dan sah. Diperkuat lagi dengan Muktamar NU ke VI
tahun 1931 di Cirebon yang intinya tetap memutuskan bahwa Tijaniyah adalah
Muktabaroh. Jadi ditinjau dari keputusan NU maka tarekat Tijaniyah sudah ada di
Indonesia sebelum tahun 1928, karena jikalau belum hadir di Indonesia maka
tidak mungkin NU akan membahas dalam Muktamarnya.
Ulama
yang paling mula menganut tarekat Tijaniyah berdasarkan sejarah adalah K.H Anas
bin Abdul Jamil (Buntet) yang memperoleh ijazah Tijaniyah dari Syaikh Alfahashim
di Madinah dan juga memperolehnya dari Syaikh Ali Thoyyib, kemudian gurunya
Syaikh Ali Thoyyib datang ke Indonesia dan menyebarkan tarekat Tijaniyah.
Diantara ulama Indonesia yang memperoleh ijazah dari Syaikh Ali Thoyyib adalah:
1.
K.H Nuh bin Idris
(Cianjur)
2.
KH Ahmad Sanusi
bin H.Abdurrahim (Sukabumi)
3.
KH Muhammad
Sujai (Gudang-Tasikmalaya)
4.
KH Abdul Wahab
Sya’rani (Jatibarang Brebes)
5.
KH Abbas, KH
Anas dan KH Akyas (Buntet Cirebon)
6.
KH Usman
Dhomiri (Bandung)
7.
KH Badruzzaman
(Garut)
Tarekat
tijaniyah di pulau jawa, badul muhid mu’thi . Timbulnya terekat ini di jawa
sebenarnya didirikan oleh seorang arab dari madinah bernama ali bin abd. allah
al-tayyib al-azhari tasikmalaya. Tarekat ini mengajarkan latihan sederhana dari
wirid 2 kali sehari, wazifah setiap hari, haylalah pada hari jum’at. Wirid tersebut terdiri dari kata
astagfirullah 100 kali. Selawat kepada nabi (allahumma sholli ala syayyidina
muhammad) 100 kali. Wirid ini diucapkan pada pagi hari dan sore (setelah shalat
subuh dan shalawat waktu asyar sampai isya’ ). Wazifah terdiri dari bacaan
istigfar 30 kali, shalawat nabi 50 kali, tahlil 100 kali, dan doa jauharatul
kamal 12 kali.
Wazifah
dilakukan sehari semalam satu kali dan dilakukan pada malam hari. Haylalah
(tahlil) dilakukakn pada hari jum’at terdiri dari dzikir la illa haillahu atau
allahu allahu, atau keduanya yang jumlahnya tidak ditentukan. waktu
melaksanakannya setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam. Syarat-syarat melakukan latiha ini ditetapkan
misalnya badan, pakaian, dan tempatnya. Auratnya harus tertutup, mengucapkan
niat, dan menghadap kiblat, serta menghayalkan pendiri tarekat pada waktu
wirid, meminta bantuannya, dan harus mengerti kata-kata yang diucapkannya.
Selain
ketentuan tersebut, murid tijaniyah
harus tetap melakukan kewajiban shalat lima waktu bersama-sama
(berjemaah) bila mungkin dan menjalankan perintah agama lainnya. Antara sesama
anggota harus ada hubungan erat dalam
kecintaan dan tolong menolong . dilarang keras bergaul dengan laki-laki yang
mempunyai pengaruh agama di luar tarekat dan pada umumnya murid harus mengikuti
jejak gurunya dalam kebencian dan persahabatan.
Hadirnya
tarekat tijaniyah, tarekat yang lama menjelek-jelekkan tarekat ini. Adapun inti
permusuhan tersebut berpangkal pada ajaran pendiri tarekat ini yang menyatakan
bahwa siapa yang mengucapkan wiridannya secara teratur sampai ajalnya dengan
tabah, akan masuk surga tanpa di hizab dan di siksa. Keberatan lain dalam
tarekat ini adalah bahwa melarang pengikutnya menjadi anggota tarekat lainnya.
Akhirnya pertentangan antar aliran terjadi sana sini.
4.
Masuknya
Tarekat Tijaniyah ke Prenduan
Masuknya
Tarekat ini, berawal dari kurang lebihnya tiga tahun lamanya Kyai Djauhari
berguru kepada Kyai Ilyas untuk mentahqiq beberapa ilmu yang sudah dikuasai sebelumnya,
terutama tauhid dan ilmu alat. Selain itu beliau menunjukkan kecerdasannya
sehingga mendapat perhatian khusus dari Kyai Ilyas yang masih sepupunya. Selain
itu di Sidogiri, beliau memperdalam ilmu tasawuf dan ilmu hal yang kelak sangat
berpengaruh dan berbekas sangat dalam pada jiwanya. Di Sidogiri ini beliau
berkumpul dengan K. Abdul Majid Bata-bata dan makam bersama di tempat Nyai
Suhriya selama dua tahun, kemudian terpaksa harus pulang karenanya ayah beliau
telah dipanggil ke hadirat Ilahi. Demikianlah Kyai Djauhari melewati masa
remajanya dengan memperdalam ilmu dan menambah bekal hidup dan kehidupan yang
bakal dilalui nanti di desa Prenduan.
Ketika
beliau pulang ke tanah Prenduan, beliau disibukkan dengan melayani tamu-tamunya
yang mencari berkah dan minta didoakan dalam berbagai persoalan aneka ragam
problem. Mulai dari hal-hal yang paling tetek bengek hingga serius, dari yang
mencari jalan keluar, meminta pertimbangan sampai mendapat keturunan ataupun
penyembuhan dan masalah jodoh serta problem rumah tangga. Kealiman beliau
sangat terkenal di kalangan masyarakat Prenduan, bahkan beliau mendirikan
Masyumi, namun dibubarkan oleh beliau. Hal ini tujuannya agar kadernya tidak
aktif dalam dunia politik.
Selain
itu beliau mencoba untuk menerapkan apa yang
beliau peroleh selama di Sidogiri dan di Makkah Al-Mukarramah. Maka
mulailah beliau mengarahkan para pemuda yang menekuni “black magic” dan
membudayakan tarekat memburu wangsit dan mencari “kanuragan” yang oleh beliau
dinilai sebagai bermain-main di tepi jurang kemusyrikan. Hal ini dapat di
antisipasi dengan mencarikan alternatif
lain yang lebih Islami, yakni dengan cara menghakikatkan syariat melalui
tarekat menuju makrifat. Dalam perjuangannya beliau melalui jalur tasawuf
inipun banyak hambatan dan tantangan yang harus beliau hadapi baik yang datang
dari dalam sendiri maupun dari luar ikhwan Tijaniyah.
5.
Ritual-ritual
yang ada dalam Tarekat Tijaniyah
Syekh
Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw., telah wujud sebelum
makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber semua Nabi sebelum Nabi
Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi
Muhammad saw., menurut Syekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah.
Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam martabat
al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan orang
shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini berbeda-beda sesuai
dengan maqamnya masing-masing. Dalam hal ini Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan:
طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية ادراكهم قلبه
صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم عقله صلى الله عليه وسلم وطائفة وهم
الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى الادراك فادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم.
Artinya: “Diantara wali Allah ada
yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga yang sampai pada tingkat
hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), dan
maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya;
tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”
Rumusan
mengenai Nur Muhammad (haqiqat al-Muhammadiyyah) ditegaskan melalui dua
shalawat yang dikembangkan dalam wirid thariqat tijaniyah yakni shalawat fatih
dan shalawat Jauharat al-Kamal.
Diantara
rukun wirid wadzifah di Tarekat Tijaniyah adalah membaca shalawat fatih
sebanyak 50 kali. Berikut teks bacaan shalawat fatih:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ
لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى
اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ
الْعَظِيْمِ.
Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah
rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang
terkunci (tertutup), dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang
terdahulu, dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan dia yang
memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada
keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah
kandungan shalawat Fatih, walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad SAW,
mencerminkan pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh
tasawuf Filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani.
Makna
al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
1. Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala
yang maujud di alam.
2. Nabi muhammad sebagai
pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi para makhluk di alam.
3. Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan
makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
1. Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
2. Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
3. Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.
Pemikiran-pemikiran
(faham) tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya tentang
makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatim li ma Sabaq. Syekh Ahmad al-Tijani
mengatakan bahwa al-Fatih li ma Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad
merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud yang ada di alam. Alam pada
mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun).
Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan
alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”.
Karena wujud Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan
sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di
alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Muhammad, Alah tidak akan mencipta segala
sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”.
Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal
maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad
(nur Muhammad).
Nur Muhammad
telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw., ketika tiu Jabir bin Abdullah
bertanya kepada Nabi Muhammad saw., tentang apkah yang paling awal diciptakan
oleh Allah Swt., Nabi menjawab:
ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك
Artinya : “Wahai Jabir,
sesungguhnya Allah swt., sebelum menciptakan sesuatu terlebih dahulu menciptakan
nabimu (nur Muhammad).”
Selain
istilah nur Muhammad digunakan juga istilah lain sebagai penegas keberadaannya,
yaitu ruh Muhhamad, nur, al-‘Aqju awwal dan al-Haba. Dari ruh Muhammad ini
kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. ruh alam berasal dari ruh
Muhammad, ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan.
al-Haqiqat al-Muhammadiyyah adalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan
Allah dari hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu
yang maujud yang diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al Muhammadiyyah
ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai pembuka, Nabi
Muhammad juga sekaligus sebagai penutup kenabian dan risalah. Oleh karena itu,
tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga
sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah
al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini. Kandungan
shalawat fatih mengenai pemikiran Syekh Ahmad Al-Tijani tentang al-Haqiqat
Muhammadiyyah lebih tampak lagi dalam shalawat jauharat al-kamal.
E.
Analisa Teori
Teori
Herbert Spenser menyatakan bahwa tujuan
hidup bagi tiap-tiap manusia ialah menyesuaikan diri kepada panggilan hidup
dalam masyarakat sekitarnya yang selalu menghadapi perbaikan dan kemajuan
dengan jalan evaluasi.
Ditambah lagi dari ungkapan-ungkapan yang ada di dunia pondok pesantren
(ungkapan religious) dan para tokoh tarekat yang manyatakan bahwa: “Hidup
seseorang atau sekelompok hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari
esok harus lebih baik dari hari ini” (al-Hadits). Pernyataan tersebut
menyatakan bahwa apabila seseorang ingin hidupnya bahagia dan tidak sengsara di
kemudian hari, dia harus dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya serta
berusaha setahap demi setahap sekuat tenaga mencapai tujuan kehidupan yang
dicarinya sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
Kelahiran
Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai
wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum telah mencapai
melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum diangkat
secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak usia 7 tahun
telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau. Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang didirikan oleh Abul Abbas Ahmad
bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari
gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis
sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at
dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad
SAW sebagai ganti untuk
menyatu dengan Tuhan.
Salah satu ciri khasnya di tarekat Tijaniyah
adalah Sholawat Fatih yang merupakan kebanggaan tarekat Tijaniyah, adapun
lafadz sholawat Fatih ini adalah
اللَّهُمَّ
صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أَغْلَقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا
سَبَقَ, نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمَسْتَقِيْمِ
وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارُهُ عَظِيْمٌ
Artinya:
"Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad yang membuka
apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran
dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada
keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”
Para
pengikut tijaniyah berkeyakinan bahwa sholawat fatih ini adalah firman Allah
yang disampaikan Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam kepada
Syekh Ahmad bi Muhammab At Tijaniyah dalam keadaan mimpi dan juga dalam keadaan
sadar dan keutamaan satu kali membaca sholawat fatih ini adalah 6 kali khatam
Al-Qur’an.
Adapun
analisa dari peranan Tarekat Tijaniyah
bagi pengikut dan masyarakat desa Prenduan adalah mengajarkan ajaran tarekat
yang sederhana dan relatif mudah. Zikir tarekat ini ada yang lazim/biasa
1.
Membaca
Istigfar seratus kali, diteruskan membaca:
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العا
لمين .
2.
Shalawat kepada
Rasulullah Saw sebanyak seratus kali. Lafal salawat boleh sembarangan saja
sekalipun dengan singkat. Akan tetapi, apabila yang dibaca adalah shalawat
fatih, hal itu lebih utama. Lafal shalawat fatih, yaitu :
اللهم صل على سيدنا محمد الفا تح لما اغلق والغا تم لما سبق ناصر الحق
با لحق والهادى الى صرا طك المستقيم وعلى اله حق قدره ومقداره العظيم
.
lalu membaca:
ان الله وملائكته يصلون على النبى ياايها الذين امنوا صلوا عليه
وسلموا تسليما صلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم تسليما سبحان ربك رب
العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمينز ا عوذ با لله من
الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم وما تقدموا لانفسكم من خير تجدوه عند الله
هو خيرا واعظم اجرا وا ستغفروا الله ان الله غفور رحيم .
3.
Membaca kalimah La ilaha illa’l-lah sebanyak seratus kali. Pada
bacaan yang keseratusnya ditambahi Muhammadu’r
Rasulu’l-lahi alaihi Salaamu ‘l-lahi. Suku kata Laa dari lafal Salaam dibaca panjang. (Sayid Abdullah
Dahlan, 1987; 33).
Kesemua
wirid itu dibaca dua kali dalam sehari semalam yaitu sesudah shalat subuh dan
sesudah shalat ashar. Di antara wazifah Tijaniyah adalah:
1.
Membaca
Al-Fatihah.
2.
Niat, yaitu :
اللهم انى نويت التعبد الى الله تعالى باد ء وردنا الوطيقة فى طريقتنا
التجا نية طريقة حمد وشكر ايمانا واحتمابا الله تعالى
3.
Membaca
istigfar: dibaca sebanyak 30 kali, yaitu:
ا ستغفر الله العظيم الذى لا ا له الا هو الحي القيوم
kemudian
membaca :
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المر سلين والحمد الله رب
العا لمين
4.
Membaca
shalawat fatih sebanyak 50 kali,
yaitu:
اللهم صل على سيد نا محمد الفا تح لما اغلق والغا تم لما سبق ناصر
الحق بالحق والهادى الى صرا طك المستقيم وعلى اله حق قدره مقد ا ره العظيم
lalu membaca :
سبحا ن ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المر سلين والحمد الله رب العا لمين
5.
Membaca La
Ilaha Illa Allah, 99 kali, bacaan yang terakhir ditambah dengan bacaan:
لا اله الا الله سيدنا محمد رسول الله عليه سلام الله صلى الله عليه
وسلم .
dengan suara
keras dan memanjangkan bacaan : LAA ILAAHA ILLALLAAH.Lalu membaca:
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد الله رب
العا لمين
6.
Membaca
shalawat Jauharat
al-Kamal sebanyak 12
kali, bunyinya:
اللهم صل و سلم على عين الرحمة الر با نية واليا قوتة المتحققة الحا
ئطة بمركز الفهوم والمعانى, ونور الاكوان المتكونة الادمي صاحب الحق الرباني البرق
الاسطع بمزون الارباح المالئة لكل متعرض من البحور والاواني ونورك اللامع الذي
ملات به كونك الحائط بامكنة المكاني. اللهم صل وسلم على عين الحق التى تتجلى منها
عروش الحقائق عين المعارف الاقوم صراطك التام الاسقم. اللهم صل وسلم على طلعة الحق
باالحق الكنز الاعظم افاضتك منك اليك احاطة النور المطلسم صلى الله عليه وعلى اله
صلاة تعرفنا بها اياه.
Kemudian
ditambah dengan bacaan:
يَا سَيِدِى يَا رَسُوْلَ الله هَذِهِ هِدَيَةِ مِنِى اِلَيْكَ فاَ
قْبَلْهَا بِفَضْلِكَ وَكَرَِمكَ ياَ سَيِدِى يارسول الله صلى الله عليك وعلى الك
واصحابك وازواجك ودريتك وسلم جزاك الله عنا افضل ما جزى به نبيا عن امته وجزى الله
عنا اصحابك وعلماء امتك الذين بلغونا دين الاسلام دينا وبسيدنا محمد صلى الله عليه
وسلم نبيا ورسولا وجزى الله عنا ولدك سيدنا وسندنا وعدتنا وعمدتنا دنيا واخرى
سيدنا احمد بن محمد التجانى وازواجه وذريته ومقدميه واحبابه من الانس والجان –
اللهم غمسنا و اياهم فى دا ئرة الرضا والرضوان واغرقنا واياهم فى دا ئرة الفضل
والامتنان . اللهم امن روعتنا وروعتهم واقل عشرتنا وعشرتهم والطف بنا وبهم لطفا
عاما ولطفا خاصا واد مالهم علينا من الحقوق والتبعات من خزا ئن رحمتك بمحض فضلك
ومنتك ياذا الفضل الجسيم والمن العظيم . امين .
7.
Kemudian
membaca:
سبحان ربك رب العزة عمايصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب
العالمين.
8.
Setelah itu,
membaca doa yang dikehendakinya.
9.
Sebagai penutup wazifah ialah membaca surah Al-Fatihah dan shalawat
Al-Fatih.
Al-Fath
berkata: “Salawat
Al-Fatih Limaa Ughliqa” memiliki
keutamaan. Beberapa keutamaan shalawat ini yang masih tersimpan sebagai berikut
:
1.
Barangsiapa membacanya sekali dalam
sehari, ia akan mendapat jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2.
Membaca shalawat ini sekali dapat menghapus seluruh dosa dan
sebanding dengan enam ribu kali tasbih, zikir dan doa yang dilakukan anak kecil
atau orang tua di alam semesta.
3.
Barangsiapa mengerjakan shalat dengan membaca shalawat ini, niscaya
mendapat pahala yang lebih besar daripada pahala seorang wali yang hidup selama
seribu tahun tapi tidak mengamalkan shalawat ini.
4.
Pembaca pertama shalawat ini setara dengan pahala enam ratus ribu
shalat yang dikerjakan seluruh malaikat, manusia dan jin sejak mereka
diciptakan hingga saat seseorang mengucapkan shalawat ini. Pembacaan kedua
kalinya juga mendapat pahala seperti di atas ditambah pahala pembacaan pertama.
Pembaca ketiga sama dengan pembacaan kedua plus pahala pembacaan pertama dan
kedua. Begitulah seterusnya.
5.
Barangsiapa selalu membaca shalawat tersebut sekali saja dalam
setiap hari, ia meninggal dunia dalam keadaan beriman.
6.
Jika terjadi sesuatu pada orang yang salat dengan shalawat
tersebut, amalnya batal, hanya saja, shalawat tersebut
tidak termasuk dalam amal yang dibatalkan.
7.
Barangsiapa membaca shalawat tersebut seratus kali pada malam
Jum’at, shalawat tersebut menghapus dosa-dosa selama empat ratus tahun dari
orang tersebut.
8.
Dan keutamaan-keutamaan lain yang tidak bisa disebutkan dalam
tulisan yang ringkas ini.
Adapun uraian-uraian ini dapat dianalisa
adalah Keutamaan shalawat tersebut yang bersifat khusus hanya bisa diperoleh
dengan dua syarat, yaitu : Pertama, Izin dari syeikh Ahmad Tijani kendati melalui
perantara. Kedua, keyakinan bahwa shalawat
tersebut tidak dibuat oleh manusia, namun diterima oleh Sayyid Muhammad
Al-Bakri dari alam gaib.
Selain
amalan tersebut di atas, ada lagi zikir khusus pada hari Jum’at yang wajib
dibaca satu setengah jam setelah salat asar sebelum matahari terbenam.
Dilanjutkan dengan zikir “Laa illallahu” sebanyak seribu dua ratus kali
atau menyebut Lafzul
Jalalah (Allah,
Allah, Allah) sebanyak seribu dua ratus kali. Sebagian mereka membacanya
sebanyak seribu enam ratus kali, mereka berkata bilangan paling minimal adalah
seribu kali hingga matahari terbenam, dengan hitungan ataupun tanpa hitungan.
Barangsiapa punya keperluan mendesak, hendaklah membacanya dengan hitungan
tersebut lalu pergi menunaikan keperluannya setelah selesai.
Kemudian
mereka menerangkan panjang lebar syarat-syarat dan etika wirid tersebut . Namun
dalam kesempatan kali ini kami hanya menyebut yang terpenting saja,
syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya:
1. Hendaknya
syeikh yang mengajarkan wirid-wirid wajib dan pilihan itu mendapat izin resmi
dari Rasulullah Saw dan dari orang yang beliau restui.
2. Orang
yang meminta diajari wirid
tersebut harus mengosongkan
diri dari seluruh wirid-wirid syeikh yang lain atau berpaling dan tidak kembali
kepada wirid-wirid itu. Sebab seorang murid tarekat yang akan menuju Allah Swt
tidak boleh memiliki dua syeikh sekaligus, sebagaimana seorang istri tidak
boleh dua suami.
3. Murid
tersebut tidak boleh mengunjungi para wali, baik yang masih hidup maupun yang
sudah wafat. Akan tetapi ia boleh menziarahi makam para nabi, sahabat dan
rekan-rekan syeikh Ahmad Tijani, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
4. Murid
tidak mencela, marah, dari memusuhi di samping Syeikh Ahmad Tijani.
5. Murid
harus bersih dari mengeritik Syeikh
Ahmad Tijani , karena tarekatpemimpin
sufi itu dibangun di atas tunduk dan patuh kepada para murabbi (pembina) terhadap apa yang
mereka perintahkan dan mereka larang, karena mereka adalah orang-orang yang
dipercaya Syariat.
6. Hormat
kepada siapa saja dari saudara-saudara yang dirasakan kepada Syeikh Ahmad
Tijani, terutama orang-orang khusus dalam tarekat ini, karena diriwayatkan dari
Syeikh Ahmad Tijani yang berkata bahwa menyakiti penganut tarekat ini adalah
menyakiti Rasulullah SAW.
7. Menjauhkan
diri dari orang-orang yang mengeritik Syeikh Ahmad Tijani. Syeikh Ahmad Tijani
melarang sahabat-sahabatnya duduk dengan orang-orang yang mengeritiknya. Ia berkata : “Sesungguhnya sebagian
dari para pengeritik tersebut merasuk ke hati orang-orang yang bergaul dengan
mereka seperti racun.
8. Murid
yang membaca wirid tersebut harus menghadirkan wajah Syeikh Ahma Tijani pada
saat ia membaca wirid tersebut dan bergantung kepadanya. Yang lebih hebat lagi
ialah menghadirkan wajah Rasulullah Saw. sejak pertama membaca wirid hingga
usai membacanya jika itu memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka penghadiran
tersebut harus dilakukan pada saat pertama membaca wirid kemudian penghadiran
diulangi lagi dengan tidak berpaling dari Syeikh Ahmad Tijani. Berpaling dari
Syeikh Ahmad Tijani ialah dengan mengunjungi para wali, orang-orang yang masih
hidup, orang-orang yang telah meninggal dunia,
atau dengan meminta doa kepada
mereka, atau menghadiahkan pahala membaca Alquran, zikir, nazar, sedekah, dan
lain sebagainya kepada mereka.
Tarekat ini
lebih banyak menyederhanakan aspek-aspek ritual dan memberikan tekanan yang
lebih besar pada niat dan perbuatan baik. Bentuk ajaran tarekat yang demikian
memberikan sumbangan yang besar terhadap keberhasilannya secara cepat dalam
mengumpulkan pengikut dan juga telah mewarnai corak perilaku mereka. Tarekat
ini tidak memisahkan masalah-masalah yang bersifat spiritual dengan yang
bersifat temporal, sebagai amal ukhrawi maupun duniawi. Namun juga Ahmad Tijani
menekankan, seperti halnya tarekat yang lain, perlu adanya perantara (wasilah)
antara manusia dan Tuhan. Perantara itu ialah dirinya sendiri dan para
pengganti/wakil/naibnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru
lain yang mana pun, bahkan ia larang pula untuk memohon kepada wali mana pun
selain dirinya. Karena itu, Tarekat Tijaniyah ini hanya memiliki satu silsilah
guru/syeikh lebih lanjut.
Ahmad Tijaniyah
juga menekankan zikir tanpa suara, sekalipun dijalankan dengan cara berjamaah.
Dia menentang praktek berziarah ke tempat keramat yang dipandangnya menyimpang
dari syara’ (hukum Islam) yang sangat merajalela pada masa itu. Tarekat
Tijaniyah dalam mendidik, mengarahkan dan dalam memelihara murid-muridnya yang
dalam istilahnya disebut Ikhwan tarekat Tijaniyah atau Ikhwan Tijaniy juga
mempunyai syarat-syarat dan peraturan-peraturan sebagai berikut:
1.
Syarat Masuk Tarekat Tijaniyah
Ø Calon
Ikhwan Tijaniy tidak mempunyai wirid tarekat.
Ø Yang
mentalqinnya telah mendapat izin yang sah untuk memberi wirid tarekat
Tijaniyah.
Ø Di
talqin/mendapatkan izin mengamalkan wirid Tarekat Tijaniyah.
2.
Kewajiban atas Ikhwan
Tijani
Ø Harus
menjaga syari’at,
Ø Harus
menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah bila mungkin (jaga syarat-syarat
berjamaah shalat),
Ø Harus
mencintai Saiyidi Syekh Ahmad Attijani selama-lamanya,
Ø Harus
menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Saiyidi Syekh Ahmad
Attijani,
Ø Harus
menghormati semua wali Allah Swt dan semua tarekat,
Ø Harus
mantap pada tarekat dan tidak boleh ragu-ragu,
Ø Selamat
dari mencela tarekat Tijaniyah,
Ø Harus
berbuat baik terhadap tarekat
Tijaniyah,
Ø Harus
menjauhi orang yang mencela tarekat Tijaniyah,
Ø Harus
mengamalkan tarekat Tijaniyah sampai akhir hayatnya.
Ø Larangan
atas Ikhwan Tijani
Ø Tidak
boleh mencaci, benci dan memusuhi Saiyidi Syekh Ahmad Al-Tijani.
Ø Tidak
boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani khusus mengenai soal Rabithah saja,
Ø Tidak
boleh memberi wirid tarekat Tijaniyah tanpa ada izin yang sah,
Ø Tidak
boleh meremehkan wirid tarekat Tijaniyah,
Ø Tidak
boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa ada izin syara’ terutama dengan
ikhwan,
Ø Tidak
boleh merasa aman dari Makrillah. (Fauzan Fathullah, 1985; 118-119).
3.
Peraturan Melaksanakan Zikir tarekat Tijaniyah
Ø Dalam
keadaan normal bacaan zikir harus terdengar oleh telinga si pembaca,
Ø Harus
suci dari najis, baik badan, pakaian, tempat maupun apa saja yang di bawahnya,
Ø Harus
suci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil,
Ø Harus
menghadap kiblat dan duduk
Ø Harus
menutupi aurat sebagaimana dalam shalat baik bagi pria maupun bagi wanita,
Ø Tidak
boleh berbicara,
Ø Harus
ijtima’ dalam melaksanakan Wadhifah dan Hailallah sesudah asar hari Jum’at
apabila didaerahnya ada ikhwan,
Ø Isthdlarul
qudwah, yaitu : waktu melaksanakan wirid dari awal sampai akhir membayangkan
seakan-akan berada dihadapan Saiyidi Syekh Ahmad Al-Tijani yang lebih utama
membayangkan berada dihadapan Saiyidul Wujud Saw dengan keyakinan, bahwa
beliaulah pembawa dan Wushuul Ilalah,
Ø Mengingat
dan membayangkan maknanya wirid dari awal sampai akhir wirid. Kalau tidak bisa,
maka suapaya memperhatikan dan mendengarkan bacaan wiridnya.
Berdasarkan
pengakuan pengikut Tarekat Tijaniyah, bahwa ajaran tarekat ini tidak terdapat
pertentangan antara syari’at dan tarekat, berarti keduanya saling berkaitan
satu sama lain. Syari’at tetap harus dipegang dan dijalankan untuk dapat
memasuki dunia tasawuf. Sebab syari’at diibaratkan sebagai bahtera yang dapat
dijadikan sarana berlayar, tarekat
sebagai lautan yang memiliki mutiara, sedang hakikat sebagai mutiara yang
dicari dalam lautan ulama. Oleh karena out perlu kita perhatikan bahwa
perbedaan antara agama Islam /syariat dan ajaran tasawuf adalah perbedaan dalam
menerima ajaran. Setelah wafat
Nabi, umat Islam menerima ajaran agama Islam dari Alquran dan Sunnah, serta
ijma’. Umat inilah yang terjaga – kemudian ijtihad imam-imam yang bisa salah
atau benar. Menurut penulis, ketika umat Islam melakukan hal demikian, kaum
sufi menentukan sumber ajaran agama dari setiap yang berhembus dan bergerak.
Setiap orang
harus menjalankan syari’at maupun hakikat. Syari’at dan hakikat merupakan aspek
zahir dan permulaan, sedang hakikat merupakan buah atau hasil dari dimensi
syari’at dan tarekat. Karena itu tidak berarti terdapat pertentangan antara keduanya,
tetapi harus saling melengkapi. Kalau ada tarekat yang meninggalkan salah satu
ilmu tersebut berarti tarekat tersebut telah terjadi penyimpangan.
Ajaran Tarekat
Tijaniyah yang mengutamakan kuburan, meminta bantuan kepada selain Allah,
syirik baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, keyakinan bahwa wali dan
kaum sufi, terutama syeikh Ahmad Al-Tijani dan guru-gurunya, mengetahui ilmu
gaib, mampu mendatangkan keberuntungan dan kesulitan, mampu menolak bahaya,
menyingkirkan gangguan, menghidupkan dan mematikan, memberi rezeki, dan banyak
lagi yang lainnya. Menurut para ulama, sebagian pemikiran atau pendapat dalam
ajaran tarekat Tijaniyah tersebut di atas telah menyisihkan kebenaran, dan
bersemberangan dengan Al-quran dan As-Sunnah, ditambah lagi dengan masalah
sumber Ajaran tarekat ini, dimana ada yang mengatakan diterima dari Rasulullah
Saw imelalui mimpi, namun ada sebagian mengatakan Al-Tijani menerima izin dari
Rasulullah dalam keadaan terjaga. Tetapi
konsep zikir atau wiridnya penulis perhatikan tidak ada terdapat penyimpangan,
seperti membaca al-fatihah, membaca salawat, membaca salawat fatih dan
lain-lainnya.
F.
Kesimpulan
Tarekat
Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhtar bin
Salim al-Tijani. Tarekat ini berasal dari Rasulullah langsung diberikan kepada
al-Tijani, dan terus kepada keturunan al- Tijani sendiri serta kepada keturunan
Ali bin Isa atau Ali bin Abi Thalib. Sedang ajarannya lebih sederhana dan relatif mudah.
Tarekat
Tijaniyah sejak tahun 1931 telah diakui kemuktabarahannya
dimana di kalangan warga NU Namun dalam perkembanganya masih terus dipersoalkan
kemuktabarahnnya, akan tetapi hal langsung dijawab dan dipertegas lagi oleh KH. Hasyim
Muzadi, bahwa Tarekat Tijaniyah sah dan berdasar.
Tarekat ini
dalam sejarah perkembangannya sering terlibat
dalam pergerakan politik dan telah pengarahan massa dalam rangka mencari
simpati dan dukungan agar eksistensinya diakui oleh masyarakat dan sembari ikut serta dalam kegiatan dakwah
Islamiyah. Bahkan tarekat ini termasuk yang reformis dan Neo-Sufisme
G.
Daftar Pustaka
Balai Penelitian
P3M, Jurnal Penelitian Agama, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999).
Basalamah, Sholeh & Anam, Misbahul , Buku
Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah,( Penerbit Kalam Pustaka,
Cetakan I Maret 2006).
Huda, Nor. Islam
Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2007).
Imam Suprayogo
& Tobroni, Metodelogi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Rosda
Karya, 2005).
Kafie,
Jamaluddin dan Dhofir, Syarqawi. Biografi K.H.A. Djauhari Chotib,(
Diterbitkan dalam Rangka Menyambut Peringatan Kesyukuran 45 Tahun Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan 1952-1997).
Lexy Moleong, Metodelogi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2005)
Mahjuddin, Akhlaq
Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010).
Nata, Abuddin. Akhlaq
Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Shadily, Hasan.
Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1993).
Shodiq, Ja’far.
Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Shodiq, Ja’far.
Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Sholeh Basalamah & Misbahul Anam, Buku
Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah,( Penerbit Kalam Pustaka,
Cetakan I Maret 2006), hlm, 16-17.
Hasil Interview
dengan Bapak Khoiri Khusni. S.Pd.I, pada tanggal 13 Maret 2011.
Hasil interview dengan Bapak Mahfudz, pada tanggal 20 Februari 2011.
Hasil
interview dengan Bapak Marzuki, pada tanggal 03 Juni 2011.