Senin, 06 Agustus 2012

RESEARCH PAPER TAREKAT TIJANIYAH


PERAN TAREKAT TIJANIYAH
TERHADAP PENGIKUTNYA DI DESA PRENDUAN SUMENEP MADURA

A.    Pendahuluan
Salah satu ciri mencolok dalam perkembangan Islam di Melayu-Indonesia adalah nuansa mistik yang begitu kuat di kalangan Muslim. Karena Islamisasi Indonesia dimulai ketika tasawuf menjadi corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Dengan ini, muncullah ikatan ketarekatan yang dalam bahasa Inggris disebut dengan sufi orders, secara relatif meupakan klimaks dari perkembangan pengamalan dan praktek ajaran tasawuf. Namun pada abad ke-13, tarekat sedang ada di puncak kejayaannya.
Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan menggambarkan langkah-langkah yang membawa kepada ke hadirat Tuhan sebagai “jalan”, karena konsep syariat, tarekat, dan hakikat mempunyai keterkaitan satu sama lain. Yang mana tarekat mempunyai arti jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi\in, turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai. Secara khusus tarekat mengacu kepada sistem latihan meditasi maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini.[1]
Pada abad ke-9 dan ke-10 M, tarekat adalah sebuah metode psikologi moral untuk bimbingan praktis bagi individu-individu yang mempunyai sebutan mistik. Sesudah abad ke-11 M, tarekat menjadi sistem keseluruhan dari tatacara latihan spiritual tertentu bagi kehidupan komunal dalam berbagai kelompok keagamaan Muslim. Setelah itu, banyaklah bermunculan tarekat-tarekat yang meperluas ajarannya ke berbagai umat dunia.
Munculnya ikatan-ikatan ketarekatan ini telah menyebabkan perubahan besar dalam pengamalan tasawuf. Tasawuf yang semula merupakan gerakan individual dan hanya bisa dinikmati oleh kalangan elite keruhanian, berubah menjadi gerakan massal dari kaum Muslimin.
Posisi Pulau Madura yang di ujung utara Jawa Timur memang sangat dikenal sebagai basis kekuatan pesantren. Keberadaan pesantren di wilayah yang terdiri dari empat kebupaten ini sangat dominan dalam membentuk warna masyarakat yang “Islami”. Kita jangan heran jika melihat konstruksi sosial Madura sangat homogen kultur santri, dan kultur Keislaman yang berupa tarekat. Islamisasi Madura yang dikomunikasikan oleh para kiai kepada penduduk setempat kini telah mencapai keberhasilan yang luar biasa hingga ke pelosok desa. Bahkan dengan berbagai ajarab tarekat dalam setiap pesantren dan desa, perkembangan Islamisasi dapat kita saksikan saat ini, mulai dari identitas fisik hingga tata perilaku masyarakat setempat.
Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana peran Tarekat Tijaniyah terhadap masyarakt desa Prenduan Sumenep khususnya demi kepentingan masyarakat agar lebih mendekatkan diri lagi kepada Allah. Nah peran tarekat ini, sangat penting bagi masyarakat desa Prenduan khususnya, karena sosok kiai sesepuh dalam tarekat tersebut, dapat dijadikan figur yang baik bagi masyarakatnya. Bahkan, apa yang dikatakannya bisa di ikutinya tanpa ada suruhan dari pemimpin tarekatnya.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1.    Adakah pengertian tentang arti tarekat Tijaniyah?
2.    Sejarah berdirinya tarekat Tijaniyah di Desa Prenduan?
3.    Seperti apa ritual-ritual dalam tarekat Tijaniyah?

C.    Kerangka Teori
Sejarah merupakan konstruk dari bangunan yang disusun oleh manusia di masa lampau. Sejarah bekerja atas dokumen, dan tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarah. Begitulah realita sejarah. Oleh karena itu, tidak setiap peristiwa di masa lampau bisa dikatakan sebagai sejarah dalam artian yang sesungguhnya, tetapi ketersediaan dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai sebuah kajian (actually event) di masa silam. Teori digunakan sebagai key for understanging atau kunci mengerti. Dalam sejarah, kajian mengenai metodelogi adalah wajib hukumnya dan suatu keharusan yang tidak dihindari. Setiap teori yang digunakan oleh seorang sejarawan akan memformulasikan dirinya menjadi sebuah apporoachment atau pendekatan. Maksudnya Dalam penelitian ini, merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kesejarahan (Historycal Approach).[2] Adapun tehnik analisa sebagai alat analisis menggunakan tehnik analisis deskriptif, yakni menganalisa semua hasil eksplorasi pembahasan. Optimalisasi pendekatan inilah yang harus dikejar dan dikuasai oleh seorang sejarawan.
Dalam ilmu pengetahun, terdapat dua macam paradigma, ilmiah dan alamiah. Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme, sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis.[3] Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis akan menggunakan teori positivisme sesuai dengan alasan yang dikemukakan di atas.
Paradigma positivistik, disebut juga dengan paradigma fakta sosial. Dalam paradigma ini, fenomena sosial dipahami sebagaimana fenomena alam, cara kerja ilmu sosial menggunakan metode ilmu alam atau disebut fisika sosial. Dalam mengkaji fenomena sosial, digunakan pendekatan August Comte. Fenomena sosial dipahami dari perspektif luar (other perspective) berdasarkan teori-teori yang ada. Penelitian dengan menggunakan paradigma positivistik ini biasanya bertujuan untuk menjelaskan (explanation) mengapa suatu peristiwa terjadi, bagaimana frekuensinya (intensitasnya) proses kejadiannya, hubungan antar variabel, rekaman perkembangan, deskripsi, bentuk dan polanya.[4]

D.    Pemaparan Materi
Sejarah bahasa tarekat berasal dari bahasa Arab tariqah yang berarti al-Khat fi al-Syai’ (garis sesuatu), al-Shirah (jalan). Tarekat juga berarti jalan atau cara tertentu untuk mencapai tingkatan-tingkatan dalam (maqamat) rangka mendekatkan diri kepada Allah. Melalui cara ini seorang penganut ajaran tarekat (sufi) dapat mencapai peleburan diri dengan yang nyata (fana fi al-Haq). Dengan demikian tarekat berarti melakukan olah batin, dengan latihan-latihan spiritual (riyadloh) dan perjuangan yang sungguh-sungguh (mujahadah) di bidang olah kerohanian.[5]
Pengertian tarekat sebelum abad VI H hanya dapat diartikan sebagai suatu aliran dalam suatu ajaran tasawuf, misalnya dikenal dengan aliran tasawuf Abu Yazid al-Bustami yang disebut tariqah al-Tayfuriyyah, aliran tasawuf al-Junayd al-Baghdadi yang disebut dengan tariqah al-Junaydiyah, aliran tasawuf Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Salim al-Saghir yang disebut tariqah al-Salimiyah dan aliran tasawuf al-Ghazali yang disebut tariqah al-Ghaziliyyah, tetapi pengertian tersebut tidak dapat disamakan dengan pengertian tarekat setelah timbulnya aliran tarekat pada abad-abad perkembangannya, yang diawali dengan abad VI H.[6]
Awal permulaannya tarekat dengan ajaran-ajarannya dilalui oleh sufi secara individual. Akan tetapi seiring dengan perjalanannya waktu yang terus berputar tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun secara kolektif. Kemudian dalam perjalanan yang lebih lanjut kumpulan-kumpulan orang ini mengambil bentuk organisasi-organisasi yang mempunyai corak dan peraturan-peraturan sendiri-sendiri. Diantaranya tarekat dalam sejarah adalah tarekat Qadiriyah di Baghdad Iraq. Tarekat ini dinisbahkan (dihubungkan) dengan nama pendirinya yaitu Muhyidin Abdul Qadir Ibn Abi Shalih Janki Daousti (W. 1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa’iyah di Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (W. 1182 M), tarekat Sadzaliyah di Maroko yang didirikan oleh Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Sadzily (W. 1228 M). di Mesir berdiri tarekat Badawiyyah atau Ahmadiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad Badawi (W. 1276 M). sementara di Asia Tengah berdiri tarekat al-Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Muhammad Baha’uddin al-Naqsyabandi (W. 1317 M). selain itu Bektasyiah di Turki, al-Khalwatiyyah di Persia, al-Syanusiyyah di Libya, al-Syatariyyah di India, al-Tijjaniyah di Afrika Utara.[7] Adapun tata cara pelaksanaan tarekat antara lain:
Ø  Zikir, yaitu ingat yang terus-menerus kepada Allah dalam hati serta menyebutkan namanya dengan lisan. Zikir ini berguna sebagai alat kontrol bagi hati, ucapan dan perbuatan agar tidak menyimpang dari garis yang sudah ditetapkan Allah.
Ø  Ratib, yaitu mengucap lafal la ilaha illa Allah dengan gaya, gerak dan irama tertentu.
Ø  Musik, yaitu dalam membacakan wirid-wirid dan syair-syair tertentu diiringi dengan bunyi-bunyian (instrumental) seperti memukul rabbana.
Ø  Menari, yatiu gerak yang dilakukan mengiringi wirid-wirid dan bacaan-bacaan tertentu untuk menimbulkan kekhidmatan.
Ø  Bernafas, yaitu mengatur cara bernafas pada waktu melakukan zikir yang tertentu.[8]

1.      Pengertian Tarekat Tijaniyah
Syaikh Ahmad bin Muhammad Al Tijani ini, ulasan secara singkat adalah sebagai berikut: At-Tijani dilahirkan pada tahun 1150 H/1737M di 'Ain Madi, bagian selatan Aljazair. Sejak umur tujuh tahun dia sudah dapat menghafal al-Qur'an dan giat mempelajari ilmu-ilmu keislaman lain, sehingga pada usianya yang masih muda dia sudah menjadi guru. Dia mulai bergaul dengan para sufi pada usia 21 tahun. Pada tahun 1176, dia melanjutkan belajar ke Abyad untuk beberapa tahun. Setelah itu, dia kembali ke tanah kelahirannya. Pada tahun 1181, dia meneruskan pengembaraan intelektualnya ke Tilimsan selama lima tahun.
Sedangkan Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani pada tahun (1737-1815), dan beliau di kenal sebagai salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.[9]
Untuk dapat mengikuti dan atau memahami dengan baik dan benar dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, terlebih dahulu harus difahami tentang dua hal yang melandasi ajaran tasawufnya. Lantaran penilaian dan pengertian yang didapat merupakan pengantar untuk mengetahui dasar-dasar ajaran tasawufnya dengan benar. Dua hal dimaksud adalah :[10]
Ø  Tentang landasan bangunan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani
Dasar-dasar tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani di bangun di atas landasan dua corak tasawuf, yakni tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Dengan kata lain, Syekh Ahmad al-Tijani menggabungkan dua corak tasawuf, dimaksud dalam ajaran thariqatnya.
Pengkajian menyangkut tasawuf falsafi, bukan sesuatu hal yang sederhana, sebab pengkajian ini sudah masuk dalam wilayah pemikiran; dan kaum thariqat, terlebih ummat Islam pada umumnya yang mempunyai kemauan dan kemampuan untuk memasuki wilayah ini sangat terbatas. Keterbatasn ini, ditunjukan dalam sejarah pekembangan pemikiran Islam khusunya bidang tasawuf, banyak ummat Islam, menilai, bahwa tasawuf falsafi dianggap sebagai pemikiran yang menyimpang dari ajaran syari’at Islam.
Dasar-dasar tasawuf falsafi yang dikembangkan Syekh Ahmad at-Tijani adalah tentang maqam Nabi Muhammad saw., sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah dan rumusan wali Khatm. Dua hal ini telah dibahas oleh sufi-sufi filusuf, seperti al-Jilli, ibn al-Farid dan ibn Arabi. Tentang pemikiran sufi-sufi ini, Syekh Ahmad al-Tijani mengembangkan dalam amalan shalawat wirid thariqatnya, yakni : shalawat fatih dan shalawat jauhrat al-Kamal. Konsep dasar haqiqat al-Muhammadiyyah ini disamping kontropersial, ia juga complicated. Atas dasar ini, tidaklah mengherankan apabila Syekh Ahmad al Tijani memberikan “aba-aba” kepada setiap orang, termasuk muridnya yang ingin memasuki secara lebih jauh tentang diri dan thariqatnya. Untuk itu Syekh Ahmad al-Tijani menegaskan :
إِذَا سَمِعْهتُمْ عَنِّى شَيْأً فَزِنُوْهُ بِمِيْزَانِ الشَّرْعِ فَمَا وَافَقَ فَخُذُوْهُ وَمَاخَالَفَ فَاتْرُكُوْهُ
Artinya : “Apabila kamu mendengar apa saja dariku, maka timbanglah ia dengan neraca (mizan) syari’at. Apabila ia cocok, kerjakanlah dan apabila menyalahinya, maka tinggalkanlah”.
Ø  Tentang Rumusan Ajaran Tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani.
Landasan tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani, sebagai mana telah dijelaskan membangun rumusan tasawufnya. Ada dua rumusan tasawuf yang dikemukakannya:
a)      Tentang definisi tasawuf menurut Syekh Ahmad al-Tijani, tasawuf adalah:
إِمْتِثَالُ اْلاَوَامِرِ وَاجْتِنَابُ النَّوَاهِى فِى الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ مِنْ حَيْثُ يَرْضَ لاَمِنْ حَيْثُ تَرْضَ
Artinya : “Patuh mengamalkan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, baik lahir maupun batin, sesuai dengan ridha-Nya bukan sesuai dengan ridha’mu”.
Melalui rumusan definisi di atas, Syekh Ahmad al-Tijani ingin menunjukan bahwa pada dasarnya, ajaran tasawuf merupakan pengamalan syari’at Islam secara utuh, sebagai sarana menuju Tuhan dan menyatu dalam kehendak-Nya. Keterpaduan dalam tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani antara amaliah lahir dan amaliah batin, adalah sebagai wujud pengamalan syari’at Islam secara keseluruhan. Sebab pada bagian lain ia menyatakan bahwa ilmu tasawuf adalah : “Ilmu yang terpaut dalam qalbu para wali yang bercahaya karena mengamalkan al-Qur’an dan sunnah.
Sebagai wujud keterikatan Syekh Ahmad Al-Tijani dan thariqatnya terhadap syari’at, ia mengatakan bahwa syarat utama bagi orang yang mau mengikuti ajarannya adalah memelihara shalat lima waktu dan segala urusan syari’at. Dalam mengomentari landasan tasawuf yang diajarkan Syekh Ahmad al-Tijani, Muhammad al-Hapidz dalam ahzab wa awrad, mengatakan:
والاصل الذى اسّس شيخنارصى الله المحا فظة على الشريعة علماوعملا.
Artinya: “Landasan pokok Thariqat Tijaniyah yang menjadi asas penopangnya adalah menjaga syari’at yang mulia, baik ilmiyah maupun alamiyah”
Sedangkan KH. Badruzzaman, mengatakan bahwa landasan pokok Thariqat tijaniyah adalah memelihara syari’at yang mulia baik yang berhubungan dengan amaliah kalbu seperti khusyu (khusyuk), ikhlas (ikhlas) dan tawadha (rendah hati).
b)      Tentang penegasan ajaran tasawufnya
Sebagai wujud penekanan keterikatan ajarannya terhadap syari’at, Syekh al-Tijani menegaskan bahwa patokan utama pengembangan ajarannya adalah al-Qur’an dan sunnah. Lebih tegas ia menyatakan:
وَلَنَا قَاعِدَةٌ وَاحِدَةٌ عَنْهَا تُنْبِئُ جَمِيْعَ اْلأُصُوْلِ اَنَّهُ لاَحُكْمَ اِلاَِّللهِ وَرَسُوْلِهِ وَلاَعِبْرَةَ فِى الحُكْمِ اِلاَّ بِقَوْلِ الله ِوقَوْلِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Artinya: “Kami hanya mempunyai satu pedoman (Kaidah) sebagai sumber semua pokok persoalan (ushul), bahwasanya tidak ada hukum kecuali kepunyaan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada ibarat dalam hukum kecuali firman Allah swt, dan sabda Rasul-Nya.
Penekanan Syekh Ahmad al-Tijani ini, dimaksudkan untuk menegaskan keterikatan ajarannya terhadap syari’at (al-Qur’an dan sunnah).

2.      Riwayat Hidup Al-Tijani
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad Al-Tijani, bin Muhammad bin Muhtar bin Ahmad, bin Muhammad, bin Salim, bin Ahmad yang bergelar Al-Alwaany, bin Ahmad, bin Aly, bin Abdullah, bin Abbas, bin Ahd. Jabbar, bin Idris, bin Ishaq, bin Aly Zainal-Abidin, bin Ahmad, bin Muhammad An-Nafsu Az-Zakiyah, bin Abdullah, bin Hasan Almutsanna, bin Al-Hasan Alsibthi, bin Aly bin Abi Thalib dari Saiyidah Fathimah Az-Zahra’ putri kesayangan Saiyidul Wujud Nabi Muhammad Saw. Jadi beliau adalah dzurriyatul Rasul, bangsa Saiyid/habib dari keturunan Saiyidina Hasan Assibthy (Alhasaniy).( Fauzan Fathullah; 1985.: 52 ).
Beliau dilahirakan pada tahun 1150 H/1737 M di ‘Ain Madi dibagian selatanAljazair. sedang nama Tijani adalah dari Tijanah dari keluarga ibunya. Dia berafiliasi dengan banyak ordo dan seorang muqaddam Khalwatiyyah dalam ajaran tentang suksesi mistik. Dan dari tarekat Syadziliyyah untuk kebanyakan ajaran-ajarannya. Bahkan tarekat Muhammadiyah digunakan untuk mengesahkan ekslusivism Tijaniyah.
Al-Tijani anak dari Muhammad bin Mukhtar, Ia seorang pemimpin agama Islam yang terkenal ‘alim, terkenal wara’ dalam segala hal ihwalnya selalu berpegang teguh kepada Sunnah Rasulullah Saw dan ibunya seorang perempuan solihah yang muthi’ah/taat kepada suaminya. Ia bernama Saiyidah ‘Aisyah binti Abdullah bin Al-Samsy Attijany. Di samping dia membantu, mendorong dan memberi semangat suaminya dalam melaksanakan cita-cita agama juga seorang ibu rumah tangga yang tekun melaksanakan ibadah zikir, membaca shalawat dan banyak mengerjakan sholatul-lail. Kedua orang tuanya wafat bersama terserang penyakit tha’un pada tahun 1166 H.
Sejak kecil sudah tampak tanda-tanda keistimewaan dan keluarbiasaannya yang menunjukkan dia akan menjadi orang besar. Untuk menjaga agar jiwanya tenang dan selamat dari godaan-godaan syaithan, karena diasuh oleh kedua orang tuanya dalam rumah tangga yang ber-syiarkan agama Islam, baik tentang ubudiyah, akhlaqul-karimah ilmu dan lain sebagainya. Kedua orang tuanya, beliau dikawinkan setelah menginjak usia baligh. Ahmad Tijani menikahi wanita Perancis itu pada tahun 1870 M dialah orang muslim pertama di Aljazair yang menikahi wanita non-muslimah.
Ia mulai belajar kepada orang tuanya dan juga kepada beberapa orang guru lain di daerah kelahirannya. Ia hafal Alquran dengan mantap dan amat baik sekali dalam qiraat Nafi’. Setelah hafal Alquran beliau tekun menuntut ilmu,baik ilmu ushul, ilmu furu’ dan ilmu adab. Ketika ayahnya meninggal dunia ia sudah berumur enam belas tahun. Dan sejak itu ia mulai meneruskan pelajaran di luar daerah, yaitu kedaerah Abyad pada tahun 1176 H untuk beberapa tahun dan kemudian kembali kedaerah kelahirannya. Mulai tahun 1181 ia meneruskan pelajarannya ke Telemsan hingga tahun 1186. Kemudian melanjutkan lagi perjalananya ke hijaz untuk menunaikan ibadah haji dan meneruskan pelajarannya di Mekkah dan Madinah. Dengan kecerdasan otaknya dan ketajaman akal pikirannya, maka dalam masa yang begitu pendek beliau telah menguasai dengan sangat mahir sekali bermacam-macam cabang ilmu sehingga dalam usia yang masih muda beliau sudah terkenal kealimannya, sudah mengajar dan memberi fatwa yaitu sebelum berusia 20 tahun.
Dalam pengembaraannya itu, ia mengkaji ilmu-ilmu keislaman termasuk di dalamnya tasawuf dan tarekat Beliau mempelajari dan mengamalkan tasawuf, mempelajari ilmu asrar dan kewalian. Dan pada tahun 1171 H. ia pergi berziarah dan mencari guru tasawuf sampai di Faas dan gunung Zabib. Di sini beliau berjumpa seorang Waly kasyaf yang bernama Muhammad bin Hasan Al-Waanajaly, ia berkata انك تدرك مقام الشاذلى (kamu akan memperoleh kedudukan Imam Al-Syadzily) dan memberitahukan akhir kedudukan dan menyuruhnya kembali ke ‘Ainu Maadly. Begitu pula, tarekat yang beliau masuki dan mengamalkannya seperti Qadiriyah, Taibiyah, Khalwatiyah, Sammaniyah dan lain-lain. Ia belajar langsung kepada Syekh Samman untuk tarekat Sammaniyah dan mendapat berbagai rahasia keruhanian.
Setelah bermukim di Mekkah dan Madinah, ia meneruskan pengembaraannya mencari ilmu ke Kairo dan menetap di sini untuk beberapa masa. Menurut riwayat, ketika ia berjalan-jalan di Kairo itu, ia berjumpa dengan seorang syeikh yang baru dikenalnya dan dalam perbincangan yang panjang ia mendapat saran dari syeikh ini untuk kembali ke negerinya untuk mendirikan tarekatnya sendiri. Atas saran syeikh itu, ia kembali ke Fes dan kemudian ia mengunjungi Telemsan. Dalam pencarian hakikat, Al-Tijani mengadakan khalwat khusus dengan amal intensif di Bu Samgun daerah oase di selatan Geryville di Aljazair. Di tempat khalwatnya inilah akhirnya ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan mengajarinya beberapa wirid, istighfar dan salawat. Pada pertemuan ini Rasulullah memberi izin kepadanya untuk mendirikan tarekatnya sendiri dan menyebarkannya kepada masyarakat. Rasulullah berkata kepadanya “Engkau tidaklah berutang budi kepada syekh tarekat mana pun, karena akulah pembimbingmu dalam tarekat”.  Kemudian dari Aljazair, ia pindah ke Maroko pada tahun 1213H/1798 M dan menetap di kota Fes sambil membangun pusat tarekatnya dan ia tetap di sini sampai meninggal dunia pada 17 Syawal 1230 H atau 22 September 1815 M. pada usia 80 tahun.
Selama hidupnya, Al-Tijani mengkhususkan perhatian pada tasawuf dan pengembangan tarekatnya di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, berkali-kali ia diajak oleh penguasa untuk bergabung dalam politik namun ia menolak. Meskipun demikian, pihak penguasa Maulay Sulaiman tetap mencintainya dan memberi berbagai hak istimewa kepadanya. Al-Tijani tidak meninggalkan karya tulis. Beberapa murid-muridnya yang menulis, baik berkenaan dengan kehidupan al-Tijani maupun ajaran-ajaran tarekatnya. Hal itu dapat dilihat dalam Jawahir al-Ma’any Wa Bulugh al-Amany Fi Faidhi Sayyidy Abi Abbas al-Tijany. Muridnya yang lain menulis tentang beberapa ajaran tarekatnya dalam Kasyfu al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a al-Tijani min al-Ahzab.
Sebagaimana telah diterangkan di atas, tarekat Tijaniyah berasal dari Rasulullah langsung diberikan kepada Al-Tijani, karena itu silsilah tarekatnya berawal dari Rasulullah kemudian kepada Al-Tijani dan terus kepada keturunan Al-Tijani sendiri dan kepada keturunan Ali bin Isa.

3.      Sejarah Masuknya Tarekat Tijaniyah Ke Indonesia
Ada 2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu pertama, kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah at-Thayyib, dan kedua, adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 (antara 1918 dan 1921 M). Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah. Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon mulanya ber pusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya. Atas perintah KH Abbas pada 1924, KH Anas pergi ke tanah suci untuk mengambil talqin tarekat Tijaniyah dan bermukim disana selama 3 tahun. Pada bulan Muharram 1346 H / Juli 1927 M. KH Anas kembali pulang ke Cirebon. Kemudian, pada bulan Rajab 1346 H / Desember 1927, atas izin KH Abbas kakaknya, KH Anas menjadi guru tarekat Tijaniyah. KH Anas-lah yang merintis dan memperkenalkan tarekat Tijaniyah di Cirebon. K.H Anas mengambil talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah. K.H Abbas yang semula menganut tarekat Syattariyah setelah berkunjung ke Madinah, berpaling kepada tarekat Tijaniyah dengan mendapat talqin dari Syaikh Ali bin Abdallah at-Thayyib yang juga mendapat talqin dari Syaikh Alfahasyim di Madinah.[11]
Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke 3 tahun 1928 di Surabaya memutuskan bahwa tarekat Tijaniyah adalah Muktabarah dan sah. Diperkuat lagi dengan Muktamar NU ke VI tahun 1931 di Cirebon yang intinya tetap memutuskan bahwa Tijaniyah adalah Muktabaroh. Jadi ditinjau dari keputusan NU maka tarekat Tijaniyah sudah ada di Indonesia sebelum tahun 1928, karena jikalau belum hadir di Indonesia maka tidak mungkin NU akan membahas dalam Muktamarnya.
Ulama yang paling mula menganut tarekat Tijaniyah berdasarkan sejarah adalah K.H Anas bin Abdul Jamil (Buntet) yang memperoleh ijazah Tijaniyah dari Syaikh Alfahashim di Madinah dan juga memperolehnya dari Syaikh Ali Thoyyib, kemudian gurunya Syaikh Ali Thoyyib datang ke Indonesia dan menyebarkan tarekat Tijaniyah. Diantara ulama Indonesia yang memperoleh ijazah dari Syaikh Ali Thoyyib adalah:
1.      K.H Nuh bin Idris (Cianjur)
2.      KH Ahmad Sanusi bin H.Abdurrahim (Sukabumi)
3.      KH Muhammad Sujai (Gudang-Tasikmalaya)
4.      KH Abdul Wahab Sya’rani (Jatibarang Brebes)
5.      KH Abbas, KH Anas dan KH Akyas (Buntet Cirebon)
6.      KH Usman Dhomiri (Bandung)
7.      KH Badruzzaman (Garut)
Tarekat tijaniyah di pulau jawa, badul muhid mu’thi . Timbulnya terekat ini di jawa sebenarnya didirikan oleh seorang arab dari madinah bernama ali bin abd. allah al-tayyib al-azhari tasikmalaya. Tarekat ini mengajarkan latihan sederhana dari wirid 2 kali sehari, wazifah setiap hari, haylalah pada hari jum’at.  Wirid tersebut terdiri dari kata astagfirullah 100 kali. Selawat kepada nabi (allahumma sholli ala syayyidina muhammad) 100 kali. Wirid ini diucapkan pada pagi hari dan sore (setelah shalat subuh dan shalawat waktu asyar sampai isya’ ). Wazifah terdiri dari bacaan istigfar 30 kali, shalawat nabi 50 kali, tahlil 100 kali, dan doa jauharatul kamal 12 kali.
Wazifah dilakukan sehari semalam satu kali dan dilakukan pada malam hari. Haylalah (tahlil) dilakukakn pada hari jum’at terdiri dari dzikir la illa haillahu atau allahu allahu, atau keduanya yang jumlahnya tidak ditentukan. waktu melaksanakannya setelah shalat ashar sampai matahari tenggelam.  Syarat-syarat melakukan latiha ini ditetapkan misalnya badan, pakaian, dan tempatnya. Auratnya harus tertutup, mengucapkan niat, dan menghadap kiblat, serta menghayalkan pendiri tarekat pada waktu wirid, meminta bantuannya, dan harus mengerti kata-kata yang diucapkannya.
Selain ketentuan tersebut, murid tijaniyah  harus tetap melakukan kewajiban shalat lima waktu bersama-sama (berjemaah) bila mungkin dan menjalankan perintah agama lainnya. Antara sesama anggota  harus ada hubungan erat dalam kecintaan dan tolong menolong . dilarang keras bergaul dengan laki-laki yang mempunyai pengaruh agama di luar tarekat dan pada umumnya murid harus mengikuti jejak gurunya dalam kebencian dan persahabatan.
Hadirnya tarekat tijaniyah, tarekat yang lama menjelek-jelekkan tarekat ini. Adapun inti permusuhan tersebut berpangkal pada ajaran pendiri tarekat ini yang menyatakan bahwa siapa yang mengucapkan wiridannya secara teratur sampai ajalnya dengan tabah, akan masuk surga tanpa di hizab dan di siksa. Keberatan lain dalam tarekat ini adalah bahwa melarang pengikutnya menjadi anggota tarekat lainnya. Akhirnya pertentangan antar aliran terjadi sana sini.

4.      Masuknya Tarekat Tijaniyah ke Prenduan
Masuknya Tarekat ini, berawal dari kurang lebihnya tiga tahun lamanya Kyai Djauhari berguru kepada Kyai Ilyas untuk mentahqiq beberapa ilmu yang sudah dikuasai sebelumnya, terutama tauhid dan ilmu alat. Selain itu beliau menunjukkan kecerdasannya sehingga mendapat perhatian khusus dari Kyai Ilyas yang masih sepupunya. Selain itu di Sidogiri, beliau memperdalam ilmu tasawuf dan ilmu hal yang kelak sangat berpengaruh dan berbekas sangat dalam pada jiwanya. Di Sidogiri ini beliau berkumpul dengan K. Abdul Majid Bata-bata dan makam bersama di tempat Nyai Suhriya selama dua tahun, kemudian terpaksa harus pulang karenanya ayah beliau telah dipanggil ke hadirat Ilahi. Demikianlah Kyai Djauhari melewati masa remajanya dengan memperdalam ilmu dan menambah bekal hidup dan kehidupan yang bakal dilalui nanti di desa Prenduan.[12]
Ketika beliau pulang ke tanah Prenduan, beliau disibukkan dengan melayani tamu-tamunya yang mencari berkah dan minta didoakan dalam berbagai persoalan aneka ragam problem. Mulai dari hal-hal yang paling tetek bengek hingga serius, dari yang mencari jalan keluar, meminta pertimbangan sampai mendapat keturunan ataupun penyembuhan dan masalah jodoh serta problem rumah tangga. Kealiman beliau sangat terkenal di kalangan masyarakat Prenduan, bahkan beliau mendirikan Masyumi, namun dibubarkan oleh beliau. Hal ini tujuannya agar kadernya tidak aktif dalam dunia politik.
Selain itu beliau mencoba untuk menerapkan apa yang  beliau peroleh selama di Sidogiri dan di Makkah Al-Mukarramah. Maka mulailah beliau mengarahkan para pemuda yang menekuni “black magic” dan membudayakan tarekat memburu wangsit dan mencari “kanuragan” yang oleh beliau dinilai sebagai bermain-main di tepi jurang kemusyrikan. Hal ini dapat di antisipasi dengan mencarikan alternatif  lain yang lebih Islami, yakni dengan cara menghakikatkan syariat melalui tarekat menuju makrifat. Dalam perjuangannya beliau melalui jalur tasawuf inipun banyak hambatan dan tantangan yang harus beliau hadapi baik yang datang dari dalam sendiri maupun dari luar ikhwan Tijaniyah.[13]

5.      Ritual-ritual yang ada dalam Tarekat Tijaniyah
Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw., telah wujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber semua Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi Muhammad saw., menurut Syekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah. Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun dalam martabat al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. Pengetahuan orang shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini berbeda-beda sesuai dengan maqamnya masing-masing. Dalam hal ini Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan:
طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية ادراكهم قلبه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم عقله صلى الله عليه وسلم وطائفة وهم الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى الادراك فادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم.
Artinya: “Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), dan maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya; tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”
Rumusan mengenai Nur Muhammad (haqiqat al-Muhammadiyyah) ditegaskan melalui dua shalawat yang dikembangkan dalam wirid thariqat tijaniyah yakni shalawat fatih dan shalawat Jauharat al-Kamal.
Diantara rukun wirid wadzifah di Tarekat Tijaniyah adalah membaca shalawat fatih sebanyak 50 kali. Berikut teks bacaan shalawat fatih:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَ نَاصِرِالْحَقِّ ‍ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.
Artinya : “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad saw., dia yang telah membukakan sesuatu yang terkunci (tertutup), dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu, dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan dia yang memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”.
Syarah kandungan shalawat Fatih, walaupun shalawatnya diakui dari Nabi Muhammad SAW, mencerminkan pemikiran faham tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh tasawuf Filsafat terhadap pemikiran Syekh Ahmad al-Tijani.
Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
1.      Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan segala yang maujud di alam.
2.       Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah bagi para makhluk di alam.
3.      Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik.
Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah :
1.      Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan.
2.      Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan.
3.      Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.[14]
Pemikiran-pemikiran (faham) tasawuf Syekh Ahmad al-Tijani terkandung dalam penafsirannya tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatim li ma Sabaq. Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa al-Fatih li ma Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud yang ada di alam. Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. Karena wujud Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) di alam nyata (lahir). Jika tanpa wujud Muhammad, Alah tidak akan mencipta segala sesuatu yang wujud, tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”.
Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad (nur Muhammad).
Nur Muhammad telah diungkapkan oleh Nabi Muhammad saw., ketika tiu Jabir bin Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad saw., tentang apkah yang paling awal diciptakan oleh Allah Swt., Nabi menjawab:
ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك
Artinya : “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah swt., sebelum menciptakan sesuatu terlebih dahulu menciptakan nabimu (nur Muhammad).”
Selain istilah nur Muhammad digunakan juga istilah lain sebagai penegas keberadaannya, yaitu ruh Muhhamad, nur, al-‘Aqju awwal dan al-Haba. Dari ruh Muhammad ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. ruh alam berasal dari ruh Muhammad, ruh berarti kaifiyah. Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan. al-Haqiqat al-Muhammadiyyah adalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud yang diciptakan dari makhluk Allah sebelum al-Haqiqat al Muhammadiyyah ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. Di samping sebagai pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus sebagai penutup kenabian dan risalah. Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi Muhammad. Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan sifat-sifat Ilahiyyah (al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini. Kandungan shalawat fatih mengenai pemikiran Syekh Ahmad Al-Tijani tentang al-Haqiqat Muhammadiyyah lebih tampak lagi dalam shalawat jauharat al-kamal.

E.     Analisa Teori
Teori Herbert Spenser menyatakan bahwa tujuan hidup bagi tiap-tiap manusia ialah menyesuaikan diri kepada panggilan hidup dalam masyarakat sekitarnya yang selalu menghadapi perbaikan dan kemajuan dengan jalan evaluasi.[15] Ditambah lagi dari ungkapan-ungkapan yang ada di dunia pondok pesantren (ungkapan religious) dan para tokoh tarekat yang manyatakan bahwa: “Hidup seseorang atau sekelompok hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini” (al-Hadits). Pernyataan tersebut menyatakan bahwa apabila seseorang ingin hidupnya bahagia dan tidak sengsara di kemudian hari, dia harus dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya serta berusaha setahap demi setahap sekuat tenaga mencapai tujuan kehidupan yang dicarinya sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.
Kelahiran Thariqat Tijaniyah berkait erat dengan kedudukan Syekh Ahmad al-Tijani sebagai wali al-Quthb al-Maktum, al-Khatm al-Muhammadiyyil Ma’lum telah mencapai melalui proses panjang dalam penempaan derajat kewalian. Sebelum diangkat secara resmi sebagai wali besar, sebagaimana telah dikatakan sejak usia 7 tahun telah hafal al-Qur’an kemudian sampai usia 20 tahun beliau. Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (1737-1815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.[16]
Salah satu ciri khasnya di tarekat Tijaniyah adalah Sholawat Fatih yang merupakan kebanggaan tarekat Tijaniyah, adapun lafadz sholawat Fatih ini adalah
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أَغْلَقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ, نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمَسْتَقِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارُهُ عَظِيْمٌ
Artinya: "Ya Allah berikanlah shalawat kepada penghulu kami Nabi Muhammad yang membuka apa yang tertutup dan yang menutupi apa-apa yang terdahulu, penolong kebenaran dengan kebenaran yang memberi petunjuk ke arah jalan yang lurus. Dan kepada keluarganya, sebenar-benar pengagungan padanya dan kedudukan yang agung.”
            Para pengikut tijaniyah berkeyakinan bahwa sholawat fatih ini adalah firman Allah yang disampaikan Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wasallam  kepada Syekh Ahmad bi Muhammab At Tijaniyah dalam keadaan mimpi dan juga dalam keadaan sadar dan keutamaan satu kali membaca sholawat fatih ini adalah 6 kali khatam Al-Qur’an.[17]
Adapun analisa dari peranan Tarekat Tijaniyah bagi pengikut dan masyarakat desa Prenduan adalah mengajarkan ajaran tarekat yang sederhana dan relatif mudah. Zikir tarekat ini ada yang lazim/biasa
1.      Membaca Istigfar seratus kali, diteruskan membaca:
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العا لمين .
2.      Shalawat kepada Rasulullah Saw sebanyak seratus kali. Lafal salawat boleh sembarangan saja sekalipun dengan singkat. Akan tetapi, apabila yang dibaca adalah shalawat fatih, hal itu lebih utama. Lafal shalawat fatih, yaitu :
اللهم صل على سيدنا محمد الفا تح لما اغلق والغا تم لما سبق ناصر الحق با لحق والهادى الى صرا طك المستقيم وعلى اله حق قدره ومقداره العظيم .
lalu membaca:
ان الله وملائكته يصلون على النبى ياايها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما صلى الله على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم تسليما سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمينز ا عوذ با لله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم وما تقدموا لانفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرا واعظم اجرا وا ستغفروا الله ان الله غفور رحيم .
3.      Membaca kalimah La ilaha illa’l-lah sebanyak seratus kali. Pada bacaan yang keseratusnya ditambahi Muhammadu’r Rasulu’l-lahi alaihi Salaamu ‘l-lahi. Suku kata Laa dari lafal Salaam dibaca panjang. (Sayid Abdullah Dahlan, 1987; 33).
Kesemua wirid itu dibaca dua kali dalam sehari semalam yaitu sesudah shalat subuh dan sesudah shalat ashar. Di antara wazifah Tijaniyah adalah:
1.      Membaca Al-Fatihah.
2.      Niat, yaitu :
اللهم انى نويت التعبد الى الله تعالى باد ء وردنا الوطيقة فى طريقتنا التجا نية طريقة حمد وشكر ايمانا واحتمابا الله تعالى
3.      Membaca istigfar: dibaca sebanyak 30 kali, yaitu:
ا ستغفر الله العظيم الذى لا ا له الا هو الحي القيوم
kemudian membaca :
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المر سلين والحمد الله رب العا لمين
4.      Membaca shalawat fatih sebanyak 50 kali, yaitu:
اللهم صل على سيد نا محمد الفا تح لما اغلق والغا تم لما سبق ناصر الحق بالحق والهادى الى صرا طك المستقيم وعلى اله حق قدره مقد ا ره العظيم
lalu membaca :
سبحا ن ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المر سلين والحمد الله رب العا لمين
5.      Membaca La Ilaha Illa Allah, 99 kali, bacaan yang terakhir ditambah dengan bacaan:
لا اله الا الله سيدنا محمد رسول الله عليه سلام الله صلى الله عليه وسلم .
dengan suara keras dan memanjangkan bacaan : LAA ILAAHA ILLALLAAH.Lalu membaca:
سبحان ربك رب العز ة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد الله رب العا لمين
6.      Membaca shalawat Jauharat al-Kamal sebanyak 12 kali, bunyinya:
اللهم صل و سلم على عين الرحمة الر با نية واليا قوتة المتحققة الحا ئطة بمركز الفهوم والمعانى, ونور الاكوان المتكونة الادمي صاحب الحق الرباني البرق الاسطع بمزون الارباح المالئة لكل متعرض من البحور والاواني ونورك اللامع الذي ملات به كونك الحائط بامكنة المكاني. اللهم صل وسلم على عين الحق التى تتجلى منها عروش الحقائق عين المعارف الاقوم صراطك التام الاسقم. اللهم صل وسلم على طلعة الحق باالحق الكنز الاعظم افاضتك منك اليك احاطة النور المطلسم صلى الله عليه وعلى اله صلاة تعرفنا بها اياه.
Kemudian ditambah dengan bacaan:
يَا سَيِدِى يَا رَسُوْلَ الله هَذِهِ هِدَيَةِ مِنِى اِلَيْكَ فاَ قْبَلْهَا بِفَضْلِكَ وَكَرَِمكَ ياَ سَيِدِى يارسول الله صلى الله عليك وعلى الك واصحابك وازواجك ودريتك وسلم جزاك الله عنا افضل ما جزى به نبيا عن امته وجزى الله عنا اصحابك وعلماء امتك الذين بلغونا دين الاسلام دينا وبسيدنا محمد صلى الله عليه وسلم نبيا ورسولا وجزى الله عنا ولدك سيدنا وسندنا وعدتنا وعمدتنا دنيا واخرى سيدنا احمد بن محمد التجانى وازواجه وذريته ومقدميه واحبابه من الانس والجان – اللهم غمسنا و اياهم فى دا ئرة الرضا والرضوان واغرقنا واياهم فى دا ئرة الفضل والامتنان . اللهم امن روعتنا وروعتهم واقل عشرتنا وعشرتهم والطف بنا وبهم لطفا عاما ولطفا خاصا واد مالهم علينا من الحقوق والتبعات من خزا ئن رحمتك بمحض فضلك ومنتك ياذا الفضل الجسيم والمن العظيم . امين .
7.      Kemudian membaca:
سبحان ربك رب العزة عمايصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.
8.      Setelah itu, membaca doa yang dikehendakinya.
9.      Sebagai penutup wazifah ialah membaca surah Al-Fatihah dan shalawat Al-Fatih.
Al-Fath berkata: “Salawat Al-Fatih Limaa Ughliqa” memiliki keutamaan. Beberapa keutamaan shalawat ini yang masih tersimpan sebagai berikut :
1.    Barangsiapa membacanya sekali dalam sehari, ia akan mendapat jaminan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2.    Membaca shalawat ini sekali dapat menghapus seluruh dosa dan sebanding dengan enam ribu kali tasbih, zikir dan doa yang dilakukan anak kecil atau orang tua di alam semesta.
3.    Barangsiapa mengerjakan shalat dengan membaca shalawat ini, niscaya mendapat pahala yang lebih besar daripada pahala seorang wali yang hidup selama seribu tahun tapi tidak mengamalkan shalawat ini.
4.    Pembaca pertama shalawat ini setara dengan pahala enam ratus ribu shalat yang dikerjakan seluruh malaikat, manusia dan jin sejak mereka diciptakan hingga saat seseorang mengucapkan shalawat ini. Pembacaan kedua kalinya juga mendapat pahala seperti di atas ditambah pahala pembacaan pertama. Pembaca ketiga sama dengan pembacaan kedua plus pahala pembacaan pertama dan kedua. Begitulah seterusnya.
5.    Barangsiapa selalu membaca shalawat tersebut sekali saja dalam setiap hari, ia meninggal dunia dalam keadaan beriman.
6.    Jika terjadi sesuatu pada orang yang salat dengan shalawat tersebut, amalnya batal, hanya saja, shalawat tersebut tidak termasuk dalam amal yang dibatalkan.
7.    Barangsiapa membaca shalawat tersebut seratus kali pada malam Jum’at, shalawat tersebut menghapus dosa-dosa selama empat ratus tahun dari orang tersebut.
8.    Dan keutamaan-keutamaan lain yang tidak bisa disebutkan dalam tulisan yang ringkas ini.[18]
Adapun uraian-uraian ini dapat dianalisa adalah Keutamaan shalawat tersebut yang bersifat khusus hanya bisa diperoleh dengan dua syarat, yaitu : Pertama, Izin dari syeikh Ahmad Tijani kendati melalui perantara. Kedua, keyakinan bahwa shalawat tersebut tidak dibuat oleh manusia, namun diterima oleh Sayyid Muhammad Al-Bakri dari alam gaib.
Selain amalan tersebut di atas, ada lagi zikir khusus pada hari Jum’at yang wajib dibaca satu setengah jam setelah salat asar sebelum matahari terbenam. Dilanjutkan dengan zikir “Laa illallahu” sebanyak seribu dua ratus kali atau menyebut Lafzul Jalalah (Allah, Allah, Allah) sebanyak seribu dua ratus kali. Sebagian mereka membacanya sebanyak seribu enam ratus kali, mereka berkata bilangan paling minimal adalah seribu kali hingga matahari terbenam, dengan hitungan ataupun tanpa hitungan. Barangsiapa punya keperluan mendesak, hendaklah membacanya dengan hitungan tersebut lalu pergi menunaikan keperluannya setelah selesai.
Kemudian mereka menerangkan panjang lebar syarat-syarat dan etika wirid tersebut . Namun dalam kesempatan kali ini kami hanya menyebut yang terpenting saja, syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya:
1.  Hendaknya syeikh yang mengajarkan wirid-wirid wajib dan pilihan itu mendapat izin resmi dari Rasulullah Saw dan dari orang yang beliau restui.
2.  Orang yang meminta diajari wirid tersebut harus mengosongkan diri dari seluruh wirid-wirid syeikh yang lain atau berpaling dan tidak kembali kepada wirid-wirid itu. Sebab seorang murid tarekat yang akan menuju Allah Swt tidak boleh memiliki dua syeikh sekaligus, sebagaimana seorang istri tidak boleh dua suami.
3.  Murid tersebut tidak boleh mengunjungi para wali, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Akan tetapi ia boleh menziarahi makam para nabi, sahabat dan rekan-rekan syeikh Ahmad Tijani, baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat.
4.  Murid tidak mencela, marah, dari memusuhi di samping Syeikh Ahmad Tijani.
5.  Murid harus bersih dari mengeritik Syeikh Ahmad Tijani , karena tarekatpemimpin sufi itu dibangun di atas tunduk dan patuh kepada para murabbi (pembina) terhadap apa yang mereka perintahkan dan mereka larang, karena mereka adalah orang-orang yang dipercaya Syariat.
6.  Hormat kepada siapa saja dari saudara-saudara yang dirasakan kepada Syeikh Ahmad Tijani, terutama orang-orang khusus dalam tarekat ini, karena diriwayatkan dari Syeikh Ahmad Tijani yang berkata bahwa menyakiti penganut tarekat ini adalah menyakiti Rasulullah SAW.
7.  Menjauhkan diri dari orang-orang yang mengeritik Syeikh Ahmad Tijani. Syeikh Ahmad Tijani melarang sahabat-sahabatnya duduk dengan orang-orang yang mengeritiknya. Ia berkata : “Sesungguhnya sebagian dari para pengeritik tersebut merasuk ke hati orang-orang yang bergaul dengan mereka seperti racun.
8.  Murid yang membaca wirid tersebut harus menghadirkan wajah Syeikh Ahma Tijani pada saat ia membaca wirid tersebut dan bergantung kepadanya. Yang lebih hebat lagi ialah menghadirkan wajah Rasulullah Saw. sejak pertama membaca wirid hingga usai membacanya jika itu memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka penghadiran tersebut harus dilakukan pada saat pertama membaca wirid kemudian penghadiran diulangi lagi dengan tidak berpaling dari Syeikh Ahmad Tijani. Berpaling dari Syeikh Ahmad Tijani ialah dengan mengunjungi para wali, orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang telah meninggal dunia, atau dengan meminta doa kepada mereka, atau menghadiahkan pahala membaca Alquran, zikir, nazar, sedekah, dan lain sebagainya kepada mereka.
Tarekat ini lebih banyak menyederhanakan aspek-aspek ritual dan memberikan tekanan yang lebih besar pada niat dan perbuatan baik. Bentuk ajaran tarekat yang demikian memberikan sumbangan yang besar terhadap keberhasilannya secara cepat dalam mengumpulkan pengikut dan juga telah mewarnai corak perilaku mereka. Tarekat ini tidak memisahkan masalah-masalah yang bersifat spiritual dengan yang bersifat temporal, sebagai amal ukhrawi maupun duniawi. Namun juga Ahmad Tijani menekankan, seperti halnya tarekat yang lain, perlu adanya perantara (wasilah) antara manusia dan Tuhan. Perantara itu ialah dirinya sendiri dan para pengganti/wakil/naibnya. Pengikut-pengikutnya dilarang keras mengikuti guru lain yang mana pun, bahkan ia larang pula untuk memohon kepada wali mana pun selain dirinya. Karena itu, Tarekat Tijaniyah ini hanya memiliki satu silsilah guru/syeikh lebih lanjut.
Ahmad Tijaniyah juga menekankan zikir tanpa suara, sekalipun dijalankan dengan cara berjamaah. Dia menentang praktek berziarah ke tempat keramat yang dipandangnya menyimpang dari syara’ (hukum Islam) yang sangat merajalela pada masa itu. Tarekat Tijaniyah dalam mendidik, mengarahkan dan dalam memelihara murid-muridnya yang dalam istilahnya disebut Ikhwan tarekat Tijaniyah atau Ikhwan Tijaniy juga mempunyai syarat-syarat dan peraturan-peraturan sebagai berikut:[19]
1.      Syarat Masuk Tarekat Tijaniyah
Ø  Calon Ikhwan Tijaniy tidak mempunyai wirid tarekat.
Ø  Yang mentalqinnya telah mendapat izin yang sah untuk memberi wirid tarekat Tijaniyah.
Ø  Di talqin/mendapatkan izin mengamalkan wirid Tarekat Tijaniyah.
2.      Kewajiban atas Ikhwan Tijani
Ø  Harus menjaga syari’at,
Ø  Harus menjaga shalat lima waktu dengan berjamaah bila mungkin (jaga syarat-syarat berjamaah shalat),
Ø  Harus mencintai Saiyidi Syekh Ahmad Attijani selama-lamanya,
Ø  Harus menghormati siapa saja yang ada hubungannya dengan Saiyidi Syekh Ahmad Attijani,
Ø  Harus menghormati semua wali Allah Swt dan semua tarekat,
Ø  Harus mantap pada tarekat dan tidak boleh ragu-ragu,
Ø  Selamat dari mencela tarekat Tijaniyah,
Ø  Harus berbuat baik terhadap tarekat Tijaniyah,
Ø  Harus menjauhi orang yang mencela tarekat Tijaniyah,
Ø  Harus mengamalkan tarekat Tijaniyah sampai akhir hayatnya.
Ø  Larangan atas Ikhwan Tijani
Ø  Tidak boleh mencaci, benci dan memusuhi Saiyidi Syekh Ahmad Al-Tijani.
Ø  Tidak boleh ziarah kepada wali yang bukan Tijani khusus mengenai soal Rabithah saja,
Ø  Tidak boleh memberi wirid tarekat Tijaniyah tanpa ada izin yang sah,
Ø  Tidak boleh meremehkan wirid tarekat Tijaniyah,
Ø  Tidak boleh memutuskan hubungan dengan makhluk tanpa ada izin syara’ terutama dengan ikhwan,
Ø  Tidak boleh merasa aman dari Makrillah. (Fauzan Fathullah, 1985; 118-119).
3.      Peraturan Melaksanakan Zikir tarekat Tijaniyah
Ø  Dalam keadaan normal bacaan zikir harus terdengar oleh telinga si pembaca,
Ø  Harus suci dari najis, baik badan, pakaian, tempat maupun apa saja yang di bawahnya,
Ø  Harus suci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil,
Ø  Harus menghadap kiblat dan duduk
Ø  Harus menutupi aurat sebagaimana dalam shalat baik bagi pria maupun bagi wanita,
Ø  Tidak boleh berbicara,
Ø  Harus ijtima’ dalam melaksanakan Wadhifah dan Hailallah sesudah asar hari Jum’at apabila didaerahnya ada ikhwan,
Ø  Isthdlarul qudwah, yaitu : waktu melaksanakan wirid dari awal sampai akhir membayangkan seakan-akan berada dihadapan Saiyidi Syekh Ahmad Al-Tijani yang lebih utama membayangkan berada dihadapan Saiyidul Wujud Saw dengan keyakinan, bahwa beliaulah pembawa dan Wushuul Ilalah,
Ø  Mengingat dan membayangkan maknanya wirid dari awal sampai akhir wirid. Kalau tidak bisa, maka suapaya memperhatikan dan mendengarkan bacaan wiridnya.
Berdasarkan pengakuan pengikut Tarekat Tijaniyah, bahwa ajaran tarekat ini tidak terdapat pertentangan antara syari’at dan tarekat, berarti keduanya saling berkaitan satu sama lain. Syari’at tetap harus dipegang dan dijalankan untuk dapat memasuki dunia tasawuf. Sebab syari’at diibaratkan sebagai bahtera yang dapat dijadikan sarana berlayar, tarekat sebagai lautan yang memiliki mutiara, sedang hakikat sebagai mutiara yang dicari dalam lautan ulama. Oleh karena out perlu kita perhatikan bahwa perbedaan antara agama Islam /syariat dan ajaran tasawuf adalah perbedaan dalam menerima ajaran. Setelah wafat Nabi, umat Islam menerima ajaran agama Islam dari Alquran dan Sunnah, serta ijma’. Umat inilah yang terjaga – kemudian ijtihad imam-imam yang bisa salah atau benar. Menurut penulis, ketika umat Islam melakukan hal demikian, kaum sufi menentukan sumber ajaran agama dari setiap yang berhembus dan bergerak.
Setiap orang harus menjalankan syari’at maupun hakikat. Syari’at dan hakikat merupakan aspek zahir dan permulaan, sedang hakikat merupakan buah atau hasil dari dimensi syari’at dan tarekat. Karena itu tidak berarti terdapat pertentangan antara keduanya, tetapi harus saling melengkapi. Kalau ada tarekat yang meninggalkan salah satu ilmu tersebut berarti tarekat tersebut telah terjadi penyimpangan.
Ajaran Tarekat Tijaniyah yang mengutamakan kuburan, meminta bantuan kepada selain Allah, syirik baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, keyakinan bahwa wali dan kaum sufi, terutama syeikh Ahmad Al-Tijani dan guru-gurunya, mengetahui ilmu gaib, mampu mendatangkan keberuntungan dan kesulitan, mampu menolak bahaya, menyingkirkan gangguan, menghidupkan dan mematikan, memberi rezeki, dan banyak lagi yang lainnya. Menurut para ulama, sebagian pemikiran atau pendapat dalam ajaran tarekat Tijaniyah tersebut di atas telah menyisihkan kebenaran, dan bersemberangan dengan Al-quran dan As-Sunnah, ditambah lagi dengan masalah sumber Ajaran tarekat ini, dimana ada yang mengatakan diterima dari Rasulullah Saw imelalui mimpi, namun ada sebagian mengatakan Al-Tijani menerima izin dari Rasulullah dalam keadaan terjaga. Tetapi konsep zikir atau wiridnya penulis perhatikan tidak ada terdapat penyimpangan, seperti membaca al-fatihah, membaca salawat, membaca salawat fatih dan lain-lainnya.

F.     Kesimpulan
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abu Abbas Ahmad bin Muhammad bin Muhtar bin Salim al-Tijani. Tarekat ini berasal dari Rasulullah langsung diberikan kepada al-Tijani, dan terus kepada keturunan al- Tijani sendiri serta kepada keturunan Ali bin Isa atau Ali bin Abi Thalib. Sedang ajarannya lebih sederhana dan relatif mudah.
Tarekat Tijaniyah sejak tahun 1931 telah diakui kemuktabarahannya dimana di kalangan warga NU Namun dalam perkembanganya masih terus dipersoalkan kemuktabarahnnya, akan tetapi hal langsung dijawab dan dipertegas lagi oleh KH. Hasyim Muzadi, bahwa Tarekat Tijaniyah sah dan berdasar.
Tarekat ini dalam sejarah perkembangannya sering terlibat dalam pergerakan politik dan telah pengarahan massa dalam rangka mencari simpati dan dukungan agar eksistensinya diakui oleh masyarakat dan sembari ikut serta dalam kegiatan dakwah Islamiyah. Bahkan tarekat ini termasuk yang reformis dan Neo-Sufisme

G.    Daftar Pustaka
Balai Penelitian P3M, Jurnal Penelitian Agama, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999).
Basalamah, Sholeh & Anam, Misbahul , Buku Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah,( Penerbit Kalam Pustaka, Cetakan I Maret 2006).
Huda, Nor. Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007).
Imam Suprayogo & Tobroni, Metodelogi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Rosda Karya, 2005).
Kafie, Jamaluddin dan Dhofir, Syarqawi. Biografi K.H.A. Djauhari Chotib,( Diterbitkan dalam Rangka Menyambut Peringatan Kesyukuran 45 Tahun Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan 1952-1997).
Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2005)
Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010).
Nata, Abuddin. Akhlaq Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010).
Shadily, Hasan. Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1993).
Shodiq, Ja’far. Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Shodiq, Ja’far. Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).




[1] Nor Huda, Islam Nusantara Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2007), hlm, 281.
[2] Historical Approach adalah sebuah cara menempatkan diri pada ruang dan waktu di dalam sejarah peradaban manusia. Caranya tidak lain adalah dengan mempelajari sejarah sebagai satu kesatua yang utuh, tidak terkotak oleh batas-batas politik dan agama, bahkan batasan waktu. Dengan ini diharapkan kita dapat mengembangkan sebuah rasa “memiliki dan menjadi manusia”. Lihat, Balai Penelitian P3M, Jurnal Penelitian Agama, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999), Didigitalkan 24 Juni 2009.
[3] Lexy Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm, 50-51.
[4] Imam Suprayogo & Tobroni, Metodelogi Penelitian Sosial Agama, (Bandung: Rosda Karya, 2005), hlm, 94.
[5] Ja’far Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 38-39.
[6] Mahjuddin, Akhlaq Tasawuf II, (Jakarta, Kalam Mulia, 2010), hlm, 205.
[7] Ja’far Shodiq, Pertemuan Antara Tarekat dan NU, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 41-42.
[8] Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf, (Jakarta, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm, 276-277.
[9] Sholeh Basalamah & Misbahul Anam, Buku Tijaniyah Menjawab dengan Kitab dan Sunnah,( Penerbit Kalam Pustaka, Cetakan I Maret 2006), hlm, 16-17.

[10] Hasil Interview dengan Bapak Khoiri Khusni. S.Pd.I, pada tanggal 13 Maret 2011.


[12] Jamaluddin Kafie dan Syarqawi Dhofir, Biografi K.H.A. Djauhari Chotib,( Diterbitkan dalam Rangka Menyambut Peringatan Kesyukuran 45 Tahun Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan 1952-1997), hlm, 29-31.
[13] Ibid., hlm, 55-57.
[14] Hasil interview dengan Bapak Mahfudz, pada tanggal 20 Februari 2011.
[15] Hasan Shadily, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1993), hlm, 129-130.
[16] Hasil interview dengan Bapak Marzuki, pada tanggal 03 Juni 2011.
[17] Hasil wawancara dengan salah satu pengikut Tarekat Tijaniyah di Desa Prenduan Sumenep Bpk. Mahfudz, pada hari Selasa 24 Januari 2012.
[18] Hasil wawancara dengan salah satu pengikut Tarekat Tijaniyah di Desa Prenduan Sumenep Bpk. Mahfudz, pada hari Selasa 24 Januari 2012.
[19] Hasil wawancara dengan salah satu pengikut Tarekat Tijaniyah di Desa Prenduan Bpk. Abd. Munir, pada hari Rabu 18 Januari 2012.

2 komentar: