Ulama
jawi adalah ulama dari nusnatara yang berada pada lingkungan nusantara meliputi
Indonesia, Malaysia, Thailnad, Bhrunai Darussalam. Istilah penyebutan ini
merupakan istilah orang arab kepada para ulama yang ada di negara indonesia, Malaysia,
Thailand dan Bhrunai Darussalam. Dalam perkembangan keilmuannya ulama jawa
banyak menggunakan bahasa Melayu yang ditulis dalam bahasa Arab sehingga ada
istilah bahasa pegon. Penyebutan ini merupakan sebuah istilah yang disebutkan
oleh orang arab kepada ulama-ulama nusantara dan sekitarnya.
Banyak
ulama berpengalaman yang hidup di abad XIX, yang berjuang mengembangkan Islam
di Indonesia. Tercatat dalam sejarah, ulama-ulama tersebut adalah Ahmad Khatib
(Minangkabau); Muhammad Nawawi (Banten); Diponegoro, Ahmad Rifa’i (Jawa
Tengah)’ Khalil (Madura); dan Arsyad al-Banjari (Kalimantan) dimana seluruh
ulama tersebut “Mekah based” dan secara fiqih Syafiiyah. Keseluruh ulama
berpengaruh abad XIX tersebur berjuang secara lokal dan gerakannya sangat
tipikal pada saat itu, meski kemudian ada yang buah fikirannya diakui secara
nasional, bahkan internasional. Dengan mengambil kriteria-kriteria tertentu,
seperti kualifikasi keilmuan, integritas kepribadian dan keperduliannya
terhadap problema umat Islam.
Sebagaimana
jaringan ulama pada abad sebelumnya, maka jaringan ulama pada sekitar abad
ke-19 pun tak bisa dilepaskan dari peran Timur Tengah seperti Mekah di Jazirah
Arab dan Mesir mengingat adanya keterkaitan yang erat antara pemikiran para
ulama di wilayah tersebut dengan murid muridanya dari Nusantara yang belajar di
wilayah tersebut. Ulama-ulama pada abad ke-19 mengutip pernyataan HAMKA dalam
buku jaringan ulama Azyumardi Azra, adalah sebagai tonggak pembaharuan Islam di
Indonesia. Bersamaan dengan kemunculan gerakan Paderi di Sumatera barat.
Memasuki
abad ke-19 dunia Islam dihadapkan pada tantangan imperialis barat yang semakin
keras. Dengan keadaan seperti itu, para ulama beserta jaringan-jaringannya
merespon selain menyiapkan perlawanan bersenjata, sekaligus menguatkan
solidaritas muslim atau kesetiaan jama’ah Islam yang diikat dengan kesadaran
hukum Islam. Sampai dengan abad ke-19, para ulama di seluruh Nusantara tercatat
dalam sejarah yang sebenarnya, sebagai pelopor terdepan dalam gerakan
nasionalisme. Arti nasionalisme sebagai pelopor perjuangan dalam membebaskan
bangsa dan negara serta agama dari penjajahan imperialisme barat.
Ulama-ulama
pada abad ke 19 adalah para pelopor kebangkitan kesadaran Islam. Gerakan
kebangkitan Islam ini bertujuan diantaranya selain mengembalikan fitrah ke Islamannya,
juga sebagai upaya perlawanan terhadap pemerintahan kolonial belanda. Maka jelaslah
peran ulama di abad ke-19 memengang peranan ganda, satu sisi sebagai penerus jaringan
ulama pada abad sebelumnya dalam bidang pendidikan, sosial budaya, di sisi lain
sebagai pemimpin perlawanan rakyat terhadap kekuasaan kolonial. Sehingga
tidaklah aneh bila dalam pembahasan ulama pada abad-19, menurut Ahmad Mansyur
Suryanegara adalah periode pembaruan Islam seperti pendidikan dan sosio
kultural sekaligus perlawanan tehadap penjajahan kolonial.
Pembaharuan
yang terjadi di dunia Islam, khususnya di wilayah Nusantara (Asia Tenggara),
tak lepas dari jaringan ulama nusantara dengan dunia luar terutama dari dunia Arab.
Hal ini bisa terjadi karena keeratan jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama
di Nusantara telah terjalin sejak beraba-abad sebelumnya. Hal ini bisa
dibuktikan oleh para pelopor dalam pembaharuan Islam di Nusantara dipelopori
oleh ulama modernis dari berbagai Negara, yaitu Muhammad Ibn Abd Al Wahab di
Jazirah arab, Jamaluddin Al Afgani, Muhammad Abduh, Rashid Ridha di Mesir yang
berdampak ke Indonesia bersamaan dengan kembalinya Haji Miskin (1802) setelah
melakukan ibadah Haji di Mekkah. Pembaharuan pemahaman agama islam ditunjukkan
untuk: a) menyucikan agama Islam dari pengaruh bid’ah; b) pendidikan yang lebih
tinggi bagi umat Islam; c) pembaharuan rumusan ajaran Islam menurut alam
pikiran modern; dan d) pembelaan Islam terhadap pengaruh Barat dan Kristen.
Dari
berbagai penjelasan di atas, pada dasarnya konstribusi ulama Jawa dalam proses Islamisasi sangat besar peranya dalam menyebarkan
Islam di Nusantara. Ulama jawa dalam menyebarkan Islam ini meneruskan
perjuangan para wali yang sebelumnya. Dan penyebaranya di tiap daerah berbeda-beda
dalam bentuk penyebaranya.
Islamisasi Nusantara sebelum ulama Jawa diperankan
oleh para wali songo atau para saudagar dari Timur Tengah yang ditugaskan untuk
menyebarkan Islam di Nusantara. Proses Islamisasi banyak berbagai macam dalam
bentuk penyebarannya dari berdakwah dengan menyebarkan agama Islam dan ada
dengan bentuk pengajian, bentuk budaya yang ditampilkan oleh Sunan Kali Jaga.
Peran ulama Jawa setelah wali songo dalam penyebaran
agama Islam dilakukan dengan bentuk berdakwah dan melalui pendidikan dalam
proses intelektualisasi ilmu pengetahuan para ulama jawa banyak yang menuntut
ilmu ke timur tengah. Setelah mereka kembali ke Indonesia memperaktikkan ilmu
yang telah didapat di timur tengah. Sehingga pendidikan di Timur Tengah banyak
yang mengadopsi dari Timur Tengah. Seperti pendidikan di Aceh dengan istilah
Meunasah dan di Jawa dengan istilah madrasah.
Perkembangan intelektual Islam di nusantara dalam
dunia pendidikan mengalami banyak kemajuan dari hubungan ulama Indonesia dengan
ulama yang ada di Timur Tengah. Dengan banyaknya ulama Indonesia yang menuntut
ilmu di timur tengah membuka kran ilmu pengetahuan bagi ulama-ulama Indonesia.
Perkembagan pendidikan dapat dilihat dari bentuk pendidikan Islam di Indonesia
sebelum lembaga pendidikan Islam mengadopsi dari barat. Dengan banyaknya
ulama-ulama yang ada di Indonesia perkembangan pendidikan dan lembaga
pendidikan di Indoensia mengalami perkembangan yang pesat. Karena dari banyak
ulama yang ada memberikan warna yang berbeda bagi daerah yang di tempati para
ulama ini.